Kamis, 17 Mei 2018

WAJIBKAH UNDANG-UNDANG DASAR 1945 DIUNDANGKAN?




WAJIBKAH UNDANG-UNDANG
DASAR 1945 DIUNDANGKAN?

Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja


A.   PENDAHULUAN
Pada jaman Hindia Belanda peraturan perundang-undangan diundangkan (afgekondigd atau afkondiging) dalam Staatsblad van Nederlands-Indie yang dalam bahasa Indonesia dialihbahasakan menjadi Lembaran Negara. Selain lembaran negara dikenal pula Tambahan Lembaran Negara (dalam bahasa Belanda disebut Bijblad op het Staatsblad). Peraturan-peraturan yang diundangkan adalah peraturan yang mengikat secara umum (algemene bindende voorschriften), yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, seperti Undang-undang dan Peraturan Pemerintah (ordonnantie dan regeringsverordening).  Penjelasan dari Undang-undang dan atau Peraturan Pemerintah diundangkan dalam Tambahan Lembaran Negara. Praktik pengundangan yang dilakukan sejak jaman Hindia Belanda dilanjutkan oleh Pemerintah Republik Indonesia hingga sekarang.

Dimana ketentuan mengenai pengundangan atau pengumuman tersebut diatur? UUD 1945, baik UUD 1945 asli maupun dalam UUD 1945 Perubahan, tidak mengatur hal tersebut. Ketenuan tentang pengundangan peraturan perundang-undangan (khususnya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah) ditemukan dalam Pasal 1 AB (Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesie/Ketentuan-ketentuan Umum tentang Peraturan Perundang-undangan untuk Indonesia) sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1847 No. 23 dan Pasal 95 Indische Staatsregeling (disingkat IS) sebagaimana dimuat dalam Staatsblad 1925 No.415. IS tersebut dikeluarkan sebagai pengganti Regerings  Reglement atau lengkapnya disebut Reglement op het beleid der Regering van Nederlandsche Indie (disingkat RR) yang dimuat dalam Staatsblad 1854 No. 2. RR maupun IS merupakan undang-undang dasar Hindia Belanda.1 Jadi, pada jaman Hindia Belanda, UUD diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad). Setelah proklamasi ketentuan mengenai pengundangan tersebut diatur dalam:
  1. Peraturan Pemerintah No.1 Tahun 1945 tentang Pengumuman dan berlakunya Peraturan Pemerintah RI,
  2. Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1949 tentang Mengumumkan Undang-undang Federal,
  3. Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1950 tentang Penerbitan Lembaga Negara RIS dan Berita Negara RIS dan tentang Mengeluarkan, Mengumumkan dan mulai berlakunya Undang-undang Federal dan Peraturan Pemerintah , yang ditetapkan sebagai Undang-Undang Federal dalam Lembaran Negara Tahun 1950 No. 32,
  4. Pasal 142 Konstitusi RIS 1949,
  5. Pasal 100 UUDS 1950,
  6. Keppres No.188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU,
  7. Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan jo. Undang-undang No.10 Tahun 2004
Dari semua ketentuan perundang-undangan tersebut umumnya materi yang diundangkan hanyalah berkisar antara Undang-undang dan Peraturan Pemerintah. Hanya dalam Undang-undang No.12 Tahun 2011, Pasal 81 sampai Pasal 83 yang merinci jenis-jenis  peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, Tambahan Berita Negara, dan Lembaran Daerah serta Berita Daerah. Lalu, apakah Undang-Undang Dasar (1945) wajib diundangkan? Bila, “ya” dimana Undang-Undang Dasar 1945 tersebut diundangan dalam Lembaran Negara atau Berita Negara?

B. PENGALAMAN SEJARAH PENGUNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945 yang pernah berlaku untuk pertama kalinya dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 19492 pernah dimuat dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 tertanggal 15 Pebruari 1946. Jadi kurang lebih enam bulan setelah ditetapkan oleh PPKI. Kemudian sejak tanggal 27 Desember 1949 hingga 17 Agustus 1950 berlaku Konstituri RIS 1949. Kehadiran Konstitusi RIS 1949 sebagai hasil pembicaraan dalam beberapa pertemuan antara wakil-wakil RI, wakil-wakil negara-negara bagian dan pemerintah Belanda yang diwakili oleh BFO, dan terakhir dilanjutkan dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag tanggal 23 Agustus hingga 29 Oktober 1949.  Pengumuman Konstitusi RIS 1949 dimuat dalam Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1950 tertanggal 31 Januari 1950 dan diumumkan oleh Menteri Kehakiman tanggal 6 Pebruari 1950. Pada dictum “Memutuskan” dijelaskan sebagai berikut:

“Mengumumkan dengan menempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat:
  1. Piagam penanda tanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
  2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat”.3

Tidak diperoleh informasi, dalam Lembaran Negara RI tahun berapa dan nomor berapa Konstitusi RIS 1949 tersebut diundangkan. Dengan demikian menjadi pertanyaan, apakah ketentuan mengenai perintah mengumumkan dalam Keputusan Presiden No.48 Tahun 1950 tersebut dilakukan atau tidak. Dugaan sementara memperlihatkan bahwa hanya Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1950 itulah yang diumumkan/diundangkan dalam Lembaran Negara, yaitu Lembaran Negara Tahun 1950 No. 56 yang didalamnya terlampir rumusan Konstitusi (Sementara) RIS 1949.

Konstitusi RIS 1949 tersebut diganti dengan UUD 1950 pada tanggal 17 Agustus 1950. Jadi Konstitusi RIS 1949 hanya berlaku selama kurang lebih 8 bulan. Pergantian Konstitusi RIS 1949 oleh UUDS 1950 dilakukan melalui Undang-undang No.7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 56).4  Perubahan Konstitusi RIS 1949 menjadi UUDS 1950 dilakukan berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, maka sebenarnya yang diundangkan bukanlah UUDS  1950.5 UUDS 1950 berlaku sejak tanggal 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959.  Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali untuk kedua kalinya. Sebagaimana diketahui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden RI No.150 Tahun 1959 dan diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 1959 No. 75. Dalam Dekrit Presiden tersebut dilampirkan pula teks Undang-Undang Dasar 1945. Menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, teks atau rumusan Undang-Undang Dasar 1945 yang dicantumkan dalam Berita Negara RI Tahun II No. 7 berbeda dengan yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara RI dan dipergunakan sebagai Bahan Penataran P4.6 Dalam hal ini rumusannya berbeda dengan yang dimuat dalam lampiran Dekrit Presiden 5 Juli 1959.7

Dari praktik ketatanegaraan tersebut diatas, ternyata bahwa hanya UUD 1945 yang berlaku pada 17 Agustus 1945 hingga 29 Desember 1949 yang dmuat dalam Berita (Negara?) Republik Indonesia Tahun II No. 7, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 dan UUD 1945 yang diberlakukan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak secara emplisit dimuat dalam Lembaran Negara RI atau Berita Negara RI. Pemuatan UUD 1945 yang diberlakukan melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hanyalah merupakan lampiran dari  Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut. Dekrit Presiden 5 Juli 1959  diwadahi dalam Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959. Dengan perkataan lain Keputusan Presiden itulah yang dimuat dalam Lembaran Negara RI No. 75 Tahun 1959, sedangkan pemuatan UUD 1945  hanya sebagai lampiran dari Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 tersebut.

C. PENGATURAN PERINTAH PENGUNDANGAN/PENGUMUMAN

Sudah dapat dipastikan bahwa dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang pernah berlaku beberapa kali, termasuk yang telah diubah dari tahun 1999 hingga tahun 2002, demikian pula dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, tidak ada ketentuan yang mengharuskan undang-undang dasar diundangkan dalam Lembaran Negara RI atau dalam Berita Negara RI.  Pengundangan atau pengumuman peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara, Tambahan Lembaran Negara, Berita Negara, Lembaran Daerah dan Berita Daerah, lebih banyak didasarkan kepada tradisi atau praktek-praktek yang telah dilakukan sejak jaman Hindia Belanda. Dasar logikanya adalah perberlakuakn “fiksi hukum” dan sifat pemaksaan hukum. Setiap orang dianggap mengetahui undang-undang (dalam arti materil), dan setiap orang terikat pada undang-undang sejak undang-undang tersebut dinyatakan berlaku”.8 Tanpa perberlakuan fiksi hukum tersebut orang akan berkelit atau berdalih bahwa dia tidak mengetahui peraturan hukum tersebut, apabila dia dituduh dan atau didakwa telah melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Hal itu akan sangat berbahaya, bagi penegakan hukum (law enforcement). Jadi lebih tertuju kepada penerapan sanksi (khususnya sanksi pidana, keperdataan  dan atau sanksi adminsitrasi) atas larangan dari suatu ketentuan perundang-undangan.
        
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa pengundangan peraturan perundang-undangan sudah dimulai sejak jaman penjajahan Hindia Belanda sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 Algemene Bepalingan van Wetgeving voor Indonesie (AB) dan Pasal 95 Indische Staatsregeling (IS), yang masing-masing menyatakan:

De bepalingen door den Koning, of, in zijnen naam, door den Gouvernueur-Generaal vasgesteld, verkrijgen in Indonesie kracht van wet door hare afkondiging, in den vorm bepaald bij het reglement op het beleid der regering (Pasal 1 AB).

De algemeene verordeningen (regeeringsverordeningen, ordonanntie, algemeene maatregelen van bestuur en wetten) worden door den Gouverneur-Generaal afgekondigd en door den algemeene secretaries of een der governments-secretarissen gewaarmerkt. (Pasal 95 (1) IS).

Die afkondiging wordt gerekend geshied te zijn door plaatsing in het Staatsblad van Nederlansche Indie. Zij is, ingeldingen vorm geschied, de eenige voorwaarde der verbinbaarheid.(Pasal 95(2) IS).

Setelah kemerdekaan rumusan semacam itu diteruskan dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1945 tertanggal 10 Oktober 1945 pasal 1nya menyatakan: Segala Undang-Undang dan Peraturan Presiden diumumkan oleh Presiden dan ditandatangani oleh Sekretaris Negara.”
Menurut rumusan-rumusan tersebut, baik AB, IS maupun Peraturan Pemerintahan No. 1 Tahun 1945, ternyata hanya Undang-undang dan Peraturan Presiden (istilah dalam AB dan IS adalah regeeringsverordeningen, ordonanntie, dan algemeene maatregelen van bestuur en wetten) yang wajib diundangkan/diumumkan, peraturan perundang-undangan lain, khususnya Undang-undang Dasar, tidak diharuskan/diwajibkan.

Kemudian dengan berlakunya Konstitusi RIS 1949 maka ketentuan Pasal 143 yang menjadi dasar tentang keharusan mengadakan pengumuman. Pasal tersebut menyebutkan:
(1)   Undang-undang Federal mengadakan aturan-aturan tentang mengeluarkan, mengumumkan dan mulai berlakunya Undang-undang Federal dan Peraturan Pemerintah.
(2)   Pengumuman terjadi dalam bentuk menurut undang-undang adalah syarat tunggal untuk mempunyai kekuatan mengikat.

Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut maka dikeluarkan Undang-undang Darurat No. 2 Tahun 1950 yang kemudian dijadikan Undang-undang Federal (Lembaran Negara Tahun 1950 No. 32). Pasal 1-nya menyebutkan: Pemerintah menerbitkan Lembaran Negara Republik Indonesia Serikat dan suatu Berita Negara Republik Indonesia Serikat”. Dalam Pasal 3 ditetapkan materi apa yang dimuat dalam Lembaran Negara dan yang dimuat dalam Berita Negara. Rumusan Pasal 3 menyatakan: Dalam selembar Lembaran Negara tersendiri dimuat sebagai pengumuman tiap-tiap Undang-Undang Federal dan tiap-tiap Peraturan Pemerintah. Dalam Berita Negara dimuat peraturan mengenai hal-hal yang dengan Undang-Undang Federal atau dengan Peraturan Pemerintah diserahkan kepada alat perlengkapan Republik Indonesia Serikat lain, dan juga surat-surat lain yang harus ataupun dianggap perlu atau berguna disiarkan dalam Berita Negara.

Mengenai jenis peraturan perundang-undangan yang diumumkan (istilah yang resmi dipakai adalah “diumumkan” bukan “diundangkan”), secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 5 yang berbunyi:

Undang-Undang Federal dan Peraturan Pemerintah, setelah ditandatangani oleh Presiden dan ditandatangani serta oleh Menteri yang bersangkutan, diumumkan oleh Presiden. Menteri tersebut mengirimkan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah itu kepada Menteri Kehakiman, yang menyelenggarakan dengan segera termuatnya dalam Lembaran Negara. Jikalau diperlukan penandatanganan serta oleh lebih dari satu Menteri, maka pengiriman itu dilakukan oleh Menteri yang terakhir menandatanganinya.”

Dari rumusan Undang-Undang Federal tersebut dapat ditarik beberapa simpulan, yaitu:
  1. Hanya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang diumumkan;
  2. Istilah yang dipakai secara resmi adalah “diumumkan”, bukan “diundangkan”;
  3. Media tempat mengumumkannya adalah Lembaran Negara dan Berita Negara.
  4. Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah dimuat dalam Lembaran Negara, sementara dalam Berita Negara dimuat peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh alat perlengkapan negara lain yang mendapat pendelegasian dari Undang-Undang Federal atau Peraturan Pemerintah.
  5. Berita Negara memuat surat-surat lain yang dianggap perlu atau berguna untuk dimuat disiarkan (tidak jelas apa yang dimaksud dengan surat-surat lain tersebut).
Tidak ada keterangan mengenai pemuatan Penjelasan Undang-undang dan atau Penjelasan Peraturan Pemerintah dalam Tambahan Lembaran Negara.
Sebagaimana disinggung di muka, dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1950 (LN Tahun 1950 No. 56), Konstitusi RIS 1949 diubah menjadi UUDS 1950.  Ketentuan Pasal 143 Konstitusi RIS 1949 diubah menjadi Pasal 100 UUDS 1950, yang substansinya adalah sama. Pasal 100 tersebut menyatakan:

(1)        Undang-undang mengadakan aturan-aturan tentang membentuk, mengundangkan dan mulai berlakunya undang-undang dan peraturan-peraturan Pemerintah.
(2)        Pengundangan, terjadi dalam bentuk menurut undang-undang adalah syarat tunggal untuk kekuatan mengikat.

Pelaksanaan ketentuan pasal tersebut ternyata masih mengacu kepada Undang-undang No. 2 Tahun 1950. Dan hal itu terus berlaku hingga keluarnya Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1970 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU dan RPP-RI. Dalam Inpres tersebut tidak diatur mengenai pengundangan. Hal tersebut terurai dalam bagan prosedur penyelesaian RUU/RPP dan Proses Pembentukan UU/PP yang dikeluarkan oleh Sekretariat Negara sebagai lampiran dari Inpres No. 15 Tahun 1970 tersebut. Dalam bagan tersebut tergambar adanya pengundangan untuk undang-undang dan Peraturan Pemerintah setelah disahkan  oleh Presiden, yang dilakukan oleh Sekretaris Negara sebagai instansi yang berwenang mengundangkan Undang-undang  dan Peraturan Pemerintah. Kewenangan Sekretaris Negara mengundangkan peraturan-peraturan tersebut didasarkan kepada Keputusan Presiden No. 234 Tahun 1960 yang mengembalikan tugas pengundangan/pengumuman dari Menteri Kehakiman kepada Sekretaris Negara.9
         
Dalam perkembangannya, maka pengundangan suatu peraturan perundang-undangan itu diletakkan dalam suatu Lembaran Negara Republik Indonesia (LN), sedangkan peraturan perundang-undangan yang harus diundangkan dalam Lembaran Negara tersebut adalah Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU), dan Peraturan Pemerintah. Di samping ketiga peraturan perundang-undangan tersebut maka terhadap Keputusan-keputusan Presiden tertentu, seperti Keputusan Presiden mengenai Ratifikasi Perjanjian Internasional juga diundangkan di dalam Lembaran Negara.  Pengundangan  Penjelasan peraturan perundang-undangan tersebut diletakkan di dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.10
        
Instruksi Presiden No.15 Tahun 1970 tersebut dinyatakan tidak berlaku sejak diberlakukannya Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, yaitu tanggal 29 Oktober 1998.11 Menteri Sekretaris Negara mengundangkan Undang-undang tersebut dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara (Pasal 26 ayat (3)). Tidak ada keterangan tentang keharusan pemuatan Penjelasan Undang-undang dan penempatannya dalam Tambahan Lembaran Negara. Hal tersebut diserahkan kepada atau mengikuti praktek yang berlaku. Satu hal yang perlu diberi catatan berkaitan dengan Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998 tersebut, adalah mengenai ketentuan yang mengatur tentang Peraturan Pemerintah. Sebagaimana dimaklumi, materi yang diatur dalam Inpres No.15 Tahun 1970 tidak hanya mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang tetapi juga mengenai tata cara mempersiapkan rancangan Peraturan Pemerintah. Dengan dinyatakan tidak berlakunya Instruksi Presiden No. 15 Tahun 1970 tersebut, apakah tata cara mempersiapkan rancangan Peraturan Pemerintah juga dinyatakan tidak berlaku? Lalu, peraturan yang mana yang dijadikan acuan untuk mempersiapkan rancangan Peraturan Pemerintah? Bukankah Keputusan Presiden No.188 Tahun 1998 hanya mengatur mengenai  tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang? Dapatkah dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam Inpres No. 15 Tahun 1970 sepanjang mengenai tata cara mempersiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah masih diakui keberadaannya? Sebuah kekeliruan yang seharusnya tidak perlu terjadi!
        
Sejalan dengan semangat reformasi di bidang hukum, dilakukan perubahan-perubahan ketentuan dalam konstitusi/undang-undang dasar. Secara yuridis konstitusional terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang. Semula kekuasaan membentuk undang-undang berada pada Presiden (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 asli. Kemudian dalam UUD 1945 baru, Pasal 20 ayat (1) ditetapkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Namun, ayat berikutnya (ayat 2) menyatakan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Bila demikian halnya maka kekuasaan membentuk undang-undang tidak semata-mata dipegang oleh DPR! Ketentuan mana yang harus jadi pegangan? Dalam hal ini harus digunakan penafsiran sistematik, yaitu bahwa ketentuan yang dirumuskan terakhirlah yang menjadi pegangan. Hal iitu pun dilakukan dalam praktek.
         
Lepas dari permasalahan di atas, hal yang berkaitan dengan tata cara pembentukan undang-undang akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang (Pasal 22A UUD 1945 Amandemen Kedua).  Sebagai realisasi dari perintah Pasal 22A UUD 1945  tersebut, dikeluarkan Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.12 Undang-undang tersebut dengan tegas menggunakan istilah pengundangan bukan pengumuman. Yang dimaksud dengan pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara RI, Tambahan Lembaran Negara RI, Berita Negara RI, Tambahan Berita Negara RI, Lembaran Daerah dan Berita Daerah (Pasal 1 angka 11). Hal-hal yang berkaitan dengan pengundangan dan jenis-jenis serta siapa yang mengundangkan peraturan perundang-undangan tersebut (khususnya peraturan perundang-undangan tingkat pusat) adalah sebagai berikut:

Pasal 3
(1)   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang-undangan.
(2)   Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(3)   Penempatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tidak merupakan dasar pemberlakuannya.

Penjelasan Pasal 3
Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hokum dasar negara merupakan sumber hokum bagi Pembentukan Peraturan Perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar.

Ayat (2) Cukup jelas.

Ayat (3) Ketentuan ini menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berlaku sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Pasal 4
Peraturan Perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-undang ini meliputi Undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.

Penjelasan Pasal 4
Yang diatur lebih lanjut dalam Undang-undang ini hanya Undang-undang ke bawah, mengingat Undang-Undang Dasar tidak termasuk kompetensi pembentuk Undang-undang.

Pasal 45
Agar setiap orang mengetahuinya, Peraturan Perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:
  1. Lembaran Negara Republik Indonesia;
  2. Berita Negara Republik Indonesia;
  3. Lembaran Daerah; dan
  4. Berita Daerah.
Penjelasan Pasal 45
Dengan diundangkan Peraturan Perundang-undangan dalam lembaran resmi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini maka setiap orang dianggap telah mengetahuinya.

Pasal 46
(1) Peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi:
a.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
b.    Peraturan Pemerintah;
c.    Peraturan Presiden mengenai:
1)   pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan
2)   pernyataan keadaan bahaya.
d.    Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2) Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 47
(1)     Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
(2)     Tambahan Berita Negara Republik Indonesia memuat penjelasan Peraturan Perundang-undangan yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 48
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia atau Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dilaksanakan oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan.
Penjelasan Pasal 46, 47 dan 48: Cukup jelas

D.   FUNGSI DAN TUJUAN PENGUNDANGAN/PENGUMUMAN

Dengan mengutip pengertian-pengertian dalam kamus hukum (Rechtsgeleerd Handwoordenboek; Black’s Law Dictionary) A Hamid S Attamimi membedakan pengertian “pengundangan” (afkondiging, promulgation) dan “pengumuman” (publicatie, publication), sebagai berikut:
Afkondiging   : ter openbare bekendmaking, voor onder scheidene over heidshandelingen voorgeschreven en wet veal op strafe van nietigheid (pemberitahuan kepada umum, ditetapkan terhadap tindakan-tindakan pemerintah tertentu, sebagian dengan snksi pidana).
Publicatie         :  bekendmaking, openbaarmaking (pengumuman, membuat     sesuatu terbuka untuk umum atau diketahui oleh umum).
Promulgation   :  The order given to cause a law to be executed, and to make it public; it differs from publication (perintah yang diberikan agar suatu undang-undang diberlakukan dan diumumkan; promulgation berbeda dengan publication).
Publication    :  to make public; to make know to people in general; to bring before public (mengumumkan kepada rakyat banyak; membawa kepada khalayak ramai).13

“Pengundangan ialah pemberitahuan secara formal suatu peraturan negara dengan penempatannya dalam suatu penerbitan resmi yang khusus untuk maksud itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pengumuman ialah pemberitahuan secara material suatu peraturan negara kepada khalayak ramai dengan tujuan utama mempermaklumkan isi peraturan tersebut seluas-luasnya.”
Tujuan pengundangan ialah agar secara formal setiap orang dapat dianggap mengenali peraturan negara (een ieder wordt geacht de wet te kennen), agar tidak seorangpun berdalih tidak mengetahuinya (opdat niemand hiervan onwetendheid voorwende), dan agar ketidaktahuan seseorang akan peraturan hokum tersebut tidak memaafkannya (ignorantia iuris neminem excusat).
Tujuan pengumuman ialah agar secara material sebanyak mungkin khalayak ramai mengetahui peraturan negara tersebut dan memahami isi serta maksud yang terkandung di dalamnya”.14
      
Dengan demikian maka “pengundangan” berkaitan dengan pemberlakukan dan daya mengikat, kadang kala berkaitan dengan sanksi pidana (op strafe van nietigheid) atau memberikan beban kepada masyarakat. Sementara dengan “pengumuman” dimaksudkan hanya untuk diketahui khalayak ramai sebagai suatu permakluman isi peraturan hukum tersebut. Oleh karena isi UUD tidak dimaksudkan untuk memberikan beban kepada masyarakat dan tidak memuat sanksi pidana, maka cukup diumumkan saja (openbaarmaking). Sangat beralasan mengapa UUD 1945 hanya dimuat dalam Berita (Negara) Republik Indonesia, tidak dimuat dalam Lembaran Negara.
      
Pada sisi lain, substansi UUD pada umumnya hanya mengatur mengenai pembagian dan pembatasan tugas dari badan-badan kenegaraan (the constitution prohibitions  against  the organs of the legislative, executive and judicial powers).15 Dalam hampir semua UUD (konstitusi) negara-negara yang ada di dunia, ketentuan hukum di dalamnya yang berkaitan dengan hak, tugas, wewenang dan kewajiban badan-badan kenegaraan. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban warga negara, misalnya, hanya ditetapkan secara “garis besar”, bersifat fundamental. Rincian lebih lanjut, termasuk pembebanan kewajiban dan sanksi pidana, diatur dalam undang-undang organik. Terhadap Undang-undang tersebut wajib diundangkan dalam Lembaran Negara (Bijblad, Gazette). Jadi, UUD hanya berisi pembagian tugas dan wewenang yang hanya mengikat bagi badan-badan kenegaraan, tidak ditujukan secara khusus bagi masyarakat (the constituion contains the prohibitions and commands addressed to the organs of the state not for the citizens). Tugas badan-badan negara untuk melaksanakan atau menyelenggarakan lebih lanjut ketentuan-ketentuan UUD (to execute the constitution).
     
Bagi negara-negara yang menempatkan UUD sebagai “the supreme law of the land” atau “the higher law of the land”, maka kedudukan UUD berada di atas undang-undang. Namun, bagi negara yang menempatkan UUD sederajat dengan undang-undang biasa, dimana pada umumnya undang-undang selalu  diundangkan, maka dengan demikikan maka UUD-pun secara “otomatis” diundangkan dalam “Gazette” atau “Bijblad”. Hal itu dilakukan seperti penetapan UUDS 1950. Wajar saja kalau UUD 1945 dan demikian pula Ketetapan MPR(S) tidak diundangkan. Bayangkan, jika UUD dan atau Ketetapan MPR(S), karena tidak diundangkan dianggap tidak sah atau batal demi hukum (van rechtswegenietig). Sebagaimana dimaklumi telah sekian banyak Ketetapan MPR(S) yang ditetapkan dianggap tidak sah. Apakah dapat diterima akal sehat jika semua Ketetapan MPR(S), misalnya ketetapan tentang pengangkatan Presiden RI dan Wakil Presiden RI, dinyatakan tidak sah?
      
Doktrin pun mengajarkan kepada kita bahwa dasar berlakunya suatu kaidah hukum tidak selalu didasarkan kepada paksaan penguasa (Machttheorie/the Power Theory) tetapi juga dapat berlaku berdasarkan penerimaan dari masyarakat (Anerkennungstheorie/the Recognition Theory).16 Penerimaan terhadap UUD 1945 asli maupun UUD Amandemen sudah tidak disangsikan lagi. Keikutsertaan masyarakat dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, pemilihan umum anggota DPD, dan penerimaan putusan-putusan dari Mahkamah Konstitusi sebagai tatanan baru dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia, adalah sebuah bukti yang tidak dapat disangkal akan pengakuan terhadap aturan hukum ketatanegaraan yang baru. Sejarah membuktikan bahwa ketentuan-ketentuan ketatanegaraan yang (pernah) berlaku di Indonesia tidak sebatas apa yang tersurat dalam UUD, praktek ketatanegaraan yang berjalan diakui dan diterima baik oleh para penyelenggara negara maupun oleh masyarakat.

E. ANALISIS TERHADAP KETENTUAN HUKUM POSITIP


Dari uraian pada butir C di atas, ternyata bahwa penempatan UUD dalam Lembaran Negara belum pernah dilakukan. UUD 1945 sendiri diumumkan dalam Berita (Negara?) Republik Indonesia Tahun II No. 7 tertanggal 15 Pebruari 1946. Pernyataan berlakunya Konstitusi RIS 1949 dimuat dalam Keputusan Presiden No. 48 Tahun 1950 tertanggal 31 Januari 1950 dan naskah Konstitusi RIS 1949 disertakan sebagai lampiran. Sementara, kehadiran UUDS 1950 sebagai perubahan dari Konstitusi RIS 1949 dilakukan melalui Undang-undang No.7 Tahun 1950 (Lembaran Negara RI Tahun 1950 No. 56).   Hal itu dilakukan karena Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 tidak berkedudukan sebagai “the Supreme Constitution” (UUD derajat tinggi), karena perubahan UUD dilakukan dengan undang-undang.
       
Berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dilakukan dengan keluarnya Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959 (Lembaran Negara RI Tahun 1950 No. 75), naskah UUD 1945 dilampiran dalam keputusan Presiden tersebut. Dengan demikian tidak dapat diartikan bahwa pengundangan UUD 1945 dilakukan melalui lembaran negara, karena yang diundangkan adalah Keputusan Presiden No. 150 Tahun 1959. Setelah MPR terbentuk tahun 1972, sebagai hasil Pemilihan Umum Tahun 1971, pada persidangan-persidangan tahun 1973 tidak pernah ada pernyataan dari MPR untuk menetapkan UUD 1945 sebagai undang-undang dasar tetap. Demikian pula MPR yang mengadakan sidang tahun 1978, 1983, 1988; bahkan sesudah melakukan persidangan-persidangan pada waktu melakukan perubahan-perubahan UUD 1945.  Sebagaimana dimaklumi, perubahan UUD 1945 pertama hingga keempat pun, yang dituangkan dalam naskah Perubahan Pertama, Perubahan Kedua, Perubahan Ketiga dan Perubahan Keempat UUD Negara Republik Indonesia, yang ditandatangani oleh Ketua dan Wakil-wakil Ketua MPR, seperti halnya Ketetapan-ketetapan MPR tidak pernah ada tindakan memuat dalam Lembaran Negara RI. Meskipun demikian, perubahan-perubahan tersebut pada bagian penutupnya diakhiri dengan frase atau kata-kata sebagai berikut:

Penutup Perubahan Pertama
Naskah perubahan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-12 tanggal 19 Oktober 1999 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
                                                        Ditetapkan di Jakarta
                                                        Pada tanggal 19 Oktober 19999

Penutup Perubahan Kedua

                                                        Ditetapkan di Jakarta
                                                        Pada tanggal 18 Agustus 2000

Penutup Perubahan Ketiga

Naskah perubahan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 9 Nopember 2001 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

                                                       Ditetapkan di Jakarta
                                                       Pada tanggal 9 Nopember 2001

Penutup Perubahan Keempat

Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-6 (lanjutan) tanggal 19 Agustus 2002 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
                                                      Ditetapkan di Jakarta
                                                      Pada tanggal 10 Agustus 2002

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Naskah Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 ditetapkan dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan oleh MPR. Dengan demikian MPR telah melaksanakan ketentuan Pasal 3 UUD 1945, meskipun hanya mengenai perubahannya saja. Masalahnya, mengapa tidak diundangkan dan perlukah putusan-putusan MPR diundangkan?
      
Praktek ketatanegaraan Indonesia, sejak dikeluarkannya Ketetapan MPRS No. I tahun 1960 hingga Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 ternyata bahwa dalam diktum terdapat kata-kata “Memutuskan” dan “Menetapkan”. Hal itu menggambarkan bahwa materi yang diatur dalam Ketetapan MPR(S) dan juga Keputusan MPR(S), “ditetapkan” oleh MPR sebagai aturan yang sah dan berlaku. Baik berlaku untuk umum atau ditujukan kepada seseorang tertentu (misalnya Pengangkatan Presiden dan atau Wakil Presiden Republik Indonesia). Semuanya tidak pernah dianggap tidak sah (void). Jika karena dengan alasan tidak diundangkan dalam Lembaran Negara dan dianggap tidak sah serta tidak mengikat, maka semua putusan MPRS sejak tahun 1960 hingga putusan MPR sekarang adalah tidak sah. Jika pola pikir semacam ini diterapkan, maka dengan demikian  selama kurun waktu tersebut tidak pernah ada pemerintahan, dan sudah barang tentu tidak ada Negara Republik Indonesia. Pemikiran demikian  mengingkari  kenyataan.
       
Bagaimana halnya dengan ketentuan normatif yang dimuat dalam Pasal 3 ayat (2) dan (3) Undang-undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan?. Doktrin mengajarkan bahwa suatu kaidah harus mempunyai dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding). Dalam hal ini pembentuk peraturan perundang-undangan harus memiliki kewenangan baik secara formal maupun secara material. Secara material, Undang-undang No.10 Tahun 2004 merupakan undang-undang organik (organiek wet), yaitu “diperintahkan” oleh Pasal 22A Undang-Undang Dasar 1945. Secara “autentiek interpretatie”, Undang-undang No.12 Tahun 2011 hanya dapat mengatur tentang pembentukan undang-undang,   tidak dapat dibenarkan mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan lain, termasuk (khususnya) mengatur hal-hal yang berkaitan dengan Undang Undang Dasar. Jika hal itu dilakukan berarti pembentuk Undang-undang telah melanggar Pasal 22A Undang-Undang Dasar 1945. Setidak-tidak ketentuan Pasal 3 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 dapat dibatalkan.  Undang-undang tidak dibenarkan mengatur materi muatan Undang-Undang Dasar, dalam hal ini tentang pengundangan Undang Undang Dasar 1945. Pembentuk undang-undang telah berbuat melebihi kewenangan (ultra petita) yang secara konstitusional diberikan kepadanya. Ketentuan dari undang-undang seharusnya mengacu kepada ketentuan Undang Undang Dasar, bukan sebaliknya. Hal itu pun menyimpang dari asas pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat serta asas kesesuaian antara jenis dan materi muatan.17 Pembentuk undang-undang tidak berwenang mengatur materi yang seharusnya diatur oleh pembentuk (yang menetapkan) undang-undang dasar.  Materi yang berkaitan dengan undang-undang dasar harus diatur dalam Undang-undang Dasar atau Ketetapan MPR. MPR-lah yang berwenang mengatur hal itu.

      
Pembentuk Undang-undang No. 12 Tahun 2011 menyadari hal itu, sebagaimana tersurat dalam ketentuan Pasal 4 dan Penjelasannya, yang menyatakan:

Pasal 4: Peraturan perundang-undangan yang diatur lebih lanjut dalam Undang-undang ini meliputi Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan di bawahnya.

Penjelasan Pasal 4:
Yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang ini hanya Undang-Undang ke bawah, mengingat Undang-Undang Dasar tidak termasuk kompetensi pembentuk Undang-Undang.

Menurut hemat penulis, ketentuan Pasal 3 bertentangan dengan ketentuan Pasal 4. Oleh karenanya UUD tidak perlu diatur dalam UU No.12 Tahun 2011 dan oleh karenanya UUD tidak harus diundangkan dalam Lembaran Negara. Toh, praktiknya hingga sekarang dalam Lembaran Negara nomor berapa tahun berapa UUD 1945 diundangkan? Jadi, ketentuan Pasal 3 UU No. 12 Tahun 2011 sebaiknya dihapuskan.

Sebenarnya bukan hanya itu, menurut hemat penulis pembentuk Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tidak berwenang mengatur selain Tata Cara Pembentukan Undang-Undang.  Pasal 22A Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Kedua, sebagaimana pernah disinggung di muka, tidak memberikan kewenangan untuk mengatur Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Bukankah pengertian Undang-Undang berbeda dengan pengertian peraturan perundang-undangan? Inilah salah satu materi yang perlu dicatat dalam melakukan  Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 selanjutnya.


Bandung 1 Maret 2007




















DAFTAR BACAAN

Amiroeddin Syarif, PERUNDANG-UNDANGAN, DASAR, JENIS DAN TEKNIK MEMBUATNYA, Bina Aksara, Jakarta, 1987.
A Hamid S Attamimi, PERANAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN NEGARA, disertasi, Pascasarjana Universitas Indonedia, Jakarta, 1990.
-----------------, TEORI PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA, SUATU SISI ILMU PENGETAHUAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA YANG MENJELASKAN DAN MENJERNIHKAN PEMAHAMAN, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 25 April 1992.
Bagir Manan, DASAR-DASAR PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA, Ind-Hill,Co, Jakarta, 1992.
Hans Kelsen, GENERAL THEORY OF LAW AND STATE, Russell & Russell, New York, 1973.
Kansil, CST, PRAKTEK HUKUM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA, Erlangga, Jakarta, 1983.
Maria Farida Indrati (Penuyusun), ILMU PERUNDANG-UNDANGAN, DASAR-DASAR DAN PEMBENTUKANNYA, Bagian Pertama dari Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, (Merupakan bahan yang disarikan dari perkuliahan Prof.Dr.A Hamid S Attamimi, SH), Sekretariat Konsosrsium Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1996.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, PERIHAL KAEDAH HUKUM, Alumni, Bandung, 1978.
Pringgodigdo, H.A.K, TIGA UNDANG-UNDANG DASAR, PT Pembangunan Jakarta, 1974.
Sri Soemantri Martosoewignjo, TINJAUAN TERHADAP TIGA UNDANG-UNDANGAN DASAR YANG BERLAKU DAN PERNAH BERLAKU DI INDONESIA, Penerbit Padjadjaran, Bandung, tanpa tahun.
-----------------, UNDANG-UNDANG DASAR 1945 KEDUDUKAN DAN ASPEK-ASPEK PERUBAHANNYA, Unpad Press, Bandung, 2002.
Usep Ranawidjaja, HUKUM TATA NEGARA INDONESIA, DASAR-DASARNYA, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
UUD 1945 ASLI
UUD 1945 Perubahan PERTAMA HINGGA KEEMPAT
UNDANG-UNDANG NO. 12 TAHUN 2011
Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998


1 Kancil, CST, Praktek Hukum Peraturan Perundangan di Indonesia, Erlangga, 1983, hlm 19
2 Sri Soemantri Martosoewignjo, Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang Dasar yang berlaku dan pernah berlaku di Indonesia,  Padjadjaran Press, Bandung, tanpa tahun, hlm 1.
3 Pringgodigdo HAK, Tiga Undang-Undang Dasar, cetakan keempat, PT Pembangunan, Jakarta, 1974 hlm 17
4 Ibid, hlm 18.
5 Diktum “Memutuskan” Undang-undang No.7 Tahun 1950 menyatakan:
   Menetapkan: Undang-undang tentang perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
PASAL 1
Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat diubah menjadi Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, sehingga naskahnya berbunyi sebagai berikut: dst.
6 Dalam konteks ini, Sri Soemantri Martosoewignjo tidak menjelaskan secara rinci Undang-Undang Dasar 1945 versi Sekretariat Negara yang dipakai sebagai Bahan Penataran P4 tersebut, tahun berapa dicetaknya?.
7 Lihat Sri Soemantri Martosoewignjo, op. cit., hlm 8 – 16.
8 Amiroeddin Syarif, Perundang-undangan, dasar, jenis dan teknik membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm 75-76.
9 Sebelumnya, berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1950, tugas menyelenggarakan pengundangan/pengumuman dilakukan oleh Menteri Kehakiman. Sementara, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1945, pengundangan/pengumuman peraturan perundang-undangan dilakukan oleh Sekretaris Negara, hanya saja pada waktu itu Sekretaris Negara tidak diberi predikat Menteri.
10 Pendapat A Hamid S Attamimi, yang dimuat dalam buku Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, disusun oleh Maria Farida Indrati, Sekretariat Konsorsium Ilmu Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1996, hlm 199-200.
11 Pasal 32 Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998.
12 Menurut hemat Penulis, UU No.10 Tahun 2004 telah menyimpang dari “perintah” Pasal 22A UUD 1945, karena menurut pasal tersebut undang-undang yang mengatur lebih lanjut hanyalah berkaitan dengan tata cara pembentukan undang-undang, bukan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Secara logika, materi dalam UU No.10 Tahun 2004-lah yang benar, tetapi secara normatif ketentuan Pasal 22A UUD 1945-lah yang harus diikuti.
13 Maria Farida Indarti, op.cit., hlm 196-197
14 ibid, hlm 197-198
15  Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & Russell, New York, 1973, hlm 263
16 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Alumni, 1978, hlm 117
17 Pasal 5 dan Penjelasannya UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...