Jumat, 18 Mei 2018

JENIS DAN TATA URUTAN PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN DEWASA INI Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja



JENIS DAN TATA URUTAN
PERATURAN PERUNDANGAN-UNDANGAN DEWASA INI

Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

    1. Tata Susunan Norma Dalam Negara
    Norma yang ada dalam masyarakat atau negara (political society) selalu merupakan suatu susunan yang bertingkat, seperti suatu piramida. Menurut Hans Kelsen, setiap tata kaedah hukum merupakan suatu susunan daripada kaedah-kaedah (stufenbau des Recht). Dalam “Stufentheorie”-nya Hans Kelsen mengemukakan bahwa di puncak “stufenbau” terdapat kaedah dasar dari suatu tata hukum nasional yang  merupakan suatu kaedah fundamental. Kaedah dasar tersebut disebut “grundnorm” atau “ursprungnorm”. Ursprungnorm merupakan asas-asas hukum yang bersifat abstrak, bersifat umum, atau hipotetis. Ursprungnorm  adalah norma yang menjadi sumber dari segala norma. Ibarat sumber mata air yang mengalir dari atas ke bawah. Norma-norma yang ada di bawahnya berasal dari “ursprungnorm”.  Dari “ursprungnorm”-lah segala norma berasal, termasuk norma hukum. Jadi tepat“ursprungnorm” berada atau ditempatkan di puncak piramida susunan norma.
    Sistem hukum suatu negara merupakan suatu proses yang terus menerus, tersusun rapih. Dimulai dari yang abstrak, menuju ke hukum yang positif, dan seterusnya sampai menjadi nyata. Semua norma merupakan satu kesatuan dengan struktur piramida. Dasar keabsahan suatu norma ditentukan oleh norma yang paling tinggi tingkatannya. Jadi menurut Hans Kelsen urutan norma itu dimulai dari Ursprungsnorm ke Generallenorm, kemudian dipositifkan.  Oleh karena norma positif merupakan  “perantara” dari norma dasar dengan norma individual, maka disebut juga norma antara (Tussennorm). Sesudah itu akan menjadi norma nyata (Concretenorm).  Norma nyata lebih bersifat individual.
    Hal yang merupakan norma  dasar adalah, bahwa dimana pun juga orang tidak boleh mencuri, orang tidak boleh membunuh, orang tidak boleh menghina, dsb.  Norma dasar tersebut dalam hukum positif Indonesia, antara lain, diatur dalam KUHPidana, misalnya mengenai pencurian diatur dalam Pasal 362.  Jika, si A mencuri dan setelah diadili dia dikenakan sanksi pidana berdasarkan ketentuan pasal tersebut dengan memperhatikan kondisi individual.  Hakim, dengan memperhatikan kondisi dan situasi kongkrit, menerapkan norma, maka terhadap si pelaku dikenakan norma konkrit.
Perlu dicatat bahwa norma dalam Negara, dimana pun adanya, selalu akan berjenjang, bertingkat dan merupakan suatu “regressus”, demikian Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen, norma hukum (legal norm) tersebut dapat dibedakan antara general norm dan individual norm. Termasuk dalam general norm adalah custom dan legislation. Hukum yang diciptakan dari Custom disebut “customary law”, sedangkan  hukum yang diciptakan oleh badan legislatif (law created by legislative organ) disebut statute atau legislative act atau laws. Kemudian, norma-norma individual meliputi  “putusan badan yudisial” atau disebut “judicial acts” atau “judicial decisions”, “putusan badan administrasi” disebut “administrative acts”, dan  “transaksi hukum” atau “legal transaction” yaitu berupa contract dan treaty. Di bawah ini digambarkan tata susunan norma dimaksud.



Teori Hans Kelsen tersebut kemudian dikembangkan oleh Hans Nawiasky.  Menurut Hans Nawiasky, salah seorang murid Hans Kelsen, norma-norma hukum  negara berada dalam tata susunan dari atas ke bawah sebagai berikut:
  • Norma fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm);
    Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (Staatsgrundgesetz);
    Undang-undang (formal) (formell Gesetz); dan
    Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom (Verordnung & autonome Satzung)

Norma fundamental Negara adalah norma tertinggi dalam Negara. Istilah yang berasal dari Nawiasky ini digunakan dan diperkenalkan di Indonesia oleh Prof. Notonagoro ketika ia dalam pidato dies-natalis yang terkenal menamakan Pancasila sebagai “Pokok Kaidah Fundamentil Negara”. Ada hal yang rancu dari pemikiran  tersebut, yang menyatakan bahwa norma fundamental Negara adalah norma tertinggi dalam Negara.  Pemahaman bahwa sesuatu yang disebut “fundamental” harus dipahami sebagai sesuatu yang berada di bawah, bukan pada tempat yang tertinggi. Oleh karenanya maka “norma fundamental” bukan “norma tertinggi”, tetapi norma paling dasar. Adalah sebuah keniscayaan apabila dikatakan bahwa “norma fundamental Negara adalah norma tertinggi dalam Negara”. Norma tertinggi dalam Negara adalah norma superior. Aturan Negara yang tertinggi adalah “the supreme law of the state” atau yang biasa disebut “konstitusi” atau “constitution”. Adalah tidak logis bila undang-undang dasar ditempatkan pada susunan norma hukum Negara tertinggi. Jika ditempatkan pada susunan norma tertulis tertinggi maka lebih tepat disebut sebagai aturan hukum tertulis tertinggi sebagai padanan dari istilah “the supreme law of the state” atau “the superior law of the land”.
Teori tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana dilansir oleh Adolf Merkel, Hans Kelsen dan Hans Nawiasky tersebut, kemudian “menjalar” ke berbagai negara yang ada di dunia. Hal tersebut sebelum sampai ke Indonesia diserap oleh para pakar dan negarawan Belanda dan kemudian dibawa ke Indonesia. Oleh para sarjana Indonesia hal itu dikembangkan dan diterapkan dalam hukum positip Indonesia. Di antaranya oleh Prof. Notonagoro. Kemudian oleh para ahli berikutnya dikembangkan dan “direkayasa” sehingga menjadi suatu model tersendiri. Salah satu di antaranya adalah “rekayasa” dari A Hamid Attamimi. Implementasi dari teori Kelsen dan Nawiasky pada peraturan perundang-undangan Indonesia digambarkan oleh A Hamid S Attamimi adalah sebagai berikut:

Sesuai dengan “jiwa” yang terkandung dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2011) yang berlaku dewasa ini, maka semua istilah “keputusan” harus dibaca “peraturan”.  Bila demikian maka ada dua hal yang perlu dikomentari dari “susunan” peraturan perundang-undangan yang dikemukakan oleh Hamid S Attamimi tersebut di atas, yaitu:
  1. Penempatan Konvensi Ketatanegaraan di bawah Ketetapan MPR. Dari berbagai literatur dikemukakan bahwa konvensi dapat mengubah undang-undang dasar. Atau dengan perkataan lain, konvensi merupakan salah satu cara untuk mengubah undang-undang dasar. Bila demikian maka kedudukan konvensi adalah sederajat dengan undang-undang dasar, bukan di bawah undang-undang dasar, apalagi ditempatkan di bawah ketetapan MPR.
  2. Demikian pula menempatkkan keputusan (baca: peraturan) badan Negara di bawah keputusan (baca: peraturan) direktur jenderal kementerian. Kedudukan badan-badan Negara (seperti BPK, DPR, DPD, MK, MA) adalah setingkat Presiden, oleh karenanya kurang tepat jika peraturan yang dikeluarkannya diletakkan di bawah peraturan direktur jenderal kementerian.
  1. B. Konstitusi dan Undang-Undang Dasar
Istilah ”constitution” (Inggris) dan ”constitutie” (Belanda) dialihbahasakan dalam bahasa Indonesia menjadi Konstitusi, yaitu sekelompok ketentuan yang mengatur organisasi negara dan susunan pemerintahan suatu negara. Dilihat dari wujudnya, konstitusi dapat dibedakan antara konstitusi tertulis (written constitution) dan konstitusi tidak tertulis (unwritten constitution). Konstitusi tertulis dapat dibedakan antara yang tertulis dalam satu dokumen khusus atau dalam beberapa dokumen yang berkait erat satu sama lain dan yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan lain. Konstitusi tertulis yang tersusun dalam satu dokumen khusus misalnya UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, UUD Amerika Serikat 1787. Sedangkan Konstitusi-Tertulis yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain dapat dijumpai misalnya dalam Ketetapan-Ketetapan MPR dan Undang-undang. Di Inggris misalnya, kaidah-kaidah Konstitusi-Tertulisnya, terdapat dalam undang-undang biasa (ordinary law atau statute atau act of Parliament”). Konstitusi-Tidak Tertulis, dapat dibedakan dalam tiga golongan.
Pertama, ketentuan konstitusi terdapat dalam kaidah-kaidah Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis.
Kedua, Ketentuan-ketentuan Konstitusi yang terdapat dalam konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Ketentuan untuk taat pada konvensi, didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politik dan moral.
Ketiga, adalah adat istiadat. Berbeda dengan konvensi atau kebiasaan yang mengandung unsur obligatory, penaatan terhadap adat istiadat bersifat persuasif. Mungkin saja pada suatu ketika, adat istiadat ini berubah menjadi konvensi, sehingga dirasakan sebagai suatu kewajiban untuk menaatinya.
Inggris tidak memiliki konstitusi yang dimuat dalam satu dokumen (single document). Konstitusi Inggris tersebar dalam berbagai naskah. Naskah-naskah tersebut dibedakan antara, (a) the Great Charters and Important Document; (b) other Important Enactments.
Djokosutono membedakan tiga jenis istilah, yaitu ”constitutie in materiele zin”, ”constitutie in formele zin”, dan ”grondwet” (constitutie yang dituliskan, naskahnya, geschreven constitutie). Constituie in materiele zin adalah konstitusi yang ”gekwalificeerd naar de inhoud” dilihat atau berdasarkan dari isinya yang memuat dasar-dasar mengenai struktur dan fungsi negara. Sedangkan constitutie in formele zin, dilihat dari bentuk dan badan pembentuknya, gekwalificeerd naar de maker. Pembentuknya badan ”khusus”, tidak seperti pembentuk undang-undang biasa. Sementara itu grondwet adalah naskah dari konstitusi supaya ”bewijsbaar” dan stabil, ada bukti tertulis, tetap, tidak mudah diubah-ubah. Jadi harus gedocumenteerd (didokumentasikan), dituliskan dan diumumkan.
Para ahli masih berbeda pendapat mengenai perbedaan antara konstitusi dan undang-undang dasar. Sementara ahli berpendapat bahwa konstitusi lebih luas pengertiannya dari undang-undang dasar, dan sementara lagi menganggap bahwa konstitusi adalah sama dengan undang-undang dasar. KC Wheare misalnya, membedakan antara konstitusi dalam arti luas (wider sense) dan konstitusi dalam arti sempit (narrower sense). Konstitusi dalam arti luas digunakan untuk menguraikan keseluruhan sistem pemerintahan dari suatu negara (it use to describe the whole system of government of a country). Termasuk di dalam pengertian ini adalah “legal and non-legal rules or extra-legal rules”. Pengertian konstitusi dalam arti sempit hanya diartikan sebagai kumpulan aturan yang dimuat dalam satu dokumen (naskah) atau beberapa dokumen tetapi satu sama lain saling berhubungan erat (a selection of them which has usually been embodied in one document or in a few closely related documents).
Menurut KC Wheare, konstitusi dalam arti sempit adalah sekumpulan aturan hukum yang mengatur pemerintahan dari suatu negara yang disusun (terjelma) dalam satu dokumen formal atau suatu naskah. Sedangkan konstitusi dalam arti luas sebagaimana dikemukakan oleh Herman Heller meliputi konstitusi dalam arti sosiologis, politis dan yuridis.Konstitusi dalam arti sempit hanya diartikan konstitusi dalam arti yuridis saja.

C. Jenis dan Susunan Peraturan Perundang-undangan
Sebagaimana dimaklumi bahwa upaya untuk menetapkan jenis-jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan pada masa itu belum terlihat. Hal itu berlangsung sampai berlakunya Konstitusi RIS 1949. Pada saat berlakunya UUDS 1950, tepatnya pada tanggal 2 Pebruari 1950 di Yogyakarta dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1950 tentang Peraturan-peraturan Pemerintah Pusat . Undang-undang tersebut biasa juga disebut sebagai Undang-undang tentang jenis dan bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Menurut ketentuan Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1950 jenis-jenis peraturan perundang-undangan tingkat Pusat adalah:
  1. Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
  2. Peraturan Pemerintah,
  3. Peraturan Menteri.

Tingkat kekuatan peraturan-peraturan Pemerintah Pusat tersebut ialah menurut urutan dari Pasal 1 tersebut. Jenis peraturan berupa Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri tidak disebut-sebut. Hal yang menarik dari Undang-undang tersebut ialah ditetapkannya bentuk atau format (istilah yang dipakai adalah pormulir) dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dan Peraturan Menteri. Secara teknis ditetapkan kerangka atau susunannya. Lebih dari itu diatur pula (secara garis besar) prosedur pembentukan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, termasuk pengundangannya (yang mengundangkan adalah Menteri Kehakiman).
Upaya untuk menetapkan adanya jenis-jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut kemudian dilanjutkan setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dengan surat Presiden kepada Ketua DPR tanggal 20 Agustus 1959 No.2262/HK/59 ditetapkan jenis-jenis peraturan perundang-undangan sebagai berikut (selain yang sudah ditetapkan dalam UUD 1945):
  1. Penetapan Presiden untuk melaksanakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
  2. Peraturan Presiden, yaitu:
a. yang didasarkan pasal 4 ayat (1) UUD 1945,
b. untuk melaksanakan Penetapan Presiden.
  1. Peraturan Pemerintah (kemudian dihapus)
  2. Keputusan Presiden.
  3. Peraturan Menteri.
  4. Keputusan Menteri

Selain itu keberadaan peraturan perundang-undangan di tingkat Daerah masih tetap dipertahankan.
Menurut A Hamid S Attamimi, kewenangan membentuk PENPRES bersumber kepada ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 dan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sedangkan kewenangan untuk membentuk PERPRES bersumber pada Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 dan PENPRES. Jadi, keberadaan PERPRES pada satu sisi bersumber langsung dari UUD 1945 dan pada sisi lain sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari PENPRES.
D.Perbedaan Jenis Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan Menurut Tap MPRS No.XX/MPRS/1966, Tap MPR No.III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004 Dan UU No. 12 Tahun 2011
Jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan selain berdasarkan ketentuan perundang-undangan tersebut di atas, pada perkembangan selanjutnya diatur dan ditetapkan dalam berbagai jenis, seperti dalam Ketetapan MPR(S) dan undang-undang. Jenis dan susunan peraturan perundang-undangan berdasarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966, TAP MPR No.III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004 dan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004), adalah sbb:
TAP MPRS NO.XX/MPRS/1966
TAP MPR NO.III/MPR/2000
UU NO. 10 TAHUN 2004

UU NO. 12 TAHUN 2011
          Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945,
          Ketetapan MPR,
          Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang,
          PeraturanPemerintah,
          Keputusan Presiden,
          Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainnya, seperti:
-       Peraturan Menteri
-       Instruksi Menteri
-       Dan  lain lainnya.

1.     Undang-Undang Dasar 1945;
2.     Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia;
3.     Undang-undang;
4.     Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perpu);
5.     Peraturan Pemerintah;
6.     Keputusan Presiden;
7.     Peraturan Daerah.

      a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
      b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
      c. Peraturan Pemerintah;
      d. Peraturan Presiden;
      e. Peraturan Daerah.

        a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
        b. Ketetapan MPR
        c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
        d. Peraturan Pemerintah;
        e. Peraturan Presiden;
        f. Peraturan Daerah Provinsi;
        g. Peraturan Daerah
            Kabupaten/Kota

Perlu diberi catatan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 8 UU No.12 Tahun 2011 selain jenis peraturan perundang-undangan yang termuat pada tata urutan tersebut di atas masih diakui keberadaannya jenis-jenis peraturan yang ditetapkan oleh:
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ataudibentuk berdasarkan kewenangan.Namun demikian, pembentuk undang-undang merasa kesulitan untuk menempatkan peraturan-peraturan tersebut dalam tata urutan tersebut.Memang merupakan pekerjaan yang sangat sulit dan bahkan mustahil, untuk menempatkan peraturan-peraturan dalam urutan yang sistematis-limitatif.

A Hamid S Attamimi secara konsekuen  “melepaskan” UUD dan Ketetapan MPR dalam pengertian peraturan perundang-undangan, sehingga urutan peraturan perundang-undangan tersebut dimulai dari Undang-undang/PERPU.
Upaya A Hamid S Attamimi di atas untuk membuat tata susunan peraturan perundang-undangan dapat dikatakan tidak berhasil karena tidak tuntas atau mengalami jalan buntu. Hal itu pun dibuktikan oleh pembentuk UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 10 Tahun 2004. Dalam Pasal 7 ayat (1) disusun tata urutan peraturan perundang-undangan, kemudian dilengkapi dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) yang merinci tentang Peraturan Daerah. Akan tetapi Pasal 7 ayat (4) masih mengakui keberadaan jenis-jenis yang lain. Hal senada diungkap pula dalam ketentuan Pasal 54 yang menyatakan:
“Teknik penyusunan dan/atau bentuk Keputusan Presiden, Keputusan Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah, Keputusan Ketua Mahkamah Agung, Keputusan Ketua Mahkamah Konstitusi, Keputusan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan, Keputusan Gubernur Bank Indonesia, Keputusan Menteri, keputusan kepala badan, lembaga, atau komisi yang setingkat, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Keputusan Gubernur, Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Keputusan Bupati/Walikota, Keputusan Kepala Desa atau yang setingkat harus berpedoman pada teknik penyusunan dan/atau bentuk yang diatur dalam Undang-Undang ini.”
Menurut ketentuan Pasal 56 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, semua produk hukum yang ada yang dibentuk sebelum UU No. 10 Tahun 2004, berupa “keputusan” harus dibaca “peraturan”. Secara lengkap rumusan ketentuan Pasal 56 tersebut adalah sbb: “Semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/walikota, atau keputusan pejabat lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 yang sifatnya mengatur, yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku, harus dibaca peraturan, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.”
Baik yang diuraikan oleh A Hamid S Attamimi maupun yang dirumuskan dalam UU No.10 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ternyata bahwa betapa sulitnya (bahkan mustahil) menyusun tata susunan/urutan jenis peraturan perundang-undangan secara lengkap, sistematis dan tuntas. Barangkali, pendapat Hans Kelsen sebagaimana diuraikan dalam bukunya yang berjudul General Theory of Law and State (terjemahan), mengupas  mengenai perbedaan antara legislasi dan regulasi, sebagai  suatu “solusi” untuk membedakan atau mengelompokan peraturan perundang-undangan antara “legislasi” dan “regulasi”. Tanpa harus membuat susunan secara runtut dan jelimet.
------------------------



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...