MENGKAJI
KETENTUAN JABATAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Oleh: Rosjidi
Ranggawidjaja
Pendahuluan
Baru-baru ini muncul
kelompok yang mengajukan permohonan kepada MK untuk menguji ketentuan dalam UU No.
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya berkaitan dengan ketentuan
mengenai masa jabatan Wakil Presiden.
Para pemohon adalah Perkumpulan Rakyat
Proletar untuk Konstitusi yang diwakili Abda Khair Mufti, Federasi Serikat
Pekerja Singaperbangsa yang diwakili Agus Humaedi Abdillah, dan pemohon
perorangan, Muhammad Hafidz. Mereka mengajukan uji materi Pasal 169 huruf n dan
Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu. Pemohon berharap ketentuan-ketentuan
tersebut dapat dibatalkan oleh MK. Namun alasannya cukup aneh, yaitu menginginkan
Jusuf Kalla kembali maju dalam pilpres
2019 mendampingi Joko Widodo dicalonkan untuk menjabat sebagai Wakil Presiden.[1]
Lepas dari masalah tersebut di atas, apakah pemohon memiliki legal
standing atau tidak, apakah permohonan akan diterima atau ditolak, itu urusan
MK. Penulis hanya ingin melihat makna yang terkandung dalam Pasal 169 huruf n
dan Pasal 227 huruf i Undang-Undang Pemilu tersebut dibandingkan dengan ketentuan
Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama. Sudah dapat dipastikan bahwa batu uji dari
ketentuan Pasal 169 dan Pasal 227 UU tersebut adalah Pasal 7 UUD 1945 Perubahan
Pertama.
A. Perbandingan
Substansi UU Pemilu tentang Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dengan
Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama.
UUD 1945 Perubahan Pertama, Pasal
7 secara harfiah menyatakan: Presiden dan
Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih
kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Artinya bahwa Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat menduduki jabatannya,
selama 2 kali 5 tahun, alias 10 tahun.
Kemudian, Pasal 169 huruf n
UU No. 7 Tahun 2017 menentukan bahwa syarat untuk mencalonakn sebagai Presiden
atau Wakil Presiden adalah “belum pernah
menjabat sebagai presiden atau wakil presiden, selama 2 (dua) kali masa jabatan
dalam jabatan yang sama”. Ketentuan tersebut dikuatkan dengan rumusan Pasal
227 huruf I, yang menyatakan “surat
pemyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2
(dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.
Bila dianalisis maka
rumusan yang dimuat dalam Pasal 169 huruf n jo. Pasal 227 huruf I UU No. 7
Tahun 2017, mengandung makna yang sama dengan rumusan dalam Pasal 7 UUD 1945
Perubahan Pertama. Yang berbeda hanya penggunaan kata-katanya saja.
B. Adakah
yang kurang dalam rumusan Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Pertama?
Ada pihak yang berasumsi bahwa rumusan Pasal 7 UUD 1945 Perubahan Petama
tersebut kurang lengkap, sehingga memunculkan multi tafsir. Asep Warlan Yusuf,
misalnya, menganggap UUD 1945 maupun UU Pemilu tidak menjelaskan secara gamblang
maksud dua kali masa jabatan tersebut, apakah berturut-turut atau tidak”.[2]
Kekuranglengkapan tersebut dapat melahirkan dua penafsiran, bahwa:
Pertama, seseorang hanya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama
hanya untuk satu kali masa jabatan tersebut secara berturut-turut; dan
Kedua, seseorang dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama apabila
telah diselingi oleh orang lain.
Namun, dari rumusan Pasal 7 tersebut setiap orang akan sepakat bahwa seseorang
dapat menduduki jabatan lebih dari dua kali 5 tahun apabila, dua kali menduduki
jabatan sebagai Wakil Presiden kemudian mencalonkan diri dan terpilih sebagai
Presiden. Atau sebaliknya, dua kali menduduki jabatan sebagai Presiden kemudian
menjabat kembali sebagai Wakil Presiden. Jabatan Presiden berbeda dengan
jabatan Wakil Presiden.
Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, telah dua kali menjabat sebagai
Presiden (2004-2009; 2009-2014), dia tidak mencalonkan lagi pada pilpres 2014.
Mungkin sadar akan ketentuan Pasal 7 UUD 1945 tersebut. Sebenarnya Susilo Bambang
Yudhoyono dapat mencalonkan sebagai Wakil Presiden. Demikian pula Jusuf Kalla,
yang sudah dua kali menjabat sebagai Wakil Presiden, dapat saja mencalonkan
diri sebagai Presiden. Jabatan Presiden berbeda dengan jabatan Wakil Presiden.
Masalahnya: apakah Susilo Bambang Yudhoyono dapat mencalonkan kembali sebagai
Presiden pada pilpres 2019? Tidak ada ketentuannya! Inilah suatu bukti bahwa Pasal 7 UUD 1945
Perubahan Pertama kurang jelas, kurang lengkap!
C.
Siapa yang berwenang menjelaskan pasal-pasal
UUD 1945?
Munculnya upaya pengajuan uji materi tentang masa jabatan Wakil Presiden
tersebut, pada ujungnya akan terkait dengan ketentuan Pasal 7 UUD 1945
Perubahan Pertama. Pasal tersebut merupakan aturan pokok dari
ketentuan-ketentuan mengenai jabatan Presiden dan atau Wakil Presiden.
Bagaimana suatu undang-undang dapat diuji apabila ketentuan UUDnya tidak jelas,
meragukan. Jangan sekali-kali diserahkan ke MK, karena MK tidak berwenang
menafsirkan UUD, apalagi mengubahnya!
Tidak ada ketentuan dalam UUD 1945 maupun ketetapan MPR bahwa yang
berwenang menafsirkan UUD adalah MPR. MPR berwenang mengubah dan menetapkan UUD
(Pasal 3 jo. Pasal 37). Akan tetapi secara yuridis konstitusional, secara
implisit MPR berwenang memberikan penjelasan atas rumusan ketentuan UUD 1945
yang dianggap belum jelas. Praktik ketatanegaran Indonesia pernah terjadi. MPR
pernah menetapkan Ketetapan No. II/MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden RI sebagai penjabaran/pelengkap dari ketentuan
Pasal 6 UUD 1945 Asli.
Fenomena yang ada saat ini mengenai jabatan Presiden dan Wakil Presiden harus disikapi dengan serius oleh MPR. MPR
jangan berdiam diri, jangan “tiarap”, MPR harus bereaksi, karena MPRlah yang
berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Ada dua alternatif yang dapat ditempuh
untuk menyikapi hal ini. Pertama, MPR mengubah/menambah/melengkapi ketentuan
Pasal 7, dengana cara mengubah kembali UUD 1945 berdasar ketentuan Pasal 37.
Kedua, MPR mengeluarkan ketetapan MPR yang bersifat melengkapi dan memperjelas
ketentuan Pasal-pasal UUD 1945 yang dianggap kurang lengkap (vide Pasal 7
khususnya). Alternatif kedua ini yang dirasa lebih rasional, lebih realistis.
Ketetapan MPR merupakan produk hukum MPR yang lebih flexible melengkapi
kekurangan aturan dalam UUD 1945.
D.
Perlukan Pembatasan Masa Jabatan?
Reformasi di bidang hukum yang dimulai dengan melakukan perubahan UUD
1945 (tahun 1999) pada hakekatnya beranjak dari perjalanan sejarah
ketatanegaraan Indonesia. Tepatnya saat rezim Orde Baru berkuasa secara otoriter.
Saat itu kekuasaan eksekutif sangat dominan (executive heavy, true strong executive). Oleh karenanya tidak aneh
kalau perubahan pertama UUD 1945 terfokus pada pengikisan kewenangan Presiden.
Memang, dalam negara demokrasi modern perlu ada pembatasan kekuasaan. Salah
satu cara pembatasan melalui pengaturan dalam UUD.
Adanya perubahan Pasal 7 UUD 1945 pun tidak terlepas dari niat atau
semangat untuk membatasi kekuasaan Presiden. Rumusan Pasal 7 UUD 1845 Asli
menimbulkan multi tafsir, yang pada akhirnya ditafsirkan untuk menguntungkan pihak
penguasa. Dari rumusan kata-kata “…… dan sesudahnya dapat dipilih kembali”,
diartikan “dapat dipilih terus menerus setiap lima tahun”. MPR saat itu
bersepakat untuk membatasi masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama 2
kali lima tahun, alias selama 10 tahun. Sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7
UUD 1945 Perubahan Pertama tersebut di atas. Itulah kesepakatan yang dicapai
untuk mencegah terulangnya kekuasaan tanpa batas yang cenderung diselewengkan (power tends to corrupt, absolute power
corrupts absolutely). Pembatasan
kekuasaan adalah sebuah tuntutan zaman.
E.
Kesimpulan
Fenomena tentang Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang mencuat
saat ini, merupakan masalah ketatanegaraan serius yang harus diperjelas, agar
tidak ada keraguan dan kerancuan di masa mendatang. Lembaga negara yang
memegang kunci strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah MPR. MPR harus
segera bermusyawarah, tidak hanya bersidang lima tahun sekali.
Bahwa pembatasan masa jabatan kenegaraan adalah perlu untuk
membatasi/menghindari munculnya pemerintahan yang sewenang-wenang. Di samping
itu dalam rangka regenerasi kepemimpinan nasional.
-----------------------------
Bandung, 8
Mei 2018
[1] Tempo. Co: Alasan Pemohon Ajukan Uji Materi Masa
Jabatan Wapres ke MK, Reporter Indri Maulidar, Editor Ninis Chairunnissa,
30 April 2018, 09.42WIB.
[2] Tempo.co: Pakar
Hukum: Masa Jabatan Wapres dalam UU Pemilu Perlu Diuji:, Reporter: Vindry
Florentin, Editor: Ninis Chaerunnissa, 29 April 2018 14.48WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar