Sabtu, 19 Mei 2018

ASAS-ASAS PERUNDANG-UNDANGAN

ASAS-ASAS PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja


Pendapat para ahli

Dalam menetapkan asas-asas perundang-undangan di Indonesia, para ahli masih berbeda pendapat. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan enam asas perundang-undangan, yaitu:

1.    Undang-undang tidak berlaku surut,
2.    Undang-undang yang dibuat oleh Penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula,
3.    Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generali),
4.    Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriore derogat lex priori),
5.    Undang-undang tidak dapat diganggu-gugat.
6.    Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas Welvaarstaat).[1]

Sementara itu, Amiroeddin Syarif menetapkan adanya lima asas perundang-undangan, yaitu:

a.     Asas Tingkatan Hirarki
b.     Undang-undang tak dapat diganggu gugat
c.      Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)
d.     Undang-undang tidak berlaku surut,
e.     Undang-undang yang baru menyampingkan undang-undang yang lama (Lex posteriori derogat lex priori). [2]

Jika kedua pendapat tersebut dibandingkan maka terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaannya bahwa lima asas adalah sama, dan perbedaannya bahwa Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menambahkan satu asas lagi yaitu asas welvaarstaat. Dalam hal ini Penulis lebih cenderung menyetuji pendapat Amiroeddin Syarif, karena asas welvaarstaat bukanlah asas tetapi lebih cenderung berkaitan dengan fungsi hukum (perundang-undangan) dalam konteks negara kesejahteraan.  

Peraturan perundang-undangan dibuat untuk dipergunakan bagi peristiwa-peristiwa yang akan datang (terjadi setelah peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan berlaku), tidak diberlakukan terhadap peristiwa yang terjadi sebelumnya. Pada dasarnya peraturan perundang-undangan akan mengikat sejak saat dinyatakan berlaku. Dengan demikian maka peraturan perundang-undangan dibentuk dengan maksud untuk mengantisipasi fenomena di masa mendatang. Peraturan perundang-undangan hanya berlaku bagi peristiwa atau perbuatan yang dilakukan sejak peraturan perundang-undangan tersebut dinyatakan berlaku,  tidak boleh berlaku surut. Seandainya akan diberlakukan terhadap peristiwa-peristiwa sebelumnya, maka harus diambil ketentuan yang menguntungkan pihak yang terkena. Hal seperti itu diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHPidana  yang menyatakan “Tiada peristiwa dapat dipidana, kecuali atas dasar kekuatan suatu aturan perundang-undangan pidana yang mendahulukan” (Geen feit is strafbaar dan uit kracht van eene daaraan voorafgegane wettelijke strafbepaling).[3]

Asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut sangat relevan dengan fungsi hukum untuk mencapai keadilan dan berkaitan dengan asas legalitas. Pada sisi lain keberadaan asas bahwa peraturan perundang-undangan tidak boleh berlaku surut tidak lepas dari pemeo yang menyatakan “tiada hukum tanpa pengecualian” (geen recht zonder uit zondering). Artinya bahwa kepastian dan keadilan hukum harus diperhatikan, tetapi pengecualian dapat dilakukan sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang terkena aturan tersebut, karena hukum ditujukan untuk mengayomi dan mensejahterakan masyarakat. Hukum bukan untuk menindas masyarakat.

Asas “undang-undang tidak berlaku surut” berkaitan dengan lingkungan kuasa waktu atau “tijdsgebied” atau “temporal sphere”. Hal itu pernah dikemukakan oleh Hans Kelsen maupun JHA Logemann, yang berhubungan dengan teori tentang lingkup atau lingkungan berlakunya hukum (geldingsgebied van het recht). Menurut Logemann  lingkungan kuasa hukum meliputi empat hal yaitu:[4]

a.  Lingkungan kuasa tempat (ruimtegebied atau territorial sphere).
      
Berlakunya aturan hukum (khususnya peraturan perundang-undangan) dibatasi oleh ruang atau tempat.  Apakah  sesuatu aturan hukum itu berlaku untuk suatu wilayah negara atau hanya berlaku untuk suatu bagian dari wilayah negara. Seperti diketahui, “daerah kekuasaan” berlakunya suatu Undang-undang dapat meliputi seluruh wilayah negara, tetapi untuk suatu keadaan tertentu atau suatu materi tertentu hanya diberlakukan untuk suatu wilayah tertentu pula. Suatu peraturan daerah hanya berlaku untuk suatu daerah tertentu (Daerah Provinsi atau Daerah kabupaten/Kota).

b.    Lingkungan kuasa persoalan (zakengebied atau material sphere).

Suatu materi atau persoalan tertentu yang diatur dalam suatu peraturan perudang-undangan mengidentifikasi masalah tertentu. Dengan demikian maka persoalan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan lingkup materi yang diatur, apakah persoalannya adalah persoalan publik atau privat, persoalan perdata atau pidana, dsb. Materi tersebut menunjukkan lingkup masalah atau persoalan yang diatur.

c.    Lingkungan kuasa orang (personengebied).
      
Sesuatu aturan mungkin hanya diberlakukan bagi sekelompok atau segolongan orang atau penduduk tertentu. Dengan ditetapkannya subyek atau orang (orang) tertentu dalam peraturan perundang-undangan tersebut maka memperlihatkan adanya pembatasan mengenai orangnya. Undang-undang tentang Pegawai Negeri, Undang-undang tentang Tenaga Kerja, Undang-undang tentang Pidana Militer, Undang-undang tentang Pajak Orang Asing, dsb; menunjukkan bahwa peraturan perundang-undangan tersebut hanya diberlakukan bagi kelompok orang atau kelompok individu tertentu yang diidentifikasi dalam peraturan perundang-undangan tersebut.

d.    Lingkungan kuasa waktu (tijdsgebied atau temporal sphere).

Lingkungan waktu menunjukkan kapan suatu peraturan perundang-undangan berlaku, apakah berlaku untuk suatu masa tertentu atau untuk masa tidak tertentu, apakah mulai berlaku sejak ditetapkan atau berlaku surut sebelum ditetapkan. Berlakunya suatu peraturan hukum ditentukan oleh waktu.
  
Dalam teori tata urutan (hierarki) peraturan perundang-undangan sebagaimana dikemukakan di atas (butir 2 menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dan butir a menurut Amiroeddin Syarif, terdapat asas-asas atau prinsip-prinsip, yaitu bahwa:

a.            Perundang-undangan yang rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi yang sebaliknya dapat.
b.            Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan  perundang-undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi tingkatannya.
c.            Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.  Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat, walaupun diubah, ditambah, diganti atau dicabut oleh peraturan  perundang-undangan yang lebih rendah.
d.            Materi yang seharusnya diatur oleh perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, tetapi hal yang sebaliknya dapat.[5]

Berkaitan dengan prinsip-prinsip tata urutan tersebut dikenal pula asas lex superiori derogate lex imperiori. Artinya bahwa peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang ada di bawahnya (yang lebih rendah). Bila peraturan perundang-undangan yang lebih rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan di bawahnya. Jika sebuah undang-undang materinya bertentangan dengan materi dalam UUD maka materi UUD mengesampingkan materi dalam undang-undang, artinya yang diterapkan/dipergunakan atau dinyatakan berlaku dan mengikat adalah ketentuan dalam UUD.

Pengertian dari asas bahwa undang-undang tidak dapat diganggu gugat adalah berkaitan dengan materi muatan undang-undang. Dalam hal ini materi muatan undang-undang tidak dapat diuji oleh badan peradilan (khususnya). Hanya pembentuk undang-undang sendiri yang dapat menilai substansi undang-undang, sehingga perubahan, pencabutan atau pembatalan suatu undang-undang hanya dapat dilakukan dengan undang-undang sendiri. Selain itu, hal tersebut  berkaitan dengan kewenangan badan pembentuknya. Dalam hal ini pembentuk undang-undang dianggap sebagai badan pelaksana kedaulatan rakyat. Berlakunya asas ini karena adanya paham supremasi parlemen, parlemen yang superior.

Asas undang-undang tidak dapat diganggu gugat dianut dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, sebagaimana ternyata dari ketentuan sebagai berikut:

Pasal 130 (2) Konstitusi RIS:  Undang-undang federal tidak dapat diganggu gugat.
Pasal   95 (2) UUDS 1950   :  Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

Adanya ketentuan tersebut berkaitan dengan kewenangan pembentuk undang-undang. Menurut Konstitusi RIS 1949 Pasal 127 pembentuk undang-undang adalah Pemerintah, DPR dan Senat (untuk materi tertentu dibentuk oleh Pemernitah dan DPR), sedangkan menurut UUDS 1950 Pasal 89 pembentuk undang-undang adalah Pemerintah dan DPR. Sementara itu, Pemerintah dan DPR sendiri adalah pelaksana  kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat (2) Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950).[6] Sebagai badan pelaksana kedaulatan rakyat maka produk hukumnya adalah “superior”,seperti halnya dianut di Kerajaan Inggris yang menempatkan Parlemen sebagai badan tertinggi (supremasi parlemen) dan “omnipotent” (maha kuasa), dan tidak dapat diuji oleh badan lain. Itulah sebabnya baik Konstitusi RIS 1949 maupun UUDS 1950 menetapkan dalam Undang-undang Dasarnya asas bahwa Undang-undang tidak dapat diganggu gugat.

Asas lain adalah asas lex specialis derogate lex generalis, yaitu  bahwa peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Hal ini berkaitan dengan kepastian hukum. Bila ada beberapa atau sekurang-kurangnya dua peraturan perundang-undangan (undang-undang) yang sama jenisnya, maka peraturan perundang-undangan (baca: undang-undang) yang mengatur materi yang khusus yang harus dipergunakan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur materi yang umum harus dikesampingkan. Undang-undang yang mengatur materi yang lebih khusus yang diterapkan. Misalnya KUHDagang mengesampingkan KUHPerdata. KUHPidana Militer mengesampingkan KUHPidana. Jika seorang anggota ABRI melakukan pencurian, maka ketentuan yang dipakai adalah Pasal 140 KUHPidana Militer bukan Pasal 362 KUHPidana.

Bila ada dua atau lebih peraturan perundang-undangan yang sejenis (sederajat) mengatur materi yang sama dan peraturan perundang-undangan yang baru tidak dengan secara eksplisit  menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang lama itu dicabut atau dinyatakan tidak berlaku lagi, maka berlaku asas lex posteriori derogat lex priori. Peraturan perundang-undangan yang lama dikesampingkan oleh peraturan perundang-undangan yang baru. Dikesampingkan, artinya bahwa peraturan perundang-undangan dimaksud tetap berlaku, hanya tidak digunakan dalam penerapannya. Dalam penerapan asas  ini  harus dipenuhi persyaratan bahwa:

a.     peraturan perundang-undangan tersebut sejenis (sederajat), dalam hal ini undang-undang dengan undang-undang;
b.      peraturan perundang-undangan (baca: Undang-undang) yang baru tersebut  mengatur materi yang sama dengan peraturan perundang-undangan (Undang-undang) yang lama. Asas ini digunakan dalam rangka menetapkan kepastian dan ketertiban hokum;
c.      Tidak ada pernyataan bahwa undang-undang yang lama dicabut atau dinyatakan tidsak berlaku.

Contoh kongkrit berkaitan dengan asas ini misalnya keberadaan  Ketetapan MPR tentang GBHN atau Peraturan Tata Tertib MPR yang setiap lima tahun sekali ditetapkan, maka Ketetapan MPR yang baru mengesampingkan Ketetapan MPR yang lama  atau Undang-undang tentang APBN yang setiap tahun ditetapkan, maka undang-undang yang baru yang digunakan.

Asas Formal dan Asas Material

Menguraikan tentang asas-asas peraturan perundang-undangan, khususnya asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, kiranya akan terasa lengkap apabila dikutip pendapat para ahli.  Van der Vlies,[7] sebagaimana dikutip oleh A Hamid S Attamimi, membagi asas-asas dalam pembentukan peraturan yang patut (beginselen van behoorlijke regelgeving) ke dalam asas-asas yang formal dan yang material.

a.  Asas-asas yang formal meliputi:

       i.    asas tujuan yang jelas (beginsel van duidelijke doelstelling);
     ii.    asas organ/lembaga yang tepat (beginsel van het juiste organ);
    iii.    asas perlunya pengaturan (het noodzakelijkheids beginsel);
    iv.    asas dapat dilaksanakan (het beginsel van uit voerbaarheid);
     v.    asas konsensus (het beginsel van de consensus).

b.  Asas-asas yang material meliputi:

i.                asas tentang terminologi dan sistematika yang benar (het beginsel van duidelijke   terminologie en duidelijke systematiek);
ii.                asas tentang dapat dikenali (het beginsel van de kenbaarheid);
iii.                asas perlakuan yang sama dalam hukum (het rechtsgelijkheidsbeginsel);
iv.                asas kepastian hukum (het rechtszekerheidsbeginsel);
v.                asas pelaksanaan hukum sesuai keadaan individual (het beginsel van de individuele  rechtsbedeling).

Dengan memperhatikan pendapat Van der Vlies dan asas-asas yang dianut oleh Negara RI, A Hamid S Attamimi[8] menetapkan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut tersebut ke dalam:

a.     Asas-asas formal, dengan perincian:
1.    asas tujuan yang jelas;
2.    asas perlunya pengaturan;
3.    asas organ/lembaga yang tepat;
4.    asas materi muatan yang tepat;
5.    asas dapatnya dilaksanakan; dan
6.    asas dapatnya dikenali.

b.     Asas-asas material, dengan perincian:
1.    asas sesuai dengan Cita Hukum Indonesia dan Norma Fundamental Negara;
2.    asas sesuai dengan Hukum Dasar Negara;
3.    asas sesuai dengan prinsip-prinsip Negara Berdasar Atas Hukum; dan
4.    asas sesuai dengan prinsip-prinsip Pemerintahan Berdasar Sistem Konstitusi.
  
Pendapat para pakar tersebut diterapkan  dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), yang diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011. Dalam UU tersebut ditetapkan dan dibedakan antara asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik (Pasal 5) dan asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 6).

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik,  meliputi:

a.            kejelasan tujuan;
b.            kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c.            kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d.            dapat dilaksanakan;
e.            kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.             kejelasan rumusan; dan
g.            keterbukaan;

Pengertian dari asas-asas tersebut dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 5 dan Pasal 6, sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “kejelasan tujuan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
Yang dimaksud dengan asas “kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat” adalah bahwa setiap jenis Peraturan Perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga/pejabat Pembentuk Peraturan Perundang-undangan yang berwenang. Peraturan Perundang-undangan tersebut  dapat dibatalkan atau batal demi hukum, apabila dibuat oleh lembaga/pejabat yang tidak berwenang.
Yang dimaksud dengan asas “kesesuaian antara jenis dan materi muatanadalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi muatan yang tepat dengan jenis Peraturan Perundang-undangannya.
Yang dimaksud dengan asas “dapat dilaksanakan” adalah bahwa setiap Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus memperhitungkan efektifitas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis.
Yang dimaksud dengan asas “kedayagunaan dan kehasilgunaan” adalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memanng benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Yang dimaksud dengan asas “kejelasan rumusanadalah bahwa setiap Peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan Peraturan Perundang-undangan, sistematiuka dan pilihan kata atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.
Yang dimaksud dengan asas “keterbukaan” adalah bahwa dalam proses Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan.


Asas Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan, terdiri dari:

a.    pengayoman
b.    kemanusiaan
c.    kebangsaan
d.    kekeluargaan
e.    kenusantaraan
f.     bhinneka tunggal ika
g.    keadilan
h.    kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
i.     ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j.     keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
k.    asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan.

Kemudian, dalam hubungannya dengan asas-asas materi muatan peraturan perundang-undangan, penjelasan Pasal 6 UU Nomor 10 Tahun 2004 menguraikan sebagai berikut:

Yang dimaksud dengan “asas pengayoman” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.
Yang dimaksud dengan “asas kemanusiaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga Negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistic (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan Republik Indoneia.
Yang dimaksud dengan “asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
Yang dimaksud dengan “asas kenusantaraan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan Pancasila.
Yang dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus memperhatikan keragaman pendudukan, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya  yang menyangkut masalah-masalah sensitive dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Yang dimaksud dengan “asas keadilan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga Negara tanpa kecuali.
Yang dimaksud dengan “asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah bahwa setiap Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan Negara.
Yang dimaksud dengan “Asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan”, antara lain:
  a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa   kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah;
 b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hokum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan itikad baik.



[1] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-undangan dan Yurisprudensi, Penerbit Alumni, Bandung, 1979,  hlm 15-19.
[2] Amiroeddin Syarif,  Perundang-undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm 78-84.
[3] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Op.Cit,  hlm 16.
[4] Amiroeddin Syarif, op. cit., hlm 78-84.
[5] Amiroeddin Syarif, op. cit., hlm 78-79.
[6] Pasal 1 ayat (2) Konstitusi RIS 1949 menyatakan: Kekuasaan kedaulatan Republik Indonesia Serikat dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat.
Pasal 1 ayat (2) UUDS 1950 menyatakan: Kedaulatan Republik Indonesia adalah di tangan rakyat dan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

[7] A Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Presiden RI , Disertasi, Fakultas Pascasarjana Univesitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 330-331.
[8] ibid, hlm 345-346.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...