PILKADA
LANGSUNG ATAU OLEH DPRD?
Oleh:
Rosjidi Ranggawidjaja
Pengantar
Pro kontra mengenai pilkada
langsung dan pilkada oleh DPRD pernah mengemuka tatkala DPR menyetujui UU No.22
Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota. (LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 243), dan telah disahkan oleh Presiden RI
tanggal 30 Septermebr 2014. Namun, dalam perkembangannya hanya selang beberapa
hari saja, Presiden Susilo BY, mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2014 dan Perpu
No. 2 Tahun 2014. Presiden menolak pilkada dilakukan oleh DPRD, dengan maksud
agar pilkada dilakukan secara lebih demokratis sesuai dengan kehendak rakyat
saat itu.
Hingga kini pilkada
langsung telah dilakukan berkali-kali, bahkan pada bulan Juni 2018 akan
dilakukan pilkada serentak di seluruh wilayah NKRI. Hasil pilkada langsung,
belum mencapai harapakn rakyat dari segi keadilan social. Demokrasi memang
maju, tetapi demokrasi bukan tujuan utama mendirikan negara. Tujuan mendirikan
negara adalah mencapai kehidupan masyarakat yang adil dan makmur, seperti
digariskan dalam Pembukaan UUD 1945. Fakta menunjukkan, pemilihan kepala daerah
secara langsung membuahkan kerugian baik secara finansial, politik maupun
social. Salah satunya adalah konflik horizontal dan memperlebar perpecahan.
Kasus pilkada DKI sampai kini masih “panas”, meninggalkan luka, pertentangan
antar ummat masih terjadi. Ini ekses yang sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI.
Banyak kasus terjadi dalam
debat kandidat, yang seharusnya dikemukakan adalah program-program dari
masing-masing calon, ternyata saling salah menyalahkan, nyinyir satu sama lain.
Kebanyakan isu yang dilontarkan hanya “pepesan kosong”, faktanya program yang
disampaikan tidak dapat dilaksanakan. Sangat banyak ekses yang muncul dari
debat dan propaganda, hasilnya negative bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Dan
pada akhirnya akan berimbas pada gagalnya mencapai kesejahteraan, kemakmuran
dan keadilan masyarakat banyak. Lalu, apa cukup dengan kemajuan demokrasi?
Pemilihan
Kepala Daerah oleh sebuah Badan Pemilih adalah pilihan!
Akhir-akhir ini wacana
pilkada oleh DPRD mencuat kembali. Ketua MPR maupun Ketua DPR melontar isu
tersebut, meskipun masih banyak pihak yang menolaknya, salah satunya adalah
Perludem. Lepas dari masalah itu mari kita coba sebuah alternative.
Pemilihan kepala daerah
oleh DPRD dinilai sebuah kemunduran demokrasi. Dinilai sebuah langkah mundur!
Di pihak lain, masyarakat kurang percaya kepada partai. Banyaknya penyimpangan
yang dilakukan oleh kader-kader partai politik, salah satu penyebabnya. Setelah
anggaran negara tersita untuk keperluan pemilihan umum, disambut oleh rusaknya
mental dan moral para elit politik, masyarakat semakin kurang percaya pada
mekanisme demokrasi formal yang ada. Banyak dana yang terbuang sia-sia, baik
yang dikeluarkan oleh para kandidat, partai politik, anggaran negara/daerah.
Hal tersebut tidak berdampak positif pada pembangunan bangsa secara mental
spiritual maupun fisik material.[1]
Baik pilkada langsung
maupun pilkada oleh DPRD mengandung kelebihan dan kekuranganan. Inilah di
antara kebaikan dan kelemahan tersebut.[2]
Kelebihan & Kekurangan PILKADA Langsung
dan Tak Langsung (DPRD)?
PILKADA Langsung
a. Kelebihan
1.
Kepala Daerah Terpilih
diyakini telah merepresentasikan atau merupakan keterwakilan dari rakyat
mayoritas.
2.
Kepala Daerah Terpilih
mempunyai legitimasi tinggi karena dihasilkan oleh proses Demokrasi yang
melibatkan rakyat sehingga lebih berkualitas dari sebelumnya.
3.
Sebagai Catatan
pinggir, Pilkada langsung telah menghasilkan pemimpin seperti Walikota
Surabaya, Walikota Bandung, Walikota Solo dan Gubernur Jateng.
4.
Akan tetapi harus
dicatat juga bahwa banyak Kepala Daerah Terpilih malah melakukan Korupsi.
Bahkan disebut-sebut sekitar 60% dari Kepala Daerah yang ada.
b. Kekurangan
- Biaya yang dikeluarkan pemerintah cukup besar.
Pilkada-pilkada terdiri dari Pilgub 33 Propinsi dan 495 Kabupaten/ Kota.
Biaya pelaksanaan Pilkada-pilkada dikeluarkan untuk semua kebutuhan KPU
seperti gaji, peralatan, inventaris, logistik dan lainnya.
- Sering terjadi
konflik horizontal selama dilaksanakannya Pilkada-pilkada di daerah.
Bahkan sering terjadi anarkistis dan pengrusakan fasilitas publik.
- Konflik itu juga
sering menimbulkan ketegangan di masyarakat untuk waktu yang lama, bahkan
mungkin ada juga dendam.
- Sering terjadi Partisipasi yang rendah dari masyarakat
untuk mengikuti Pilkada. Mungkin bosan dengan begitu banyaknya Pemilu.
- Sering terjadi jor-joran dalam biaya kampanye oleh
calon-calon kepala daerah disertai terjadinya money politic.
- Calon yang akhirnya menang setelah menjadi pemimpin
sering korupsi untuk mengembalikan modal. Bahkan ada juga dinasti politik.
Pilkada yang dilakukan oleh DPRD
A. Keuntungan
1.
Mampu menekan biaya
pelaksanaan. Negara akan mampu menghemat Trilyunan Rupiah.
2.
Mampu menekan potensi
terjadinya konflik horizontal. Ini bisa dikatakan sangat signifikan.
3.
Pilkada ini juga akan
mengurangi biaya-biaya kampanye yang dikeluarkan calon kepala daerah.
4.
Sebagai catatan
pinggir juga, Pilkada ini tidak menjamin Kepala Daerah Terpilih Tidak akan
melakukan Korupsi.
B. Kekurangan
1.
Tidak mampu
merepresentasikan aspirasi rakyat mayoritas atau Keterwakilan rakyat.
2.
Legitimasi Kepala
Daerah lemah dikarenakan Kualitas demokrasi yang rendah dan tidak melibatkan
rakyat yang ada.
3.
Sulit menghasilkan
Pemimpin terbaik dari tokoh-tokoh yang ada di daerah tersebut. Pilihan DPRD
cenderung hanya pada tokoh-tokoh yang dikenal oleh DPRD saja’
4.
Memperbesar peluang
terjadinya politik transaksional "wani piro" antara calon kepala
daerah dengan legislative pada saat proses Pilkada berlangsung.
5.
Membuat Legislatif
menjadi Superior terhadap Eksekutif. Legislatif bukannya mengawasi eksekutif
bahkan mengendalikan eksekutif. Ini membuat eksekutif lebih mementingkan
kepentingan legislatif daripada kepentingan rakyat
6.
Eksekutif atau Kepala
Daerah akan kurang bertanggung-jawab pada kepentingan rakyat karena tidak
merasa dipilih oleh rakyat.
7.
Memperbesar Peluang
terjadinya Kongkalikong antara Eksekutif dan Legislatif untuk mengkorupsi
anggaran pembangunan yang ada.
8.
Berpotensi
Kongkalikong eksekutif-legislatif untuk pengeluaran izin-izin swasta terutama
pemanfaatan kekayaan negara seperti tambang, hutan dan lain sebagainnya.
9.
Berpotensi menciptakan
terjadinya dinasti politik legislative dan eksekutif maupun oligarki. Peluang
ini sangat besar juga potensi korupsi berjamaah.
10.
Berpotensi terjadi
politik "remote control" dimana kepala-kepala daerah
dipilih oleh elit-elit partai yang berada di pengurus pusat partai.
Memperhatikan
kelemahan-kelemahan dari kedua cara tersebut, maka adakah cara yang lebih baik?
Ada sebuah solusi yang ditawarkan, yakni pemilihan oleh sebuah badan pemilih (electoral college). Dari segi biaya cara
ini lebih ringan,baik dilihat dari kepentingan calon, anggaran negara/daerah,
demikian pula dari segi waktu tidak bertele-tele. Badan ini bersifat ad hoc,
tidak permanen. Tidak ada resiko konflik horizontal. Dari segi falsafah bangsa
dan historis, sesuai dengan falsapah Bangsa Indonesia: kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Jadi dari segi
finansial, social budaya dan politik serta keamanan akan lebih murah.
Susunan
Keanggotaan Electoral College.
Susunan keanggotaan badan
ini dibedakan untuk daerah provinsi dan daerah kota/kabupaten.
Untuk daerah provinsi
terdiri dari: a. anggota Forkopimda (dulu Muspida), Gubernur (jika tidak
mencalonkan kembali sebagai Kepala Daerah), Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua
Pengadilan Tinggi; b. anggota DPD dari propinsi ybs; c. Ketua2 Fraksi; d.
Mantan Gubenur.
Untuk daerah kota/kabupaten
terdiri dari: a. anggota Forkopimda kota/kabupaten: walikota/bupati (jika tidak
mencalonkan kembali sebagai Kepala Daerah), dandim, kapolres, kajari, ketua
Pengadilan Negeri, b. Ketua2 Fraksi; c. Mantan walikota/bupati.
Menurut hemat penulis,
badan ini diharapkan akan lebih netral dibandingkan dengan DPRD. Dari susunan
keanggotaannya akan mewakili beberapa unsur. Selain unsur partai politik, ada
pejabat negara yang mewakili pemerintah pusat, unsur tokoh masyarakat (mantan
kepala daerah). Mereka sudah teruji loyalitasnya, mental dan moralnya, sehingga
mereka akan berpikir untuk kepentingan bangsa bukan berpikir dan bertindak
untuk kepentingan pribadi dan atau golongan tertentu. Semoga.
Bandung, 10 Mei 2018
[1]Menurut Mendagri,
sejak tahun 2004 hingga 2017 sudah ada
313 Kepala Daerah yang tersangkut korupsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar