Sabtu, 09 Juni 2018

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


WEWENANG MAHKAMAH AGUNG
MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh: Rosjidi Rangawidjaj

Pendahuluan

Perdebatan mengenai hak menguji peraturan perundang-undangan (khususnya hak menguji undang-undang) pernah terjadi pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Perdebatan antara Muhammad Yamin dengan Soepomo mengenai keberadaan atau perlu tidaknya hak menguji (material) diatur dalam undang-undang dasar 1945, terjadi ”cukup serius”. Muhammad Yamin pernah mengusulkan agar dalam UUD 1945  ditetapkan kewenangan untuk menguji peraturan undang-undangan  kepada Mahkamah Agung (Muhammad Yamin menyebutnya dengan istilah Balai Agung), namun usul tersebut ditolak oleh Soepomo.  Namun perdebatan tersebut tidak berlanjut, dan akhirnya ”dipending”.

Pemberian wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan pertama kali ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal itu diatur dalam  Pasal 26 yang menyatakan:

(1)  Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan-peraturan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
      Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 26 tersebut menyatakan:
Mahkamah Agung berhak untuk menguji peraturan yang lebih rendah dari Undang-undang mengenai sah tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak mengujinya berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung mengambil putusan suatu peraturan perundang-undangan dari tingkatan yang lebih rendah dari Undang-undang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Mahkamah Agung secara tegas menyatakan bahwa peraturan tersebut adalah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.  Pencabutan peraturan ini segera harus dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hak menguji Undang-undang dan peraturan pelaksanaan Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar sebagai fungsi pokok tidak terdapat pada Mahkamah Agung. Oleh karena Undang-undang Dasar 1945 tidak mengaturnya, maka tidak dengan sendirinya hak menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Agung dapat diletakkan dalam Undang-undang ini. Hak menguji tersebut apabila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharusnya merupakan ketentuan Konstitutionil. Demikian pula, MPR(S) hingga sekarang tidak menetapkan hak menguji oleh Mahkamah Agung. Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang-undang Dasar 1945 dan dalam Ketetapan MPR(S) yang dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari hubungan hukum antara alat perlengkapan Negara yang ada dalam Negara, berarti bahwa Undang-undang ini tidak dapat memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan hak menguji, apalagi secara materiil Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar. Hanya Undang-undang Dasar ataupun Ketetapan MPR(S) dapat memberikan ketentuan.
Dari rumusan Pasal 26 dan penjelasan UU No. 14 Tahun 1970 tersebut dapat disimpulkan bahwa:
a.    Hak menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Agung seharusnya merupakan ketentuan Konstitutionil, atau setidak tidaknya diatur dalam ketetapan MPR(S).
b.      Mahkamah Agung hanya berhak untuk menguji peraturan yang lebih rendah dari Undang-undang. Kongkritnya: Mahkamah Agung hanya berwenang menguji Peraturan Pemerintah ke bawah menurut tata urutan peraturan perundang-undangan.
c.       Putusan diambil pada tingkat kasasi.
d.      Putusan  mengenai   tidak sahnya suatu peraturan dan tidak berlaku untuk umum karena bertentangan  dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.
e.      Pencabutan peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut segera harus dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.  
Pada tahun 1978 MPR mengeluarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor III/MPR/1978  Tentang Kedudukan Dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara. Dalam Pasal 11 Ketetapan MPR tersebut ditetapkan:
(1)  Mahkamah Agung adalah Badan yang melaksanakan Kekuasaan Kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.
(2)  Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara.
(3)   Mahkamah Agung memberikan nasehat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi.
(4)  Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan-peraturan perundangan di bawah Undang-undang.
Ketentuan dalam ketetapan MPR tersebut pada dasarnya hanya mempertegas pemberian wewenang untuk menguji secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, sebagaima telah ditetapkan dalam UU No. 14 Tahun 1970.
UU NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 TENTANG PENGADILAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN MAHKAMAH AGUNG. Sebagai kelanjutan dari “perintah” UU Mo. 14 Tahun 1970, DPR bersama Pemerintah (Presiden) membentuk UU No. 14 Tahun 1986 tentang Mahkamah Agung. UU No. 14 Tahun 1986 menetapkan:
Pasal 31
 (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah ini Undang-undang
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah daripada Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 31
Ayat (1) Pasal ini mengatur hak menguji materiil Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berhak menguji peraturan yang lebih rendah daripada undang-undang mengenai sah atau tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya suatu peraturan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ayat (2) Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak menguji berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung mengambil putusan bahwa suatu peraturan perundang-undangan dari tingkatan yang lebih rendah daripada Undang- undang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan Mahkamah Agung secara tegas menyatakan bahwa peraturan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.
Bila dihayati secara seksama, apa yang dirumuskan dalam Pasal 31 UU No.14 Tahun 1985 isinya tidak berbeda dengan yang dirumuskan dalam UU No. 14 Tahun 1970.
UU NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Pasal 31
(1)    Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undangundang.
(2)  Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3)  Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4)  Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(5)  Putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Pasal 31A
(1)  Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan dengan jelas bahwa: 1)  materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundangundangan dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) c. hal-hal yang diminta untuk diputus. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang diatur oleh Mahkamah Agung.
UU NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Pasal 31A
(1) Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c. badan hukum publik atau badan hukum privat.
(3) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat: a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: 1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi; dan/atau 2. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
(4) Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
(5) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
(6) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
(7) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(8) Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus dimuat dalam Berita Negara atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
(9) Dalam hal peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
(10) Ketentuan mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung."
Pasal 24A (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga mengatribusikan wewenang kepada, yaitu: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkatan kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang  dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, diubah kembali dengan UUi Nomor 3 Tahun 2009 Tentang  Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985  Tentang Mahkamah Agung. Dalam perubahan undang-undang tersebut ditetapkan:
1.    Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Pasal 31A (1)   
2.    Permohonan  dimaksud hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
a.    perorangan warga negara Indonesia;
b.    kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
c.    badan hukum publik atau badan hukum privat.
3.    Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a.    nama dan alamat pemohon;
b.    uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: 1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi; dan/atau 2. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
c.    hal-hal yang diminta untuk diputus.
4.    Permohonan pengujian sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
5.    Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.  
6.    Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
7.    Dalam hal permohonan dikabulkan amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
8.    Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan harus dimuat dalam Berita Negara atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
9.    Dalam hal peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
10. Ketentuan mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dengan Peraturan Mahkamah Agung.
Dari uraian di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan bahwa Mahkamah Agung selain dapat menguji secara material juga dapat menguji secara formal, ditetapkannya adal legal standing, permohonan harus memuat hal-hal yang sangat jelas, ada batas waktu penyeledsaian permohonan oleh Mahkamah Agung, bahwa putusan MA harus dimuat dalam Berita Negara atau Berita Daerah paling lama 30 hari kerja sejak yanggal putusan diucapkan, mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Mahkamah Agung.Dalam hubungan ini Mahkamah Agung telah menetapan empat hukum acara, yaitu yang diatur dalam Perma No.1 Tahun 1993, No. 1 Tahun 1999,No. 1 Tahun  2004,dan No. 1 Tahun 2011.
Di bawah ini diuraikan secara matriks perbedaan dari keempat hukum acara yang diatur dalam peraturan-peraturan Mahkamah Agung tersebut.


Topik
Perma No. 1 - 1993
Perma No. 1 - 1999
Perma No. 1 - 2004
Perma No. 1 -2011

Penggugat/Pemohon
Tidak disebut
Penggugat adalah seseorang, badan hukum, kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah Agung.
(Pasal 1)
Pemohon Keberatan adalah kelompok masyarakat atau perseorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang (Pasal 1)
Pemohon Keberatan adalah kelompok masyarakat atau perseorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang.
(Pasal 1)
Tergugat/Termohon
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah mengeluarkan menerbitkan atau mengumumkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1)
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang digugat.(Pasal 1)
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1)
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1)
Tenggang waktu pengajuan gugatan/permohonan

   Gugatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. (Pasal 2 ayat 4)

Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.(Pasal 2)

Dicabut/ditiadakan (konsiderans menimbang)
Tata cara pengajuan gugatan/permohonan keberatan
a.  diajukan langsung ke Mahkamah Agung
b.   melalui Pengadilan tingkat pertama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat
(Pasal 1)
a.langsung ke Mahkamah Agung;
b.melalui Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.
(Pasal 5 ayat 4)
a.   Langsung ke Mahkamah Agung; atau
b.   Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon.
(Pasal 2)
a.     Langsung ke Mahkamah Agung; atau
b.     Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon.
(Pasal 2)
Putusan
Gugatan Hak Uji
a. Majelis Hakim peradilan tingkat pertama dan tingkat banding yang memeriksa dan memutuskan tentang gugatan Hak Uji Materiil itu, dapat menyatakan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak mempunyai akibat hukum dan tidak mengikat pihak-pihak yang berperkara.
b. Bila Majelis Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu beralasan, maka Majelis Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang digugat tersebut sebagai tidak sah karena bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(Pasal 3)
a.Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan dimaksud bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut.

b.Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang digugat tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan dengan segera pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan.
c. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu tidak beralasan, Majelis Hakim Agung menolak gugatan tersebut.
(Pasal 9)
a. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
b. Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.
c. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.
(Pasal 6)

Putusan Permohonan Keberatan Hak Uji
Tidak diatur
a.Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
b.Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan dengan segera pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan.
(Pasal 10)
Tidak diatur
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.
(Pasal 6)
Pelaksanaan Putusan
Gugatan Hak Uji Materiil

Tidak diatur
Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Tergugat, ternyata Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(Pasal 12)
Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan  peraturan perundang-undangan tersebut,  ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. (Pasal 8)

Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan  peraturan perundang-undangan tersebut,  ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.(Pasal 8)

Pemberitahuan Isi Putusan
Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung pada dua belah pihak atau salah satu dari padanya yang tidak hadir pada saat putusan diucapkan, dilakukan dengan perantaraan Pengadilan tingkat pertama setempat; (Pasal 4)
Pemberitahuan salinan putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan dan permohonan keberatan disampaikan dengan surat Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, pemberitahuan salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.
(Pasal 11)
Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim. (Pasal 7)

Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.
(Pasal 7)
Peninjau kembali
Terhadap putusan mengenai gugatan Hak Uji Materiil tidak dapat diajukan peninjauan kembali.(Pasal 5)
Terhadap putusan mengenai gugatan dan permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
(Pasal 14)

Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali. (Pasal 9)

Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali. (Pasal 9)


Catatan

(1)  Gugatan adalah tuntutan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara terhadap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan.
(2)  Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapat putusan.
(Perma No. 1 Tahun 1999)

Lampiran
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
------------------------------------
Nomor: 01 Tahun 2011

TENTANG
HAK UJI MATERIIL

KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
a.  Bahwa Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil menentukan bahwa: Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan;
b.  Bahwa pada dasarnya penentuan tenggat waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji Materiil adalah tidak tepat diterapkan bagi suatu aturan yang bersifat umum (Regelend) karena sejalan dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa, dirasakan telah bertentangan dengan perauran yang lebih tinggi dan tidak lagi sesuai dengan “hukum yang hidup (the living law) yang berlaku”;
c.   Bahwa oleh karena penentuan batas waktu 180 (Seratus delapan puluh) hari seperti disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) tersebut diatas, sudah seharusnya dihapuskan dan/atau dicabut dari materi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut. Namun demikian secara kasuistis harus dipertimbangkan kasus demi kasus tentang hak yang telah diperoleh para pihak-pihak yang terkait sebagai bentuk perlindungan hukum bagi mereka.
d.  Bahwa pencabutan dan/atau penghapusan tenggat waktu dimaksud sejalan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang tercantum dalam berbagai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia antara lain:
1.    Putusan Hak Uji Materiil Nomor 25 P/HUM/2006 tanggal 30 Agustus 2006;
2.    Putusan Hak Uji Materiil Nomor 41 P/HUM/2006 tanggal 21 Nopember 2006;
3.    Putusan Hak Uji Materiil Nomor 37 P/HUM/2008 tanggal 18 Maret 2009;
4.    Putusan Hak Uji Materiil Nomor 03 P/HUM/2011 tanggal 25 April 2011;
e.  Bahwa berhubung dengan hal tersebut dalam huruf c dan d, perlu pengaturan kembali Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.:
Mengingat:
1.    Pasal 24A Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahan-perubahannya;
2.    Pasal 20 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
3.    Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
4.    Pasal 31 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
5.    Hasil Keputusan Rapat Pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 19 Mei 2011 atas Memorandum Nomor 41/Td/TUN/V/2011 tanggal 9 Mei 2011.

Memperhatikan:
Pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang bersangkutan.

MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN: PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HAK UJI MATERIIL.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, yang dimaksud dengan:
(1)   Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
(2)   Peraturan perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah Undang-undang.
(3)   Permohonan Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan.
(4)   Pemohon Keberatan adalah kelompok masyarakat atau perseorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang;
(5)   Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan.

BAB II
TATA CARA PENGAJUAN
PERMOHONAN KEBERATAN
Pasal 2

(1)  Permohonan Keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara:
c.   Langsung ke Mahkamah Agung; atau
d.  Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon.
(2)  Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu peraturan perundang-undangan-yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
(3)  Permohonan Keberatan dibuat rangkat sesuai keperluan dengan menyebutkan secara jelas alasan-alasan sebagai dasar keberatan dan wajib ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah.
(4)  Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri.

Pasal 3
(1)   Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung, didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan menggunakan kode:..P/HUM/Th...
(2)   Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah.
(3)   Panitera Mahkamah Agung wajib mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak Termohon setelah terpenuhi kelengkapan berkasnya.
(4)   Termohon wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterima salinan permohonan tersebut.
(5)   Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
(6)   Penetapan majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 4
(1)  Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri, didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri dan dibukukan dalam bku register permohonan tersendiri dengan menggunakan kode ...P/HUM/Th../PN... setelah Permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
(2)  Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didaftarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah;
(3)  Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung pada hari berikutnya setelah pendaftaran.
(4)  Panitera Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menentapkan Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
(5)  Penetapan majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.

BAB III
PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN
Pasal 5
(1)  Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung menetapkan Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut
(2)  Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.

BAB IV
PUTUSAN
Pasal 6
(1)  Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
(2)  Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.
(3)  Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.

BAB V
PEMBERITAHUAN ISI PUTUSAN
Pasal 7
Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.

BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN
Pasal 8
(1)  Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara.
(2)  Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan  peraturan perundang-undangan tersebut,  ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.

BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 9
Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Peraturan yang telah ada mengenai Hak Uji Materiil tetap berlaku bagi gugatan, permohonan keberatan yang telah diterima oleh Mahkamah Agung.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada saat mulai berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1993, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 12

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : JAKARTA
Pada tanggal: 30 Mei 2011
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA,
CAP/TERTANDA

DR.H. HARIFIN A. TUMPA,SH.MH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...