ASAS-ASAS PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
Pendapat
para ahli
Dalam menetapkan asas-asas perundang-undangan di Indonesia, para ahli
masih berbeda pendapat. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto
memperkenalkan enam asas perundang-undangan, yaitu:
1. Undang-undang
tidak berlaku surut,
2. Undang-undang
yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih
tinggi pula,
3. Undang-undang
yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (Lex
specialis derogat lex generali),
4. Undang-undang
yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (Lex
posteriore derogat lex priori),
5. Undang-undang
tidak dapat diganggu-gugat.
6. Undang-undang
sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual
dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau
pelestarian (asas Welvaarstaat).[1]
Sementara itu, Amiroeddin Syarif menetapkan adanya lima asas
perundang-undangan, yaitu:
a.
Asas Tingkatan Hirarki
b.
Undang-undang tak dapat diganggu gugat
c.
Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang
yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)
d.
Undang-undang tidak berlaku surut,
e.
Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (Lex
posteriori derogat lex priori). [2]
Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan maka terdapat persamaan
dan perbedaan. Persamaannya bahwa lima asas adalah sama, dan perbedaannya bahwa
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menambahkan satu asas lagi yaitu asas
welvaarstaat. Dalam hal ini Penulis lebih cenderung menyetuji pendapat
Amiroeddin Syarif, karena asas welvaarstaat bukanlah asas tetapi lebih
cenderung berkaitan dengan fungsi hukum (perundang-undangan) dalam konteks
negara kesejahteraan.
Peraturan perundang-undangan dibuat untuk dipergunakan bagi
peristiwa-peristiwa yang akan datang (terjadi setelah peraturan
perundang-undangan tersebut dinyatakan berlaku), tidak diberlakukan terhadap
peristiwa yang terjadi sebelumnya. Pada dasarnya peraturan perundang-undangan akan
mengikat sejak saat dinyatakan berlaku. Dengan demikian maka peraturan
perundang-undangan dibentuk dengan maksud untuk mengantisipasi fenomena di masa
mendatang. Peraturan perundang-undangan hanya berlaku bagi peristiwa atau
perbuatan yang dilakukan sejak peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan
berlaku, tidak boleh berlaku surut. Seandainya akan diberlakukan terhadap
peristiwa-peristiwa sebelumnya, maka harus diambil ketentuan yang menguntungkan
pihak yang terkena. Hal seperti itu diatur dalam Pasal 1 ayat (1)
KUHPidana yang menyatakan “Tiada
peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan
perundang-undangan pidana yang mendahulukan” (Geen feit is strafbaar dan uit
kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling).[3]
Asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut
sangat relevan dengan fungsi hukum untuk mencapai keadilan dan berkaitan dengan
asas legalitas. Pada sisi lain keberadaan asas bahwa peraturan
perundang-undangan tidak boleh berlaku surut tidak lepas dari pemeo yang
menyatakan “tiada hukum tanpa pengecualian” (geen recht zonder uit zondering).
Artinya bahwa kepastian dan keadilan hukum harus diperhatikan, tetapi
pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena
aturan tersebut, karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan
masyarakat. Hukum bukan untuk menindas masyarakat.
Asas “undang-undang tidak berlaku surut” berkaitan dengan
lingkungan kuasa waktu atau “tijdsgebied” atau “temporal sphere”.
Hal itu pernah dikemukakan oleh Hans Kelsen maupun JHA Logemann, yang
berhubungan dengan teori tentang lingkup atau lingkungan berlakunya hukum (geldingsgebied
van het recht). Menurut Logemann lingkungan kuasa hukum meliputi empat
hal yaitu:[4]
a. Lingkungan
kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere).
Berlakunya aturan hukum (khususnya peraturan perundang-undangan)
dibatasi oleh ruang atau tempat. Apakah
sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya
berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, “daerah
kekuasaan” berlakunya suatu Undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah
negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya
diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu peraturan daerah hanya
berlaku untuk suatu daerah tertentu (Daerah Provinsi atau Daerah
kabupaten/Kota).
b. Lingkungan
kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere).
Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu
peraturan perudang-undangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian
maka persoalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan
lingkup materi yang diatur, apakah persoalannya adalah persoalan publik atau
privat, persoalan perdata atau pidana, dsb. Materi tersebut menunjukkan lingkup
masalah atau persoalan yang diatur.
c. Lingkungan
kuasa orang (personengebied).
Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau
segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subyek atau orang
(orang) tertentu dalam peraturan perundang-undangan tersebut maka
memperlihatkan adanya pembatasan mengenai orangnya. Undang-undang tentang
Pegawai Negeri, Undang-undang tentang Tenaga Kerja, Undang-undang tentang
Pidana Militer, Undang-undang tentang Pajak Orang Asing, dsb; menunjukkan bahwa
peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompok orang
atau kelompok individu tertentu yang diidentifikasi dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
d. Lingkungan
kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere).
Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan
perundang-undangan berlaku, apakah berlaku untuk suatu masa tertentu atau untuk
masa tidak tertentu, apakah mulai berlaku sejak ditetapkan atau berlaku surut
sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan oleh waktu.
Dalam teori tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan
sebagaimana dikemukakan di atas (butir 2 menurut Purnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto dan butir a menurut Amiroeddin Syarif, terdapat asas-asas atau
prinsip-prinsip, yaitu bahwa:
a.
Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah
atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi,
tetapi yang sebaliknya dapat.
b.
Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh
atau dengan perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi
tingkatannya.
c.
Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah
tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila
bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku
dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti
atau dicabut oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah.
d.
Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih rendah, tetapi hal yang sebaliknya dapat.[5]
Berkaitan dengan prinsip-prinsip tata urutan tersebut dikenal pula
asas lex superiori derogate lex
imperiori. Artinya bahwa peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan
peraturan yang ada di bawahnya (yang lebih rendah). Bila peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan
peraturan di bawahnya. Jika sebuah undang-undang materinya bertentangan dengan
materi dalam UUD maka materi UUD mengesampingkan materi dalam undang-undang,
artinya yang diterapkan/dipergunakan atau dinyatakan berlaku dan mengikat
adalah ketentuan dalam UUD.
Pengertian dari asas bahwa undang-undang tidak dapat diganggu
gugat adalah berkaitan dengan materi muatan undang-undang. Dalam hal ini materi
muatan undang-undang tidak dapat diuji oleh badan peradilan (khususnya). Hanya
pembentuk undang-undang sendiri yang dapat menilai substansi undang-undang,
sehingga perubahan, pencabutan atau pembatalan suatu undang-undang hanya dapat
dilakukan dengan undang-undang sendiri. Selain itu, hal tersebut
berkaitan dengan kewenangan badan pembentuknya. Dalam hal ini pembentuk
undang-undang dianggap sebagai badan pelaksana kedaulatan rakyat. Berlakunya
asas ini karena adanya paham supremasi parlemen, parlemen yang superior.
Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat dianut dalam
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, sebagaimana ternyata dari ketentuan sebagai
berikut:
Pasal 130 (2) Konstitusi RIS: Undang-undang federal tidak dapat diganggu
gugat.
Pasal 95 (2) UUDS 1950 : Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
Adanya ketentuan tersebut berkaitan dengan kewenangan pembentuk
undang-undang. Menurut Konstitusi RIS 1949 Pasal 127 pembentuk undang-undang
adalah Pemerintah, DPR dan Senat (untuk materi tertentu dibentuk oleh
Pemernitah dan DPR), sedangkan menurut UUDS 1950 Pasal 89 pembentuk
undang-undang adalah Pemerintah dan DPR. Sementara itu, Pemerintah dan DPR
sendiri adalah pelaksana kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) Konstitusi
RIS 1949 dan UUDS 1950).[6] Sebagai badan pelaksana
kedaulatan rakyat maka produk hukumnya adalah “superior”,seperti halnya dianut
di Kerajaan Inggris yang menempatkan Parlemen sebagai badan tertinggi
(supremasi parlemen) dan “omnipotent”
(maha kuasa), dan tidak dapat diuji oleh badan lain. Itulah sebabnya baik
Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 menetapkan dalam Undang-undang Dasarnya
asas bahwa Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.
Asas lain adalah asas
lex specialis derogate lex generalis, yaitu bahwa
peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan
perundang-undangan yang bersifat umum. Hal ini berkaitan dengan kepastian
hukum. Bila ada beberapa atau sekurang-kurangnya dua peraturan
perundang-undangan (undang-undang) yang sama jenisnya, maka peraturan
perundang-undangan (baca: undang-undang) yang mengatur materi yang khusus yang
harus dipergunakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang
umum harus dikesampingkan. Undang-undang yang mengatur materi yang lebih khusus
yang diterapkan. Misalnya KUHDagang mengesampingkan KUHPerdata. KUHPidana
Militer mengesampingkan KUHPidana. Jika seorang anggota ABRI melakukan
pencurian, maka ketentuan yang dipakai adalah Pasal 140 KUHPidana Militer bukan
Pasal 362 KUHPidana.
Bila ada dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang sejenis
(sederajat) mengatur materi yang sama dan peraturan perundang-undangan yang
baru tidak dengan secara eksplisit menyatakan bahwa peraturan
perundang-undangan yang lama itu dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi,
maka berlaku asas lex posteriori
derogat lex priori. Peraturan perundang-undangan yang lama
dikesampingkan oleh peraturan perundang-undangan yang baru. Dikesampingkan,
artinya bahwa peraturan perundang-undangan dimaksud tetap berlaku, hanya tidak
digunakan dalam penerapannya. Dalam penerapan asas ini harus dipenuhi persyaratan bahwa:
a.
peraturan perundang-undangan tersebut sejenis (sederajat), dalam
hal ini undang-undang dengan undang-undang;
b.
peraturan
perundang-undangan (baca: Undang-undang) yang baru tersebut mengatur
materi yang sama dengan peraturan perundang-undangan (Undang-undang) yang lama.
Asas ini digunakan dalam rangka menetapkan kepastian dan ketertiban hokum;
c.
Tidak ada pernyataan bahwa undang-undang yang lama dicabut atau
dinyatakan tidsak berlaku.
Contoh kongkrit berkaitan dengan asas ini misalnya keberadaan
Ketetapan MPR tentang GBHN atau Peraturan Tata Tertib MPR yang setiap
lima tahun sekali ditetapkan, maka Ketetapan MPR yang baru mengesampingkan
Ketetapan MPR yang lama atau Undang-undang tentang APBN yang setiap tahun
ditetapkan, maka undang-undang yang baru yang digunakan.
Asas
Formal dan Asas Material
Menguraikan tentang asas-asas peraturan perundang-undangan,
khususnya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, kiranya
akan terasa lengkap apabila dikutip pendapat para ahli. Van der Vlies,[7] sebagaimana dikutip oleh A
Hamid S Attamimi, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan yang patut (beginselen van behoorlijke regelgeving)
ke dalam asas-asas yang formal dan yang material.
a.
Asas-asas yang formal meliputi:
i. asas
tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
ii. asas
organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
iii. asas
perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
iv. asas
dapat dilaksanakan (het beginsel van uit voerbaarheid);
v. asas
konsensus (het beginsel van de consensus).
b.
Asas-asas yang material meliputi:
i.
asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het
beginsel van duidelijke terminologie en
duidelijke systematiek);
ii.
asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
iii.
asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
iv.
asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
v.
asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel
van de individuele rechtsbedeling).
Dengan memperhatikan pendapat Van der Vlies dan asas-asas yang
dianut oleh Negara RI, A Hamid S Attamimi[8] menetapkan asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:
a.
Asas-asas formal, dengan perincian:
1.
asas tujuan yang jelas;
2.
asas perlunya pengaturan;
3.
asas organ/lembaga yang tepat;
4.
asas materi muatan yang tepat;
5.
asas dapatnya dilaksanakan; dan
6.
asas dapatnya dikenali.
b.
Asas-asas material, dengan perincian:
1.
asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental
Negara;
2.
asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
3.
asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasar Atas Hukum; dan
4.
asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem
Konstitusi.
Pendapat para pakar tersebut diterapkan dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran
Negara RI Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), yang
diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam UU tersebut ditetapkan
dan dibedakan antara asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik (Pasal 5) dan asas Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan (Pasal 6).
Asas Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan yang baik, meliputi:
a.
kejelasan tujuan;
b.
kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.
kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.
dapat dilaksanakan;
e.
kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
kejelasan rumusan; dan
g.
keterbukaan;
Pengertian dari asas-asas tersebut dapat dilihat dalam Penjelasan
Pasal 5 dan Pasal 6, sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa
setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai.
Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk
yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan
harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang
berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan
materi muatan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat
dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah
bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan
efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik
secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memanng benar-benar
dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara.
Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusan” adalah
bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis
penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematiuka dan pilihan kata atau
terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan” adalah bahwa
dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan,
persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya
untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.
Asas Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari:
a.
pengayoman
b.
kemanusiaan
c.
kebangsaan
d.
kekeluargaan
e.
kenusantaraan
f.
bhinneka tunggal ika
g.
keadilan
h.
kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
k.
asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan
yang bersangkutan.
Kemudian, dalam hubungannya dengan asas-asas materi muatan
peraturan perundang-undangan, penjelasan Pasal 6 UU Nomor 10 Tahun 2004
menguraikan sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi
memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat
setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinekaan) dengan tetap
menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indoneia.
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan
Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum
nasional yang berdasarkan Pancasila.
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah
bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
pendudukan, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya
khususnya yang menyangkut masalah-masalah sensitive dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa
setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum
dan pemerintahan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender,
atau status sosial.
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah
bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan
Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan
keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan
bangsa dan Negara.
Yang dimaksud dengan “Asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
a. dalam Hukum Pidana,
misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata,
misalnya, dalam hokum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan
berkontrak, dan itikad baik.
[1]
Purnadi
Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni,
Bandung, 1979, hlm 15-19.
[2]
Amiroeddin
Syarif, Perundang-undangan,
Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina
Aksara, Jakarta, 1987, hlm 78-84.
[6]
Pasal
1 ayat (2) Konstitusi RIS 1949 menyatakan: Kekuasaan kedaulatan Republik
Indonesia Serikat dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan
Perwakilan Rakyat dan Senat.
Pasal 1 ayat (2) UUDS 1950 menyatakan: Kedaulatan Republik
Indonesia adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama
dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
[7]
A
Hamid S Attamimi, Peranan
Keputusan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Presiden
RI , Disertasi, Fakultas
Pascasarjana Univesitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 330-331.
[8]
ibid,
hlm 345-346.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar