Selasa, 01 Mei 2018

KEKUASAAN PERUNDANG-UNDANGAN PRESIDEN


KEKUASAAN PERUNDANG-UNDANGAN PRESIDEN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

A.   Pengantar
Fungsi legislasi (legislation function) adalah fungsi membentuk/menciptakan hukum (function of creating law), yaitu penciptaan norma hukum umum oleh badan special, yang disebut badan legislative (the creation of general norms by special organs, namely by the so-called legislative bodies).[1]Kata legislasi  berasal dari istilah ”legis latio”, yang kemudian menjadi ”legislation”.Dalam hal ini pembentukan undang-undang (statutes atau laws) dilakukan oleh badan legislatif atau badan yang memiliki fungsi legislasi, baik badan legislatif sendiri atau bersama-sama dengan kepala negara (-- in principle of all the general norms, the ”laws” – belongs to the legislative body, either alone or together with the head of State).
Di banyak negara, fungsi legislatif atau kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power atau pouvoir legislatif) dilakukan oleh satu badan. Badan yang menjalankan fungsi legislatif tersebut dikenal sebagai badan legislatif (the legislative council atau the legislature). Kadang-kadang  badan tersebut dinamakan Parlemen (seperti sebutan Parliament untuk badan legislatif Inggris, yang terdiri dari House of Commons dan House of Lords).  Hal itu umumnya berlaku di negara yang menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of powers) secara tegas.  Fungsi tersebut dapat didelegasikan kepada badan lain, khususnya badan eksekutif. Di dalam negara yang menganut paham pembagian kekuasaan (distribution of powers) fungsi tersebut tidak secara mutlak berada pada satu badan, tetapi “dibagi” dengan badan lain. Atau dalam pembentukannya diikutsertakan lembaga lain, setidak-tidaknya dilibatkan atau dimintai pendapat (masukan) dari badan atau lembaga terkait, yang dalam praktek banyak mengetahui, mengalami atau menangani hal-hal yang berhubungan dengan itu. Walaupun demikian, badan pembentuk undang-undang dasar (konstitusi) selalu dipegang oleh satu badan yang biasa dikenal dengan sebutan Badan/Sidang Konstituante. Pembentukan konstitusi sebagai aturan yang supreme (the supreme lawof the land) dimiliki oleh badan khusus dan tidak dapat didelegasikan.
Di Indonesia, pembentukan undang-undang dilakukan atas kerjasama antara DPR dan Presiden (Pemerintah). RUU, baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari DPR (termasuk yang berasal dari DPD), dibahas bersama oleh DPR dan Pemerintah untuk mendapat persetujuan bersama.[2]

B.   Kekuasaan Perundang-undangan yang dimiliki Presiden
Dalam hubungan dengan kekuasaan Presiden membentuk peraturan perundang-undangan Prof. A Hamid S Attamimi sebagaimana diuraikan dalam disertasinya pada halaman 143 sampai dengan 189, menyatakan bahwa Presiden RI memiliki tiga kekuasaan pengaturan. Menurutnya, dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 22 ayat (1) beserta penjelasan-penjelasannya, kekuasaan pengaturan Presiden meliputi “legislative power”, “executive power”, dan “pouvoir reglementaire”.  Kekuasaan legislatif (“legislative power”)   Presiden ialah kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR. Kekuasaan reglementair (pouvoir reglementaire”).   yaitu kekuasaan membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU)  dan membentuk Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang, serta Peraturan Presiden atau Perpres.   Kekuasaan eksekutif (“executive power”), yang didalamnya mengandung kekuasaan pengaturan ialah kekuasaan pengaturan berupa peraturan kebijakan (beleidsregel). Dulu tertuang dalam Keputusan Presiden yang mandiri. Setelah perubahan UUD 1945 dan diterbitkannya UU No. 10 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2011, kedudukan Keputusan Presiden yang bersifat mengatur menjadi tidak jelas, apakah berubah menjadi Peraturan Presiden atau masih dalam wujud Keputusan Presiden. Kelihatannya peraturan kebijakan diwadahi dalam Peraturan Presiden.
1.   Legislative power.
Legislative power sering juga disebut kekuasaan perundang-undangan atau kekuasaan membentuk undang-undang (wetgevendemacht). Menurut UUD 1945 Asli menyatakan: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, kekuasaan untuk membentuk undang-undang ada pada   Presiden. Penjelasan Pasal 5 ayat (1) menyatakan: Kecuali executive power, Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara. Berdasarkan ketentuan tersebut maka A Hamid S Attamimi berkesimpulan bahwa kekuasaan pembentukan undang-undang berada pada Presiden, tidak pada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini fungsi DPR berupa memberi (atau menolak memberikan) persetujuan atas suatu RUU yang diajukan kepadanya, baik RUU yang diajukan oleh Presiden maupun RUU yang berasal dari usul inisiatif DPR. Jadi, jelas bahwa kewenangan pembentukan undang-undang tetap pada Presiden dan kewenangan pemberian persetujuan tetap pada DPR.[3] Bila demikian maka muncul pertanyaan: Apakah kegiatan DPR pada waktu pembahasan RUU (dengan menggunakan berbagai hak, khususnya hak amandemen) bukan merupakan kegiatan dalam rangka pembentukan undang-undang? Bila jawabannya “ya”, maka kewenangan pembentukan undang-undang tidak semata-mata ada pada Presiden, tetapi juga ada pada DPR.
Berbeda halnya setelah UUD 1945 diubah. Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Namun Pasal 20 ayat (2)nya menyatakan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR bersama-sama Presiden. Jadi tetap saja, bahwa dalam praktiknya undang-undang dibentuk oleh DPR bersama-sama Presiden. Konstruksi ini berbeda dengan yang berlaku di negara-negara yang menganut pemisahan kekuasan (Amerika Serikat, misalnya). Di Indonesia, menurut system UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan membahas rancangan undang-undang bersama DPR, serta mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang. Itulah konsep UUD 1945 dalam pembentukan undang-undang.
2.   Pouvoir Reglementaire.
Presiden,  dalam rangka menjalankan undang-undang, mempunyai kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah adalah peraturan untuk menjalankan undang-undang (sebagaimana mestinya). Kewenangan menetapkan Peraturan Pemerintah[4] adalah sebagian kewenangan pengaturan dari Presiden. Setelah UUD 1945 diubah, kekuasaan membentuk undang-undang tetap diberikan kepada DPR atas persetujuan bersama Presiden (Pasal 20 ayat (2)).[5]
Seperti dinyatakan di atas, Peraturan Pemerintah adalah peraturan untuk menjalankan undang-undang, yaitu untuk membuat agar undang-undang dapat “operasional”, karena undang-undang hanya mengatur garis-garis besarnya saja. Oleh karena Peraturan Pemerintah berfungsi untuk menjalankan undang-undang, maka Peraturan Pemerintah harus dibentuk setelah ada undang-undang yang mengatur materi tersebut. Materi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak dapat “melampaui” materi undang-undang yang dijalankannya. Peraturan Pemerintah tidak boleh menambah, menyisipi, memodifikasi materi dan pengertian yang ada dalam undang-undang.[6] Tegasnya, bahwa yang dimaksud dengan pouvoir reglementaire” adalah kekuasaan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam rangka pelaksanaan kekuasaan eksekutif disebut “ordinances” atau “regulations”.[7]
3.    Eksekutive power.
Dalam bahasa Perancis biasa disebut “pouvoir executif”, yaitu kekuasaan pemerintahan.Menurut UUD 1945 kekuasaan ini dijalankan oleh Presiden.Hal itu dengan tegas dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2): Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.
Seperti telah dikemukakan, menurut A Hamid S Attamimi, dalam kekuasaan eksekutif terkandung kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan dan kekuasaan untuk membuat peraturan (kekuasaan pengaturan).   Kekuasaan atau kewenangan Presiden dalam rangka pengaturan yang bersumber dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 berupa pembentukan peraturan perundangan-undangan dengan wujud Keputusan Presiden (dalam hal ini Keputusan Presiden yang berisi peraturan, karena ada juga Keputusan Presiden yang berisi penetapan). Keputusan Presiden yang berupa penetapan disebut keputusan yang “einmahlig”. Jadi,  Keputusan Presiden yang mengatur merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang lahir dari kewenangan eksekutif (pemerintahan). Setelah terbentuk UU No. 10 Tahun 2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2011, keputusan Presiden yang bersifat mengatur diwadahi dalam Peraturan Presiden (Perpres). Wewenang Presiden membentuk peraturan bersumber dari pouvoir reglementaire”, yaitu berupa peraturan kebijakan (beleidsregel) yang bersifat mengatur. (lihat uraian pada Bagian Satu tentang regels, beleidsregel, beschikking, dan vonnis).
4.   Noodverordeningsrecht.

Istilah tersebut dimuat dalam Penjelasan Pasal 22  yang menyatakan:
”Pasal ini mengenai Noodverordeningsrecht Presiden.
Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya   keselamatan negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Istilah noodverordeningsrecht  sering diartikan sebagai hak subyektif (subjectief-recht) dari Presiden. Hak  tersebut merupakan hak untuk menetapkan peraturan dalam hal negara sedang dalam keadaan darurat atau keadaan kegentingan yang memaksa (staatsnood atau state emergency). Jenis peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Presiden saat negara dalam keadaan kegentingan yang memaksa adalah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang (PERPU). PERPU menggantikan kedudukan undang-undang yang karena keadaan tertentu belum dapat dibentuk sementara kebutuhan akan aturan tersebut sangat mendesak.
C.  Presiden mengesahkan rancangan undang-undang.

Menurut ketentuan Undang-undang Dasar 1945 asli,  Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1)). Sementara itu, Undang Undang Dasar 1945 Perubahan Kedua Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap  rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat   persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2)).  Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang (Pasal 20 ayat (4)). Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat (5)).  Ini suatu bukti bahwa UUD 1945  tidak menganut pemisahan kekuasaan, tetapi suatu pembagian kekuasaan (distribution of powers).
Jadi tugas Presiden di bidang perundang-undangan (khususnya membentuk undang-undang) berupa mengajukan usul RUU, menyetujui RUU bersama DPR dan terakhir mengesahkan RUU menjadi undang-undang. Pengesahan RUU menjadi undang-undang dalam bentuk pembubuhan tanda tangan pada bagian penutup suatu undang-undang. Dengan pembubuhan tanda tangan Presiden tersebut maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang. Kedudukan Presiden dalam pengesahan RUU menjadi undang-undang adalah sebagai Kepala Negara, seperti halnya tradisi yang berlaku disetiap negara. Agar undang-undang tersebut mengikat secara hukum maka perlu diundangkan dalam Lembaran Negara.
Dalam konteks rumusan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan tersebut, menarik untuk dikaji. Bahwa yang membahas RUU dengan DPR, bukanlah Presiden, meskipun UUD 1945 menyatakan bahwa RUU dibahas oleh DPR bersama-sama Presiden. Suatu RUU yang sudah dibahas oleh DPR bersama Menteri atau pejabat yang ditunjuk, belum sepenuhnya dapat diterima oleh Presiden. Mungkin disebabkan masalah komunikasi antara Menteri dengan Presiden kurang pas, sehingga Presiden belum dapat menerima secara bulat hasil pembahasan yang dilakukan di DPR. Dengan kata lain, bisa saja Presiden tidak menyetujui RUU tersebut sehingga kemungkinan terjadi penolakan oleh Presiden untuk tidak menandatangani RUU tersebut. Tetapi Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 sudah menyatakan bahwa RUU tersebut harus diundangkan tanpa adanya tanda tangan Presiden. Dalam hal ini Presiden tidak punya hak tolak.
Konstruksi hukum semacam itu dapat menimbulkan masalah. Suatu undang-undang mengatur hal-hal yang bersifat umum, perlu dijabarkan lebih lanjut. Penjabaran undang-undang dilakukan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan atau Peraturan Presiden. Jika Presiden sejak awal tidak menyetujui sepenuhnya isi undang-undang yang tidak ditandatanganinya, kemungkinan peraturan pelaksanaannya tidak diterbitkan atau diulur-ulur penerbitannya. Ini sebuah ekses yang mungkin timbul dan merugikan masyarakat, akibat dari rumusan ketentuan pasal tersebut. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 tersebut dapat dikaji ulang, agar terjadi keharmonisan hubungan antara DPR dan Presiden dalam pembentukan undang-undang. Suatu undang-undang seharusnya dibentuk atas kesepakatan atau kesepahaman antara DPR dan Presiden (Pemerintah), agar dapat berhasil dan berdaya guna dalam pelaksanaannya.

D.  Kesepahaman antara DPR dan Presiden (Pemerintah) adalah mutlak.

Berdasarkan rumusan Pasal 20 dan 21 UUD 1945 Perubahan, yang membentuk undang-undang adalah DPR. Selain itu DPR berfungsi memberikan persetujuan (atau menolak memberikan persetujuan) terhadap rancangan undang-undang yang diajukan. Selain DPR, Presiden pun berfungsi untuk memberikan persetujuan (atau menolak memberikan persetujuan). Jika Presiden menyetujui rancangan undang-undang tersebut maka Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Fungsi Presiden selain menyetujui (atau menolak) rancangan undang-undang juga mengesahkan rancangan undang-undang agar menjadi undang-undang.
Kiranya jelas bahwa  undang-undang harus dibentuk atas dasar kerja sama antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat,   pembentukan undang-undang harus mendapat persetujuan bersama antara  Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.  Dengan perkataan lain, meskipun penjelasan UUD 1945 sudah dianggap bukan bagian dari UUD 1945, tetapi rumusan kecuali ‘executive power’, Presiden bersama-sama dengan DPR menjalankan ‘legislative power’ dalam Negara, masih tetap relevan. Dalam prakteknya Presiden tetap menjalankan ‘legislative power’ bersama-sama dengan DPR.[8] Rumusan pasal yang menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, menjadi tidak jelas maknanya.   Jika hal itu dipegang teguh, dipatuhi secara konsisten dan konsekuen, maka seharusnya naskah undang-undang ditandatangani atau ditandatangani serta (contrasein) oleh Ketua DPR. Walaupun harus diakui bahwa keadaan seperti itu adalah cerminan dari sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem presidensial.
Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan memberikan isyarat bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang (Pasal 22A).  Jadi, ketentuan prosedural mengenai pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Kemudian keluar Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan[9], yang disusul dengan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
Kembali kepada kekuasaan atau wewenang membnetuk undang-undang, yang menurut Pasal 20 ayat (1) dipegang oleh DPR, ternyata ketentuan tersebut gugur apabila memperhatikan ketentuan Pasal 20 ayat (2)nya, yang menyatakan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya bahwa undang-undang adalah produk hukum bersama antara DPR dan Presiden/pemerintah. Dengan perkataan lain yang berwenang membentuk undang-undang tidak hanya DPR, tetapi DPR bersama sama presiden/pemerintah. Bila demikian maka rumusan Pasal 20 ayat (1) menjadi tiidak berarti alias gugur. Ini bukti bahwa sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan  antara legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) dalam pembentukan undang-undang. Menurut sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, Presiden pun menjalankan kekuasaan perundang-undangan (legislstive power), yaitu dalam pembentukan undang-undang, penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, penetapan peraturan pemerintah dan penetapan peraturan Presiden. Presiden memiliki kekuasaan membentuk peraturan secara atribusi,  maupun delegasi (delegation of rule making power). Penjelasan UUD 1945 sudah dianggap bukan bagian dari UUD 1945, tetapi rumusan “kecuali ‘executive power’, Presiden bersama-sama dengan DPR menjalankan ‘legislative power’ dalam Negara, masih tetap relevan. Dalam prakteknya Presiden tetap menjalankan ‘legislative power’ bersama-sama dengan DPR.Rumusan pasal yang menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, menjadi tidak jelas maknanya.Jika hal itu dipegang teguh, dipatuhi secara konsisten dan konsekuen, maka seharusnya naskah undang-undang ditandatangani atau ditandatangani serta (contrasein, countersign) oleh Ketua DPR.Walaupun harus diakui bahwa keadaan seperti itu adalah cerminan dari sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem presidensial.
Kekuasaan konstitusional Presiden menurut UUD 1945 meliputi kekuasaan yang bersifat eksekutif, yang bersifat legislatif dan yang bersifat yudikatif.Kekusaan yang bersifat legislatif meliputi pembentukan undang-undang bersama DPR dan menetapkan Peraturan Pemerintah Prngganti Undang-undang.  Selain itu Presiden memiliki kekuasaan regulatif, yakni menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.Kedua jenis peraturan perundang-undangan tersebut tergolong sebagai peraturan delegasian. Peraturan Pemerintah  adalah peraturan delegasian dari undang-undang, sedangkan peraturan Presiden dapat merupakan delegasian dari undang-undang maupun delegasian dari Peraturan Pemerintah[10].

Mengenai delegasian terhadap Peraturan Pemerintah, Prof. A Hamid Attamimi menyatakan bahwa tidak perlu ada delegasian secara khusus, artinya bahwa sesuatu materi yang sudah diatur dalam undang-undang tanpa ada perintah lebih lanjut, dapat ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, karena wewenang menetapkan Peraturan Pemerntah sudah diatribusikan oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Sebaliknya, Bagir Manan menyatakan perlunya ada delegasian terlebih dahulu secara khusus dari undang-undang mengenai materi apa saja yang perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut.

E.   Kekuasaan Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Kekuasaan Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.Pasal tersebut mengenai kekuasaan Presiden menetapkan “peraturan darurat” (noodrechtsverordening).Meskipun disyaratkan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang harus “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.Pembentukan peraturan tersebut dimaksudkan agar pemerintah dapat bertindak cepat. Hal itu tergambar dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan:
(1)     Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.
(2)     Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3)     Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.

Jadi, untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang diperlukan persyaratan  keadaan kegentingan yang memaksa”. Apa yang dimaksud dengan “keadaan kegentingan yang memaksa” itu? Tidak dijelaskan. Praktik ketatanegaraan membuktikan bahwa pengertian “keadaan kegentingan yang memaksa” dapat berupa keadaan darurat (Perang  atau Darurat Sipil), keadaan bahaya, dan keadaan yang mendesak.  Berkaitan dengan keadaan waktu yang sangat mendesak atau terbatas, apabila suatu materi tertentu dimuat dalam suatu Undang-undang, maka tidak akan memungkinkan untuk segera dibuat, dibahas dan ditetapkan.  Oleh karenanya, untuk sementara, materi tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangMisalnya, pada  tahun 1984 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang penangguhan berlakunya UU Perpajakan Tahun 1983 dan pada tahun 1992 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang penangguhan berlakunya UU Lalu Lintas Angkutan Jalan. Mengingat waktu yang sangat mendesak maka penangguhan berlakunya kedua undang-undang tersebut tidak mungkin dilakukan dengan undang-undang. Kemudian, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, dalam konsideransnya antara lain menyatakan bahwa berdasarkan kondisi yang sangat mendesak dikaitkan dengan tanggung jawab untuk ikut memelihara perdamaian dunia, maka untuk pelanggaran HAM yang berat, perlu segera diselesaikan oleh Pengadilan HAM”. Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang masih dirasakan baru adalahPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Jadi, ada “kondisi yang sangat mendesak” sebagai dasar pertimbangan. Kondisi yang sangat mendesak  dijadikan sebagai dasar pertimbangan penghalalan (legal obstacle) pembentukan Perpu tersebut.
Sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Pasal 22 UUD 1945, bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang merupakan implementasi “hak untuk membentuk peraturan darurat” (noodverordeningsrecht) dari Presiden. Hal ini  sebagai suatu “exception” dalam proses pembentukan peraturan yang akan mengikat rakyat, dengan harapan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Jadi pengecualiannya hanya pada proses atau tata cara pembentukan, bukan pada substansi. Oleh karena Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut harus mendapat persetujuan (atau penolakan) dari DPR pada persidangan berikutnya, ini menunjukkan bahwa substansi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah sama dengan substansi Undang-undang.  Oleh sebab itu pula kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sama atau sederajat dengan Undang-undang. Tetapi perlu dipahami bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangtidak sama dengan undang-undang. MenyamakanPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang  dengan undang-undang adalah sebah kekeliruan.
Masalahnya, adalah:
a.   Apa kriteria atau tolok ukur dari “kegentingan yang memaksa”?
b.   Kapan saat atau waktu “persidangan yang berikut” tsb?
c.    Bila Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut tidak disetujui oleh DPR, maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut  harus dicabut (oleh Pemerintah?). 
d.   Apa jenis peraturan perundang-undangan untuk pencabutan tsb?

Tidak ada kriteria mengenai  “keadaan kegentingan yang memaksa”.  Kriteria tersebut  diserahkan kepada Presiden. Dalam hal ini Presiden bebas menetukan  atau menilai bahwa ada keadaan kegentingan yang memaksa sehingga perlu ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.  Apakah perlu ada kriteria yang ditetapkan oleh Undang-undang? Sebenarnya tidak perlu, karena bagaimanapun alasannya, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut pada persidangan  berikutnya harus dibahas oleh DPR.  Kontrol akan diberikan oleh DPR dalam bentuk penolakan atas dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Masalahnya, apakah “suara” DPR akan seirama dengan Presiden? Hal itu tergantung dari sistem politik yang dianut. Selain itu, UUD tidak memerintahkan pengaturan lebih lanjut Pasal 22 dengan undang-undang. Dalam praktik pencabutan atau penolakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dilakukan dengan undang-undang.
Dulu, jika suatu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang disetujui menjadi Undang-undang, biasanya  dalam penulisan Undang-undang tersebut disertai dengan huruf Prp,  misalnya Undang-undang Nomor 19 Prp. Tahun 1960 tentang Perusahaan Negara. Dengan inisial tersebut terlihat bahwa undang-undang itu berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Dewasa ini dengan berdasarkan padaUU No. 12 Tahun 2011 jo.UU No. 10 Tahun 2004  cara penulisan tersebut ditiadakan.
Dalam Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 Asli ada istilah ”noodverordeningsrecht”. Perkataan recht disini bukan padanan kata hukum tetapi hak. Dengan demikian noodverordeningsrecht artinya hak (Presiden) membuat peraturan darurat (noodverordening). Berbeda dengan istilah staatsnoodrecht. Perkataan staat dalam staatnoodrecht bukan pada negara tetapi keadaan, sedangkan recht disini memang berarti hukum, sehingga noodrecht artinya hukum darurat, sehingga staatnoodrecht artinya hukum (dalam keadaan) darurat. Ada pula istilah lain: noodstaatsrecht. Frasa staatsrecht adalah padanan hukum tata negara, sehingga noodstaatsrecht adalah hukum tata negara darurat[11].
F.    Menetapkan Peraturan Presiden.

Mengenai Peraturan Presiden (Perpres), UUD 1945 tidak menyebutnya. Artinya tidak ada dasar konstitusional yang mengabsahkan keberadaan Perpres. Keberadaan Perpres lahir dalam praktik. Bentuk Peraturan Presiden  pertama kali muncul tahun 1946. Baik materi maupun bentuk, memang berupa peraturan. Dilihat dari materi dan bentuk pengaturannya tidaklah berbeda dengan Peraturan Pemerintah[12]. Dengan ditetapkannya TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 jenis peraturan Peraturan Presiden ditiadakan.  Peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden selain Peraturan Pemerintah dituangkan dalam Keputusan Presiden. Jadi, saat itu Keputusan Presiden ada yang berupa peraturan dan ada juga yang berupa ”ketetapan” (beschikking) yang bersifat ”einmahlig”.
Sejak dikeluarkan TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tidak dikeluarkan lagi bentuk Peraturan Presiden (dan Penetapan Presiden). Dengan UU No. 5 Tahun 1969 sebagai pelaksanaan dari Ketetapan MPRS No.XIX/MPRS/1966 tentang peninjauan kembali produk-produk legislatif diluar produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD, dituangkan dalam undang-undang. Undang-undang yang berasal dari peraturan presiden ditulis dengan tanda huruf ”Prps”, dan undang-undang yang berasal dari penetapan presiden ditulis dengan tanda huruf ”Pnps”.  Misalnya, Undang-Undang No. 10 Prps Tahun 1965  dan Undang-undang No.  11 Pnps Tahun 1967.   Namun setelah berlakunya TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 materi yang berupa peraturan maupun yang berisi ketetapan dituangkan dalam Keputusan Presiden, meskipun dalam Lampiran TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tersebut dijelaskan bahwa Keputusan Presiden bersifat ”einmahlig”.
Hal itu berjalan hingga dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU No. 10 Tahun 2004 dicantumkan secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1): Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.    Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;
b.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.    Peraturan Pemerintah;
d.    Peraturan Presiden;
e.    Peraturan Daerah.
UU No. 10 Tahun 2004  diganti dengan UU No.12 Tahun 2011. Dalam Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2011 didefinisikan:
Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.

Kemudian, dalam Pasal 11 disebutkan: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Jadi ada dua fungsi dari Peraturan Presiden, yaitu untuk melaksanakan Undang-Undang (seperti halnya Peraturan Pemerintah), tetapi harus secara tegas diperintahkan oleh Undang-Undang; dan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Peraturan Presiden untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah tanpa harus ada perintah dari Peraturan Pemerintah tersebut, Peraturan Presiden dapat ditetapkan. Sementara untuk melaksanakan Undang-undang harus secara eksplisit disebut dalam undang-undang pendelegasiannya, ada semacam ”delegation of rule making power”.


---------------------------

Daftar Bacaan:

Bagir Manan, DPR,DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII PRESS, 2003.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, New York, Russell & Russell., 1973.
UUD 1945 Perubahan Pertama Hingga Keempat
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011
Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.



[1] Hans Kelsen, General Theory of Law and State,translated by Anders Wedberg, New York, Russell & Russell,hlm 256.
[2]Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua.
[3] Hamid S Attamini: Peranan Keputusan Poresiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 146 dan 153.
[4]Peraturan yang serupa yang pernah dikeluarkan pada Jaman Hindia Belanda bernama Regeringsverordening (Regering = pemerintah, verordening = peraturan).
[5] Ada kontradisksi ketentuan Pasal 20 ayat (1) dengan Pasal 20 ayat (2), meskipun dalam prakteknya berlaku ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua.
[6]Ibid, hlm 180.
[7] Hans Kelsen,op. cit.,  hlm 257,  berpendapat bahwa:The general norms issued by organs of the executive power are usually not called “statutes” but “ordinances” or “regulations”. Regulations or ordinances not issued on the basis of a statute which they put into effect but issued instead of statutes are called “decrets-lois” in French, Verordnungen mit Gesetzeskraft in German terminology.
[8] Adapun kekuasaan Presiden di bidang legislatif berupa:
(1)    Mengajukan RUU kepada DPR (pasal 5 ayat (2) UUD 1945);
(2)    Membahas RUU bersama DPRD (pasal 20 ayat (2) UUD 1945);
(3)    Mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama DPR menjadi undang-undang (Pasal 20 ayat (4) UUD 1945);
(4)    Menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945);
(5)    Menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagai mana mestinya  (Pasal 5 ayat (2));
(6)    Menetapkan Peraturan Presiden untuk menjalankan Undang-undang dan atau Peraturan Pemerintah (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 12 Tahun 2011).
[9]  Menurut hemat Penulis, Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 telah melanggar perintah dalam Pasal 22A UUD 1945, karena Pasal 22A hanya memerintahkan pembentukan undang-undang tentang tata cara pembentukan undang-undang, bukan pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pasal 22A tersebut hanya memerintahkan pembentukan mengenai tata cara (prosedural) bukan  mengenai  substansi lain (hukum material), misalnya mengenai jenis-jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa materi tersebut perlu diatur, tetapi harus taat asas dengan perintah dalam ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Menambah “permintaan” dalam UUD berarti melanggar UUD karena telah melebihi kewenangan dari yang seharusnya (ultra vires). Bila demikian, apakah yang salah rumusan dalam Pasal 22A UUD 1945 atau pembentuk undang-undang dalam menafsirkannya?
[10] Lihat Pasal 13  UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
[11]Bagir Manan, DPR,DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII PRESS, 2003, hlm 43.
[12]Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997 hlm 198-199

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...