PRODUK-PRODUK HUKUM NEGARA
Oleh:
Rosjidi Ranggawidjaja
A.
FUNGSI NEGARA: legislation
and execution
Negara
sebagai suatu organisasi kekuasaan, memiliki tiga komponen kekuasaan (menurut konsepsi
tri praja atau trias politika), yaitu legislatif, eksekutif dan kekuasaan kehakiman
(judisial). Ketiga komponen kekuasaan tersebut dibedakan menurut fungsinya.
Kekuasaan
Negara membentuk peraturan atau norma hukum umum (general legal norms) harus berdayalaku dan berdayaguna, Berdayalaku
adalah absah, artinya dibentuk oleh badan atau lembaga yang berwenang berdasar norma
yang lebih tinggi dan dengan prosedur yang telah ditetapkan. Berdaya guna artinya
peraturan tersebut harus efektif, dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat dimana
kekuasaan negara berada. Peraturan
negara tersebut merupakan suatu tata hukum nasional (the national legal order).
Menurut Hans Kelsen, negara mempunyai dua fungsi, yaitu Legislasi (legislation, legis latio)
dan Eksekusi atau pelaksanaan (execution,
legis executio). Pelaksanaan tersebut meliputi dua hal yaitu fungsi
judisial dan fungsi pelaksanaan (dalam arti sempit). Legislasi atau legislation (legislatio) atau sering disebut sebagai “law-making function” atau “norm
or law-creating function” adalah fungsi menciptakan norma hukum umum,
khususnya undang-undang (the creation of
laws/leges) oleh badan khusus. Undang-undang dimaksud
adalah undang-undang dalam arti materil, yaitu norma hukum yang berifat umum,
termasuk undang-undang dasar dan undang-undang formil. Kekuasaan membentuk
”the general legal norm” adalah kekuasaan legislative (legislative power), yang dilakukan oleh badan khusus (special organs, legislative bodies).
Prosesnya disebut ”legislation” yaitu
”the creation of general norms by special
organs”. Fungsi melaksanakan atau mengaplikasikan (law-application function) norma hokum umum (the
general legal norm) adalah tugas eksekutif atau badan-badan administrasi (administrative organs) dan juga badan
judicial (judicial power). Jadi “execution” atau “legis execution” meliputi “executive
function” dan “judicial function”.
Sementara, kekuasaan eksekutif dibedakan antara fungsi politik dan administratif(political or governmental function and
administrative function).
Pelaksanaan
fungsi legislatif dilakukan oleh badan legislatif (legislative body) secara sendirian atau bersama-sama dengan kepala
Negara (together with the head of State).
Peraturan umum dapat pula ditetapkan oleh badan
eksekutif, yang biasa disebut “ordinances”
atau “regulations”, dalam
literatur kita sering disebut ”regulasi”. Dalam terminologi Perancis disebut ”decrets-lois”
dan di Jerman disebut ”Verordnungen mit Gesetzeskraft”. Semua itu
adalah peraturan pelaksanaan dari undang-undang (statutes).[1]
Jadi, badan-badan yang memiliki kekuasaan atau fungsi eksekutif dapat membentuk
peraturan yang disebut ”regulations” atau ”ordinances”,
sebagai peraturan untuk menjalankan undang-undang.[2]
Jadi, dalam regulasi tidak melibatkan pihak legislatif,
hanya saja dalam pembentukannya harus berdasar pada ketentuan undang-undang.
Kekuasaan Presiden untuk membentuk
Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945) dan Peraturan Presiden (Pasal
7 ayat (1) UU No.10 Tahun 2004) tergolong sebagai kekuasaan regulasi (pouvoir reglementaire).
Jimly Asshiddiqie mengartikan Legislasi dengan Fungsi
Pengaturan atau regelende functie
yaitu berkenaan dengan kewenangan untuk menentukan peraturan yang mengikat
warga negara dengan norma-norma hukum yang mengikat dan membatasi. Cabang
kekuasaan yang dianggap berhak mengatur pada dasarnya adalah lembaga perwakilan
rakyat atau parlemen, maka peraturan yang paling tinggi di bawah undang-undang
dasar harus dibuat dan ditetapkan oleh parlemen dengan persetujuan bersama
eksekutif.
Fungsi legislasi itu menyangkut empat bentuk kegiatan,
sebagai berikut:
a. Prakarsa pembuatan undang-undang (legislative
initiation);
b.
Pembahasan
rancangan undang-undang (law making
process);
c.
Persetujuan
atas pengesahan rancangan undang-undang (law
enactment approval);
d.
Pemberian
persetujuan pengikatan atau ratifikasi atas perjanjian atau persetujuan internasional
dan dokumen-dokumen hukum yang mengikat lainnya (binding decision making on international agreement and treaties or
other legal binding documents).[3]
B. BENTUK-BENTUK PRODUK HUKUM NEGARA
Seperti dimaklumi bahwa hukum dapat diklasifikasi
atau dikelompokkan dalam berbagai macam pengelompokkan. Untuk mengklasifikasinya
diperlukan dasar-dasar pengelompokan. Dasar-dasar pengelompokan tersebut adalah
dilihat dari sumber, daerah kekuasaan, sifat kekuatan berlaku, isi (materi) dan
pemeliharaannya. Atas dasar hal itu maka klasifikasi hukum adalah sebagai berikut:
1.
Berdasarkan
sumbernya dikenal hokum adat, hukum undang-undang, hukum traktat, dan hukum yurisprudensi.
2.
Berdasarkan
daerah kekuasaannya dikenal hukum nasional dan hukum internasional.
3.
Berdasarkan
sifat kekuatan berlakunya dikenal hukum paksa dan hukum tambahan atau pelengkap.
4.
Berdasarkan
isinya dibedakan antara hukum publik, yang meliputi hukum pidana, hukum tata negara,
hukum acara (Pidana dan Perdata), dan hukum administrasi. Selain hukum public dikenal
hukum privat yang terdiri dari hukum perdata dan hukum dagang.
5.
Berdasarkan
pemeliharaannya dikenal pula hukum materil dan hukum formal.[4]
Selain kelima penggolongan di atas, hukum dapat
pula dibedakan atas dasar bentuk atau sifatnya. Berdasarkan kriteria ini dibedakan
antara hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum tertulis dibedakan antara
hukum perundang-undangan, yurisprudensi, dan traktat. Hukum tidak tertulis dibedakan
antara hukum adat (Adatrecht) dan
hokum kebiasaan (Gewoonterecht). Dalam
membicarakan mengenai Ilmu Perundang-undangan, maka yang sangat relevan untuk dibahas
adalah penggolongan hukum atas dasar sumber dan atau bentuknya tersebut.
Jadi, secara skematis kedudukan peraturan perundang-undangan
dalam sistematika hukum termasuk dalam lingkungan hukum tertulis. Yang dimaksud
dengan hukum tertulis adalah hukum yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat
yang berwenang, dengan bentuk tertentu. Pejabat yang berwenang adalah pejabat
yang menurut peraturan perundang-undang yang berlaku diberi wewenang untuk membentuk
suatu peraturan tertentu. Kewenangan tersebut dapat diperoleh melalui atribusi atau
delegasi. Adapun skema tersebut adalah:
HukumTertulis,
meliputi:
|
HukumTidakTertulis,
Meliputi:
|
Traktat
|
Hukum adat
|
Yurisprudensi
|
Hukum kebiasaan
|
Perundang-undangan
|
|
Apabila memperhatikan ciri-ciri hukum tertulis
sebagaimana diuraikan di muka, maka peraturan perundang-undangan dibentuk oleh pejabat
yang berwenang berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, serta mempunyai bentuk
(format) tertentu. Demikian pula dengan traktat dan yurisprudensi. Dengan berdasar
kepada skema pembagian hukum tersebut di atas, maka bentuk dari hukum tertulis sangat
luas dan oleh karenanya tidak sebatas apa yang dimaksudkan para ahli yang lebih
menunjuk kepada peraturan perundang-undangan.[5] Hukum
tertulis tidak sama dengan peraturan perundang-undangan, karena hokum tertulis tidak
hanya berupa peraturan perundang-undangan saja.
Berkaitan dengan skema tersebut, kiranya dapat
dibandingkan dengan pendapat Hans Kelsen yang mengelompokan hukum (law) dalam dua bagian yaitu Customary LawdanStatutary Law.
Termasuk dalam kelompok Statutary Law
adalah Parliament Act, Government Act, Judicial Act danTreaty. Dengan demikian maka pengertian peraturan perundang-undangan
dalam pengelompokan Hans Kelsen jauh lebih luas, karena termasuk di dalamnya Putusan
Hakim dan Perjanjian. Apabila dibuat skema seperti di atas maka pembagian hukum
menurut Hans Kelsen adalah:
n Customary law
n Statutary law,
meliputi:
Parliament
act, Government act, Judicial act, and Treaty
Dalam
pengelompokan hukum tersebut Hans Kelsen tidak merinci tentang “customary law”. Dia hanya menguraikan bahwa
pembedaan antara “statutory law”
dengan “customary law” merupakan tipe-tipe hukum yang mendasar. “Statutory law” diciptakan dengan suatu cara
yang lain daripada “custom”. “Statutory law” diciptakan oleh badan legislatif,
badan yudisial atau tindakan-tindakan administrasi atau melalui transaksi hukum,
khususnya kontrak dan perjanjian-perjanjian (internasional).[6]
Beberapa
literature mengartikan “custom” atau
“customary law” dalam konteks hokum tata
Negara sebagai hokum adat ketatanegaraan atau konvensi ketatanegaraan (the convention of the constitutional). Sebagaimana
istilah itu dikembangkan oleh AV Dicey. Menurutnya convention of the constitution meliputi:
a. Understanding
(pengertian-pengertian); contohnya: raja harus mensahkan setiap rencana
undang-undang yang telah disetujui oleh kedua majelis dalam parlemen.
b. Habits (kelaziman-kelaziman); contoh
majelis tinggi tidak akan mengajukan sesuatu rencana undang-undang keuangan
(money bill).
c. Practices (praktek-praktek); contohnya
menteri-menteri meletakkan jabatan apabila mereka tidak mendapat kepercayaan
dari majelis rendah.[7]
Dicey, sebagaimana dikutip oleh Usep Ranawidjaja[8],
mengartikan konvensi (convention of
the constitution) sebagai kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan yang
berlaku dan dihormati di dalam kehidupan ketatanegaraan walaupun tidak dapat
dipaksakan oleh pengadilan bilamana terjadi pelanggaran terhadapnya. Tanpa
memperhatikan rumusan ”....walaupun tidak dapat dipaksakan oleh
pengadilan.......dst”, maka pengertian tersebut sejalan dengan apa yang
dikemukakan dalam Penjelasan UUD 1945 (dengan menggunakan istilah hukum dasar
yang tidak tertulis) sebagai ”aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara
dalam praktek penyelenggaraan negara”. Jadi, konvensi tiada lain adalah praktek
penyelenggaraan negara yang berkembang karena kebutuhan. Baik yang terjadi
melalui suatu praktek yang berulang-ulang yang tumbuh menjadi kewajiban yang
harus ditaati para penyelenggara negara, maupun yang terjadi melalui
kesepakatan (agreement) dalam bentuk
tertulis.[9]
Konvensi atau (hukum) kebiasaan ketatanegaraan adalah
(hukum) yang tumbuh dalam praktek penyelenggaraan negara, untuk melengkapi,
menyempurnakan, menghidupkan (mendinamisasi) kaidah-kaidah hukum
perundang-undangan atau hukum adat ketatanegaraan. Selainistilah ”the Convention of the Constitution”,
“understandings of the constitution”, “constitutional ethics”, “political
ethics”, “constitutional morality” (AV Dicey), digunakan pula istilah ”unwritten maxims of the constitution”
(Mill), dan ”the custom of the
constitution” (Anson). Dalam bahasa Indonesia dijumpai berbagai istilah seperti
“hukum adat” dan “kebiasaan ketatanegaraan”
(Usep Ranawidjaja), serta “konvensi” (Abu Daud Busroh).[10]
Selanjutnya,
menurut Bagir Manan, konvensi ketatatanegaraan atau Konstitusi-Tidak Tertulis, dapat dibedakan dalam tiga golongan, yakni:
Pertama, ketentuan konstitusi terdapat dalam kaidah-kaidah Hukum Adat sebagai
hukum yang tidak tertulis. Kedua, Ketentuan-ketentuan Konstitusi
yang terdapat dalam konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Ketentuan untuk
taat pada konvensi, didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan politik dan
moral. Ketiga, adalah adat istiadat. Berbeda dengan konvensi atau
kebiasaan yang mengandung unsur obligatory, penaatan terhadap adat istiadat
bersifat persuasif. Mungkin saja pada suatu ketika, adat istiadat ini berubah
menjadi konvensi, sehingga dirasakan sebagai suatu kewajiban untuk menaatinya.[11]
Menurut Wade dan
Phillips, ”conventions are mixture of
rules based on custom
and expediency,
but sometimes their source is express agreement”[12].
Jadi, konvensi ketatanegaraan meliputi express
agreement, kesepakatan yang dinyatakan dengan jelas dan tegas, dan diterima
begitu saja oleh masyarakat, khususnya para penyelenggara Negara. Salah satu contohnya
adalah Maklumat Wakil Presiden No.X(eks) tgl 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah
tgl 14 Nopember 1945). Konvensi ini tergolong sebagai konvensi ketatanegaraan
yang tertulis. Selain itu express
agreement terdapat pula kebiasaan ketatanegaraan, yaitu praktek ketatanegaraan
yang dilakukan berulang-ulang, sementara undang-undang dasar tidak mengatur mengenai
hal itu, misalnya Pidato Kenegaraan Presiden setiap tanggal 16 Agustus di depan
sidang paripurna DPR. (zaman Orde Baru).
Dengan demikian maka
“customary law” lebih berupa aturan-aturan
hukum yang tidak tertulis, sedangkan “statutory
law” merupakan aturan-aturan hukum tertulis yang ditetapkan baik oleh badan
legislatif (laws, statute), badan eksekutif
(government or administrative acts),
badan judisial (judicial decisions/acts)
dan perjanjian-perjanjian internasional (international
treaties).
Kembali
kepada pokok bahasan utama, mengenai produk-produk hukum Negara, di dalam literatur
Belanda, produk-produk hukum Negara dapat dibedakan dalam bentuk:
1.
Regeling;
2.
Beschikking;
3.
Beleidsregels; dan
Adapun
perbedaan di antara keempat jenis produk hukum tersebut dapat dilihat dalam matriks
berikut:
Regeling
|
Beleidsregel
|
Beschikking
|
Vonnis
|
1. Bersifat mengatur dan mengikat secara umum (algemeen bindende).
2. Bersifat abstrak-umum (tidak ditujukan kepada individu tertentu).
3.Bersumber dari kekuasaan
legislatif (legislative power).
4. Berlaku terus menerus (dauerhaftig).
5. Mempunyai bentuk/format tertentu (baku).
|
1. Mengikat secara umum.
2. Bersifat abstrak-umum atau
abstrak-individual.
3. Bersumber dari kekuasaan
eksekutif (executive power).
4. Berlaku terus menerus (dauerhaftig).
5. Kadangkala formatnya tidak
baku.
|
1. Ditujukan kepada
individu (-individu)
tertentu.
2. Bersifat final dan
kongkrit,
nyata.
3.
Bersumbe rdari kekuasaan eksekutif
(executive power).
4. Berlaku sekali selesai (einmahlig).
5.Kadangkala formatnya tidak baku.
|
1.Ditujukan kepada individu (individu) tertentu.
2.Bersifat kongkrit.
3.Bersumber dari kekuasaan judisial (judicial
power).
4.Berlaku sekali selesai, sesuai dengan waktu yang ditentukan.
5.Formatnya telah dibakukan.
|
Daftar Bacaan
Abu Daud Busroh dan Abubakar
Busro, Asas-asas Hukum Tata Negara,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Achmad Ichsan,Hukum Perdata IA, Penerbit PT Pembimbing
Masa, Jakarta, tanpa tahun.
Bagir Manan. Konvensi Ketatanegaraan, Armico,
Bandung, 1987.
Hamid S Attamini. A, Peranan Keputusan Presiden RI dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State,
translated by Anders Wedberg, New York, Russell & Russell, 1973.
Jimly Asshidiqqie ,Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia,
Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
Kansil,CST, Praktek Hukum Peraturan Perundangan di
Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1983.
Maria Farida Indrati
(Penyusun), Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya, Sekretariat Konsorsium
ILmu Hukum, UI, Jakarta, 1996.
Usep Ranawidjaja, Hukum
Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Penerbit Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983.
TAP MPRS No. XX/MPRS/1966
TAP MPR No.III/MPR/2000
UU
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Surat
Presiden kepada Ketua DPR tanggal 20 Agustus 1959 No.2262/HK/59
[1] Hans Kelsen, General
Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, New York,
Russell & Russell., 1973, hlm
255-256
[3]Jimly Asshidiqqie ,Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia,
Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm 160-162.
[4]Achmad
Ichsan,Hukum Perdata IA, Penerbit PT
Pembimbing Masa, Jakarta, tanpatahun, hlm 38-39.
[5]Dalam hubungan ini,
misalnya, mengartikan hokum tertulis sebagai hukum hasil pekerjaan perundang-undangan
dari berbagai badan yang berwenang.Ini dapat berupa undang-undang dasar,
undang-undang organik, undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang
(dimasa UUDS: undang-undang darurat), peraturan pemerintah, perjanjian politik,
traktat, dsb. Dapat dilihat dalam bukunya yang berjudulHukum Tata Negara; Dasar-dasarnya, Penerbit Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1983, hlm 22. Apa yang diuraikan oleh Usep Ranawidjaja sebenarnya tiada
lain adalah peraturan perundang-undangan.
[6]We shall distinguish between statutory and customary law
as the two fundamental types of law. By statutory law we shall understand law
created in a way other than by customs, namely, by legislative, judicial, or
administrative acts or by legal transactions, especially by contracts and
(international) treaties.”—Hans Kelsen, op.
cit., hlm 114-115.
[7] Abu Daud Busroh dan Abu
Bakar Busro, Asas-asas Hukum Tata Negara,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 58.
[8] Usep Ranawidjaja, Hukum
Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 25
[10]
Ibid, hlm 15-19.
[12]Abu Daud Busroh dan
Abu Bakar Busro, op. cit., hlm 58.
a. Keputusan yang bersifat mengatur (regeling) menghasilkan produk
peraturan (regels);
b. Keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara
administratif menghasilkan keputusan administrasi negara (beschikking);
c.
Keputusan
yang bersifat menghakimi sebagai hasil dari proses peradilan(adjudication)
menghasilkan putusan(vonnis);
d.
Aturan
kebijakan (policy rules, beleidsregel) atau quasi peraturan, dalam bentuk
petunjuk pelaksanaan, surat edaran, instruksi, dsb; yang tidak dapat dikategorikan
peraturan, tetapi isinya bersifat mengatur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar