Kamis, 10 Mei 2018

MENGKAJI KETENTUAN JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


MENGKAJI KETENTUAN JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
Pendahuluan
Baru-baru ini muncul kelompok yang mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji ketentuan dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya berkaitan dengan ketentuan mengenai masa jabatan  Wakil Presiden. Para pemohon adalah Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi yang diwakili Abda Khair Mufti, Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa yang diwakili Agus Humaedi Abdillah, dan pemohon perorangan, Muhammad Hafidz. Mereka mengajukan uji materi Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu. Pemohon berharap ketentuan-ketentuan tersebut dapat dibatalkan oleh MK. Namun alasannya cukup aneh, yaitu menginginkan Jusuf Kalla  kembali maju dalam pilpres 2019 mendampingi Joko Widodo dicalonkan untuk menjabat sebagai Wakil Presiden.[1]
Lepas dari masalah tersebut di atas, apakah pemohon memiliki legal standing atau tidak, apakah permohonan akan diterima atau ditolak, itu urusan MK. Penulis hanya ingin melihat makna yang terkandung dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu tersebut dibandingkan dengan ketentuan Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama. Sudah dapat dipastikan bahwa batu uji dari ketentuan Pasal 169 dan Pasal 227 UU tersebut adalah Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama.
A.   Perbandingan Substansi UU Pemilu tentang Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dengan Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama.
UUD 1945 Perubahan Pertama, Pasal 7 secara harfiah menyatakan: Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Artinya bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat menduduki jabatannya, selama 2 kali 5 tahun, alias 10 tahun.
Kemudian, Pasal 169 huruf n UU No. 7 Tahun 2017 menentukan bahwa syarat untuk mencalonakn sebagai Presiden atau Wakil Presiden adalah “belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”. Ketentuan tersebut dikuatkan dengan rumusan Pasal 227 huruf I, yang menyatakan “surat pemyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.
Bila dianalisis maka rumusan yang dimuat dalam Pasal 169 huruf n jo. Pasal 227 huruf I UU No. 7 Tahun 2017, mengandung makna yang sama dengan rumusan dalam Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama. Yang berbeda hanya penggunaan kata-katanya saja.
B.   Adakah yang kurang dalam rumusan Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama?
Ada pihak yang berasumsi bahwa rumusan Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Petama tersebut kurang lengkap, sehingga memunculkan multi tafsir. Asep Warlan Yusuf, misalnya, menganggap UUD 1945 maupun UU Pemilu tidak menjelaskan secara gamblang maksud dua kali masa jabatan tersebut, apakah berturut-turut atau tidak”.[2]
Kekuranglengkapan tersebut dapat melahirkan dua penafsiran, bahwa:
Pertama, seseorang hanya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan tersebut secara berturut-turut; dan
Kedua, seseorang dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama apabila telah diselingi oleh orang lain.
Namun, dari rumusan Pasal 7 tersebut setiap orang akan sepakat bahwa seseorang dapat menduduki jabatan lebih dari dua kali 5 tahun apabila, dua kali menduduki jabatan sebagai Wakil Presiden kemudian mencalonkan diri dan terpilih sebagai Presiden. Atau sebaliknya, dua kali menduduki jabatan sebagai Presiden kemudian menjabat kembali sebagai Wakil Presiden. Jabatan Presiden berbeda dengan jabatan Wakil Presiden.
Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, telah dua kali menjabat sebagai Presiden (2004-2009; 2009-2014), dia tidak mencalonkan lagi pada pilpres 2014. Mungkin sadar akan ketentuan Pasal 7 UUD 1945 tersebut. Sebenarnya Susilo Bambang Yudhoyono dapat mencalonkan sebagai Wakil Presiden. Demikian pula Jusuf Kalla, yang sudah dua kali menjabat sebagai Wakil Presiden, dapat saja mencalonkan diri sebagai Presiden. Jabatan Presiden berbeda dengan jabatan Wakil Presiden. Masalahnya: apakah Susilo Bambang Yudhoyono dapat mencalonkan kembali sebagai Presiden pada pilpres 2019? Tidak ada ketentuannya!  Inilah suatu bukti bahwa Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama kurang jelas, kurang lengkap!
C.   Siapa yang berwenang menjelaskan pasal-pasal UUD 1945?
Munculnya upaya pengajuan uji materi tentang masa jabatan Wakil Presiden tersebut, pada ujungnya akan terkait dengan ketentuan Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama. Pasal tersebut merupakan aturan pokok dari ketentuan-ketentuan mengenai jabatan Presiden dan atau Wakil Presiden. Bagaimana suatu undang-undang dapat diuji apabila ketentuan UUDnya tidak jelas, meragukan. Jangan sekali-kali diserahkan ke MK, karena MK tidak berwenang menafsirkan UUD, apalagi mengubahnya!
Tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 maupun ketetapan MPR bahwa yang berwenang menafsirkan UUD adalah MPR. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 jo. Pasal 37). Akan tetapi secara yuridis konstitusional, secara implisit MPR berwenang memberikan penjelasan atas rumusan ketentuan UUD 1945 yang dianggap belum jelas. Praktik ketatanegaran Indonesia pernah terjadi. MPR pernah menetapkan Ketetapan No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI sebagai penjabaran/pelengkap dari ketentuan Pasal 6 UUD 1945 Asli.
Fenomena yang ada saat ini mengenai jabatan Presiden dan Wakil Presiden  harus disikapi dengan serius oleh MPR. MPR jangan berdiam diri, jangan “tiarap”, MPR harus bereaksi, karena MPRlah yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Ada dua alternatif yang dapat ditempuh untuk menyikapi hal ini. Pertama, MPR mengubah/menambah/melengkapi ketentuan Pasal 7, dengana cara mengubah kembali UUD 1945 berdasar ketentuan Pasal 37. Kedua, MPR mengeluarkan ketetapan MPR yang bersifat melengkapi dan memperjelas ketentuan Pasal-pasal UUD 1945 yang dianggap kurang lengkap (vide Pasal 7 khususnya). Alternatif kedua ini yang dirasa lebih rasional, lebih realistis. Ketetapan MPR merupakan produk hukum MPR yang lebih flexible melengkapi kekurangan aturan dalam UUD 1945.
D.   Perlukan Pembatasan Masa Jabatan?
Reformasi di bidang hukum yang dimulai dengan melakukan perubahan UUD 1945 (tahun 1999) pada hakekatnya beranjak dari perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia. Tepatnya saat rezim Orde Baru berkuasa secara otoriter. Saat itu kekuasaan eksekutif sangat dominan (executive heavy, true strong executive). Oleh karenanya tidak aneh kalau perubahan pertama UUD 1945 terfokus pada pengikisan kewenangan Presiden. Memang, dalam negara demokrasi modern perlu ada pembatasan kekuasaan. Salah satu cara pembatasan melalui pengaturan dalam UUD.
Adanya perubahan Pasal 7 UUD 1945 pun tidak terlepas dari niat atau semangat untuk membatasi kekuasaan Presiden. Rumusan Pasal 7 UUD 1845 Asli menimbulkan multi tafsir, yang pada akhirnya ditafsirkan untuk menguntungkan pihak penguasa. Dari rumusan kata-kata “…… dan sesudahnya dapat dipilih kembali”, diartikan “dapat dipilih terus menerus setiap lima tahun”. MPR saat itu bersepakat untuk membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama 2 kali lima tahun, alias selama 10 tahun. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama tersebut di atas. Itulah kesepakatan yang dicapai untuk mencegah terulangnya kekuasaan tanpa batas yang cenderung diselewengkan (power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely).  Pembatasan kekuasaan adalah sebuah tuntutan zaman.
E.   Kesimpulan
Fenomena tentang Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang mencuat saat ini, merupakan masalah ketatanegaraan serius yang harus diperjelas, agar tidak ada keraguan dan kerancuan di masa mendatang. Lembaga negara yang memegang kunci strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah MPR. MPR harus segera bermusyawarah, tidak hanya bersidang lima tahun sekali.
Bahwa pembatasan masa jabatan kenegaraan adalah perlu untuk membatasi/menghindari munculnya pemerintahan yang sewenang-wenang. Di samping itu dalam rangka regenerasi kepemimpinan nasional.


-----------------------------

Bandung, 8 Mei 2018



[1] Tempo. Co: Alasan Pemohon Ajukan Uji Materi Masa Jabatan Wapres ke MK, Reporter Indri Maulidar, Editor Ninis Chairunnissa, 30 April 2018, 09.42WIB.
[2] Tempo.co: Pakar Hukum: Masa Jabatan Wapres dalam UU Pemilu Perlu Diuji:, Reporter: Vindry Florentin, Editor: Ninis Chaerunnissa, 29 April 2018 14.48WIB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...