Senin, 14 Mei 2018

PILKADA LANGSUNG ATAU OLEH DPRD?


PILKADA LANGSUNG ATAU OLEH DPRD?
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pengantar
Pro kontra mengenai pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD pernah mengemuka tatkala DPR menyetujui UU No.22 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. (LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 243), dan telah disahkan oleh Presiden RI tanggal 30 Septermebr 2014. Namun, dalam perkembangannya hanya selang beberapa hari saja, Presiden Susilo BY, mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2014 dan Perpu No. 2 Tahun 2014. Presiden menolak pilkada dilakukan oleh DPRD, dengan maksud agar pilkada dilakukan secara lebih demokratis sesuai dengan kehendak rakyat saat itu.
Hingga kini pilkada langsung telah dilakukan berkali-kali, bahkan pada bulan Juni 2018 akan dilakukan pilkada serentak di seluruh wilayah NKRI. Hasil pilkada langsung, belum mencapai harapakn rakyat dari segi keadilan social. Demokrasi memang maju, tetapi demokrasi bukan tujuan utama mendirikan negara. Tujuan mendirikan negara adalah mencapai kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, seperti digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Fakta menunjukkan, pemilihan kepala daerah secara langsung membuahkan kerugian baik secara finansial, politik maupun social. Salah satunya adalah konflik horizontal dan memperlebar perpecahan. Kasus pilkada DKI sampai kini masih “panas”, meninggalkan luka, pertentangan antar ummat masih terjadi. Ini ekses yang sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.
Banyak kasus terjadi dalam debat kandidat, yang seharusnya dikemukakan adalah program-program dari masing-masing calon, ternyata saling salah menyalahkan, nyinyir satu sama lain. Kebanyakan isu yang dilontarkan hanya “pepesan kosong”, faktanya program yang disampaikan tidak dapat dilaksanakan. Sangat banyak ekses yang muncul dari debat dan propaganda, hasilnya negative bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Dan pada akhirnya akan berimbas pada gagalnya mencapai kesejahteraan, kemakmuran dan keadilan masyarakat banyak. Lalu, apa cukup dengan kemajuan demokrasi?
Pemilihan Kepala Daerah oleh sebuah Badan Pemilih adalah pilihan!
Akhir-akhir ini wacana pilkada oleh DPRD mencuat kembali. Ketua MPR maupun Ketua DPR melontar isu tersebut, meskipun masih banyak pihak yang menolaknya, salah satunya adalah Perludem. Lepas dari masalah itu mari kita coba sebuah alternative.
Pemilihan kepala daerah oleh DPRD dinilai sebuah kemunduran demokrasi. Dinilai sebuah langkah mundur! Di pihak lain, masyarakat kurang percaya kepada partai. Banyaknya penyimpangan yang dilakukan oleh kader-kader partai politik, salah satu penyebabnya. Setelah anggaran negara tersita untuk keperluan pemilihan umum, disambut oleh rusaknya mental dan moral para elit politik, masyarakat semakin kurang percaya pada mekanisme demokrasi formal yang ada. Banyak dana yang terbuang sia-sia, baik yang dikeluarkan oleh para kandidat, partai politik, anggaran negara/daerah. Hal tersebut tidak berdampak positif pada pembangunan bangsa secara mental spiritual maupun fisik material.[1]
Baik pilkada langsung maupun pilkada oleh DPRD mengandung kelebihan dan kekuranganan. Inilah di antara kebaikan dan kelemahan tersebut.[2]
Kelebihan & Kekurangan PILKADA Langsung dan Tak Langsung (DPRD)?
PILKADA Langsung
a. Kelebihan
1.    Kepala Daerah Terpilih diyakini telah merepresentasikan atau merupakan keterwakilan dari rakyat mayoritas.
2.    Kepala Daerah Terpilih mempunyai legitimasi tinggi karena dihasilkan oleh proses Demokrasi yang melibatkan rakyat sehingga lebih berkualitas dari sebelumnya.
3.    Sebagai Catatan pinggir, Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti Walikota Surabaya, Walikota Bandung, Walikota Solo dan Gubernur Jateng.
4.    Akan tetapi harus dicatat juga bahwa banyak Kepala Daerah Terpilih malah melakukan Korupsi. Bahkan disebut-sebut sekitar 60% dari Kepala Daerah yang ada.

b. Kekurangan
  1. Biaya yang dikeluarkan pemerintah cukup besar. Pilkada-pilkada terdiri dari Pilgub 33 Propinsi dan 495 Kabupaten/ Kota. Biaya pelaksanaan Pilkada-pilkada dikeluarkan untuk semua kebutuhan KPU seperti gaji, peralatan, inventaris, logistik dan lainnya.
  2.  Sering terjadi konflik horizontal selama dilaksanakannya Pilkada-pilkada di daerah. Bahkan sering terjadi anarkistis dan pengrusakan fasilitas publik.
  3.  Konflik itu juga sering menimbulkan ketegangan di masyarakat untuk waktu yang lama, bahkan mungkin ada juga dendam.
  4. Sering terjadi Partisipasi yang rendah dari masyarakat untuk mengikuti Pilkada. Mungkin bosan dengan begitu banyaknya Pemilu.
  5. Sering terjadi jor-joran dalam biaya kampanye oleh calon-calon kepala daerah disertai terjadinya money politic.
  6. Calon yang akhirnya menang setelah menjadi pemimpin sering korupsi untuk mengembalikan modal. Bahkan ada juga dinasti politik.

