PERSANDINGAN
GAGASAN SISTEM PEMERINTAHAN
MENURUT
UUD 1945 PERUBAHAN DAN USULAN KOMISI
KONSTITUSI
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
1.
Pendahuluan
Walaupun UUD 1945 telah empat kali
diubah secara berturut-turut[1], tetapi masih menyisakan berbagai kritikan dan
permasalahan. Salah satu permasalahan yang dirasakan masih rancu adalah
mengenai sistem pemerintahan. Sebelum dilakukan perubahan secara formal,tersebut,
perubahan dilakukan tanpa mengubah teks (rumusan) pasal-pasal, yaitu melalui
praktik ketatanegaraan (konvensi). Namun praktik ketatanegaraan menimbulkan
ketidakpastian. Pada zaman Presiden Soekarno, misalnya, dengan dikeluarkannya
Maklumat Wakil Presiden No.X (eks) tanggal 16 Oktober 1945 telah mengubah
ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan.
Kedudukan Komite Nasional Pusat (KNIP) yang semula sebagai badan pembantu
Presiden telah direposisikan sebagai
badan legislatif yang menjalankan fungsi MPR dan DPR. Kemudian disusul dengan
dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tertanggal 14 Nopember 1945 tentang
pembentukan Kabinet Sutan Syahrir. Hakekat dari keberadaan Maklumat Pemerintah
tersebut adalah mengubah pertanggungjawaban Menteri. Menteri yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
bertanggung jawab kepada Presiden. Sementara berdasarkan Maklumat
Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 tersebut, Menteri bertanggung jawab kepada KNIP sebagai badan legislatif
sementara. Kebijakan dan tindakan-tindakan Pemerintah yang dilakukan kemudian
telah mengakibatkan pergeseran-pergeseran sistem pemerintahan, yaitu dari sistem
Presidential ke sistem Parlementer dan sebaliknya dari sistem Parlementer ke sistem
Presidential.
Pada waktu rezim Orde Baru, sistem
Presidential ingin dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Namun kerancuan dan
ketidakjelasan rumusan pasal-pasal dalam UUD 1945 mengakibatkan multi
penafsiran. Penafsiran tunggal lebih
memihak kepada kepentingan penguasa atau kepentingan golongan tertentu.
Pertanggungjawaban Presiden kepada MPR yang dikembangkan dalam praktik selalu
dilakukan pada akhir masa jabatannya.
Rumusan Pasal 7 UUD 1945 asli yang menyatakan Presiden dan Wakil Presiden
memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih
kembali”, selalu ditafsirkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dapat dipilih
setiap lima tahunan tanpa ada pembatasan berapa kali dia dapat dipilih kembali.
Padahal hakekat konstitusi adalah untuk membatasi kekuasaan, karena kekuasaan
cenderung untuk diselewengkan (power
tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely). BJ Habibie yang menggantikan Soeharto
berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUD 1945, belum menginjak satu tahun, oleh MPR dimintai pertanggungjawaban.
Pertanggungjawaban BJ Habibie ditolak
dan berakhir pada pemberhentian. Padahal
ketentuan Pasal 8 UUD 1945 menyatakan,:”Jika Presiden mangkat, berhenti
atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh
Wakil Presiden sampai habis waktunya.” Pertanyaannya: Apakah arti kata
sampai habis waktunya tersebut?
Pada saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
menjabat sebagai Presiden terjadi lagi “gejolak”. Konflik antara parlemen (MPR
dan DPR) dengan Presiden mencapai klimaks. Presiden mengeluarkan Dekrit
pembubaran parlemen, dengan alasan bahwa sistem pemerintahan yang berlaku
adalah sistem parlementer. Secara konstitusional, dalam sistem pemerintahan
Parlementer, Presiden (Kepala Negara) berwenang membubarkan parlemen. Dekrit
Presiden tersebut dibatalkan oleh keputusan/fatwa Mahkamah Agung, sehingga
dalam Sidang Istimewa MPR yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjawaban
Presiden, MPR mencabut mandat yang diberikan
kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Pada saat itu Presiden tidak hadir dalam
persidangan dan dianggap tidak mau mempertanggungjawabkan kebijakannya. Wakil
Presiden Megawati Soekarnoputri menggantikan kedudukan Abdurrahman Wahid.
Megawati Soekarnoputri diangkat sebagai Presiden RI kelima. Tentunya
berdasarkan ketentuan Pasal 8 UUD 1945.
Desakan untuk melakukan perubahan UUD
1945, khususnya mengenai pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden
semakin gencar diupayakan. Pada pelaksanaannya bukan hanya menyangkut masa
jabatan, tetapi juga menyangkut kewenangan Presiden, seperti perubahan Pasal 5
ayat (1) tentang kewenangan membentuk Undang-undang, Pasal 13 ayat (3) tentang
penerimaan penempatan duta negara lain, Pasal 14 ayat (2) tentang pemberian
amnesty dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR. Pemberian grasi dan
rehabilitasi juga harus memperhatikan
pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14
ayat (1)). Perubahan tersebut didasarkan pada alasan untuk membatasi secara tegas kekuasaan atau
kewenangan Presiden, dan memberdayakan DPR melalui pemberian kewenangan (attributie van wetbevoegdheid) membentuk
undang-undang (Pasal 20 ayat (1)). Sebelumnya, kekuasaan membentuk
undang-undang ada pada Presiden (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 asli). Dengan
pergeseran kekuasaan seperti itu diharapkan agar “executive heavy” berubah menjadi “legislative heavy”. Masalahnya, apakah hal itu sesuai dengan
gagasan sistem pemerintahan presidential dengan checks and balances-nya? Bukankah konsepsi “legislative heavy” merupakan implementasi dari sistem pemerintahan
parlementer, sebagaimana berkembang di Kerajaan Inggris (United Kingdom),
dengan supremasi parlemennya yang “omnipotent”? Seperti dikemukakan oleh James Bryce bahwa “Parliament is supreme above all other
authorities, or, in other words, Parliament is Sovereign”.[2] Ide sistem presidential murni yang digagas,
tetapi dalam kenyataannya berbaur dengan ciri-ciri sistem parlementer!
Doktrin mengajarkan bahwa pengertian
pemerintahan (government) mengandung
dua arti yaitu pemerintahan dalam arti
luas (government in the broarder sense)
dan pemerintahan dalam arti sempit (government
in the narrower sense). Pemerintahan dalam arti luas, jika dihubungkan
dengan teori tripraja (trias politika)
meliputi legislative power, executive power dan judicial power yang disebut “the
three departments of government”[3] Pengertian sistem pemerintahan (the governmental system) dapat diartikan
sebagai hubungan timbal balik antara ketiga cabang pemerintahan tersebut dan
atau hubungan timbal balik antara parlemen dan eksekutif. Hubungan timbal balik
di antara ketiga cabang pemerintahan dapat menimbulkan sistem pemisahanan
kekuasaan (separation of powers) dan
sistem pembagian kekuasaan (division or
distribution of powers). Sistem yang disebut terakhir dalam perkembangannya
menimbulkan berbagai bentuk (forms of
separation) seperti distribution,
differentiation, isolation, dan confrontation.[4]
Bentuk lainnya berupa pengawasan atau pengimbangan dari satu cabang
pemerintahan terhadap tindakan cabang pemerintahan yang lain (the checking or balancing of one branch of
government by the action of another). Bentuk atau model hubungan
pemerintahan seperti ini cenderung banyak diterapkan di berbagai negara yang
menganut sistem pemerintahan presidential.
2.
Sistem Pemerintah Menurut
UUUD 1945 Asli
Seperti banyak dikemukakan dalam
berbagai literatur, nomenklatur sistem pemerintahan dibedakan antara sistem
pemerintahan Parlementer (The
Parliamentary Executive atau Cabinet Government) dan sistem pemerintahan
Presidential (Presidential Government
atau The Non-Parliamentary Executive atau Fixed Executive).[5]
HD Traill sebagaimana disitir oleh CF Strong mengemukakan pengertian Cabinet (the political conception of the Cabinet)
adalah suatu badan yang umumnya berisikan:
a.
of
members of the Legislature),
b.
of the
same political views, and chosen from the party possessing a majority in the
House of Commons,
c.
prosecuting
a concerted policy,
d.
under a
common responsibility to be signified by collective resignation in the event of
parliamentary censure,
e.
acknowledging
a common subordination to one chief minister.[6]
Mengenai ciri-ciri sistem pemerintahan
Parlementer dan ciri-ciri sistem pemerintahan Presidential, Alan R Ball dalam
bukunya yang berjudul Modern Politics and
Government, merinci sebagai berikut:
1).Ciri Sistem Pemerintahan
Parlementer:
a.
There is a nominal head of
state whose function are chiefly formal and ceremonial and whose political
influence is small. This head of state may be a monarch, as in the United
Kingdom, Japan or Australia, or a President
as in West Germany, India or Italy (Kepala Negara hanya mempunyai
kekuasaan yang nominal, dengan fungsi sebagai pimpinan formasl dan bersifat
seremonial serta pengaruhnya terhadap kehidupan politik sangat kecil. Kepala
Negaranya, mungkin seorang raja, seperti di Inggris, Jepang dan Australia; atau
seorang Presiden seperti di Jerman Barat, India atau Italia);
b.
The political executive,
the prime minister, chancellor, etc, together with the cabinet, is part of the
legislature, and can be removed by the legislature if the legislature withdraws
its support
(Pemegang kekuasaan eksekutif, Perdana Menteri, Kanselir, dsb. Bersama-sama
dengan Dewan Menteri, merupakan bagian dari badan legislative dan dapat
diberhentikan oleh Badan Legislatif apabila badan tersebut menarik
dukungannya);
c.
The legislature is elected
for varying period by the electorate, the election date being chosen by the
formal head of state on the advice of the prime minister or chancellor (Badan legislative
dipilih untuk waktu yang bervariasi, tanggal pemilihan ditetapkan oleh kepala
negara atas saran perdana menteri atau
kanselir).[7]
2). Mengenai ciri-ciri sistem
pemerintahan Presidential oleh Alan R Ball dikemukakan sebagai berikut:
a.
The president is both
nominal and political head of state (Presiden adalah kepala negara yang
nominal dan sekaligus kepala pemerintahan);
b.
The president is elected
not by the legislature, but directly by the total electorate (the Electorate
College in the United States is a formality, and is likely to disappear in the
near future). The president is not part of the legislature, and he cannot be
removed from office by the legislature except through rare legal impreachments (Presiden tidak dipilih
oleh badan legislatif, tetapi dipilih secara langsung oleh sejumlah pemilih,
yang di Amerika Serikat secara formal disebut “Badan Pemilih”. Presiden bukan
bagian dari badan legislatif dan tidak dapat diberhentikan dari jabatannya oleh
badan legislatif, kecuali didakwa secara hukum);
c.
The president cannot
dissolve the legislature and call a general election. Usually the president and
the legislature are elected for fixed terms (Presiden tidak dapat membubarkan
badan legislatif/parlemen dan menyelenggarakan pemilihan umum. Biasanya
Presiden dan badan legislative dipilih untuk suatu waktu tertentu).[8]
Berdasakan ciri-ciri sistem
pemerintahan yang dikemukakan di atas, termasuk ke dalam sistem pemerintahan
yang mana sistem yang dianut oleh UUD 1945 asli?
Mengenai sistem pemerintahan yang
dianut UUD 1945 asli terdapat dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama
menyatakan bahwa UUD 1945 asli menganut sistem pemerintahan Presidential.
Alasan yang dikemukakan ialah bahwa Presiden selain sebagai Kepala Pemerintahan
juga memegang jabatan sebagai Kepala Negara (vide Pasal 4 ayat (1), Pasal 5
ayat (1), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, Pasal 10 s/d Pasal 15, dan Pasal 17). Dari
ketentuan pasal-pasal tersebut tergambar hal-hal sebagai berikut:
a.
Presiden
memegang kekuasaan pemerintahan (executive
power), Presiden adalah chief executive.
b.
Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang (legislative
power),
c.
Presiden
dipilih oleh MPR sebagai badan legislatif,
d.
Presiden
menjalankan kekuasaan kepala negara (head
of state),
e.
Presiden
mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri. Menteri-menteri bertanggung
jawab kepada Presiden.
Jika merujuk kepada ketentuan Batang
Tubuh (pasal-pasal), maka jelas bahwa UUD 1945 asli menganut sistem
pemerintahan Presidential. Namun, apabila diperhatikan Penjelasan UUD 1945 dan praktik ketatanegaraan yang berkembang
hingga diubahnya UUD 1945, maka ciri-ciri sistem Parlementer-pun terdapat di
dalamnya. Ciri-ciri tersebut ialah:
a).
diangkatnya atau dipilihnya Presiden oleh sebuah badan legislatif, dalam hal
ini Majelis Permusyawaratan Rakyat,
b). masa
jabatan Presiden yang tidak tetap seperti berlaku di Amerika Serikat,
c). dapat
dijatuhkannya (penulis: diberhentikan) Presiden oleh MPR yang berarti adanya
pertanggungan-jawab Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif kepada MPR
sebagai badan yang memilihnya.[9]
Oleh karenanya maka dapat dikatakan
bahwa sistem pemerintahan yang dianut berdasarkan UUD 1945 asli adalah sistem
pemerintahan campuran atau kombinasi yang murni. [10]
Para pakar sependapat bahwa
Penjelasan UUD 1945 adalah ketentuan yang bersifat extra-konstitusional, bukan
ketentuan yang bersifat normatif. Penjelasan UUD 1945 adalah sebuah “memorie van toelichting”. Namun, praktik
ketatanegaraan telah menggugurkan argumen tersebut. Penjelasan Umum tentang
Sistem Pemerintahan Negara angka III yang menyatakan:
“….Majelis inilah yang memegang kekuasaan
Negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan Negara menurut
garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat
oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah “mandataris”
dari Majelis, ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak
“neben” akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.”
lebih “diakui” sebagai ketentuan yang
berlaku, mengikat dan dijalankan dalam kehidupan ketatanegaraan. Hal itu diadopsi dalam Ketetapan-ketetapan MPR,
antara lain dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 7 Ketetapan MPR No.III/MPR/1978
tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau
antar Lembaga Tinggi Negara. Keberadaan Ketetapan MPR No.XXXIII/MPRS/1967
tertanggal 12 Maret 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari
Presiden Soekarno, Ketetapan MPR No.III/MPR/1999 tentang Penolakan
Pertanggungjawaban Presiden RI Prof.Dr.Ing. Bacharuddin Jusuf Habibie, dan
Ketetapan MPR No. /MPR/ tentang Pemberhentian KH Abdurrahman Wahid sebagai
Presiden RI. adalah realisasi dari sistem pertanggungjawaban eksekutif kepada
parlemen.
3.
Sistem Pemerintahan
Berdasarkan UUD 1945 Baru.
Jika dicermati dengan seksama,
Perubahan Pertama UUD 1945 substansinya hanya menyangkut dua hal pokok, yaitu:
Pertama, usaha
memberdayakan Dewan Perwakilan Rakyat, dan
Kedua, membatasi kekuasaan
Presiden.[11]
Secara ringkas perubahan tersebut
hanya berkaitan dengan hubungan tata kerja antara Dewan Perwakilan Rakyat
dengan Presiden. Kongkritnya hanya berupa perubahan atas Pasal 5 ayat (1),
Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal
21. Semua perubahan tersebut pada dasarnya menggeser pendulum dari executive
heavy ke legislative heavy. Walaupun
demikian perubahan tersebut tidak dilakukan secara tuntas. Perubahan berikutnya
yang berkaitan dengan pembatasan kekuasaan Presiden dilakukan pada perubahan
ketiga. Perubahan kedua lebih terfokus pada substansi mengenai DPR, Hak Asasi
Manusia dan Warga Negara, Pemerintahan Daerah, Pertahanan dan Keamanan, serta
Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan. Hingga perubahan keempat hampir semua
persoalan/materi yang ada dilakukan perubahan. Oleh karena itu ada kesan bahwa
UUD 1945 bukan direvisi atau diubah, tetapi diganti. Sadar atau tidak bahwa
perubahan UUD 1945 bukan sekedar mengubah (menambah, mengurangi, mengganti
rumusan) tetapi juga mengganti falsafah dasarnya[12].
Falsafah Pancasila digeser oleh paham liberal. Hal itu antara lain tergambar dalam
rumusan Pasal 6A yaitu bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat.
Sebelumnya, UUD 1945 lebih menekankan pada prinsip
permusyawaratan/perwakilan, sehingga Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh
MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Kini, setelah dilakukan perubahan, MPR hanyalah sebagai dewan
konstituante yang berwenang menetapkan UUD dan sebagai majelis perubahan UUD
yang berwenang mengubah UUD (Pasal 3 ayat (1)). MPR tidak lagi sebagai “the supreme body”. Jadi tidak ada
lembaga negara yang satu berada di atas lembaga-lembaga negara yang lain.[13]
Untuk menentukan sistem pemerintah
apa yang dianut oleh UUD 1945 Perubahan, harus diperhatikan ketentuan-ketentuan
(rumusan) pasal-pasal UUD tersebut. Dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) dan
(2) (tidak diamandemen), serta Pasal 17[14]
tersimpul bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan eksekutif tunggal dalam
negara. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan Presiden dibantu oleh Wakil
Presiden dan menteri-menteri. Presiden adalah chief executive. Sebagai kepala pemerintahan Presiden memegang
jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7UUD 1945 Perubahan
Pertama). Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan
Perwakilan Rakyat (UUD 1945 Perubahan Pertama Pasal 5 ayat (1)). Presiden
bersama Dewan Perwakilan Rakyat membentuk undang-undang (vide UUD 1945
Perubahan Pertama Pasal 20 ayat (2) s/d (4)).[15]Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti Undang-undanng (Pasal 22).
Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang
sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2)). Hak-hak dan wewenang tersebut diatas
sebagai implementasi dari “legislative
power” dan “pouvoir reglementair”
yang dimiliki oleh Presiden. Ciri lain yang terdapat dalam rumusan UUD 1945 adalah seperti dirumuskan dalam UUD 1945
Perubahan Ketiga Pasal 7C, yaitu Presiden tidak dapat membekukan dan atau
membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Ini adalah salah ciri esensial dari sistem
pemerintahan Presidential.
Dengan mengacu kepada
ketentuan-ketentuan sebagaimana diuraikan diatas, sudah dapat dipastikan bahwa
UUD 1945 hasil amandemen bercirikan sistem pemerintahan Presidential. Belum
lagi ketentuan Pasal 6A yang menunjukkan sistem Presidential murni, bahwa
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh
rakyat.
Ciri lain yang tergambar dalam
ketentuan pasal-pasal UUD 1945 hasil amandemen adalah kedudukan Presiden
sebagai Kepala Negara (head of state)
yang dirumuskan dalam Pasal 10 s/d 15. Walaupun demikian, dalam rumusan
pasal-pasal tersebut masih tersirat adanya sistem pemerintahan Parlementer,
seperti termuat dalam rumusan:
Pasal 13 (2) Dalam hal mengangkat
duta, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.Pasal 14 (2)
Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat. Dalam pembentukan undang-undang sangat jelas kelihatan
dominasi peran DPR, Pasal 20 ayat (1) memperlihatkan bahwa kekuasaan membentuk
undang-undang berada pada DPR, yang sebelumnya menurut ketentuan Pasal 5 ayat
(1) UUD 1945 wewenang membentuk undang-undang berada pada Presiden.
Semula ide perubahan UUD 1945 yang
berhubungan dengan sistem pemerintahan adalah mempertegas sistem pemerintahan
Presidential, dan menganulir semua ketentuan yang berbau sistem pemerintahan
Parlementer sebagaimana dimuat dalam penjelasan UUD 1945 serta praktik
ketatanegaraan selama bertahun-tahun. Diyakini bahwa Penjelasan Umum UUD 1945
merupakan sumber ketidakjelasan, kerancuan dari sistem pemerintahan yang
berlaku saat itu. Penghapusan secara tegas “norma-norma hukium” yang terdapat
dalam penjelasan umum UUD 1945, dituangkan dalam Aturan Tambahan Pasal II, yang
menyatakan: Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas pembukaan
dan pasal-pasal”. Jadi, Penjelasan UUD 1945 dinyatakan tidak ada lagi. UUD 1945
hanya meliputi Pembukaan dan pasal-pasal (Batang Tubuh).
Muncul pertanyaan: Apakah benar ide
perubahan tersebut terlaksana? Apakah rumusan pasal-pasal UUD 1945 yang baru
benar-benar mencirikan sistem pemerintahan Presidential murni? Adakah ketentuan
lain yang dapat menggoyahkan hal itu? Kehawatiran akan terjadinya penyimpangan
terhadap ketentuan pasal-pasal UUD 1945 masih dimungkinkan, karena praktik
ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia lebih cenderung berupa penghapusan (nullifying) atau membuat ketentuan dalam
UUD 1945 tidak dilaksanakan menurut bunyi atau arti yang terkandung didalamnya.[16] Penyampaian (laporan) pertanggungjawaban
dari lembaga-lembaga negara kepada MPR dalam sidang tahunan yang
diselenggarakan hingga tahun 2000, mensiratkan kesan kedudukan MPR sebagai lembaga negara
tertinggi.
Selain itu, ada satu pasal yang memungkinkan
terjadinya pergeseran sistem pemerintahan dari sistem Prasidential ke sistem
pemerintahan Parlementer, yaitu ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 Perubahan
keempat. Jika pasal tersebut berfungsi secara efektif, akan menimbulkan
pergantian sistem pemerintahan yang dikehendaki, yaitu menjadi sistem
pemerintahan Parlementer. Dengan pola pikir yang dianut oleh pasal
tersebut sistem pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden kembali ke model sebelum UUD 1945 diubah, yaitu Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Lepas dari alasan (argumentasi) bahwa
ketentuan itu adalah sebuah pengecualian (exception)
karena dianggap dalam keadaan darurat, tetapi produknya akan menjadi suatu
keadaan yang tetap. Katakanlah Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat tersebut tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersamaan (termasuk dalam pengertian ini adalah Presiden dan
Wakil Presiden meninggal dunia), maka Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama
melaksanakan tugas kepresidenan.
Pelaksanaan tugas kepresidenan oleh tiga orang menteri tersebut bersifat
sementara waktu. Apabila diperhatikan rumusan pasal tersebut lebih lanjut, yang
menyatakan:
“Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah
itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan
sidang untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden dari dua pasangan….”.
[17]
maka jelas bahwa MPR memiliki
kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam keadaan seperti itu Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh
MPR adalah sah secara konstitusional dan
berhak menggantikan Presiden dan Wakil
Presiden (yang dipilih langsung oleh rakyat), hingga berakhir masa jabatan
Presiden dan Wakil Presiden yang digantikannya. Benar atau salah, ini adalah
pola lama, pola UUD 1945 sebelum diubah. Secara tidak disadari pasal ini akan menghidupkan kembali sistem pengangkatan Presiden dan Wakil
Presiden oleh MPR. Sudah barang tentu Presiden (khususnya) yang diangkat oleh
MPR akan tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, ia adalah “Mandataris” dari
MPR, ia berwajib menjalankan putusan-putusan MPR.
Pada sisi lain pemilihan Presiden
oleh MPR bertentangan dengan prinsip yang dianut Pasal 6A yaitu pemilihan
secara langsung. Oleh karenanya rumusan Pasal 8 ayat (3) harus tetap mengacu
kepada ketentuan Pasal 6A. Jadi harus dilakukan pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden baru, dengan calon-calon baru. Atau pemilihan dengan calon-calon yang
pernah ikut dalam pemilihan sebelumnya. Mungkin hanya pasangan calon-calon yang
memperoleh suara terbanyak kedua dan ketiga (jika calonnya lebih dari dua
pasang) yang berhak mengikuti pemilihan. Mungkin juga ditetapkan pasangan calon
yang memperoleh suara terbanyak kedua yang dapat langsung menggantikan
kedudukan Presiden dan Wakil Presiden. Yang jelas, semuanya harus dikembalikan kepada tata cara
pemilihan secara langsung, bukan dipilih oleh MPR.
4.
Sistem Pemerintahan
Menurut Gagasan Komisi Konstitusi
Sebagaimana dimaklumi berdasarkan TAP
MPR No.I/MPR/2002 dibentuk Komisi Konstitusi. Pada tahun 2003 dikeluatkan
Keputusan MPR No.4/MPR/2003 tentang Susunan,
Kedudukan, Kewenangan dan Keanggotaan Komisi Konstitusi.[18]
Tugas Komisi Konstitusi adalah melakukan pengkajian secara komprehensif tentang
perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilakukan oleh
MPR. Kajian komprehensif tersebut harus merujuk kepada kesepakatan dasar
fraksi-fraksi MPR sebelum melakukan perubahan yaitu:
1. Tidak
mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
2. Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3. Mempertegas
sistem presidensial,
4. Meniadakan
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dan memasukkan hal-hal yang normatif dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam pasal-pasal,
5. Perubahan
dilakukan dengan cara adendum.
Sudah dapat dipastikan bahwa Gagasan
Komisi Konstitusi untuk melakukan kajian komprehensif terhadap UUD 1945
Perubahan, khususnya mengenai sistem pemerintahan, adalah ingin mempertegas
sistem pemerintahan presidential. Menurut Komisi Konstitusi,
sistem pemerintahan menurut UUD 1945 Perubahan sebagai berikut:
1.
Dianut
asas percampuran kekuasaan (ciri sistem pemerintahan parlementer sebagaimana
diatur dalam Pasal 11 ayat (2) dan Pasal
20 ayat (2). [19]
2.
Tidak
ada pertanggungjawaban bersama antara Kepala Eksekutif dengan para menteri,
para menteri bertanggung jawab secara penuh kepada Kepala Eksekutif.
Sebagaimana diatur Pasal 17 ayat (3) bahwa menteri-menteri diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden (ciri sistem pemerintahan presidential),
3.
Kepala
eksekutif tidak dapat membubarkan legislatif sebagaimana diatur Pasal 7C, bahwa
Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat
(ciri sistem pemerintahan presidential). Namun dalam hal lain kepala eksekutif
harus mengundurkan diri jika tidak memperoleh dukungan(?).
4.
Kepala
eksekutif dipilih melalui pemilihan umum secara langsung oleh rakyat (Pasal 6).
Dengan demikian dalam Perubahan UUD
1945 dianut ciri-ciri sistem pemerintahan presidential dan mengandung unsur
sistem pemerintahan parlementer.17
Sayang sekali, Komisi Konstitusi
tidak memberikan solusi alternatif berkaitan dengan komentarnya terhadap Pasal
11 ayat (2) tersebut. Hal itu terbukti dengan membiarkan rumusan pasal tersebut
(dalam usulannya) dikutip apa adanya. Berbeda dengan rumusan Pasal 20 ayat (2)
yang dalam usulan Komisi Konstitusi tidak dirumuskan kembali atau dihapuskan.
Kata-kata “mendapat persetujuan bersama” atau “disetujui bersama” dianggap
tidak diperlukan. Komisi Konstitusi tidak memberikan argumentasi mengenai hal
itu.
Jika dicermati dengan seksama,
rumusan “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama” mengandung arti bahwa
rancangan undang-undang untuk dapat menjadi undang-undang harus dibahas bersama
antara Pemerintah (Presiden?) dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Sadar atau tidak,
rumusan tersebut beranjak dari pola pikir lama sebagaimana dikembangkan dalam
praktik selama puluhan tahun. Menurut UUD 1945 asli, undang-undang meskipun dibentuk oleh Presiden
(vide Pasal 5 ayat (1)) tetapi merupakan produk dari kerja sama antara
Pemerintah (Presiden) dengan Dewan Perwakilan Rakyat atau menurut istilah
Penjelasan Umum UUD 1945 adalah untuk membentuk undang-undang (termasuk materi
APBN) Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Ada sebuah inkonsistensi
(ketidaksesuaian) antara rumusan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Pertama
yang memberikan kekuasaan membentuk undang-undang (legislative power) kepada Dewan Perwakilan Rakyat dengan rumusan
Pasal 20 ayat (2). Apakah kekuasaan
membentuk undang-undang tersebut ada pada (dimilik oleh) DPR atau ada pada DPR dan Presiden
(Pemerintah)? Dengan perkataan lain, apakah UUD 1945 Perubahan menganut paham
pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan?
Apabila yang dipakai adalah paham pembagian kekuasaan, maka rumusan
Pasal 20 ayat (1) harus dihilangkan. Baik DPR maupun Presiden memiliki fungsi
legislatif (legislative function).
Seperti diterangkan dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 asli, yaitu
“Kecuali “executive power”, Presiden
bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan “legislative power” dalam Negara”.
Sebaliknya, apabila paham pemisahan kekuasaan yang akan dipakai, maka
rumusan Pasal 20 ayat (2) dihapuskan. Dengan rumusan seperti sekarang, terdapat
dualisme pemberian kewenangan pembentukan undang-undang. Bahkan terdapat
kontradiksi antara rumusan Pasal 20 ayat (1) dengan Pasal 20 ayat (2)!
Dari rumusan yang
diusulkan Komisi Konstitusi terbukti bahwa undang-undang adalah hasil
kesepahaman (politik) antara Presiden (Pemerintah) dengan Dewan Perwakilan
Rakyat, meskipun bobot kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat dalam membahas dan
memutuskan persetujuan (termasuk penolakan) RUU jauh lebih besar dibanding
kekuasaan Presiden. Di sisi lain, Presiden memiliki kekuasaan untuk mengesahkan
atau tidak mengesahkan RUU menjadi undang-undang. Rumusan yang diusulkan Komisi
Konstitusi relatif lebih mengarah kepada sistem presidential pola Amerika
Serikat. Bedanya adalah tidak diatur (ditetapkan) secara eksplisit adanya
kewenangan Presiden untuk melakukan “veto”
( termasuk masalah “pocket veto”).
Presiden selain berwenang mengesahkan RUU, juga memiliki hak untuk menolak.
Tentunya dengan argumentasi yang dapat dipahami. Apakah hal itu akan dikembangkan melalui praktik
ketatanegaraan?. Konsekuensinya tetap, bahwa rumusan Pasal 20 ayat (1) harus dihapus, karena
bertentangan dengan ayat-ayat berikutnya. Kalau kekuasaan membentuk
undang-undang ada pada DPR, mengapa Presiden (Pemerintah) harus “ikut-ikutan”
membahas RUU?
Jika memang yang memegang kekuasaan
membentuk undang-undang adalah DPR, seharus format undang-undang (dalam
Pembukaan), setelah ditulis frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA dikuti
dengan pejabat pembentuknya yaitu DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
bukan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Kenyataan itu menggambarkan bahwa yang
memiliki kekuasaan membentuk undang-undang adalah Presiden. Dengan catatan,
bahwa pengertian “membentuk
undang-undang” harus diartikan secara sempit, yaitu berupa perbuatan memformulasikan putusan politik
berupa penetapan norma-norma hukum dalam format yang baku dan tertentu. Secara
luas “membentuk undang-undang” adalah proses yang dimulai dari adanya prakarsa,
perencanaan, persiapan, penyusunan (teknik), perumusan, pembahasan di DPR,
pengesahan dan pengundangan.[20]
Ada hal yang perlu digarisbawahi
berkaitan dengan upaya “mempertegas sistem presidential”, yaitu penghapusan
beberapa kalimat dalam Pasal 8 ayat (3) dan menambah satu ayat lagi yaitu ayat
(4). Pasal 8 ayat (3) cukup dirumuskan sbb:
Jika Presiden dan Wakil Prtesiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar
Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Sesudah itu dilanjutkan dengan ayat
(4) sbb:
Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah
itu Komisi Pemilihan Umum menyelenggarakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Adanya
penambahan ketentuan tersebut dimaksudkan agar:
Pertama, sesuai dengan ketentuan
Pasal 6A yaitu bahwa Presiden dan Wakil Presiden RI dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat. Jika Presiden dan Wakil Presiden dipilih kembali
oleh MPR maka akan menyimpang dari prinsip pemilihan secara langsung oleh
rakyat. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR akan membawa konsekuensi
yuridis bahwa yang dipilih bertanggung jawab kepada yang memilih. Apabila hal
itu terjadi maka secara tidak sadar menghidupkan kembali “pola pikir” lama
seperti saat rezim Orde Baru berkuasa. Hal tersebut mengaburkan sistem
pemerintahan yang dianut, yaitu akan muncul kembali sistem pemerintahan
parlementer disatu sisi dan sistem pemerintahan presidential di sisi yang lain.
Dengan perkataan lain adanya ketentuan bahwa “MPR menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden”
(walaupun dalam “keadaan darurat”), dapat menimbulkan kerancuan terhadap sistem
pemerintahan yang dianut.
Kedua, sesuai dengan ide dasar
amandemen UUD 1945 yang berhubungan dengan sistem pemerintahan adalah
mempertegas sistem pemerintahan presidential. Mempertegas sistem pemerintahan
presidential harus dibuktikan dalam rumusan pasal-pasalnya yang tidak memuat
rumusan pasal yang mengandung ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer.
Daftar Bacaan
Bagir Manan, Konvesi Ketatanegaraan, Armico, Bandung, 1987.
Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan
Negara-negara ASEAN, Penerbit Tarsito, Bandung, 1976
----------------------, UUD 1945, Kedudukan dan Aspek-aspek Perubahannya,
Unpad Press, Bandung, 2002
CF Strong, Modern Political Constitutions, An Introduction to the Comparative Study
of their History and Existing Form, The English Language Book Society,
London, 1966
Usep
Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya,Ghalia
Indonesia, cet.pertama, Jakarta, 1983
[1] Perubahan
pertama ditetapkan 19 Oktober 1999, perubahan kedua ditetapkan 18 Agustus 2000,
perubahan ketiga ditetapkan 10 Nopember 2001, dan perubahan keempat ditetapkan
10 Agustus 2002.
[2] CF
Strong, Modern Political Constitutions,
An Introduction to the Comparative Study of their History and Existing Form,
The English Language Book Society, London, 1966, p. 7.
[3] Ibid, p.
8.
[4] Geoffrey
Marshall, Constitutional Theory, Oxford at the Clarendon Press, 1971, p. 100
[5] CF
Strong, op. cit, p. 259
[7] Sri Soemantri, Sistem-sistem
Pemerintahan Negara-negara ASEAN, Penerbit Tarsito, Bandung, 1976, hlm 32.
Terjemahan bebas dari penulis.
[9] Ibid,
hlm 56. Bandingkan dengan pendapat Usep Ranawidjaja dalam bukunya Hukum Tata
Negara Indonesia, Dasar-dasarnya,Ghalia Indonesia, cet.pertama, Jakarta, 1983,
hlm 84-85.
[11] Sri
Soemantri, UUD 1945, Kedudukan dan Aspek-aspek Perubahannya, Unpad Press,
Bandung, 2002, hlm 21.
[12] Rumusan Pancasila dalam PembukaanUUD 1945 tidak
diubah, tetapi hal tersebut tidak terimplementasikan dalam rumusan pasal-pasal
perubahan, lebih-lebih dalam peraturan pelaksanaannya.
[14] Rumusan
Pasal 17 terdiri atas:
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri
negara.
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan
diberhentikan oleh Presiden
(3) Setiap menteri membidangi urusan
tertentu dalam pemerintahan.
(4) Pembentukan, pengubahan dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang.
[15] Dalam UUD 1945 hasil amandemen dipakai
istilah “persetujuan bersama” dan “disetujui bersama”sebagaimana
dimuat dalam Pasal 20 ayat (2), (3), (4) dan (5).
[16] KC Wheare
menyatakan adanya tiga bentuk konvensi, yaitu (1) Konvensi menghapuskan beberapa
ketentuan dalam UUD,(2) Konvensi mengalihkan kekuasaan yang telah ditetapkan
UUD, dan (3) Konvensi melengkapi UUD atau peraturan hukum ketetanegaraan yang
sudah ada.—lihat Bagir Manan, Konvesi Ketatanegaraan, Armico, Bandung, 1987,
hlm 41-47.
[17] Secara
utuh rumusan Pasal 8 ayat (3) adalah sbb: Jika Presiden danWakil Presiden
mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam
masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri
Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Selambat-lamabatnya tiga puliuh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan
Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari
dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil
Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum
sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.
[19] Pasal 11
ayat (2): Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait
dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan
undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 20 ayat 2):
Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
[20] Pasal 1 butir 1 UU No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, mendefinisikan pembentukan peraturan
perundang-undangan adalah proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang
pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan.
Menurut hemat penulis,
penyebarluasan peraturan perundang-undangan tidak termasuk dalam proses
pembentukan, tetapi merupakan perbuatan di luar proses pembentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar