Selasa, 01 Mei 2018

PERSANDINGAN GAGASAN SISTEM PEMERINTAHAN MENURUT UUD 1945 PERUBAHAN DAN USULAN KOMISI KONSTITUSI


PERSANDINGAN GAGASAN SISTEM PEMERINTAHAN
MENURUT UUD  1945 PERUBAHAN DAN USULAN KOMISI KONSTITUSI

Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

1.   Pendahuluan
Walaupun UUD 1945 telah empat kali diubah secara berturut-turut[1],  tetapi masih menyisakan berbagai kritikan dan permasalahan. Salah satu permasalahan yang dirasakan masih rancu adalah mengenai sistem pemerintahan. Sebelum dilakukan perubahan secara formal,tersebut, perubahan dilakukan tanpa mengubah teks (rumusan) pasal-pasal, yaitu melalui praktik ketatanegaraan (konvensi). Namun praktik ketatanegaraan menimbulkan ketidakpastian. Pada zaman Presiden Soekarno, misalnya, dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X (eks) tanggal 16 Oktober 1945 telah mengubah ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan.  Kedudukan Komite Nasional Pusat (KNIP) yang semula sebagai badan pembantu Presiden telah direposisikan  sebagai badan legislatif yang menjalankan fungsi MPR dan DPR. Kemudian disusul dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tertanggal 14 Nopember 1945 tentang pembentukan Kabinet Sutan Syahrir. Hakekat dari keberadaan Maklumat Pemerintah tersebut adalah  mengubah  pertanggungjawaban Menteri.   Menteri yang  diangkat dan diberhentikan oleh Presiden  bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara berdasarkan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tersebut, Menteri bertanggung jawab  kepada KNIP sebagai badan legislatif sementara. Kebijakan dan tindakan-tindakan Pemerintah yang dilakukan kemudian telah mengakibatkan pergeseran-pergeseran sistem pemerintahan, yaitu dari sistem Presidential ke sistem Parlementer dan sebaliknya dari sistem Parlementer ke sistem Presidential.
Pada waktu rezim Orde Baru, sistem Presidential ingin dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Namun kerancuan dan ketidakjelasan rumusan pasal-pasal dalam UUD 1945 mengakibatkan multi penafsiran.  Penafsiran tunggal lebih memihak kepada kepentingan penguasa atau kepentingan golongan tertentu. Pertanggungjawaban Presiden kepada MPR yang dikembangkan dalam praktik selalu dilakukan pada  akhir masa jabatannya. Rumusan Pasal 7 UUD 1945 asli yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, selalu ditafsirkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih setiap lima tahunan tanpa ada pembatasan berapa kali dia dapat dipilih kembali. Padahal hakekat konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan, karena kekuasaan cenderung untuk diselewengkan (power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely).   BJ Habibie yang menggantikan Soeharto berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, belum menginjak satu tahun, oleh MPR  dimintai pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban BJ Habibie  ditolak dan berakhir pada pemberhentian. Padahal  ketentuan Pasal 8 UUD 1945 menyatakan,:”Jika Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya.” Pertanyaannya: Apakah arti kata sampai habis waktunya tersebut?
Pada saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat sebagai Presiden terjadi lagi “gejolak”. Konflik antara parlemen (MPR dan DPR) dengan Presiden mencapai klimaks. Presiden mengeluarkan Dekrit pembubaran parlemen, dengan alasan bahwa sistem pemerintahan yang berlaku adalah sistem parlementer. Secara konstitusional, dalam sistem pemerintahan Parlementer, Presiden (Kepala Negara) berwenang membubarkan parlemen. Dekrit Presiden tersebut dibatalkan oleh keputusan/fatwa Mahkamah Agung, sehingga dalam Sidang Istimewa MPR yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden, MPR  mencabut mandat yang diberikan kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Pada saat itu Presiden tidak hadir dalam persidangan dan dianggap tidak mau mempertanggungjawabkan kebijakannya. Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menggantikan kedudukan Abdurrahman Wahid. Megawati Soekarnoputri diangkat sebagai Presiden RI kelima. Tentunya berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUD 1945.  
Desakan untuk melakukan perubahan UUD 1945, khususnya mengenai pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden semakin gencar diupayakan. Pada pelaksanaannya bukan hanya menyangkut masa jabatan, tetapi juga menyangkut kewenangan Presiden, seperti perubahan Pasal 5 ayat (1) tentang kewenangan membentuk Undang-undang, Pasal 13 ayat (3) tentang penerimaan penempatan duta negara lain, Pasal 14 ayat (2) tentang pemberian amnesty dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR. Pemberian grasi dan rehabilitasi  juga harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14  ayat (1)). Perubahan tersebut didasarkan pada alasan  untuk membatasi secara tegas kekuasaan atau kewenangan Presiden, dan memberdayakan DPR melalui pemberian kewenangan (attributie van wetbevoegdheid) membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1)). Sebelumnya, kekuasaan membentuk undang-undang ada pada Presiden (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 asli). Dengan pergeseran kekuasaan seperti itu diharapkan agar “executive heavy” berubah menjadi “legislative heavy”. Masalahnya, apakah hal itu sesuai dengan gagasan sistem pemerintahan presidential dengan checks and balances-nya? Bukankah konsepsi “legislative heavy” merupakan implementasi dari sistem pemerintahan parlementer, sebagaimana berkembang di Kerajaan Inggris (United Kingdom), dengan supremasi parlemennya yang “omnipotent”?  Seperti dikemukakan oleh James Bryce bahwa “Parliament is supreme above all other authorities, or, in other words, Parliament is Sovereign”.[2]    Ide sistem presidential murni yang digagas, tetapi dalam kenyataannya berbaur dengan ciri-ciri sistem parlementer!
Doktrin mengajarkan bahwa pengertian pemerintahan (government) mengandung dua arti yaitu  pemerintahan dalam arti luas (government in the broarder sense) dan pemerintahan dalam arti sempit (government in the narrower sense). Pemerintahan dalam arti luas, jika dihubungkan dengan teori tripraja (trias politika) meliputi legislative power, executive power dan judicial power yang disebut “the three departments of government[3]  Pengertian sistem pemerintahan (the governmental system) dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik antara ketiga cabang pemerintahan tersebut dan atau hubungan timbal balik antara parlemen dan eksekutif. Hubungan timbal balik di antara ketiga cabang pemerintahan dapat menimbulkan sistem pemisahanan kekuasaan (separation of powers) dan sistem pembagian kekuasaan (division or distribution of powers). Sistem yang disebut terakhir dalam perkembangannya menimbulkan berbagai bentuk (forms of separation) seperti distribution, differentiation, isolation, dan confrontation.[4] Bentuk lainnya berupa pengawasan atau pengimbangan dari satu cabang pemerintahan terhadap tindakan cabang pemerintahan yang lain (the checking or balancing of one branch of government by the action of another). Bentuk atau model hubungan pemerintahan seperti ini cenderung banyak diterapkan di berbagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidential.
2.   Sistem Pemerintah Menurut UUUD 1945 Asli
Seperti banyak dikemukakan dalam berbagai literatur, nomenklatur sistem pemerintahan dibedakan antara sistem pemerintahan Parlementer (The Parliamentary Executive atau Cabinet Government) dan sistem pemerintahan Presidential (Presidential Government atau The Non-Parliamentary Executive atau Fixed Executive).[5] HD Traill sebagaimana disitir oleh CF Strong mengemukakan pengertian Cabinet (the political conception of the Cabinet) adalah suatu badan yang umumnya berisikan:
a.     of members of the Legislature),
b.     of the same political views, and chosen from the party possessing a majority in the House of Commons,
c.     prosecuting a concerted policy,
d.     under a common responsibility to be signified by collective resignation in the event of parliamentary censure,
e.     acknowledging a common subordination to one chief minister.[6]
Mengenai ciri-ciri sistem pemerintahan Parlementer dan ciri-ciri sistem pemerintahan Presidential, Alan R Ball dalam bukunya yang berjudul Modern Politics and Government, merinci sebagai berikut:
1).Ciri Sistem Pemerintahan Parlementer:
a.    There is a nominal head of state whose function are chiefly formal and ceremonial and whose political influence is small. This head of state may be a monarch, as in the United Kingdom, Japan or Australia, or a President  as in West Germany, India or Italy (Kepala Negara hanya mempunyai kekuasaan yang nominal, dengan fungsi sebagai pimpinan formasl dan bersifat seremonial serta pengaruhnya terhadap kehidupan politik sangat kecil. Kepala Negaranya, mungkin seorang raja, seperti di Inggris, Jepang dan Australia; atau seorang Presiden seperti di Jerman Barat, India atau Italia);
b.    The political executive, the prime minister, chancellor, etc, together with the cabinet, is part of the legislature, and can be removed by the legislature if the legislature withdraws its support (Pemegang kekuasaan eksekutif, Perdana Menteri, Kanselir, dsb. Bersama-sama dengan Dewan Menteri, merupakan bagian dari badan legislative dan dapat diberhentikan oleh Badan Legislatif apabila badan tersebut menarik dukungannya);
c.    The legislature is elected for varying period by the electorate, the election date being chosen by the formal head of state on the advice of the prime minister or chancellor (Badan legislative dipilih untuk waktu yang bervariasi, tanggal pemilihan ditetapkan oleh kepala negara  atas saran perdana menteri atau kanselir).[7]
2). Mengenai ciri-ciri sistem pemerintahan Presidential oleh Alan R Ball dikemukakan sebagai berikut:
a.    The president is both nominal and political head of state (Presiden adalah kepala negara yang nominal dan sekaligus kepala pemerintahan);
b.    The president is elected not by the legislature, but directly by the total electorate (the Electorate College in the United States is a formality, and is likely to disappear in the near future). The president is not part of the legislature, and he cannot be removed from office by the legislature except through rare legal impreachments (Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih secara langsung oleh sejumlah pemilih, yang di Amerika Serikat secara formal disebut “Badan Pemilih”. Presiden bukan bagian dari badan legislatif dan tidak dapat diberhentikan dari jabatannya oleh badan legislatif, kecuali didakwa secara hukum);
c.    The president cannot dissolve the legislature and call a general election. Usually the president and the legislature are elected for fixed terms (Presiden tidak dapat membubarkan badan legislatif/parlemen dan menyelenggarakan pemilihan umum. Biasanya Presiden dan badan legislative dipilih untuk suatu waktu tertentu).[8]
Berdasakan ciri-ciri sistem pemerintahan yang dikemukakan di atas, termasuk ke dalam sistem pemerintahan yang mana sistem yang dianut oleh UUD 1945 asli?
Mengenai sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945 asli terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa UUD 1945 asli menganut sistem pemerintahan Presidential. Alasan yang dikemukakan ialah bahwa Presiden selain sebagai Kepala Pemerintahan juga memegang jabatan sebagai Kepala Negara (vide Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 10 s/d Pasal 15, dan Pasal 17). Dari ketentuan pasal-pasal tersebut tergambar hal-hal sebagai berikut:
a.    Presiden memegang kekuasaan pemerintahan (executive power), Presiden adalah chief executive.
b.    Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power),
c.    Presiden dipilih oleh MPR sebagai badan legislatif,
d.    Presiden menjalankan kekuasaan kepala negara (head of state),
e.    Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri. Menteri-menteri bertanggung jawab kepada Presiden.
Jika merujuk kepada ketentuan Batang Tubuh (pasal-pasal), maka jelas bahwa UUD 1945 asli menganut sistem pemerintahan Presidential. Namun, apabila diperhatikan Penjelasan UUD 1945  dan praktik ketatanegaraan yang berkembang hingga diubahnya UUD 1945, maka ciri-ciri sistem Parlementer-pun terdapat di dalamnya. Ciri-ciri tersebut ialah:
a). diangkatnya atau dipilihnya Presiden oleh sebuah badan legislatif, dalam hal ini Majelis Permusyawaratan Rakyat,
b). masa jabatan Presiden yang tidak tetap seperti berlaku di Amerika Serikat,
c). dapat dijatuhkannya (penulis: diberhentikan) Presiden oleh MPR yang berarti adanya pertanggungan-jawab Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif kepada MPR sebagai badan yang memilihnya.[9]
Oleh karenanya maka dapat dikatakan bahwa sistem pemerintahan yang dianut berdasarkan UUD 1945 asli adalah sistem pemerintahan campuran atau kombinasi yang murni. [10]
Para pakar sependapat bahwa Penjelasan UUD 1945 adalah ketentuan yang bersifat extra-konstitusional, bukan ketentuan yang bersifat normatif. Penjelasan UUD 1945 adalah sebuah “memorie van toelichting”. Namun, praktik ketatanegaraan telah menggugurkan argumen tersebut. Penjelasan Umum tentang Sistem Pemerintahan Negara angka III yang menyatakan:
“….Majelis inilah yang memegang kekuasaan Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah “mandataris” dari Majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.”
lebih “diakui” sebagai ketentuan yang berlaku, mengikat dan dijalankan dalam kehidupan ketatanegaraan. Hal itu  diadopsi dalam Ketetapan-ketetapan MPR, antara lain dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Ketetapan MPR No.III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga Tinggi Negara. Keberadaan Ketetapan MPR No.XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno, Ketetapan MPR No.III/MPR/1999 tentang Penolakan Pertanggungjawaban Presiden RI Prof.Dr.Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, dan Ketetapan MPR No. /MPR/ tentang Pemberhentian KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. adalah realisasi dari sistem pertanggungjawaban eksekutif kepada parlemen.

3.   Sistem Pemerintahan Berdasarkan UUD 1945 Baru.
Jika dicermati dengan seksama, Perubahan Pertama UUD 1945 substansinya hanya menyangkut dua hal pokok, yaitu:
Pertama, usaha memberdayakan Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Kedua, membatasi kekuasaan Presiden.[11]
Secara ringkas perubahan tersebut hanya berkaitan dengan hubungan tata kerja antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden. Kongkritnya hanya berupa perubahan atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Semua perubahan tersebut pada dasarnya menggeser pendulum dari executive heavy ke legislative heavy. Walaupun demikian perubahan tersebut tidak dilakukan secara tuntas. Perubahan berikutnya yang berkaitan dengan pembatasan kekuasaan Presiden dilakukan pada perubahan ketiga. Perubahan kedua lebih terfokus pada substansi mengenai DPR, Hak Asasi Manusia dan Warga Negara, Pemerintahan Daerah, Pertahanan dan Keamanan, serta Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan. Hingga perubahan keempat hampir semua persoalan/materi yang ada dilakukan perubahan. Oleh karena itu ada kesan bahwa UUD 1945 bukan direvisi atau diubah, tetapi diganti. Sadar atau tidak bahwa perubahan UUD 1945 bukan sekedar mengubah (menambah, mengurangi, mengganti rumusan) tetapi juga mengganti falsafah dasarnya[12]. Falsafah Pancasila digeser oleh paham liberal. Hal itu antara lain tergambar dalam rumusan Pasal 6A yaitu bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.  Sebelumnya, UUD 1945 lebih menekankan pada prinsip permusyawaratan/perwakilan, sehingga Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR sebagai  penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Kini, setelah dilakukan perubahan, MPR hanyalah sebagai dewan konstituante yang berwenang menetapkan UUD dan sebagai majelis perubahan UUD yang berwenang mengubah UUD (Pasal 3 ayat (1)). MPR tidak lagi sebagai “the supreme body”. Jadi tidak ada lembaga negara yang satu berada di atas lembaga-lembaga negara yang lain.[13]
Untuk menentukan sistem pemerintah apa yang dianut oleh UUD 1945 Perubahan, harus diperhatikan ketentuan-ketentuan (rumusan) pasal-pasal UUD tersebut. Dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan (2)  (tidak diamandemen), serta Pasal 17[14] tersimpul bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dalam negara. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri-menteri. Presiden adalah chief executive. Sebagai kepala pemerintahan Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7UUD 1945 Perubahan Pertama). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (UUD 1945 Perubahan Pertama Pasal 5 ayat (1)). Presiden bersama Dewan Perwakilan Rakyat membentuk undang-undang (vide UUD 1945 Perubahan Pertama Pasal 20 ayat (2) s/d (4)).[15]Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undanng (Pasal 22). Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2)). Hak-hak dan wewenang tersebut diatas sebagai implementasi dari “legislative power” dan “pouvoir reglementair” yang dimiliki oleh Presiden. Ciri lain yang terdapat dalam rumusan UUD 1945  adalah seperti dirumuskan dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga Pasal 7C, yaitu Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Ini adalah salah ciri esensial dari sistem pemerintahan Presidential.
Dengan mengacu kepada ketentuan-ketentuan sebagaimana diuraikan diatas, sudah dapat dipastikan bahwa UUD 1945 hasil amandemen bercirikan sistem pemerintahan Presidential. Belum lagi ketentuan Pasal 6A yang menunjukkan sistem Presidential murni, bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Ciri lain yang tergambar dalam ketentuan pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen adalah kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara (head of state) yang dirumuskan dalam Pasal 10 s/d 15. Walaupun demikian, dalam rumusan pasal-pasal tersebut masih tersirat adanya sistem pemerintahan Parlementer, seperti termuat dalam rumusan:
Pasal 13 (2) Dalam hal mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.Pasal 14 (2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam pembentukan undang-undang sangat jelas kelihatan dominasi peran DPR, Pasal 20 ayat (1) memperlihatkan bahwa kekuasaan membentuk undang-undang berada pada DPR, yang sebelumnya menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 wewenang membentuk undang-undang berada pada Presiden.
Semula ide perubahan UUD 1945 yang berhubungan dengan sistem pemerintahan adalah mempertegas sistem pemerintahan Presidential, dan menganulir semua ketentuan yang berbau sistem pemerintahan Parlementer sebagaimana dimuat dalam penjelasan UUD 1945 serta praktik ketatanegaraan selama bertahun-tahun. Diyakini bahwa Penjelasan Umum UUD 1945 merupakan sumber ketidakjelasan, kerancuan dari sistem pemerintahan yang berlaku saat itu. Penghapusan secara tegas “norma-norma hukium” yang terdapat dalam penjelasan umum UUD 1945, dituangkan dalam Aturan Tambahan Pasal II, yang menyatakan: Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal”. Jadi, Penjelasan UUD 1945 dinyatakan tidak ada lagi. UUD 1945 hanya meliputi Pembukaan dan pasal-pasal (Batang Tubuh).
Muncul pertanyaan: Apakah benar ide perubahan tersebut terlaksana? Apakah rumusan pasal-pasal UUD 1945 yang baru benar-benar mencirikan sistem pemerintahan Presidential murni? Adakah ketentuan lain yang dapat menggoyahkan hal itu? Kehawatiran akan terjadinya penyimpangan terhadap ketentuan pasal-pasal UUD 1945 masih dimungkinkan, karena praktik ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia lebih cenderung berupa penghapusan (nullifying) atau membuat ketentuan dalam UUD 1945 tidak dilaksanakan menurut bunyi atau arti yang terkandung didalamnya.[16]   Penyampaian (laporan) pertanggungjawaban dari lembaga-lembaga negara kepada MPR dalam sidang tahunan yang diselenggarakan hingga tahun 2000, mensiratkan kesan  kedudukan MPR sebagai lembaga negara tertinggi.
Selain itu, ada satu pasal yang memungkinkan terjadinya pergeseran sistem pemerintahan dari sistem Prasidential ke sistem pemerintahan Parlementer, yaitu ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 Perubahan keempat. Jika pasal tersebut berfungsi secara efektif, akan menimbulkan pergantian sistem pemerintahan yang dikehendaki, yaitu menjadi sistem pemerintahan Parlementer. Dengan pola pikir yang dianut oleh pasal tersebut  sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kembali ke model sebelum UUD 1945 diubah, yaitu Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Lepas dari alasan (argumentasi) bahwa ketentuan itu adalah sebuah pengecualian (exception) karena dianggap dalam keadaan darurat, tetapi produknya akan menjadi suatu keadaan yang tetap. Katakanlah Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat tersebut tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan (termasuk dalam pengertian ini adalah Presiden dan Wakil Presiden meninggal dunia), maka Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama  melaksanakan tugas kepresidenan.         Pelaksanaan tugas kepresidenan oleh tiga orang menteri tersebut bersifat sementara waktu.  Apabila diperhatikan rumusan pasal tersebut lebih lanjut, yang menyatakan:
“Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan….”.  [17]    
maka jelas bahwa MPR memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam keadaan seperti itu  Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh MPR adalah  sah secara konstitusional dan berhak  menggantikan Presiden dan Wakil Presiden (yang dipilih langsung oleh rakyat), hingga berakhir masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang digantikannya. Benar atau salah, ini adalah pola lama, pola UUD 1945 sebelum diubah. Secara tidak disadari pasal ini  akan menghidupkan kembali  sistem pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR. Sudah barang tentu Presiden (khususnya) yang diangkat oleh MPR akan tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, ia adalah “Mandataris” dari MPR, ia berwajib menjalankan putusan-putusan MPR.
Pada sisi lain pemilihan Presiden oleh MPR bertentangan dengan prinsip yang dianut Pasal 6A yaitu pemilihan secara langsung. Oleh karenanya rumusan Pasal 8 ayat (3) harus tetap mengacu kepada ketentuan Pasal 6A. Jadi harus dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden baru, dengan calon-calon baru. Atau pemilihan dengan calon-calon yang pernah ikut dalam pemilihan sebelumnya. Mungkin hanya pasangan calon-calon yang memperoleh suara terbanyak kedua dan ketiga (jika calonnya lebih dari dua pasang) yang berhak mengikuti pemilihan. Mungkin juga ditetapkan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak kedua yang dapat langsung menggantikan kedudukan Presiden dan Wakil Presiden. Yang jelas,  semuanya harus dikembalikan kepada tata cara pemilihan secara langsung, bukan dipilih oleh MPR. 
4.   Sistem Pemerintahan Menurut Gagasan Komisi Konstitusi
Sebagaimana dimaklumi berdasarkan TAP MPR No.I/MPR/2002 dibentuk Komisi Konstitusi. Pada tahun 2003 dikeluatkan Keputusan  MPR No.4/MPR/2003 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan dan Keanggotaan Komisi Konstitusi.[18] Tugas Komisi Konstitusi adalah melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilakukan oleh MPR. Kajian komprehensif tersebut harus merujuk kepada kesepakatan dasar fraksi-fraksi MPR sebelum melakukan perubahan yaitu:
1.     Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
2.     Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.     Mempertegas sistem presidensial,
4.     Meniadakan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dan memasukkan hal-hal yang normatif dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam pasal-pasal,
5.     Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Sudah dapat dipastikan bahwa Gagasan Komisi Konstitusi untuk melakukan kajian komprehensif terhadap UUD 1945 Perubahan, khususnya mengenai sistem pemerintahan, adalah ingin mempertegas sistem pemerintahan presidential. Menurut Komisi  Konstitusi,  sistem pemerintahan menurut UUD 1945 Perubahan sebagai berikut:
1.    Dianut asas percampuran kekuasaan (ciri sistem pemerintahan parlementer sebagaimana diatur dalam  Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2). [19]
2.    Tidak ada pertanggungjawaban bersama antara Kepala Eksekutif dengan para menteri, para menteri bertanggung jawab secara penuh kepada Kepala Eksekutif. Sebagaimana diatur Pasal 17 ayat (3) bahwa menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (ciri sistem pemerintahan presidential),
3.    Kepala eksekutif tidak dapat membubarkan legislatif sebagaimana diatur Pasal 7C, bahwa Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (ciri sistem pemerintahan presidential). Namun dalam hal lain kepala eksekutif harus mengundurkan diri jika tidak memperoleh dukungan(?).
4.    Kepala eksekutif dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (Pasal 6).
Dengan demikian dalam Perubahan UUD 1945 dianut ciri-ciri sistem pemerintahan presidential dan mengandung unsur sistem pemerintahan parlementer.17
Sayang sekali, Komisi Konstitusi tidak memberikan solusi alternatif berkaitan dengan komentarnya terhadap Pasal 11 ayat (2) tersebut. Hal itu terbukti dengan membiarkan rumusan pasal tersebut (dalam usulannya) dikutip apa adanya. Berbeda dengan rumusan Pasal 20 ayat (2) yang dalam usulan Komisi Konstitusi tidak dirumuskan kembali atau dihapuskan. Kata-kata “mendapat persetujuan bersama” atau “disetujui bersama” dianggap tidak diperlukan. Komisi Konstitusi tidak memberikan argumentasi mengenai hal itu.
Jika dicermati dengan seksama, rumusan “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” mengandung arti bahwa rancangan undang-undang untuk dapat menjadi undang-undang harus dibahas bersama antara Pemerintah (Presiden?) dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Sadar atau tidak, rumusan tersebut beranjak dari pola pikir lama sebagaimana dikembangkan dalam praktik selama puluhan tahun. Menurut UUD 1945 asli,  undang-undang meskipun dibentuk oleh Presiden (vide Pasal 5 ayat (1)) tetapi merupakan produk dari kerja sama antara Pemerintah (Presiden) dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau menurut istilah Penjelasan Umum UUD 1945 adalah untuk membentuk undang-undang (termasuk materi APBN) Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ada sebuah inkonsistensi (ketidaksesuaian) antara rumusan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Pertama yang memberikan kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power) kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan rumusan Pasal 20 ayat (2).  Apakah kekuasaan membentuk undang-undang tersebut ada pada (dimilik oleh)  DPR atau ada pada DPR dan Presiden (Pemerintah)? Dengan perkataan lain, apakah UUD 1945 Perubahan menganut paham pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan?  Apabila yang dipakai adalah paham pembagian kekuasaan, maka rumusan Pasal 20 ayat (1) harus dihilangkan. Baik DPR maupun Presiden memiliki fungsi legislatif (legislative function). Seperti diterangkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 asli, yaitu “Kecuali “executive power”, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan “legislative power” dalam Negara”.  Sebaliknya, apabila paham pemisahan kekuasaan yang akan dipakai, maka rumusan Pasal 20 ayat (2) dihapuskan. Dengan rumusan seperti sekarang, terdapat dualisme pemberian kewenangan pembentukan undang-undang. Bahkan terdapat kontradiksi antara rumusan Pasal 20 ayat (1) dengan Pasal 20 ayat (2)!
Dari rumusan yang diusulkan Komisi Konstitusi terbukti bahwa undang-undang adalah hasil kesepahaman (politik) antara Presiden (Pemerintah) dengan Dewan Perwakilan Rakyat, meskipun bobot kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membahas dan memutuskan persetujuan (termasuk penolakan) RUU jauh lebih besar dibanding kekuasaan Presiden. Di sisi lain, Presiden memiliki kekuasaan untuk mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU menjadi undang-undang. Rumusan yang diusulkan Komisi Konstitusi relatif lebih mengarah kepada sistem presidential pola Amerika Serikat. Bedanya adalah tidak diatur (ditetapkan) secara eksplisit adanya kewenangan Presiden untuk melakukan “veto” ( termasuk masalah “pocket veto”). Presiden selain berwenang mengesahkan RUU, juga memiliki hak untuk menolak. Tentunya dengan argumentasi yang dapat dipahami. Apakah   hal itu akan dikembangkan melalui praktik ketatanegaraan?. Konsekuensinya tetap, bahwa rumusan  Pasal 20 ayat (1) harus dihapus, karena bertentangan dengan ayat-ayat berikutnya. Kalau kekuasaan membentuk undang-undang ada pada DPR, mengapa Presiden (Pemerintah) harus “ikut-ikutan” membahas RUU?

Jika memang yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang adalah DPR, seharus format undang-undang (dalam Pembukaan), setelah ditulis frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA dikuti dengan pejabat pembentuknya yaitu DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, bukan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Kenyataan itu menggambarkan bahwa yang memiliki kekuasaan membentuk undang-undang adalah Presiden. Dengan catatan, bahwa  pengertian “membentuk undang-undang” harus diartikan secara sempit, yaitu berupa  perbuatan memformulasikan putusan politik berupa penetapan norma-norma hukum dalam format yang baku dan tertentu. Secara luas “membentuk undang-undang” adalah proses yang dimulai dari adanya prakarsa, perencanaan, persiapan, penyusunan (teknik), perumusan, pembahasan di DPR, pengesahan dan pengundangan.[20]
Ada hal yang perlu digarisbawahi berkaitan dengan upaya “mempertegas sistem presidential”, yaitu penghapusan beberapa kalimat dalam Pasal 8 ayat (3) dan menambah satu ayat lagi yaitu ayat (4). Pasal 8 ayat (3) cukup dirumuskan sbb:
Jika Presiden dan Wakil Prtesiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Sesudah itu dilanjutkan dengan ayat (4) sbb:
Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu Komisi Pemilihan Umum menyelenggarakan pemilihan   Presiden dan Wakil Presiden.
Adanya penambahan ketentuan tersebut dimaksudkan agar:
Pertama, sesuai dengan ketentuan Pasal 6A yaitu bahwa Presiden dan Wakil Presiden RI dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Jika Presiden dan Wakil Presiden dipilih kembali oleh MPR maka akan menyimpang dari prinsip pemilihan secara langsung oleh rakyat. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR akan membawa konsekuensi yuridis bahwa yang dipilih bertanggung jawab kepada yang memilih. Apabila hal itu terjadi maka secara tidak sadar menghidupkan kembali “pola pikir” lama seperti saat rezim Orde Baru berkuasa. Hal tersebut mengaburkan sistem pemerintahan yang dianut, yaitu akan muncul kembali sistem pemerintahan parlementer disatu sisi dan sistem pemerintahan presidential di sisi yang lain. Dengan perkataan lain adanya ketentuan bahwa “MPR menyelenggarakan sidang untuk  memilih Presiden dan Wakil Presiden” (walaupun dalam “keadaan darurat”), dapat menimbulkan kerancuan terhadap sistem pemerintahan yang dianut. 
Kedua, sesuai dengan ide dasar amandemen UUD 1945 yang berhubungan dengan sistem pemerintahan adalah mempertegas sistem pemerintahan presidential. Mempertegas sistem pemerintahan presidential harus dibuktikan dalam rumusan pasal-pasalnya yang tidak memuat rumusan pasal yang mengandung ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer.


Daftar Bacaan
Bagir Manan, Konvesi Ketatanegaraan, Armico, Bandung, 1987.
Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, Penerbit Tarsito, Bandung, 1976
----------------------, UUD 1945, Kedudukan dan Aspek-aspek Perubahannya, Unpad Press, Bandung, 2002
CF Strong, Modern Political Constitutions, An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form, The English Language Book Society, London, 1966
Usep Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya,Ghalia Indonesia, cet.pertama, Jakarta, 1983


[1] Perubahan pertama ditetapkan 19 Oktober 1999, perubahan kedua ditetapkan 18 Agustus 2000, perubahan ketiga ditetapkan 10 Nopember 2001, dan perubahan keempat ditetapkan 10 Agustus 2002.
[2] CF Strong, Modern Political Constitutions, An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form, The English Language Book Society, London, 1966, p. 7.
[3] Ibid, p. 8.
[4] Geoffrey Marshall, Constitutional Theory, Oxford at the Clarendon Press, 1971, p. 100
[5] CF Strong, op. cit, p. 259
[6] ibid, p. 239-240
[7] Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, Penerbit Tarsito, Bandung, 1976, hlm 32. Terjemahan bebas dari penulis.
[8] Ibid, hlm 35-36  
[9] Ibid, hlm 56. Bandingkan dengan pendapat Usep Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya,Ghalia Indonesia, cet.pertama, Jakarta, 1983, hlm  84-85.
[10] Loc. Cit.        
[11] Sri Soemantri, UUD 1945, Kedudukan dan Aspek-aspek Perubahannya, Unpad Press, Bandung, 2002, hlm 21.
[12] Rumusan Pancasila dalam PembukaanUUD 1945 tidak diubah, tetapi hal tersebut tidak terimplementasikan dalam rumusan pasal-pasal perubahan, lebih-lebih dalam peraturan pelaksanaannya.
[13] Dalam konteks ini silahkan baca tulisan saya MPR: (bukan) Lembaga Negara Tertinggi?
[14] Rumusan Pasal 17 terdiri atas:
     (1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
     (2) Menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
     (3) Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
     (4) Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.
[15]   Dalam UUD 1945 hasil amandemen dipakai istilah “persetujuan bersama” dan “disetujui bersama”sebagaimana dimuat dalam Pasal 20 ayat (2), (3), (4) dan (5).  


[16] KC Wheare menyatakan adanya tiga bentuk konvensi, yaitu (1) Konvensi menghapuskan beberapa ketentuan dalam UUD,(2) Konvensi mengalihkan kekuasaan yang telah ditetapkan UUD, dan (3) Konvensi melengkapi UUD atau peraturan hukum ketetanegaraan yang sudah ada.—lihat Bagir Manan, Konvesi Ketatanegaraan, Armico, Bandung, 1987, hlm 41-47.
[17] Secara utuh rumusan Pasal 8 ayat (3) adalah sbb: Jika Presiden danWakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lamabatnya tiga puliuh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.  

[18] Komisi Konstitusi tersebut diketuai oleh Prof.DR.HR Sri Soemantri Martosoewignyo,SH.
[19] Pasal 11 ayat (2): Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 ayat 2): Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
[20]  Pasal 1 butir 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mendefinisikan pembentukan peraturan perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
Menurut hemat penulis, penyebarluasan peraturan perundang-undangan tidak termasuk dalam proses pembentukan, tetapi merupakan perbuatan di luar proses pembentukan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...