Pilkada yang dilakukan oleh DPRD

A. Keuntungan
1.    Mampu menekan biaya pelaksanaan. Negara akan mampu menghemat Trilyunan Rupiah.
2.    Mampu menekan potensi terjadinya konflik horizontal. Ini bisa dikatakan sangat signifikan.
3.    Pilkada ini juga akan mengurangi biaya-biaya kampanye yang dikeluarkan calon kepala daerah.
4.    Sebagai catatan pinggir juga, Pilkada ini tidak menjamin Kepala Daerah Terpilih Tidak akan melakukan Korupsi.

B. Kekurangan
1.    Tidak mampu merepresentasikan aspirasi rakyat mayoritas atau Keterwakilan rakyat.
2.    Legitimasi Kepala Daerah lemah dikarenakan Kualitas demokrasi yang rendah dan tidak melibatkan rakyat yang ada.
3.    Sulit menghasilkan Pemimpin terbaik dari tokoh-tokoh yang ada di daerah tersebut. Pilihan DPRD cenderung hanya pada tokoh-tokoh yang dikenal oleh DPRD saja’
4.    Memperbesar peluang terjadinya politik transaksional "wani piro" antara calon kepala daerah dengan legislative pada saat proses Pilkada berlangsung.
5.    Membuat Legislatif menjadi Superior terhadap Eksekutif. Legislatif bukannya mengawasi eksekutif bahkan mengendalikan eksekutif. Ini membuat eksekutif lebih mementingkan kepentingan legislatif daripada kepentingan rakyat
6.    Eksekutif atau Kepala Daerah akan kurang bertanggung-jawab pada kepentingan rakyat karena tidak merasa dipilih oleh rakyat.
7.    Memperbesar Peluang terjadinya Kongkalikong antara Eksekutif dan Legislatif untuk mengkorupsi anggaran pembangunan yang ada.
8.    Berpotensi Kongkalikong eksekutif-legislatif untuk pengeluaran izin-izin swasta terutama pemanfaatan kekayaan negara seperti tambang, hutan dan lain sebagainnya.
9.    Berpotensi menciptakan terjadinya dinasti politik legislative dan eksekutif maupun oligarki. Peluang ini sangat besar juga potensi korupsi berjamaah.
10. Berpotensi terjadi politik "remote control" dimana kepala-kepala daerah dipilih oleh elit-elit partai yang berada di pengurus pusat partai.

Memperhatikan kelemahan-kelemahan dari kedua cara tersebut, maka adakah cara yang lebih baik? Ada sebuah solusi yang ditawarkan, yakni pemilihan oleh sebuah badan pemilih (electoral college). Dari segi biaya cara ini lebih ringan,baik dilihat dari kepentingan calon, anggaran negara/daerah, demikian pula dari segi waktu tidak bertele-tele. Badan ini bersifat ad hoc, tidak permanen. Tidak ada resiko konflik horizontal. Dari segi falsafah bangsa dan historis, sesuai dengan falsapah Bangsa Indonesia: kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi dari segi finansial, social budaya dan politik serta keamanan akan lebih murah.
Susunan Keanggotaan Electoral College.
Susunan keanggotaan badan ini dibedakan untuk daerah provinsi dan daerah kota/kabupaten.
Untuk daerah provinsi terdiri dari: a. anggota Forkopimda (dulu Muspida), Gubernur (jika tidak mencalonkan kembali sebagai Kepala Daerah), Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi; b. anggota DPD dari propinsi ybs; c. Ketua2 Fraksi; d. Mantan Gubenur.
Untuk daerah kota/kabupaten terdiri dari: a. anggota Forkopimda kota/kabupaten: walikota/bupati (jika tidak mencalonkan kembali sebagai Kepala Daerah), dandim, kapolres, kajari, ketua Pengadilan Negeri, b. Ketua2 Fraksi; c. Mantan walikota/bupati.
Menurut hemat penulis, badan ini diharapkan akan lebih netral dibandingkan dengan DPRD. Dari susunan keanggotaannya akan mewakili beberapa unsur. Selain unsur partai politik, ada pejabat negara yang mewakili pemerintah pusat, unsur tokoh masyarakat (mantan kepala daerah). Mereka sudah teruji loyalitasnya, mental dan moralnya, sehingga mereka akan berpikir untuk kepentingan bangsa bukan berpikir dan bertindak untuk kepentingan pribadi dan atau golongan tertentu. Semoga.

Bandung, 10 Mei 2018


[1]Menurut Mendagri, sejak tahun 2004 hingga 2017 sudah  ada 313 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi.
[2] Dikutip dari davinof , KASKUS Plus, Join: 29-08-2011 Post: 15,091


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...