KEKUASAAN PERUNDANG-UNDANGAN PRESIDEN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
A.
Pengantar
Fungsi legislasi (legislation function) adalah fungsi
membentuk/menciptakan hukum (function of
creating law), yaitu penciptaan norma hukum umum oleh badan special, yang
disebut badan legislative (the creation
of general norms by special organs, namely by the so-called legislative bodies).[1]Kata
legislasi berasal dari istilah ”legis latio”, yang kemudian menjadi ”legislation”.Dalam hal ini pembentukan
undang-undang (statutes atau laws) dilakukan oleh badan legislatif
atau badan yang memiliki fungsi legislasi, baik badan legislatif sendiri atau
bersama-sama dengan kepala negara (-- in
principle of all the general norms, the ”laws” – belongs to the legislative
body, either alone or together with the head of State).
Di banyak negara,
fungsi legislatif atau kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power atau pouvoir
legislatif) dilakukan oleh satu badan. Badan yang menjalankan fungsi
legislatif tersebut dikenal sebagai badan legislatif (the legislative council atau the
legislature). Kadang-kadang badan
tersebut dinamakan Parlemen (seperti sebutan Parliament untuk badan legislatif
Inggris, yang terdiri dari House of
Commons dan House of Lords). Hal itu umumnya berlaku di negara yang
menganut paham pemisahan kekuasaan (separation
of powers) secara tegas. Fungsi
tersebut dapat didelegasikan kepada badan lain, khususnya badan eksekutif. Di
dalam negara yang menganut paham pembagian kekuasaan (distribution of powers) fungsi tersebut tidak secara mutlak berada
pada satu badan, tetapi “dibagi” dengan badan lain. Atau dalam pembentukannya
diikutsertakan lembaga lain, setidak-tidaknya dilibatkan atau dimintai pendapat
(masukan) dari badan atau lembaga terkait, yang dalam praktek banyak
mengetahui, mengalami atau menangani hal-hal yang berhubungan dengan itu.
Walaupun demikian, badan pembentuk undang-undang dasar (konstitusi) selalu
dipegang oleh satu badan yang biasa dikenal dengan sebutan Badan/Sidang
Konstituante. Pembentukan konstitusi sebagai aturan yang supreme (the supreme lawof the land) dimiliki
oleh badan khusus dan tidak dapat didelegasikan.
Di Indonesia,
pembentukan undang-undang dilakukan atas kerjasama antara DPR dan Presiden
(Pemerintah). RUU, baik yang berasal dari Pemerintah maupun yang berasal dari
DPR (termasuk yang berasal dari DPD), dibahas bersama oleh DPR dan Pemerintah
untuk mendapat persetujuan bersama.[2]
B.
Kekuasaan Perundang-undangan yang dimiliki Presiden
Dalam
hubungan dengan kekuasaan Presiden membentuk peraturan perundang-undangan Prof.
A Hamid S Attamimi sebagaimana diuraikan dalam disertasinya pada halaman 143
sampai dengan 189, menyatakan bahwa Presiden RI memiliki tiga kekuasaan
pengaturan. Menurutnya, dengan merujuk kepada ketentuan-ketentuan yang
dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1) dan (2), Pasal 22 ayat (1)
beserta penjelasan-penjelasannya, kekuasaan pengaturan Presiden meliputi “legislative power”, “executive power”, dan
“pouvoir reglementaire”. Kekuasaan legislatif (“legislative power”) Presiden ialah kekuasaan membentuk
undang-undang dengan persetujuan DPR. Kekuasaan reglementair (pouvoir reglementaire”). yaitu kekuasaan membentuk Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang (PERPU) dan
membentuk Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang, serta Peraturan
Presiden atau Perpres. Kekuasaan
eksekutif (“executive power”), yang
didalamnya mengandung kekuasaan pengaturan ialah kekuasaan pengaturan berupa
peraturan kebijakan (beleidsregel).
Dulu tertuang dalam Keputusan Presiden yang mandiri. Setelah perubahan UUD 1945
dan diterbitkannya UU No. 10 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2011, kedudukan
Keputusan Presiden yang bersifat mengatur menjadi tidak jelas, apakah berubah
menjadi Peraturan Presiden atau masih dalam wujud Keputusan Presiden. Kelihatannya
peraturan kebijakan diwadahi dalam Peraturan Presiden.
1.
Legislative power.
Legislative power sering juga disebut kekuasaan
perundang-undangan atau kekuasaan membentuk undang-undang (wetgevendemacht). Menurut UUD 1945 Asli menyatakan: Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Jadi, kekuasaan untuk membentuk undang-undang ada pada Presiden. Penjelasan Pasal 5 ayat (1)
menyatakan: Kecuali executive power,
Presiden bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara. Berdasarkan ketentuan tersebut maka
A Hamid S Attamimi berkesimpulan bahwa kekuasaan pembentukan undang-undang
berada pada Presiden, tidak pada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini fungsi
DPR berupa memberi (atau menolak memberikan) persetujuan atas suatu RUU yang
diajukan kepadanya, baik RUU yang diajukan oleh Presiden maupun RUU yang
berasal dari usul inisiatif DPR. Jadi, jelas bahwa kewenangan pembentukan
undang-undang tetap pada Presiden dan kewenangan pemberian persetujuan tetap
pada DPR.[3] Bila
demikian maka muncul pertanyaan: Apakah kegiatan DPR pada waktu pembahasan RUU
(dengan menggunakan berbagai hak, khususnya hak amandemen) bukan merupakan
kegiatan dalam rangka pembentukan undang-undang? Bila jawabannya “ya”, maka kewenangan pembentukan
undang-undang tidak semata-mata ada pada Presiden, tetapi juga ada pada DPR.
Berbeda halnya
setelah UUD 1945 diubah. Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang
kekuasaan membentuk undang-undang. Namun Pasal 20 ayat (2)nya menyatakan bahwa
setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR bersama-sama Presiden. Jadi
tetap saja, bahwa dalam praktiknya undang-undang dibentuk oleh DPR bersama-sama
Presiden. Konstruksi ini berbeda dengan yang berlaku di negara-negara yang menganut
pemisahan kekuasan (Amerika Serikat, misalnya). Di Indonesia, menurut system
UUD 1945, Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan membahas
rancangan undang-undang bersama DPR, serta mengesahkan rancangan undang-undang
yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang. Itulah konsep UUD 1945
dalam pembentukan undang-undang.
2.
Pouvoir Reglementaire.
Presiden, dalam rangka menjalankan undang-undang,
mempunyai kewenangan untuk menetapkan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah adalah peraturan untuk menjalankan undang-undang (sebagaimana
mestinya). Kewenangan menetapkan Peraturan Pemerintah[4] adalah
sebagian kewenangan pengaturan dari Presiden. Setelah UUD 1945 diubah,
kekuasaan membentuk undang-undang tetap diberikan kepada DPR atas persetujuan
bersama Presiden (Pasal 20 ayat (2)).[5]
Seperti dinyatakan
di atas, Peraturan Pemerintah adalah peraturan untuk menjalankan undang-undang,
yaitu untuk membuat agar undang-undang dapat “operasional”, karena undang-undang hanya mengatur garis-garis besarnya
saja. Oleh karena Peraturan Pemerintah berfungsi untuk menjalankan
undang-undang, maka Peraturan Pemerintah harus dibentuk setelah ada
undang-undang yang mengatur materi tersebut. Materi yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah tidak dapat “melampaui” materi undang-undang yang dijalankannya.
Peraturan Pemerintah tidak boleh menambah, menyisipi, memodifikasi materi dan
pengertian yang ada dalam undang-undang.[6] Tegasnya,
bahwa yang dimaksud dengan “pouvoir reglementaire” adalah kekuasaan
untuk menetapkan Peraturan Pemerintah. Peraturan yang dikeluarkan oleh
pemerintah dalam rangka pelaksanaan kekuasaan eksekutif disebut “ordinances” atau “regulations”.[7]
3.
Eksekutive power.
Dalam bahasa
Perancis biasa disebut “pouvoir executif”,
yaitu kekuasaan pemerintahan.Menurut UUD 1945 kekuasaan ini dijalankan oleh
Presiden.Hal itu dengan tegas dirumuskan dalam Pasal 4 ayat (2): Presiden
memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang Dasar.
Seperti telah
dikemukakan, menurut A Hamid S Attamimi, dalam kekuasaan eksekutif terkandung
kekuasaan untuk melaksanakan pemerintahan dan kekuasaan untuk membuat peraturan
(kekuasaan pengaturan). Kekuasaan atau
kewenangan Presiden dalam rangka pengaturan yang bersumber dari ketentuan Pasal
4 ayat (1) UUD 1945 berupa pembentukan peraturan perundangan-undangan dengan
wujud Keputusan Presiden (dalam hal ini Keputusan Presiden yang berisi
peraturan, karena ada juga Keputusan Presiden yang berisi penetapan). Keputusan
Presiden yang berupa penetapan disebut keputusan yang “einmahlig”. Jadi, Keputusan
Presiden yang mengatur merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang lahir
dari kewenangan eksekutif (pemerintahan). Setelah terbentuk UU No. 10 Tahun
2004 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 2011, keputusan Presiden yang bersifat
mengatur diwadahi dalam Peraturan Presiden (Perpres). Wewenang Presiden
membentuk peraturan bersumber dari “pouvoir reglementaire”, yaitu berupa
peraturan kebijakan (beleidsregel)
yang bersifat mengatur. (lihat uraian pada Bagian Satu tentang regels, beleidsregel, beschikking, dan
vonnis).
4.
Noodverordeningsrecht.
Istilah tersebut
dimuat dalam Penjelasan Pasal 22 yang
menyatakan:
”Pasal ini mengenai Noodverordeningsrecht Presiden.
Aturan sebagai ini
memang perlu diadakan agar supaya
keselamatan negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang
genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun
demikian, pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan
Rakyat. Oleh karena itu, peraturan pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya
sama dengan undang-undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat. ”
Istilah
noodverordeningsrecht sering diartikan sebagai hak subyektif (subjectief-recht) dari Presiden.
Hak tersebut merupakan hak untuk
menetapkan peraturan dalam hal negara sedang dalam keadaan darurat atau keadaan
kegentingan yang memaksa (staatsnood
atau state emergency). Jenis
peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Presiden saat negara dalam
keadaan kegentingan yang memaksa adalah Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti
Undang-undang (PERPU). PERPU menggantikan kedudukan undang-undang yang karena
keadaan tertentu belum dapat dibentuk sementara kebutuhan akan aturan tersebut
sangat mendesak.
C.
Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang.
Menurut ketentuan
Undang-undang Dasar 1945 asli, Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat (Pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1)). Sementara itu, Undang Undang
Dasar 1945 Perubahan Kedua Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang
kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap
rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan
bersama (Pasal 20 ayat (2)). Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi
undang-undang (Pasal 20 ayat (4)). Dalam hal rancangan undang-undang yang telah
disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh
hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan
undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal
20 ayat (5)). Ini suatu bukti bahwa UUD
1945 tidak menganut pemisahan kekuasaan,
tetapi suatu pembagian kekuasaan (distribution
of powers).
Jadi tugas Presiden
di bidang perundang-undangan (khususnya membentuk undang-undang) berupa
mengajukan usul RUU, menyetujui RUU bersama DPR dan terakhir mengesahkan RUU
menjadi undang-undang. Pengesahan RUU menjadi undang-undang dalam bentuk
pembubuhan tanda tangan pada bagian penutup suatu undang-undang. Dengan
pembubuhan tanda tangan Presiden tersebut maka RUU tersebut sah menjadi
undang-undang. Kedudukan Presiden dalam pengesahan RUU menjadi undang-undang
adalah sebagai Kepala Negara, seperti halnya tradisi yang berlaku disetiap
negara. Agar undang-undang tersebut mengikat secara hukum maka perlu
diundangkan dalam Lembaran Negara.
Dalam konteks
rumusan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan tersebut, menarik untuk dikaji.
Bahwa yang membahas RUU dengan DPR, bukanlah Presiden, meskipun UUD 1945
menyatakan bahwa RUU dibahas oleh DPR bersama-sama Presiden. Suatu RUU yang
sudah dibahas oleh DPR bersama Menteri atau pejabat yang ditunjuk, belum
sepenuhnya dapat diterima oleh Presiden. Mungkin disebabkan masalah komunikasi
antara Menteri dengan Presiden kurang pas, sehingga Presiden belum dapat
menerima secara bulat hasil pembahasan yang dilakukan di DPR. Dengan kata lain,
bisa saja Presiden tidak menyetujui RUU tersebut sehingga kemungkinan terjadi
penolakan oleh Presiden untuk tidak menandatangani RUU tersebut. Tetapi Pasal
20 ayat (5) UUD 1945 sudah menyatakan bahwa RUU tersebut harus diundangkan
tanpa adanya tanda tangan Presiden. Dalam hal ini Presiden tidak punya hak
tolak.
Konstruksi hukum
semacam itu dapat menimbulkan masalah. Suatu undang-undang mengatur hal-hal
yang bersifat umum, perlu dijabarkan lebih lanjut. Penjabaran undang-undang
dilakukan oleh Presiden dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan atau Peraturan
Presiden. Jika Presiden sejak awal tidak menyetujui sepenuhnya isi undang-undang
yang tidak ditandatanganinya, kemungkinan peraturan pelaksanaannya tidak
diterbitkan atau diulur-ulur penerbitannya. Ini sebuah ekses yang mungkin
timbul dan merugikan masyarakat, akibat dari rumusan ketentuan pasal tersebut.
Oleh karena itu, ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 tersebut dapat dikaji
ulang, agar terjadi keharmonisan hubungan antara DPR dan Presiden dalam
pembentukan undang-undang. Suatu undang-undang seharusnya dibentuk atas
kesepakatan atau kesepahaman antara DPR dan Presiden (Pemerintah), agar dapat
berhasil dan berdaya guna dalam pelaksanaannya.
D.
Kesepahaman
antara DPR dan Presiden (Pemerintah) adalah mutlak.
Berdasarkan rumusan
Pasal 20 dan 21 UUD 1945 Perubahan, yang membentuk undang-undang adalah DPR.
Selain itu DPR berfungsi memberikan persetujuan (atau menolak memberikan
persetujuan) terhadap rancangan undang-undang yang diajukan. Selain DPR,
Presiden pun berfungsi untuk memberikan persetujuan (atau menolak memberikan
persetujuan). Jika Presiden menyetujui rancangan undang-undang tersebut maka
Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang. Fungsi Presiden selain menyetujui (atau menolak)
rancangan undang-undang juga mengesahkan rancangan undang-undang agar menjadi
undang-undang.
Kiranya jelas
bahwa undang-undang harus dibentuk atas
dasar kerja sama antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat, pembentukan undang-undang harus mendapat
persetujuan bersama antara Presiden dan
Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan
perkataan lain, meskipun penjelasan UUD 1945 sudah dianggap bukan bagian dari
UUD 1945, tetapi rumusan kecuali ‘executive
power’, Presiden bersama-sama dengan DPR menjalankan ‘legislative power’ dalam Negara, masih tetap relevan. Dalam
prakteknya Presiden tetap menjalankan ‘legislative
power’ bersama-sama dengan DPR.[8]
Rumusan pasal yang menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang,
menjadi tidak jelas maknanya. Jika hal
itu dipegang teguh, dipatuhi secara konsisten dan konsekuen, maka seharusnya
naskah undang-undang ditandatangani atau ditandatangani serta (contrasein) oleh Ketua DPR. Walaupun
harus diakui bahwa keadaan seperti itu adalah cerminan dari sistem pemerintahan
parlementer, bukan sistem presidensial.
Undang-Undang Dasar
1945 Perubahan memberikan isyarat bahwa ketentuan lebih lanjut tentang tata
cara pembentukan undang-undang diatur
dengan undang-undang (Pasal 22A). Jadi,
ketentuan prosedural mengenai pembentukan undang-undang diatur lebih lanjut
dalam undang-undang. Kemudian keluar Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan[9], yang
disusul dengan Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan
Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.
Kembali kepada kekuasaan atau wewenang membnetuk undang-undang, yang menurut Pasal 20 ayat (1) dipegang oleh DPR, ternyata ketentuan tersebut gugur apabila memperhatikan ketentuan Pasal 20 ayat (2)nya, yang menyatakan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya bahwa undang-undang adalah produk hukum bersama antara DPR dan Presiden/pemerintah. Dengan perkataan lain yang berwenang membentuk undang-undang tidak hanya DPR, tetapi DPR bersama sama presiden/pemerintah. Bila demikian maka rumusan Pasal 20 ayat (1) menjadi tiidak berarti alias gugur. Ini bukti bahwa sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan antara legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) dalam pembentukan undang-undang. Menurut sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, Presiden pun menjalankan kekuasaan perundang-undangan (legislstive power), yaitu dalam pembentukan undang-undang, penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, penetapan peraturan pemerintah dan penetapan peraturan Presiden. Presiden memiliki kekuasaan membentuk peraturan secara atribusi, maupun delegasi (delegation of rule making power). Penjelasan UUD 1945 sudah dianggap bukan bagian dari UUD 1945, tetapi rumusan “kecuali ‘executive power’, Presiden bersama-sama dengan DPR menjalankan ‘legislative power’ dalam Negara, masih tetap relevan. Dalam prakteknya Presiden tetap menjalankan ‘legislative power’ bersama-sama dengan DPR.Rumusan pasal yang menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, menjadi tidak jelas maknanya.Jika hal itu dipegang teguh, dipatuhi secara konsisten dan konsekuen, maka seharusnya naskah undang-undang ditandatangani atau ditandatangani serta (contrasein, countersign) oleh Ketua DPR.Walaupun harus diakui bahwa keadaan seperti itu adalah cerminan dari sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem presidensial.
Kembali kepada kekuasaan atau wewenang membnetuk undang-undang, yang menurut Pasal 20 ayat (1) dipegang oleh DPR, ternyata ketentuan tersebut gugur apabila memperhatikan ketentuan Pasal 20 ayat (2)nya, yang menyatakan bahwa setiap rancangan undang-undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Artinya bahwa undang-undang adalah produk hukum bersama antara DPR dan Presiden/pemerintah. Dengan perkataan lain yang berwenang membentuk undang-undang tidak hanya DPR, tetapi DPR bersama sama presiden/pemerintah. Bila demikian maka rumusan Pasal 20 ayat (1) menjadi tiidak berarti alias gugur. Ini bukti bahwa sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan antara legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden) dalam pembentukan undang-undang. Menurut sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, Presiden pun menjalankan kekuasaan perundang-undangan (legislstive power), yaitu dalam pembentukan undang-undang, penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, penetapan peraturan pemerintah dan penetapan peraturan Presiden. Presiden memiliki kekuasaan membentuk peraturan secara atribusi, maupun delegasi (delegation of rule making power). Penjelasan UUD 1945 sudah dianggap bukan bagian dari UUD 1945, tetapi rumusan “kecuali ‘executive power’, Presiden bersama-sama dengan DPR menjalankan ‘legislative power’ dalam Negara, masih tetap relevan. Dalam prakteknya Presiden tetap menjalankan ‘legislative power’ bersama-sama dengan DPR.Rumusan pasal yang menyatakan DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang, menjadi tidak jelas maknanya.Jika hal itu dipegang teguh, dipatuhi secara konsisten dan konsekuen, maka seharusnya naskah undang-undang ditandatangani atau ditandatangani serta (contrasein, countersign) oleh Ketua DPR.Walaupun harus diakui bahwa keadaan seperti itu adalah cerminan dari sistem pemerintahan parlementer, bukan sistem presidensial.
Kekuasaan konstitusional Presiden
menurut UUD 1945 meliputi kekuasaan yang bersifat eksekutif, yang bersifat
legislatif dan yang bersifat yudikatif.Kekusaan yang bersifat legislatif
meliputi pembentukan undang-undang bersama DPR dan menetapkan Peraturan
Pemerintah Prngganti Undang-undang. Selain itu Presiden memiliki kekuasaan
regulatif, yakni menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.Kedua
jenis peraturan perundang-undangan tersebut tergolong sebagai peraturan
delegasian. Peraturan Pemerintah adalah
peraturan delegasian dari undang-undang, sedangkan peraturan Presiden dapat
merupakan delegasian dari undang-undang maupun delegasian dari Peraturan
Pemerintah[10].
Mengenai delegasian terhadap Peraturan Pemerintah, Prof. A Hamid Attamimi menyatakan bahwa tidak perlu ada delegasian secara khusus, artinya bahwa sesuatu materi yang sudah diatur dalam undang-undang tanpa ada perintah lebih lanjut, dapat ditetapkan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, karena wewenang menetapkan Peraturan Pemerntah sudah diatribusikan oleh Pasal 5 ayat (2) UUD 1945. Sebaliknya, Bagir Manan menyatakan perlunya ada delegasian terlebih dahulu secara khusus dari undang-undang mengenai materi apa saja yang perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah tersebut.
E.
Kekuasaan Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang
Kekuasaan Presiden menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang diatur dalam Pasal 22 UUD 1945.Pasal
tersebut mengenai kekuasaan Presiden menetapkan “peraturan darurat” (noodrechtsverordening).Meskipun
disyaratkan bahwa pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
harus “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”.Pembentukan peraturan
tersebut dimaksudkan agar pemerintah dapat bertindak cepat. Hal itu tergambar
dalam Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan:
(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden
berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.
(2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan
Pemerintah itu harus dicabut.
Jadi, untuk
membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang diperlukan
persyaratan “keadaan kegentingan yang memaksa”. Apa yang dimaksud dengan “keadaan kegentingan yang memaksa” itu?
Tidak dijelaskan. Praktik ketatanegaraan membuktikan bahwa pengertian “keadaan
kegentingan yang memaksa” dapat berupa keadaan darurat (Perang atau Darurat Sipil), keadaan bahaya, dan
keadaan yang mendesak. Berkaitan dengan
keadaan waktu yang sangat mendesak atau terbatas, apabila suatu materi tertentu
dimuat dalam suatu Undang-undang, maka tidak akan memungkinkan untuk segera
dibuat, dibahas dan ditetapkan. Oleh
karenanya, untuk sementara, materi tersebut dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undangMisalnya, pada tahun 1984 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang tentang penangguhan berlakunya UU Perpajakan Tahun 1983 dan pada
tahun 1992 dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang
penangguhan berlakunya UU Lalu Lintas Angkutan Jalan. Mengingat waktu yang
sangat mendesak maka penangguhan berlakunya kedua undang-undang tersebut tidak
mungkin dilakukan dengan undang-undang. Kemudian, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang No.1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM, dalam
konsideransnya antara lain menyatakan bahwa berdasarkan kondisi yang sangat
mendesak dikaitkan dengan tanggung jawab untuk ikut memelihara perdamaian
dunia, maka untuk pelanggaran HAM yang berat, perlu segera diselesaikan oleh
Pengadilan HAM”. Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang masih
dirasakan baru adalahPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Jadi, ada “kondisi
yang sangat mendesak” sebagai dasar pertimbangan. Kondisi yang sangat
mendesak dijadikan sebagai dasar
pertimbangan penghalalan (legal obstacle)
pembentukan Perpu tersebut.
Sebagaimana
diuraikan dalam Penjelasan Pasal 22 UUD 1945, bahwa Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang merupakan implementasi “hak untuk membentuk peraturan darurat” (noodverordeningsrecht)
dari Presiden. Hal ini sebagai suatu “exception” dalam proses pembentukan
peraturan yang akan mengikat rakyat, dengan harapan agar supaya keselamatan
Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa
Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Jadi pengecualiannya hanya pada
proses atau tata cara pembentukan, bukan pada substansi. Oleh karena Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut harus mendapat persetujuan (atau
penolakan) dari DPR pada persidangan berikutnya, ini menunjukkan bahwa
substansi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang adalah sama dengan
substansi Undang-undang. Oleh sebab itu
pula kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang sama atau sederajat
dengan Undang-undang. Tetapi perlu dipahami bahwa Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undangtidak sama dengan undang-undang. MenyamakanPeraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang
dengan undang-undang adalah sebah kekeliruan.
Masalahnya, adalah:
a.
Apa
kriteria atau tolok ukur dari “kegentingan yang memaksa”?
b.
Kapan
saat atau waktu “persidangan yang berikut” tsb?
c.
Bila
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut tidak disetujui oleh DPR,
maka Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut harus dicabut (oleh Pemerintah?).
d.
Apa
jenis peraturan perundang-undangan untuk pencabutan tsb?
Tidak ada kriteria mengenai “keadaan
kegentingan yang memaksa”. Kriteria
tersebut diserahkan kepada Presiden.
Dalam hal ini Presiden bebas menetukan
atau menilai bahwa ada keadaan kegentingan yang memaksa sehingga perlu
ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Apakah perlu ada kriteria yang ditetapkan
oleh Undang-undang? Sebenarnya tidak perlu, karena bagaimanapun alasannya,
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersebut pada persidangan berikutnya harus dibahas oleh DPR. Kontrol akan diberikan oleh DPR dalam bentuk
penolakan atas dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Masalahnya, apakah “suara” DPR akan seirama dengan Presiden? Hal itu tergantung
dari sistem politik yang dianut. Selain itu, UUD tidak memerintahkan pengaturan
lebih lanjut Pasal 22 dengan undang-undang. Dalam praktik pencabutan atau
penolakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang dilakukan dengan
undang-undang.
Dulu, jika suatu
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang disetujui menjadi Undang-undang,
biasanya dalam penulisan Undang-undang
tersebut disertai dengan huruf Prp,
misalnya Undang-undang Nomor 19 Prp. Tahun 1960 tentang Perusahaan
Negara. Dengan inisial tersebut terlihat bahwa undang-undang itu berasal dari
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. Dewasa ini dengan berdasarkan
padaUU No. 12 Tahun 2011 jo.UU No. 10 Tahun 2004 cara penulisan tersebut ditiadakan.
Dalam Penjelasan
Pasal 22 UUD 1945 Asli ada istilah ”noodverordeningsrecht”.
Perkataan recht disini bukan padanan
kata hukum tetapi hak. Dengan demikian noodverordeningsrecht
artinya hak (Presiden) membuat peraturan darurat (noodverordening). Berbeda dengan istilah staatsnoodrecht. Perkataan staat
dalam staatnoodrecht bukan pada
negara tetapi keadaan, sedangkan recht
disini memang berarti hukum, sehingga noodrecht
artinya hukum darurat, sehingga staatnoodrecht
artinya hukum (dalam keadaan) darurat. Ada pula istilah lain: noodstaatsrecht. Frasa staatsrecht adalah padanan hukum tata
negara, sehingga noodstaatsrecht
adalah hukum tata negara darurat[11].
F.
Menetapkan Peraturan Presiden.
Mengenai Peraturan
Presiden (Perpres), UUD 1945 tidak menyebutnya. Artinya tidak ada dasar
konstitusional yang mengabsahkan keberadaan Perpres. Keberadaan Perpres lahir
dalam praktik. Bentuk Peraturan Presiden
pertama kali muncul tahun 1946. Baik materi maupun bentuk, memang berupa
peraturan. Dilihat dari materi dan bentuk pengaturannya tidaklah berbeda dengan
Peraturan Pemerintah[12].
Dengan ditetapkannya TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 jenis peraturan Peraturan
Presiden ditiadakan. Peraturan yang
dikeluarkan oleh Presiden selain Peraturan Pemerintah dituangkan dalam
Keputusan Presiden. Jadi, saat itu Keputusan Presiden ada yang berupa peraturan
dan ada juga yang berupa ”ketetapan” (beschikking)
yang bersifat ”einmahlig”.
Sejak dikeluarkan
TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tidak dikeluarkan lagi bentuk Peraturan Presiden (dan Penetapan
Presiden). Dengan UU No. 5 Tahun 1969 sebagai pelaksanaan dari Ketetapan MPRS
No.XIX/MPRS/1966 tentang peninjauan kembali produk-produk legislatif diluar
produk MPRS yang tidak sesuai dengan UUD, dituangkan dalam undang-undang.
Undang-undang yang berasal dari peraturan presiden ditulis dengan tanda huruf
”Prps”, dan undang-undang yang berasal dari penetapan presiden ditulis dengan
tanda huruf ”Pnps”. Misalnya,
Undang-Undang No. 10 Prps Tahun 1965 dan
Undang-undang No. 11 Pnps Tahun
1967. Namun setelah berlakunya TAP MPRS
No.XX/MPRS/1966 materi yang berupa peraturan maupun yang berisi ketetapan
dituangkan dalam Keputusan Presiden, meskipun dalam Lampiran TAP MPRS
No.XX/MPRS/1966 tersebut dijelaskan bahwa Keputusan Presiden bersifat ”einmahlig”.
Hal itu berjalan
hingga dikeluarkannya Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU No. 10 Tahun 2004 dicantumkan secara
eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1): Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
a.
Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945;
b.
Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c.
Peraturan
Pemerintah;
d.
Peraturan
Presiden;
e.
Peraturan
Daerah.
UU
No. 10 Tahun 2004 diganti dengan UU
No.12 Tahun 2011. Dalam Pasal 1 UU No. 12 Tahun 2011 didefinisikan:
Peraturan Presiden
adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan
perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dalam
menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Kemudian,
dalam Pasal 11 disebutkan: Materi muatan
Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang atau
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
Jadi
ada dua fungsi dari Peraturan Presiden, yaitu untuk melaksanakan Undang-Undang
(seperti halnya Peraturan Pemerintah), tetapi harus secara tegas diperintahkan
oleh Undang-Undang; dan untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Peraturan
Presiden untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah tanpa harus ada perintah dari
Peraturan Pemerintah tersebut, Peraturan Presiden dapat ditetapkan. Sementara
untuk melaksanakan Undang-undang harus secara eksplisit disebut dalam
undang-undang pendelegasiannya, ada semacam ”delegation
of rule making power”.
---------------------------
Daftar Bacaan:
Bagir Manan, DPR,DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH
UII PRESS, 2003.
Bagir Manan dan
Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum
Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997.
Hans
Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, New
York, Russell & Russell., 1973.
UUD
1945 Perubahan Pertama Hingga Keempat
Undang-Undang
No. 10 Tahun 2004
Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011
Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan
Presiden.
[1] Hans Kelsen, General
Theory of Law and State,translated by Anders
Wedberg, New York, Russell & Russell,hlm 256.
[2]Pasal 20 ayat (2) UUD
1945 Perubahan Kedua.
[3] Hamid S Attamini: Peranan Keputusan Poresiden RI dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia,
Jakarta,
1990, hlm
146 dan 153.
[4]Peraturan yang serupa
yang pernah dikeluarkan pada Jaman Hindia Belanda bernama Regeringsverordening (Regering
= pemerintah, verordening =
peraturan).
[5] Ada kontradisksi
ketentuan Pasal 20 ayat (1) dengan Pasal 20 ayat (2), meskipun dalam prakteknya
berlaku ketentuan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua.
[7] Hans Kelsen,op.
cit., hlm 257,
berpendapat bahwa:The general norms issued by organs of the executive
power are usually not called “statutes” but “ordinances” or “regulations”.
Regulations or ordinances not issued on the basis of a statute which they put
into effect but issued instead of statutes are called “decrets-lois” in French,
Verordnungen mit Gesetzeskraft in German terminology.
[8]
Adapun kekuasaan Presiden di bidang legislatif berupa:
(1)
Mengajukan
RUU kepada DPR (pasal 5 ayat (2) UUD 1945);
(2)
Membahas
RUU bersama DPRD (pasal 20 ayat (2) UUD 1945);
(3)
Mengesahkan
RUU yang telah disetujui bersama DPR menjadi undang-undang (Pasal 20 ayat (4)
UUD 1945);
(4)
Menetapkan
Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945);
(5)
Menetapkan
Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagai mana mestinya (Pasal 5 ayat (2));
(6)
Menetapkan
Peraturan Presiden untuk menjalankan Undang-undang dan atau Peraturan
Pemerintah (Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan UU No.
12 Tahun 2011).
[9] Menurut hemat Penulis, Undang-undang Nomor 10
Tahun 2004 telah melanggar perintah dalam Pasal 22A UUD 1945, karena Pasal 22A
hanya memerintahkan pembentukan undang-undang tentang tata cara pembentukan
undang-undang, bukan pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu,
Pasal 22A tersebut hanya memerintahkan pembentukan mengenai tata cara
(prosedural) bukan mengenai substansi lain (hukum material), misalnya
mengenai jenis-jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa materi tersebut perlu diatur, tetapi harus taat asas dengan
perintah dalam ketentuan Pasal 22A UUD 1945. Menambah “permintaan” dalam UUD
berarti melanggar UUD karena telah melebihi kewenangan dari yang seharusnya
(ultra vires). Bila demikian, apakah yang salah rumusan dalam Pasal 22A UUD
1945 atau pembentuk undang-undang dalam menafsirkannya?
[10] Lihat Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan: Materi
muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-Undang,
materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau materi untuk melaksanakan
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
[11]Bagir Manan, DPR,DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH
UII PRESS, 2003, hlm 43.
[12]Bagir Manan dan
Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum
Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997 hlm 198-199
Tidak ada komentar:
Posting Komentar