Selasa, 01 Mei 2018

PRODUK-PRODUK HUKUM NEGARA

PRODUK-PRODUK HUKUM NEGARA
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
A.    FUNGSI NEGARA: legislation and execution
Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan, memiliki tiga komponen kekuasaan (menurut konsepsi tri praja atau trias politika), yaitu legislatif, eksekutif dan kekuasaan kehakiman (judisial). Ketiga komponen kekuasaan tersebut dibedakan menurut fungsinya.
Kekuasaan Negara membentuk peraturan atau norma hukum umum (general legal norms) harus berdayalaku dan berdayaguna, Berdayalaku adalah absah, artinya dibentuk oleh badan atau lembaga yang berwenang berdasar norma yang lebih tinggi dan dengan prosedur yang telah ditetapkan.  Berdaya guna artinya peraturan tersebut harus efektif, dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat dimana kekuasaan negara berada.  Peraturan negara tersebut merupakan suatu tata hukum nasional (the national legal order).
Menurut Hans Kelsen, negara mempunyai dua fungsi, yaitu Legislasi (legislation, legis latio) dan Eksekusi atau pelaksanaan (execution, legis executio). Pelaksanaan tersebut meliputi dua hal yaitu fungsi judisial dan fungsi pelaksanaan (dalam arti sempit). Legislasi atau legislation (legislatio) atau sering disebut sebagai “law-making function” atau “norm or law-creating function” adalah fungsi menciptakan norma hukum umum, khususnya undang-undang (the creation of laws/leges) oleh badan khusus. Undang-undang dimaksud adalah undang-undang dalam arti materil, yaitu norma hukum yang berifat umum, termasuk undang-undang dasar dan undang-undang formil. Kekuasaan membentuk ”the general legal norm” adalah kekuasaan  legislative (legislative power), yang dilakukan oleh badan khusus (special organs, legislative bodies). Prosesnya disebut ”legislation” yaitu ”the creation of general norms by special organs”. Fungsi melaksanakan atau mengaplikasikan (law-application function) norma hokum umum  (the general legal norm) adalah tugas eksekutif atau badan-badan administrasi (administrative organs) dan juga badan judicial (judicial power). Jadi “execution” atau “legis execution” meliputi “executive function” dan “judicial function”. Sementara, kekuasaan eksekutif dibedakan antara fungsi politik dan administratif(political or governmental function and administrative function).
Pelaksanaan fungsi legislatif dilakukan oleh badan legislatif (legislative body) secara sendirian atau bersama-sama dengan kepala Negara (together with the head of State). Peraturan umum dapat pula ditetapkan oleh badan eksekutif, yang biasa disebut “ordinances” atau “regulations”, dalam literatur kita sering disebut ”regulasi”. Dalam terminologi Perancis disebut ”decrets-lois” dan di Jerman disebut ”Verordnungen mit Gesetzeskraft”. Semua itu adalah peraturan pelaksanaan dari undang-undang (statutes).[1] Jadi, badan-badan yang memiliki kekuasaan atau fungsi eksekutif dapat membentuk peraturan yang disebut ”regulations” atau ”ordinances”, sebagai peraturan untuk menjalankan undang-undang.[2]
Jadi, dalam regulasi tidak melibatkan pihak legislatif, hanya saja dalam pembentukannya harus berdasar pada ketentuan undang-undang. Kekuasaan Presiden  untuk membentuk Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945) dan Peraturan Presiden (Pasal 7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004) tergolong sebagai kekuasaan regulasi (pouvoir reglementaire).
Jimly Asshiddiqie mengartikan Legislasi dengan Fungsi Pengaturan atau regelende functie yaitu berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Cabang kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan rakyat atau parlemen, maka peraturan yang paling tinggi di bawah undang-undang dasar harus dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama eksekutif.
Fungsi legislasi itu menyangkut empat bentuk kegiatan, sebagai berikut:
a.    Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative initiation);
b.    Pembahasan rancangan undang-undang (law making process);
c.    Persetujuan atas pengesahan rancangan undang-undang (law enactment approval);
d.    Pemberian persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement and treaties or other legal binding documents).[3]

B.    BENTUK-BENTUK PRODUK HUKUM NEGARA

Seperti dimaklumi bahwa hukum dapat diklasifikasi atau dikelompokkan dalam berbagai macam pengelompokkan. Untuk mengklasifikasinya diperlukan dasar-dasar pengelompokan. Dasar-dasar pengelompokan tersebut adalah dilihat dari sumber, daerah kekuasaan, sifat kekuatan berlaku, isi (materi) dan pemeliharaannya. Atas dasar hal itu maka klasifikasi hukum adalah sebagai berikut:
1.     Berdasarkan sumbernya dikenal hokum adat, hukum undang-undang, hukum traktat, dan hukum yurisprudensi.
2.     Berdasarkan daerah kekuasaannya dikenal hukum nasional dan hukum internasional.
3.     Berdasarkan sifat kekuatan berlakunya dikenal hukum paksa dan hukum tambahan atau pelengkap.
4.     Berdasarkan isinya dibedakan antara hukum publik, yang meliputi hukum pidana, hukum tata negara, hukum acara (Pidana dan Perdata), dan hukum administrasi. Selain hukum public dikenal hukum privat yang terdiri dari hukum perdata dan hukum dagang.
5.     Berdasarkan pemeliharaannya dikenal pula hukum materil dan hukum formal.[4]

Selain kelima penggolongan di atas, hukum dapat pula dibedakan atas dasar bentuk atau sifatnya. Berdasarkan kriteria ini dibedakan antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis dibedakan antara hukum perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat. Hukum tidak tertulis dibedakan antara hukum adat (Adatrecht) dan hokum kebiasaan (Gewoonterecht). Dalam membicarakan mengenai Ilmu Perundang-undangan, maka yang sangat relevan untuk dibahas adalah penggolongan hukum atas dasar sumber dan atau bentuknya tersebut.
Jadi, secara skematis kedudukan peraturan perundang-undangan dalam sistematika hukum termasuk dalam lingkungan hukum tertulis. Yang dimaksud dengan hukum tertulis adalah hukum yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang, dengan bentuk tertentu. Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang menurut peraturan perundang-undang yang berlaku diberi wewenang untuk membentuk suatu peraturan tertentu. Kewenangan tersebut dapat diperoleh melalui atribusi atau delegasi. Adapun skema tersebut adalah:
HukumTertulis,
meliputi:                          
HukumTidakTertulis,
Meliputi:
Traktat
Hukum adat
Yurisprudensi
Hukum kebiasaan
Perundang-undangan


Apabila memperhatikan ciri-ciri hukum tertulis sebagaimana diuraikan di muka, maka peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat yang berwenang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, serta mempunyai bentuk (format) tertentu. Demikian pula dengan traktat dan yurisprudensi. Dengan berdasar kepada skema pembagian hukum tersebut di atas, maka bentuk dari hukum tertulis sangat luas dan oleh karenanya tidak sebatas apa yang dimaksudkan para ahli yang lebih menunjuk kepada peraturan perundang-undangan.[5] Hukum tertulis tidak sama dengan peraturan perundang-undangan, karena hokum tertulis tidak hanya berupa peraturan perundang-undangan saja.
Berkaitan dengan skema tersebut, kiranya dapat dibandingkan dengan pendapat Hans Kelsen yang mengelompokan hukum (law)  dalam dua bagian yaitu Customary LawdanStatutary Law. Termasuk dalam kelompok Statutary Law adalah Parliament Act, Government Act, Judicial Act danTreaty. Dengan demikian maka pengertian peraturan perundang-undangan dalam pengelompokan Hans Kelsen jauh lebih luas, karena termasuk di dalamnya Putusan Hakim dan Perjanjian. Apabila dibuat skema seperti di atas maka pembagian hukum menurut Hans Kelsen adalah:
n  Customary law                          
n  Statutary law, meliputi:
Parliament act, Government act, Judicial act, and Treaty
Dalam pengelompokan hukum tersebut Hans Kelsen tidak merinci tentang “customary law”. Dia hanya menguraikan bahwa pembedaan antara “statutory law” dengan “customary law”  merupakan tipe-tipe hukum yang mendasar. “Statutory law” diciptakan dengan suatu cara yang lain daripada “custom”. “Statutory law” diciptakan oleh badan legislatif, badan yudisial atau tindakan-tindakan administrasi atau melalui transaksi hukum, khususnya kontrak dan perjanjian-perjanjian (internasional).[6]
Beberapa literature mengartikan “custom” atau “customary law” dalam konteks hokum tata Negara sebagai hokum adat ketatanegaraan atau konvensi ketatanegaraan (the convention of the constitutional). Sebagaimana istilah itu dikembangkan oleh AV Dicey. Menurutnya convention of the constitution meliputi:
a.    Understanding (pengertian-pengertian); contohnya: raja harus mensahkan setiap rencana undang-undang yang telah disetujui oleh kedua majelis dalam parlemen.
b.    Habits (kelaziman-kelaziman); contoh majelis tinggi tidak akan mengajukan sesuatu rencana undang-undang keuangan (money bill).
c.    Practices (praktek-praktek); contohnya menteri-menteri meletakkan jabatan apabila mereka tidak mendapat kepercayaan dari majelis rendah.[7]

Dicey, sebagaimana dikutip oleh Usep Ranawidjaja[8], mengartikan konvensi (convention of the constitution) sebagai kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan yang berlaku dan dihormati di dalam kehidupan ketatanegaraan walaupun tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan bilamana terjadi pelanggaran terhadapnya. Tanpa memperhatikan rumusan ”....walaupun tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan.......dst”, maka pengertian tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Penjelasan UUD 1945 (dengan menggunakan istilah hukum dasar yang tidak tertulis) sebagai ”aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan negara”. Jadi, konvensi tiada lain adalah praktek penyelenggaraan negara yang berkembang karena kebutuhan. Baik yang terjadi melalui suatu praktek yang berulang-ulang yang tumbuh menjadi kewajiban yang harus ditaati para penyelenggara negara, maupun yang terjadi melalui kesepakatan (agreement) dalam bentuk tertulis.[9]
Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah (hukum) yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi, menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan. Selainistilah ”the Convention of the Constitution”, “understandings of the constitution”, “constitutional ethics”, “political ethics”, “constitutional morality” (AV Dicey), digunakan pula istilah ”unwritten maxims of the constitution” (Mill), dan ”the custom of the constitution” (Anson). Dalam bahasa Indonesia dijumpai berbagai istilah seperti “hukum adat”  dan “kebiasaan ketatanegaraan” (Usep Ranawidjaja), serta “konvensi” (Abu Daud Busroh).[10]
Selanjutnya, menurut Bagir Manan, konvensi ketatatanegaraan atau Konstitusi-Tidak Tertulis, dapat dibedakan dalam tiga golongan, yakni:
Pertama, ketentuan konstitusi terdapat dalam kaidah-kaidah Hukum Adat sebagai hukum yang tidak tertulis. Kedua, Ketentuan-ketentuan Konstitusi yang terdapat dalam konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Ketentuan untuk taat pada konvensi, didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politik dan moral. Ketiga, adalah adat istiadat. Berbeda dengan konvensi atau kebiasaan yang mengandung unsur obligatory, penaatan terhadap adat istiadat bersifat persuasif. Mungkin saja pada suatu ketika, adat istiadat ini berubah menjadi konvensi, sehingga dirasakan sebagai suatu kewajiban untuk menaatinya.[11]
Menurut Wade dan Phillips, ”conventions are mixture of rules based on custom and expediency, but sometimes their source is express agreement”[12]. Jadi, konvensi ketatanegaraan meliputi express agreement, kesepakatan yang dinyatakan dengan jelas dan tegas, dan diterima begitu saja oleh masyarakat, khususnya para penyelenggara Negara. Salah satu contohnya adalah Maklumat Wakil Presiden No.X(eks) tgl 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah tgl 14 Nopember 1945). Konvensi ini tergolong sebagai konvensi ketatanegaraan yang tertulis. Selain itu express agreement terdapat pula kebiasaan ketatanegaraan, yaitu praktek ketatanegaraan yang dilakukan berulang-ulang, sementara undang-undang dasar tidak mengatur mengenai hal itu, misalnya Pidato Kenegaraan Presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan sidang paripurna DPR. (zaman Orde Baru).

Dengan demikian maka “customary law” lebih berupa aturan-aturan hukum yang tidak tertulis, sedangkan “statutory law” merupakan aturan-aturan hukum tertulis yang ditetapkan baik oleh badan legislatif (laws, statute), badan eksekutif (government or administrative acts), badan judisial (judicial decisions/acts) dan perjanjian-perjanjian internasional (international treaties).

Kembali kepada pokok bahasan utama, mengenai produk-produk hukum Negara, di dalam literatur Belanda, produk-produk hukum Negara dapat dibedakan dalam bentuk:
1.    Regeling;
2.    Beschikking;
3.    Beleidsregels; dan
4.    Vonnis.[13]
Adapun perbedaan di antara keempat jenis produk hukum tersebut dapat dilihat dalam matriks berikut:

Regeling

Beleidsregel

Beschikking

Vonnis


1. Bersifat mengatur dan mengikat secara umum (algemeen bindende).

2. Bersifat abstrak-umum (tidak ditujukan kepada individu tertentu).

3.Bersumber dari kekuasaan legislatif (legislative power).

4. Berlaku terus menerus (dauerhaftig).

5. Mempunyai bentuk/format tertentu (baku).



1.  Mengikat secara umum.

2.  Bersifat abstrak-umum atau
abstrak-individual.

3.  Bersumber dari kekuasaan eksekutif (executive power).

4.  Berlaku terus menerus (dauerhaftig).

5.  Kadangkala formatnya tidak baku.


1. Ditujukan kepada individu (-individu)    
tertentu.

2. Bersifat final dan  
    kongkrit, nyata.

3. Bersumbe rdari kekuasaan eksekutif
(executive power).

4. Berlaku sekali selesai (einmahlig).

5.Kadangkala formatnya tidak baku.


1.Ditujukan kepada individu (individu) tertentu.

2.Bersifat kongkrit.

3.Bersumber dari kekuasaan judisial (judicial power).

4.Berlaku sekali selesai, sesuai dengan waktu yang ditentukan.

5.Formatnya telah dibakukan.



Daftar Bacaan
Abu Daud Busroh dan Abubakar Busro, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Achmad Ichsan,Hukum Perdata IA, Penerbit PT Pembimbing Masa, Jakarta, tanpa tahun.
Bagir Manan. Konvensi Ketatanegaraan, Armico, Bandung, 1987.
Hamid S Attamini. A, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.
Hans Kelsen,  General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, New York, Russell & Russell, 1973.
Jimly Asshidiqqie ,Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
Kansil,CST, Praktek Hukum Peraturan Perundangan di Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1983.
Maria Farida Indrati (Penyusun),  Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Sekretariat Konsorsium ILmu Hukum, UI, Jakarta, 1996.
Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
TAP MPR No.III/MPR/2000
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Surat Presiden kepada Ketua DPR tanggal 20 Agustus 1959 No.2262/HK/59





[1] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, New York, Russell & Russell., 1973,  hlm 255-256
[2]Ibid, hlm 257
[3]Jimly Asshidiqqie ,Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm 160-162.
[4]Achmad Ichsan,Hukum Perdata IA, Penerbit PT Pembimbing Masa, Jakarta, tanpatahun, hlm 38-39.
[5]Dalam hubungan ini, misalnya, mengartikan hokum tertulis sebagai hukum hasil pekerjaan perundang-undangan dari berbagai badan yang berwenang.Ini dapat berupa undang-undang dasar, undang-undang organik, undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang (dimasa UUDS: undang-undang darurat), peraturan pemerintah, perjanjian politik, traktat, dsb. Dapat dilihat dalam bukunya yang berjudulHukum Tata Negara; Dasar-dasarnya, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 22. Apa yang diuraikan oleh Usep Ranawidjaja sebenarnya tiada lain adalah peraturan perundang-undangan.
[6]We shall distinguish between statutory and customary law as the two fundamental types of law. By statutory law we shall understand law created in a way other than by customs, namely, by legislative, judicial, or administrative acts or by legal transactions, especially by contracts and (international) treaties.”—Hans Kelsen, op. cit., hlm 114-115.
[7] Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, Asas-asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 58.
[8] Usep Ranawidjaja,  Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 25
[9] Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, Armico, Bandung, 1987, hlm 29.
[10] Ibid, hlm 15-19.
[11]Ibid, hlm 5-6.
[12]Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, op. cit.,  hlm 58.
[13]Menurut Jimly Asshiddiqie, berdasarkan isinya Keputusan Negara dapat berupa:
a.     Keputusan yang bersifat mengatur (regeling) menghasilkan produk peraturan (regels);
b.     Keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusan administrasi negara (beschikking);
c.      Keputusan yang bersifat menghakimi sebagai hasil dari proses peradilan(adjudication) menghasilkan putusan(vonnis);
d.     Aturan kebijakan (policy rules, beleidsregel) atau quasi peraturan, dalam bentuk petunjuk pelaksanaan, surat edaran, instruksi, dsb; yang tidak dapat dikategorikan peraturan, tetapi isinya bersifat mengatur.
    (Lihat Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm 209).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...