Rabu, 30 Mei 2018

MEMAHAMI BERBAGAI ISTILAH DALAM PENGUJIAN PRODUK HUKUM NEGARA


MEMAHAMI BERBAGAI ISTILAH
DALAM PENGUJIAN PRODUK HUKUM NEGARA
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

A.   Pengantar
Istilah “menguji” (yang berasal dari kata “uji”) secara harfiah berarti memeriksa sesuatu. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah sesuatu obyek/benda/barang layak atau tidak,  baik atau tidak,  benar atau tidak, dsb. Sesudah diperiksa maka langkah berikutnya adalah memberikan penilaian terhadap sesuatu yang diperiksa tersebut. Menguji peraturan perundang-undangan adalah memeriksa dan kemudian menilai produk hukum tersebut.
Peraturan perundang undangan adalah salah satu produk hukum negara. Produk-produk hukum negara dapat berupa peraturan perundang-undangan (regeling) yang bersifat mengkat secara umum, ketetapan atau penetapan (beschikking), peraturan semu atau peraturan kebijakan (pseudo wetgeving atau beleidsregel), dan putusan hakim/pengadilan (vonnis). Sistem hukum Indonesia menetapkan bahwa vonnis pengadilan yang lebih rendah dinilai oleh pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya. Ketetapan atau biasa dikenal dengan keputusan administrasi negara dinilai oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Demikian pula peraturan kebijakan (dalam praktik) dinilai oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Yang semuanya bermuara pada Mahkamah Agung. Khusus untuk peraturan perundang-undangan  dibedakan antara penilaian/pengujian untuk undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pengujian undang-undang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, sementara pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
B.   Beberapa Istilah Dan Pengertian
     1. Formele dan Materiele Toetsingsrecht.
Dalam literatur hukum Belanda dikenal istilah toetsingsrecht. Istilah “toetsing” berasal dari kata “toetsen” yang berarti menguji. Kata “toetsing” ditambah dengan kata “recht” (yang berarti hak, bukan hukum), maka lahir istilah toetsingsrecht  yang berarti hak menguji. Dalam konteks ini adalah hak menguji produk hukum negara. Ada dua macam toetsingsrecht yaitu “formele toetsingsrecht” (hak menguji secara formal) dan “materiele toetsingsrecht” (hak menguji secara material).

Yang dimaksud dengan hak menguji formal (“formele toetsingsrecht”) ini adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Sedangkan, yang dimaksud dengan hak menguji material (“materiele toetsingsrecht”)  adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji material  berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.[1]
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[2], mendefinisikan sebagai berikut: Pengujian formil, adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang (peraturan perundang-undangan) dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materil. Sedangkan yang disebut pengujian materil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan  (2) yang menyatakan: Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan dengan UUD 1945.
Selain pengujian berdasarkan isi dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, pengujian peraturan dibedakan berdasarkan badan yang melakukan pengujian tersebut. Berdasarkan badan yang mengujinya dibedakan antara pengujian yang dilakukan oleh badan peradilan  biasa disebut judicial review, yaitu pengujian yang diserahkan kepada badan peradilan. Apabila pengujian peraturan tersebut diserahkan kepada badan legislatif (biasanya yang kedudukannya lebih tinggi) dikenal dengan sebutan political review.  Pengujian yang dilakukan oleh badan administrasi negara dikenal dengan sebutan administrative review. Tindak lanjut dari hasil pengujian biasanya berupa pembatalan atau pernyataan tidak berlakunya suatu produk hukum dimaksud. Selain itu produk hukum tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
    2. Judicial Review
Robert K Carr, et.al. dalam bukunya American Democracy in Theory and Practice, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, merumuskan pengertian judicial review sebagai berikut: ”.. the process by which courts test the acts of other governmental agencies – legislature particularly – for compliance with fundamental constitutional principles, and declare null and void those acts that fail to meet this test.  Lebih lanjut dikemukannya: There has been much controversy concerning the origin of judicial review in the United States. It is very clear that the constitution itself does not in so many words authorize the courts to declare acts of Congress unconstitutional.”[3]
Jadi judicial review adalah proses pengujian yang dilakukan oleh badan peradilan terhadap putusan-putusan dari badan-badan pemerintahan, khususnya produk badan legislatif (undang-undang), apakah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam undang-undang dasar dan menyatakan bahwa undang-undang tersebut batal (null) dan tidak berlaku lagi (void). Jadi pengujian tersebut dilakukan oleh badan peradilan (test by the courts) terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintahan terutama produk hukum berupa undang-undang (the acts of other governmental agencies,  legislature particularly) bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional).
Judicial review di Amerika Serikat adalah kekuasaan pengadilan untuk menyatakan batal (null and void) suatu hukum perundang-undangan atau tindakan pemerintahan karena (berdasarkan alasan) bertentangan dengan konstitusi. Ketentuan mengenai judicial review ini tidak tercantum dalam UUD Amerika Serikat 1787. John Marshall Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Marbury vs Madison (1803) menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan hukum perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi.
Kewenangan tersebut didasarkan kepada interpretasi atas ketentuan dalam UUD yaitu:
1)   Bahwa setiap Hakim sebelum memangku jabatannya harus mengucapkan sumpah akan menjunjung tinggi UUD. Artinya Hakim harus melindungi UUD dari usaha mengenyampingkan atau tindakan yang bertentangan dengan UUD.
2)   UUD dinyatakan sebagai the supreme law of land. Karena itu tidak boleh ada suatu peraturan atau tindakan yang bertentangana dengan UUD. Setiap peraturan atau tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan UUD adalah batal.
3)   Hakim mempunyai kewajiban memutus/menyelesaikan setiap kasus dan perseliisihan. Apabila ada dua ketentuan yang bertentangan, Hakim harus memilih salah satu untuk memutus perkara atau sengketa tersebut. Dan apabila pertentangan itu dengan UUD, maka UUD harus dimenangkan mengingat UUD adalah the supreme law of land. [4]

Hal tersebut sejalan dengan pendapat PH. Kleintjes  dalam Het Staatsrecht van Nederlands Indie yang menyatakan bahwa, pengujian merupakan sesuatu wewenang yang melekat pada fungsi peradilan atau hakim tanpa memerlukan ketentuan khusus yang mengatur mengenai hal itu. Putusan dalam pengujian dapat berupa (a) membatalkan; (b) menyatakan tidak sah; dan (c). tmenerapkan suatu peraturan perundang-undangan tertentu.
  1. Constitutional Review
Dalam konteks ini Jimly Asshiddiqie lebih cenderung menggunakan istilah pengujian konstitusionalitas (Constitutional Review) bagi pengujian materi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undanga dasar. Oleh karenanya pengujian konstitusional harus dibedakan dengan istilah ”judicial review”. Pembedaan itu dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan.
Pertama, ”constitutional review” selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya.
Kedua, dalam konsep ”judicial review” terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU, sedangkan ”constitutional review hanya menyangkut pengujian konstitutsionalitasnya, yaitu terhadap UUD. [5]
Usep Ranawidjaja menggunakan istilah ”pengujian konstitusional”, dalam hal ini pengujian konstitusional secara material. Pengujian konstitusional secara material adalah pekerjaan mengambil keputusan tentang sesuai tidaknya kaidah hukum dengan undang-undang dasar atau dengan kaidah konstitusi yang setaraf dengan itu. Bahwa Mahkamah Agung (Supreme Court) berwenang untuk menyatakan undang-undang negara bagian atau undang-undang federal dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku (mengikat) jika dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar.[6]
4. Constitutional Preview
Di Perancis, lain lagi, ada badan yang disebut ”Counseil Constituttionnel” atau ”Constituional Council” (Dewan Konstitusi) yang berwenang melakukan pengujian terhadap rancangan undang-undang. Badan tersebut berwenang untuk melakukan ”preview” terhadap rancangan undang-undang yang sudah disetujui parlemen, tetapi belum diundangkan. Preview tersebut  dilakukan terhadap undang-undang organik (organic laws) dan regulasi berkaitan dengan parlemen (identik dengan peraturan tata tertib DPR di Indonesia) sebelum diberlakukan. Hal itu ditentukan dalam Pasal 61 UUD Republik Perancis tahun 1958, yang menyatakan: ”Organic laws before their promulgation, and regulations of Parliamentary assemblies, before they come into application, must be submitted to the Constitutional Council, which shall rule on their constitutionality”.[7] Selain itu juga berwenang melakukan preview mengenai konstitusionlitas undang-undang non organik serta perjanjian internasional treaties).
Perlu dicatat bahwa Constitutional Council bukan badan peradilan, seperti countitutional court di Jerman. Badan tersebut tidak diberi wewenang untuk membatalkan suatu RUU, tetapi hanya menilai apakah selaras dengan UUD atau tidak. Badan itu dibentuk dalam rangka membentuk undang-undang yang lebih baik, tidak menyimpang dari konstitusi atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
  1. Constitutional Complaint
Dapat dialihbahasakan sebagai “keluhan konstitusional”, yaitu apabila seorang warganegara merasa adanya pelanggaran atas hak konstitusionalnya, tetapi untuk memperkarakannya tidak ada instrumen hukum atasnya atau tidak tersedia atasnya jalur penyelesaian hukum (pengadilan).Misalnya ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan atau melanggar isi UUD tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di bawah UUD.Demikian pula, misalnya ada SKB yang isinya bersifat mengatur.SKB bukanlah peraturan perundang-undangan jadi tidak dapat dimohonkan ke MA untuk diuji. Di pihak lain SKB tersebut tidak dapat diajukan ke PTUN karena isinya dinilai bukan sebagai penetapan, karena muatannya bersifat umum.[8] Constitutional complaint atau pengaduan konstitusional adalah bentuk pengaduan warga negara melalui proses ajudikasi di pengadilan atas tindakan (kebijakan) atau pengabaian oleh Negara, dalam hal ini lembaga-lembaga Negara, yang melanggar hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi.
Menurut Sigfried, Constitutional complaint lazim dikenal sebagai pengaduan, keluhan atau gugatan konstitusional. Di Negara hukum modern demokratis Constitutional complaint merupakan upaya hukum untuk menjaga secara hukum martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh diganggu gugat agar aman dari segala kekuasaan Negara.Constitutional complaint memberikan semacam jaminan agar dalam proses-proses menentukan dalam penyelenggaraan Negara baik dalam pembuatan perundang-undangan, keputusan administrasi Negara, dan atau melawan putusan-putusan pengadilan yang menegaskan keputusan-keputusan adminitrasi Negara tersebut.[9]
Maruarar Siahaan menyebut Constitutional Complaint merupakan mekanisme gugatan konstitusional sebagai salah satu alat perlindungan hak asasi manusia (HAM).Constitutional Complaint menjadi upaya hukum yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap individu warga Negara. Proses gugatan konstitusional ini merupakan wujud pengaduan masyarakat atas keberatan terhadap perlakuan kinerja pemerintah terhadap masyarakat, peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan, yang dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.[10]
  1. Implikasi dari Hak Menguji

Implikasi dari kewenangan badan peradilan untuk menguji peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi negara adalah:
a.    mencampuri fungsi cabang kekuasaan lain.
b.    menempatkan kekuasaan peradilan setingkat lebih tinggi dari cabang kekuasaan lain;
c.    cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak dapat mencampuri kekuasaan peradilan, karena hal tersebut akan merupakan pelanggaran terhadap salah satu asas negara berdasarkan atas hukum (peradilan yang bebas);
d.    peradilan tidak hanya sebagai badan yang menerapkan atau menemukan hukum (dalam suatu kasus/kongkrit) tetapi sebagai badan yang secara tidak langsung membentuk hukum sebagai kaidah yang umum dan abstrak. Dalam hal ini peradilan melakukan fungsi legislatif yaitu yang oleh Hans Kelsen disebut negative legislator.[11]

Pembatalan (annulment) suatu undang-undang atau penolakan (refuse) untuk menerapkan undang-undang dalam kasus kongkrit merupakan tindakan hukum yang dapat berupa pembentukan hukum. Dalam hal ini terjadi apabila putusan (decision) hakim tersebut menjadi preseden. Biasanya putusan tersebut dilakukan pada saat atau bersamaan dengan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang dinyatakan batal. Jadi pengadilan (hakim) telah melaksanakan fungsi legislasi.
Pengadilan  melaksanakan fungsi perundang-undangan (legislation function) tatkala keputusan-pengadilan dalam kasus-kasus lain yang sejenis (Courts further exercise a legislative function when their decision in a concrete case becomes a precedent for the decision of other similar cases). Pengadilan dalam membentuk hukum yang derajatnya sama dengan undang-undang tersebut melalui kasus-kasus yang sejenis tersebut, disebut sebagai negative legislator.[12]




88888888888












-



[1] Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Alumni, Bandung. 1982, hlm 6-8.
[2] Telah diubah beberapa kali, terakhir diubah dengan UU No. 4 Tahun 2014.
[3] Ibid, hlm 26-27.
[4] Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi suatu Negara, penyunting H.Mashudi,SH.MH dan  Kuntana Magnar,SH.MH, Mandar Maju, Bandung,1995, hlm 9-10.
[5] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 3. 
[6] undang-undang Usep Ranawidjaja,  Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1983, hlm 188-193.

[7] Dalam perkembangannya dewasa ini  Dewan Konstitusi juga melakukan pengujian material terhadap undang-undang yang sudah berlaku, meskipun hanya sebatas organik.
[8] disarikan dari Mahfud MD, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, dalam Gagasan Amandemen UUD 1945, Suatu Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional RI,2008, hlm 27-28
[9] Dikutip dari Fadjar Laksono, Meretas “Constitutional Complaint” ke dalam UUD 1945 Menuju Konstitusi yang lebih Demokratis, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor4, Desember 2007, hlm 131.
[10] Ibid, hlm 131-132
[11] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, Copyright Renewed,  Russell & Russell, New York, 1973. p.268-26.
[12] Ibid, hlm 272

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...