PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI BAWAH UNDANG-UNDANG
Oleh: Rosjidi
Ranggawidjaja
1.
Pendahuluan
Para pendiri NKRI dengan sadar menetapkan
pokok-pokok pikiran mengenai dasar-dasar pembentukan pemerintahan negara. Salah
satu pokok pikiran pendirian negara adalah mewujudkan cita hukum (Rechtsidee). Bahwa negara Indonesia
berdasar atas hukum (Rechtsstaat),
tidak berdasar atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat
absolutism (kekuasaan yang tidak terbatas).[1]
Paham Rechtstaat tersebut dimuat
ulang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan Ketiga.
Sistem konstitusi tersebut berangkat dari
anggapan bahwa terdapat nilai-nilai dasar tertentu pada individu dan masyarakat
yang tidak boleh dirambah oleh tangan-tangan kekuasaan. Dalam hal ini fungsi
konstitusi yang terutama adalah sebagai pembatas kekuasaan, menghidari
kekuasaan yang tidak terbatas.
K.C. Wheare dalam bukunya "Modern Constitutions" mengemukakan
bahwa "Constitution spring from a
belief in limited government".[2] Pembatasan itu diperlukan karena pemegang
kekuasaan tidak terlepas dari sifat kekuasaan itu sendiri, yaitu cenderung
bersalah guna, cenderung menyeleweng, bersifat otoriter.
Semenjak sistem konstitusi itu diperkenalkan
hingga saat ini, telah mengalami perkembangan, dan dianut hampir di seluruh
negara modern di dunia. Menurut Mauro Cappelletti perkembangan sistem
konstitusi tersebut menempuh tiga tahap,
yaitu :
Pertama, penuangan
nilai-nilai tertentu yang terdapat dalam masyarakat ke dalam hukum positif, dengan
cara membentuk konstitusi tertulis. Maksudnya untuk memberikan dasar-dasar
serta pengertian hukum bagi nilai-nilai tersebut.
Kedua, memberikan sifat "rigid" terhadap konstitusi. Konstitusi dianggap merupakan
perwujudan dari hukum tertinggi. Artinya, kaidah-kaidah konstitusi mempunyai
kedudukan lebih tinggi dari kaidah hukum positif lainnya. Dalam tahap ini,
konstitusi "mengendalikan" kekuasaan legislatif sedemikian rupa
sehingga badan legislatif hanya dapat mengubah konstitusi atau Undang-undang
Dasar itu melalui cara-cara yang khusus.
Ketiga, menciptakan lembaga atau sistem yang mampu melindungi
kaidah-kaidah konstitusi itu agar tidak dilanggar atau disimpangi baik dalam
bentuk peraturan perundang-undangan maupun dalam bentuk tindakan-tindakan
pemerintah lainnya.[3]
Dalam rangka melindungi kaidah-kaidah
konstitusi itu, terdapat berbagai sistem atau tata cara yang ditempuh.
Cappelletti membedakan dua sistem pengawasan yang lazim dilakukan, yaitu pengawasan
secara politik dan pengawasan secara yudisial. Baik pengawasan (secara) politik
atau pun pengawasan (secara) yudisial dilakukan dengan cara menilai atau
menguji (review), apakah suatu
undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya atau tindakan-tindakan
pemerintah yang ada atau akan diadakan, bertentangan atau tidak dengan
ketentuan-ketentuan konstitusi atau ketentuan lain yang dinilai. Wewenang
menilai tersebut dalam kepustakaan kita lazim disebut sebagai : "hak
menguji" (dalam Bahasa Belanda disebut toetsingsrecht).
Hak menguji peraturan perundang-undangan tersebut dibedakan antara hak menguji
material (materiele toetsingsrecht) dan
hak menguji formal (formele toetsingsrecht). Jika pengujian itu dilakukan terhadap isi undang-undang
atau peraturan perundang-undangan lainnya, dinamakan sebagai hak menguji
material, sedangkan jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur pembentukannya,
disebut hak menguji formal.[4]
Yang dimaksud dengan hak menguji formal
adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti
undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Sedangkan yang dimaksud dengan
hak menguji material adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian
menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji material berkenaan dengan isi dari suatu peraturan
dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.[5]
Pelaksanaan dari hak menguji, baik formal maupun material dapat mengakibatkan
suatu peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak sah dan batal (null and void).
2.
Sejarah Terbentuknya Pengaturan Hak Menguji
Persoalan hak
menguji peraturan perundang-undangan bukan merupakan isu baru bagi Bangsa
Indonesia. Hal itu terbukti, meskipun hanya terbatas pada polemik para arsitek
pembentuk UUD 1945, bahwa pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) telah diperdebatkan oleh Muhammad Yamin dengan
Soepomo mengenai keberadaan atau perlu tidaknya hak menguji (material) diatur
dalam undang-undang dasar yang akan dibentuk. Sebagaimana dimaklumi, Muhammad
Yamin pernah mengusulkan agar dalam UUD 1945
ditetapkan kewenangan untuk menguji material pada Mahkamah Agung
(Muhammad Yamin menyebutnya dengan istilah Balai Agung), namun usul tersebut
ditolak oleh Soepomo dengan alasan sebagai berikut:
1) Bahwa keberadaan hak
menguji material sebagai konsekuensi dari sistem atau ajaran Trias Politika (sebagaimana dijalankan
di Amerika Serikat), sedangkan undang-undang dasar yang akan dibentuk (UUD
1945) tidak menggunakan paham pemisahan kekuasaan yang dalam hal ini kekuasaan kehakiman akan
mengontrol kekuasaan pembentuk undang-undang.
2) Bahwa para ahli hukum
Indonesia sama sekali tidak (maksudnya belum) mempunyai pengalaman dalam hak
menguji material, selain tenaga dan ahli di bidang itu masih kurang, negara
yang masih muda belum waktunya mengerjakan hal itu.[6]
Pendapat Soepomo tersebut kurang masuk akal. Selain itu, pendapat Soepomo
tersebut tidak memperhatikan masa depan. Hal itu dibuktikan oleh kenyataan
dewasa ini. Dengan demikian pendapat Soepomo tersebut tidak sesuai dengan
kehendak jaman, kehendak golongan masyarakat berikutnya yang kebanyakan ingin
merealisasikan keberadaan hak menguji material di Indonesia.[7]
Kehendak masyarakat berikutnya ternyata mendukung pendapat Muhammah Yamin yang
menginginkan wewenang atau hak menguji material diberikan kepada Mahkamah
Agung. Seminar Hukum Nasional II tahun 1968 di Semarang membuktikan hal itu,
meskipun terdapat beberapa pendapat yang berbeda.
Ketika bangsa Indonesia memasuki era "Orde
Baru" sekitar tahun 1966, timbul tekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara
murni dan konsekuen. Tekad itu diwujudkan antara lain dengan meninjau kembali
peraturan perundang-undangan produk "Orde Lama". Sejalan dengan itu,
sistem ketatanegaraan yang selaras dengan UUD 1945 kembali dipersoalkan. Salah
satunya adalah dalam Seminar Hukum Nasional II di Semarang pada tahun 1968.
Dalam Seminar tersebut, muncul pemikiran tentang hak menguji sebagai mekanisme
untuk melindungi Undang-undang Dasar, supaya penyelewengan UUD 1945 yang pernah
terjadi di masa Orde Lama tidak terulang lagi. Namun kenyataan UUD 1945 tidak
mengatur mengenai hal itu,[8]
mengakibatkan Seminar itu tidak menghasilkan kesatuan pendapat. Perbedaan
pendapat itu pada pokoknya dapat diidentifikasikan pada dua masalah pokok. Pertama, menyangkut lembaga negara yang
berwenang menguji. Kedua, menyangkut
peraturan perundang-undangan yang dapat diuji.[9]
Perjuangan untuk
merealisasikan keberadaan hak menguji material di Indonesia diakhiri dengan
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970. Dengan demikian tuntaslah
polemik untuk menetapkan keberadaan hak menguji material tersebut dalam hukum
positip Indonesia. Dengan dimuatnya hak menguji material dalam Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 tersebut maka cita-cita Muhammad Yamin untuk memberikan
wewenang pengujian kepada Mahkamah Agung telah terlaksana, meskipun usul
tersebut tidak sepenuhnya terealisasi, karena Muhammad Yamin menghendaki agar
hak menguji tersebut diatur dalam undang-undang dasar bukan dalam
undang-undang.[10]
Undang Undang No.14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 26 menyatakan bahwa Mahkamah
Agung berwenang menguji atau menyatakan tidak sah hanya terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah daripada undang-undang. Dengan kata
lain, Undang-undang, Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang
(Perpu), dan Ketetapan MPR, tidak termasuk peraturan perundang-undangan yang
dapat diuji oleh Mahkamah Agung. Menurut Penjelasan Pasal itu hanya Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) saja yang dapat mengatur masalah hak menguji
terhadap undang-undang.
Tiga tahun berikutnya, seakan menjawab apa
yang dinyatakan dalam penjelasan undang-undang di atas, pada tanggal 22 Maret
1973, MPR mengeluarkan Ketetapan yang menegaskan bahwa "Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara material hanya
terhadap peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat di bawah
undang-undang". [11]
Jadi Ketetapan MPR tersebut tidak mengubah esensi hak menguji sebagaimana
diatur dalam Undang-undang No. 14 Tahun 1970. Timbul pernyataan, bagaimanakah
sekiranya terdapat suatu undang-undang bertentangan dengan UUD 1945? Secara
substansial UU No. 14 Tahun 1970 dan Ketetapan MPR No. VI/MPR/1973 juga
menganut asas “undang-undang tidak dapat diganggu gugat”. Setelah UUD 1945
diubah, undang-undang dapat diuji baik secara material maupun formal.[12]
3. Pengertian dan Fungsi Hak Menguji Material
Secara umum, hak menguji material diartikan
sebagai wewenang untuk menilai, apakah isi peraturan perundang-undangan sesuai
atau bertentangan dengan konstitusi atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi derajatnya. Dengan demikian, hak menguji material itu berkenaan
dengan isi peraturan perundang-undangan dalam hubungannya dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Adanya tata urutan atau hirarki peraturan
perundang-undangan dalam suatu tata hukum itu sejalan dengan apa yang
dikemukakan Hans Kelsen, sebagai hierarchy
of norms (stufenbau des recht).
Dalam hal ini Kelsen menyatakan :"the
legal order,...is therefore not a system of norms coordinated to each other,
standing, so to speak, side by side on the same level, but a hierarchy of
different levels of norms".[13]
Jadi suatu tata hukum bukan merupakan suatu
sistem kaidah-kaidah hukum yang berhubungan satu sama lain dalam kedudukan yang
sederajat, melainkan merupakan hirarki dari kaidah-kaidah yang berbeda
derajatnya. Menurut teori hirarki (stufen
theorie) itu, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi derajatnya. Apabila terjadi pertentangan diantara keduanya,
maka peraturan perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya dapat dibatalkan
(voidable).
Dalam hubungannya dengan Undang-Undang Dasar
atau konstitusi, Kelsen menyatakan bahwa Undang-undang Dasar menduduki tempat
tertinggi dalam hukum nasional, sebab itu merupakan landasan bagi sistem hukum
nasional. Undang-undang Dasar merupakan “the
supreme law of the land”. Untuk itu Hans Kelsen menunjuk hak menguji
sebagai mekanisme "guarantees of the
constitution".[14]
Jadi dapat dikatakan bahwa hak menguji
merupakan konsekuensi dari konstitusi tertulis (written constitution), atau yang oleh Kelsen disebut konstitusi
dalam arti formal atau konstitusi dalam arti sempit.[15]
Sejalan dengan Hans Kelsen, John Marshall,
seorang Hakim Agung Amerika Serikat, mengemukakan bahwa terdapat dua alternatif
yang harus dipilih, yaitu konstitusi
merupakan hukum yang tertinggi yang tidak dapat diubah oleh badan legislatif
dengan cara mengubah undang-undang biasa, atau ia ditempatkan sejajar dengan
undang-undang biasa. Jika alternatif pertama yang diterima maka harus
disimpulkan bahwa setiap produk legislatif yang bertentangan dengan konstitusi
adalah batal. Tetapi, jika yang kedua dipilih maka konstitusi tertulis yang
dibuat untuk membatasi kekuasaan, yang secara alamiah tidak terbatas, adalah
sia-sia.[16]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
hak menguji merupakan pranata yang berkaitan erat dengan konsep hukum derajat tinggi (supreme law), konstitusi seagai hukum tertulis tertinggi. Dari
sudut pandang ini, dasar tujuan dari hak menguji adalah untuk melindungi
konstitusi dari pelanggaran atau penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh badan
legislatif atau tindakan-tindakan eksekutif, dalam membentuk undang-undang atau
peraturan perundang-undangan di bawahnya. Dengan kata lain, hak menguji itu
diperlukan untuk mempertahankan "supremacy
of the constitution". Jadi hak menguji hanya relevan jika dipenuhi dua
syarat. Pertama, harus terdapat konstitusi tertulis yang dianggap sebagai hukum
dan mempunyai kedudukan sebagai hukum tertinggi. Kedua, konstitusi tertulis itu
harus bersifat rigid, atau yang hanya dapat diubah melalui tata cara khusus
yang berbeda dengan cara mengubah undang-undang.[17]
Meski syarat tersebut dipenuhi, tidak
berarti selalu mengakibatkan undang-undang dapat diuji. Sebagai contoh,
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950) secara tegas menyatakan bahwa
undang-undang tidak dapat diganggu gugat.[18]
Menurut Sri Soemantri, adanya ketentuan itu dalam UUDS 1950 disebabkan
undang-undang merupakan perwujudan kedaulatan rakyat.[19]
Kesimpulan itu didapat berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) UUDS 1950, yang
menyatakan bahwa "Kedaulatan Republik Indonesia adalah di tangan rakyat
dan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan
Rakyat".
4. Hak Menguji Material Menurut Beberapa Undang-Undang
Dasar
4.1. Undang-Undang Dasar 1945 Asli
Seperti diketahui, persoalan mengenai hak
menguji material maupun formal undang-undang terhadap undang-undang dasar di
Indonesia berawal dari kenyataan bahwa Undang Undang Dasar 1945 tidak
mengaturnya. Kenyataan ini melahirkan dua kutub pendapat, disatu pihak mengakui
dan dilain pihak tidak mengakui adanya hak menguji dalam sistem Undang Undang Dasar 1945.
Telah banyak tulisan dibuat orang untuk
menyatakan pendapatnya mengenai hal ini. Persoalan yang sering dikemukakan, pertama menyangkut apakah undang-undang
dapat diuji secara material atas alasan bertentangan dengan Undang Undang
Dasar?. Kedua, menyangkut lembaga
atau badan apa yang seharusnya dapat melaksanakan hak menguji tersebut?.
Masalah yang pertama didasarkan pada
pertanyaan, apakah the Founding Fathers
menginginkan adanya hak menguji atau tidak?. Di satu pihak menyatakan bahwa
karena konstitusi tidak mengaturnya, berarti Undang Undang Dasar tidak mengakui
serta melarang hak menguji tersebut. Pertanyaan yang sering mereka lontarkan
adalah, jika the Founding Fathers menginginkan hak menguji sebagai bagian
konstitusi, kenapa hal tersebut tidak dituliskan dalam Undang Undang Dasar. Di
lain pihak ada yang beranggapan, meski konstitusi tidak mengaturnya, tetapi
dilihat dari latar belakang historis penyusun konstitusi, yaitu dengan adanya
pembicaraan mengenai hal itu, nyatalah bahwa the Founding Fathers menginginkan hak menguji (material khususnya)
sebagai bagian konstitusi. Akan tetapi, apabila terbukti bahwa pembentuk konstitusi
menganggap hak menguji merupakan bagian dari konstitusi, mengapa hak menguji
tersebut harus dilakukan oleh badan atau Mahkamah Agung?
Jika diteliti sejarah ketatanegaraan
Indonesia, nyatalah bahwa perbedaan pendapat seperti itu sudah ada sejak Undang
Undang Dasar 1945 masih dalam proses pembentukan oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan atau Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai. Badan yang
diresmikan pada tanggal 28 Mei 1945 itu, dibentuk sebagai realisasi janji
kemerdekaan yang diberikan pemerintah Jepang kepada Indonesia, dan bertugas
untuk melakukan penyelidikan kearah tercapainya kemerdekaan dengan jalan menyusun
Rancangan Undang Undang Dasar[20].
Muhammad Yamin, salah seorang anggota BPUPK,
pada sidang tanggal 11 Juli 1945 mengemukakan pandangan umum mengenai hal-hal
yang kelak akan diatur dalam Undang Undang Dasar. Pandangan dan
pendapat-pendapat para anggota BPUPK akan menjadi bahan masukan bagi Panitia
Perancang Undang-undang Dasar yang akan dibentuk. Salah satu hal yang
dikemukakan Muhammad Yamin adalah mengenai Balai Agung dan Mahkamah Tinggi.
Dalam hal ini ia mengatakan :
"Mahkamah inilah yang setinggi-tingginya, sehingga
dalam membandingkan undang-undang, maka Balai Agung inilah yang akan memutuskan
apakah sejalan dengan hukum adat, syariah dan Undang-undang Dasar."(kursif
penulis).
Pada hari yang sama, dibentuklah Panitia
Perancang Undang-undang Dasar, dan pada tanggal 15 Juli 1945 hasil kerja
Panitia Perancang Undang Undang Dasar dilaporkan pada sidang umum BPUPK. Dalam
naskah rancangan Undang-undang Dasar ternyata usul Muhammad Yamin belum
tertampung. Sehingga dalam komentarnya terhadap rancangan itu, Muhammad Yamin
menyatakan :
"Balai Agung janganlah saja melakanakan bagian
kehakiman, tetapi hendaknya menjadi badan yang membanding, apakah undang-undang
yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak melanggar Undang-undang Dasar
Republik atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak
bertentangan dengan syariah agama Islam.[21]"
Meskipun Muhammad Yamin tidak menggunakan
istilah " hak menguji material", tetapi yang dimaksud
"membanding" tidak lain daripada itu. Jadi Muhammad Yamin mengusulkan agar Undang Undang Dasar
yang sedang dibuat hendaknya memberikan wewenang kepada "Balai Agung"
di samping melaksanakan kekuasaan kehakiman, juga melaksanakan hak menguji
material terhadap undang-undang. Bahkan lebih jauh dari itu, Muhammad Yamin
memasukkan pula hukum adat dan syariah agama Islam sebagai batu ujinya.
Prof. Supomo, ketika
menanggapi usul Muhammad Yamin tersebut di atas mengemukakan antara lain :
"Tetapi kita harus mengetahui apa arti sistem itu,
sebab tentu sebelum memakainya kita harus mengetahui betul sistem itu. Sistem
yang dipakai di negeri Belanda berdasarkan
materiil recht, yaitu suatu konsekuensi daripada trias politica, yang
memang di Amerika betul-betul dijalankan dengan sempurna-sempurnanya... Dalam
pengertian negara yang berdasar atas liberale democratie, yang memisah-misahkan
badan penyelenggara semuanya; sebagai kesempurnaan sistem itu memang sudah
selayaknya Mahkamah Agung, yaitu pengadilan tertinggi mempunyai hak seperti yang dianjurkan oleh
Tuan Yamin. Akan tetapi di negeri "democratie" perbedaan atau
perpisahan antara tiga jenis kekuasaan
itu tidak ada. Menurut pendapat saya, Tuan Ketua, dalam rancangan
Undang-Undang Dasar ini kita tidak memakai sistem yang membedakan prinsipieel tiga badan itu,
artinya tidaklah, bahwa kekuasaan kehakiman akan mengontrol kekuasaan pembentuk
undang-undang.
Kecuali itu paduka tuan ketua, kita dengan terus terang
akan mengatakan bahwa para ahli hukum Indonesia pun tidak mempunyai pengalaman
dalam hal ini, dan Tuan Yamin harus mengingat juga bahwa di Austria,
Cechoslowakia dan Jerman waktu Weimar bukan Mahkamah Agung, akan tetapi
pengadilan spesial yang melulu mengerjakan konstitusi ....
Kita harus mengetahui bahwa tenaga kita belum
begitu banyak, dan bahwa kita harus
menambah tenaga-tenaga ahli tentang hal itu. Jadi buat negara yang muda saya
kira belum waktunya mengerjakan persoalan itu.[22]"
Jadi Supomo menolak usul Muhammad Yamin disebabkan dua alasan. Pertama, bahwa hak menguji material
merupakan konsekuensi dari Trias Politika. Kedua,
bahwa tenaga ahli (hukum) belum memadai. Alasan yang kedua tentunya tidak dapat
dipertahankan lagi untuk masa kini.
Jika ditelusuri lebih lanjut, penolakan
Supomo mengenai hak menguji material
tersebut di atas tidak terlepas dari konsep negara yang dikemukakannya, yaitu
negara integralistik atau negara totaliter, serta penolakannya terhadap
individualisme. Dalam sidang BPUPK tanggal 31 Mei 1945 Supomo mengemukakan
adanya tiga aliran pikiran mengenai
negara, yaitu yang berdasarkan teori perseorangan, teori golongan dan teori
integralistik. Menurut aliran pikiran integralistik, negara ialah :
"Suatu susunan masyarakat yang integral, segala
golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lain dan
merupakan persatuan masyarakat yang organis. Negara tidak memihak kepada suatu
golongan yang paling kuat, atau yang paling besar, tidak menganggap kepentingan
seseorang sebagai pusat, akan tetapi negara menjamin keselamatan hidup bangsa
seluruhnya sebagai persatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan " [23]
Prinsip kesatuan (integral) antara pimpinan
dan rakyat serta prinsip persatuan dalam negara seluruhnya, menurut Supomo
cocok dengan aliran pikiran ketimuran. Sesuai dengan gagasan negara yang
dikemukakannya, Supomo menolak setiap usul mengenai jaminan hak-hak asasi
warganegara di dalam Undang Undang Dasar karena di anggap mengandung
individualisme yang bertentangan dengan sistem Undang Undang Dasar yang sedang
dibentuk.
Berkaitan dengan itu, JHA Logemann
mengatakan :
"Bahwa gagasan individualis ditolak, sungguh tidak
didasarkan pada alasan-alasan teoritis semata-mata. Dikatakan bahwa justru ketatanegaraan dari
negara-negara yang dilawan itu didasarkan pada individualisme. Membuang antar hubungan kolonial berarti memutuskan
alam pikiran yang memungkinkan terjadinya antar hubungan kolonial itu. Tidak
menjadi soal apakah gambaran ini dengan jujur memerlukan koreksi, ia berjalan.
Yamin, Supomo, Sukarno menentukan tanpa sanggahan, bahkan dengan mendapat tepuk
tangan umum, bahwa Indonesia menolak liberalisme dan demokrasi barat berdasarkan pertimbangan kesusilaan
(moral). Juga Hatta menyetujui pendirian tersebut pada asasnya."
[24]
Jadi penolakan terhadap individualisme pada
masa itu dapat dimaklumi. Pada
individualisme dan liberalisme dianggap melekat kapitalisme dan kolonialisme,
yaitu suatu hal yang amat dibenci bangsa Indonesia setelah terkungkung dalam
penjajahan berabad-abad. Penolakan itu belaku pula terhadap sistem yang
dianggap Supomo bersumber dari individualisme, seperti trias politika, sistem
presidensial maupun sistem parlementer.[25]
Muhamad Yamin ketika itu menolak argumentasi
Supomo. Sewaktu ditanya oleh Ketua Radjiman Wediyodiningrat, Muhamad Yamin
menjawab sebagai berikut :
"Mengenai beberapa hal yang saya majukan tadi,
misalnya perkara sistematik atau perkara yang lain, buat saya tidak prinsipieel; tetapi hak dasar
daerah ibu kota dan susunan Mahkamah Agung adalah prinsipiel; mengenai itu
tidak bisa saya terima. Panitia menolak
sistem parlementarisme, karena sistem parlementarisme itu penjelmaan
dari pada sistem liberale demokrasi
yang kita tolak ".[26]
Untuk mencari jalan keluar atas
ketidaksepakatan itu, lantas Ketua Radjiman mengadakan pemungutan suara. Akan
tetapi, ketika soal itu akan diputus melalui pemungutan suara, justru Muhamad
Yamin sendiri mengusulkan pending.[27]
Amat disayangkan dalam sidang-sidang berikutnya usul tersebut tidak terangkat
lagi, mungkin tenggelam dalam issue lain yang lebih prinsipil, seperti hak-hak
dasar (grondrechten). Hal itu bisa
kita maklumi mengingat suasana "kilat" yang ada pada waktu itu. Usul
Muhamad Yamin tidak dibicarakan lagi sampai Rancangan Undang-undang Dasar itu
ditetapkan pada tanggal 16 Juli 1945.[28]
Dalam sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945,
persoalan mengenai hak menguji material tidak dibicarakan. Jadi perdebatan
mengenai hak menguji material dalam sidang BPUPKI itu tetap tidak selesai.
Dengan kata lain, tidak melahirkan suatu keputusan, selain daripada penundaan
itu.
Selanjutnya, dalam kurun waktu berlakunya
Undang Undang Dasar 1945 yang pertama tidak tercatat mengenai perkembangan hak
menguji material baik dalam teori maupun praktek. Sistem penyelenggaraan negara
berdasarkan Undang Undang Dasar 1945 itu sendiri pada waktu itu belum berjalan
sebagaimana mestinya. Hal itu dimaklumi karena perangkat kelembagaan seperti
yang dikehendaki belum terbentuk.
4.2.
Hak Menguji Material Menurut Konstitusi RIS
Berbeda halnya dengan Undang Undang Dasar
1945, dalam Konstitusi RIS 1949 terdapat ketentuan yang cukup tegas tentang hak
menguji material. Jika Mahkamah Agung atau pengadilan-pengadilan lain yang
mengadili dalam perkara perdata, atau dalam perkara hukuman perdata,
beranggapan bahwa suatu peraturan ketatanegaraan atau undang-undang suatu
daerah bagian berlawanan dengan konstitusi, maka dalam keputusan kehakiman itu
juga ketentuan itu dinyatakan dengan tegas tak menurut konstitusi.[29]
Bahkan pernyataan tak menurut konstitusi tidak harus menunggu adanya suatu
perkara, melainkan dapat juga berdasarkan surat permohonan yang diajukan oleh
atau atas nama Jaksa Agung.[30]
Dengan demikian, Konstitusi RIS menyerahkan
hak menguji material baik kepada Mahkamah Agung maupun kepada badan-badan
peradilan lain. Sedangkan peraturan perundang-undangan yang dapat diuji
meliputi Undang-undang Daerah Bagian dan peraturan-peraturan lain, termasuk
peraturan-peraturan Federal kecuali Undang Undang Federal dan Undang-undang
Darurat (federal) tidak dapat diuji.
Hak menguji material tidak berlaku terhadap
Undang-undang Federal dapat kita ketahui dari Pasal 130 ayat (2) yang
menyatakan, bahwa Undang-undang Federal tidak dapat dianggu- gugat. Dengan kata
lain,Undang-undang Federal tidak dapat dinilai atau diuji secara material,
apakah ia bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Selanjutnya dalam Pasal 139
ayat (2) dinyatakan, bahwa terhadap Undang-undang Darurat pun berlaku ketentuan
Pasal 130 ayat (2) Konstitusi RIS.
Timbul pertanyaan, kenapa Undang-undang
Federal tidak dapat diganggu-gugat?. Dalam hal ini Sri Soemantri dalam bukunya Hak menguji Material di Indonesia, mengemukakan alasan dengan
merujuk pada Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi :
"Kekuasaan berkedaulatan rakyat Republik Indonesia
Serikat dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
dan Senat."
Dengan demikian, Pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan Senat itu adalah lembaga-lembaga negara yang melaksanakan
kedaulatan rakyat, sedangkan perwujudan kedaulatan rakyat di atas dituangkan
dalam bentuk Undang-undang Federal. Inilah rasionya mengapa menurut sistem
Konstitusi RIS, Undang-undang Federal tidak dapat diuji secara material.[31]
Secara teoritik tidak dapat diujinya
undang-undang oleh badan peradilan, dapat disebabkan dianutnya salah satu
konsep kenegaraan, yaitu supremasi parlemen dan trias politica. Menurut doktrin
supremasi parlemen, yang secara konsisten dilaksanakan di Kerajaan Inggris,
Parlemen dianggap sebagai badan yang berdaulat dan oleh karena itu
undang-undang yang dibuatnya tidak dapat digangu gugat. Dalam hal ini Yardley
menyatakan:
"Parliament is the sovereign body in the land,
Statute law, therefore is all powerful, for it may do anything Parliament
wishes.
[32]
Konsep supremasi parlemen tersebut tidak
terlepas dari sejarah ketatanegaraan Inggris, yang telah berlangsung
berabad-abad dalam rangka perlawanan terhadap absolutisme. Glorious Revolution
tahun 1688 membuat parlemen sebagai "extra
legal and revolutionary body whose acts not legislative but consti tuent"
.[33]
Selain itu, prinsip-prinsip konstitusi
tersebar dalam berbagai undang-undang, konvensi, dan kebiasaan. Undang-undang
yang berisi prinsip-prinsip konstitusi mempunyai kedudukan yang sama dengan
undang-undang lainnya, artinya dibuat dan diubah oleh Parlemen dengan cara yang
sama. Oleh karena tidak ada suatu ketentuan yang lebih tinggi dari Undang-undang
maka tidak ada sebab atau alasan untuk menguji undang-undang.
Pengertian supremasi parlemen pada saat ini
setidak-tidaknya menunjuk pada dua hal, yaitu Sovereignity of Parliament dan Supremacy of Parliament. Di Inggris
kedua hal itu melekat pada parlemen.[34] Tetapi secara teoritis kita dapat membedakan
antara kedua hal tersebut. Hal yang pertama merujuk pada kekuasaan parlemen
yang omnipotent atau tanpa batas, sebab parlemen dianggap sebagai "representatives of national
sovereignty". Sedangkan hal kedua menunjuk pada "supremacy of parliament over the executive", atau yang
biasa diwujudkan dalam sistem pemerintahan parlementer.
Secara sepintas, dalam Konstitusi RIS kedua
hal tampak dengan jelas Pertama,
bahwa konstitusi dapat diubah sama halnya dengan cara mengubah undang-undang
biasa. Artinya Konstitusi RIS bukan merupakan supreme law. Kedua, bobot kekuasaan terletak pada parlemen, dalam hal ini DPR,
dapat dilihat dari tanda-tanda sebagai berikut :[35]
1. Setiap
undang-undang Federal tidak dapat diuji secara material oleh Mahkamah Agung
atau badan peradilan lainnya. Semua undang-undang Federal harus ditaati oleh
hakim sebab hanya DPR yang dapat mencabut, mengubah atau menggantinya.
2. Meski Pemerintah
tidak selalu harus mensahkan undang-undang yang telah disetujui DPR, tetapi
Pemerintah yang bersikap menentang DPR dalam perinsip dapat dibubarkan setiap
waktu. Sementara Pemerintah tidak punya kekuasaan membubarkan DPR (hal ini agak
berbeda dengan sistem parlementer pada umumnya). Dengan kata lain, DPR mempunyai
kekuasaan untuk menekan Pemerintah.[36]
3. Jika terjadi
pertentangan antara DPR dan Senat, maka DPR dengan suara 2/3 anggotanya dapat
menge sampingkan rintangan Senat.
Persoalan selanjutnya adalah mengapa
Undang-undang Darurat yang hanya dibuat oleh Pemerintah saja, juga tidak dapat
diuji oleh Mahkamah Agung?. Dalam hal ini Sri Soemantri menunjuk Pasal 96 ayat
(2), yang menyatakan bahwa Undang-undang Darurat mempunyai kekuasaan dan
derajat Undang-undang.[37] Sebenarnya dari ketentuan Pasal 1 ayat (2)
itupun sudah jelas, bahwa Pemerintah juga merupakan pelaksana kedaulatan
rakyat. Jadi menurut Konstitusi RIS, DPR bukanlah satu-satunya lembaga negara
yang melaksanakan kedaualatan rakyat. Di samping itu, kekuasaan DPR untuk
memaksa kabinet meletakkan jabatannya tidak dapat berlaku efektif karena adanya
pembatasan Pasal 122. Sehingga sukar untuk menyatakan Konstitusi RIS menganut
Supremasi Parlemen ataupun sistem pemerintahan parlementer.
Jadi tidak dapat diujinya Undang-undang dan
Undang-undang Darurat tidak berkaitan dengan supremasi parlemen. Oleh karena itu penulis lebih cenderung pada
asumsi yang kedua, yaitu bahwa Konstitusi RIS menganut trias politica atau
pemisahan kekuasaan dalam pengertian yang ekstrem, dimana satu bidang kekuasaan
tidak dapat mencampuri urusan bidang kekuasaan lainnya. Dalam hubungan ini
Soenarko menegaskan bahwa dasar RIS adalah Trias Politica. [38]
4.3. Hak Menguji Material Menurut UUDS 1950
Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS
1950) diberlakukan melalui Undang-undang Federal RIS No. 7 Tahun 1950. Materi
UUDS 1950 itu pada umumnya berasal dari konstitusi RIS dengan menghilangkan
esensi yang bersifat federasi. Oleh karena itu dapat dimengerti terdapat banyak
persamaan diantara keduanya. Sistem peme rintahannya masih parlementer.[39]
Ketentuan mengenai Undang-undang tidak dapat
diganggu gugat juga terdapat dalam UUDS 1950, yaitu Pasal 95 ayat (2). Selain
dari pada itu tidak terdapat ketentuan yang menyatakan apakah MA berhak menguji
peraturan perundang-undangan. Tidak terdapatnya ketentuan seperti itu dalam
UUDS 1950, membuat sementara orang mengambil kesimpulan bahwa hak menguji
material itu hanya berkaitan dengan bentuk negara federal.[40]
Kekuasaan Perundang-undangan dilakukan oleh
Pemerintah bersama-sama dengan DPR. Sementara dalam Pasal 1 ayat (2) dikatakan
:
"Kedaulatan Republik Indonesia adalah ditangan
rakyat dan dilakukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR."
Atas dasar itu, Sri Soemantri berpendapat
bahwa undang-undang merupakan perwujudan dari kedaulatan rakyat,[41]
sebab dibuat oleh lembaga yang melaksanakan kedaulatan rakyat, sehingga tidak
dapat diuji secara material.
5. Lahirnya Kembali Pemikiran Hak Menguji
Material
5.1.
Periode Setelah Dekrit Presiden
Gagalnya Konstituante untuk menetapkan Undang-undang
Dasar yang baru sebagai pengganti UUDS 1950, dan juga karena anjuran Presuden
untuk kembali ke Undang-undang Dasar 1945 tidak memperoleh keputusan dari
Konstituante, merupakan hal yang menyebabkan terjadinya Keputusan Presiden
mengenai Dekrit tersebut.
Meski telah kembali ke Undang Undang Dasar
1945, namun tidak otomatis penyelenggaraan negara berjalan sesuai dengan Undang
Undang Dasar 1945. Produk per undang-undangan lebih banyak berdasarkan Dekrit
daripada Undang Undang Dasar 1945. Kenyataannya, produk perun dang-undangan
yang berdasarkan pada Dekritpun lebih banyak bersifat darurat. Sehingga banyak
peraturan perundang-undangan dibuat nyata-nyata menyeleweng dari Undang-undang
Dasar 1945.
Di sisi lain, kekuasaan Presiden cenderung
makin meluas. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS)
yang dibentuk sesudah Dekrit tidak mampu
membendung Presiden. Manuver politik Presiden terhadap lembaga-lembaga negara
yang ada menyebabkan lembaga-lembaga tersebut kehilangan keberada annya. Ketua
MPRS dan DPR-GR, Wakil Ketua DPAS[42], dan Ketua Mahkamah Agung, masing-masing
diberi kedudukan Menteri. Hal itu berarti mereka tidak lebih dari sekedar
pembantu Presiden. Keadaan demikian berlangsung terus hingga tahun 1966.
Pada tahun itu keluar Ketetapan MPRS No.
XIX/MPRS/1966 tentang "Kedudukan Semua Lembaga Negara Tingkat Pusat dan
Daerah Pada Posisi dan Fungsi yang diatur Dalam Undang Undang Dasar 1945".
Pasal 3 Ketetapan No. XIX/MPRS/1966 menyatakan, bahwa "Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
yang memuat materi yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 ditinjau
kembali". Pelaksanaan Ketetapan itu kemudian dituangkan dalam Undang
Undang No. 6 tahun 1969 tentang Pernyataan Tidak Berlakunya Lagi Berbagai
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU),
termasuk Undang-undang No.19 tahun 1965 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman,
dengan ketentuan bahwa pernyataan tidak berlaku tersebut ditetapkan pada saat
Undang-undang yang menggantikannya mulai berlaku.
Oemar Seno Adjie melihat Ketetapan No.XIX/
MPRS/1966 itu sebagai Legislative Review.[43] Dalam hal ini beliau mengatakan :
"Kita tegaskan bahwa dari dua alternatif, ialah
judicial review ataupun suatu legislative review, maka Tap MPRS tersebut lebih
mengutamakan adanya legislative review, yang menugaskan Presiden bersama DPRGR
untuk melaksanakan peninjauan kembali produk legislatif". [44]
Maka dicapai kesimpulan inkonstitusionalitasnya kedua
perundang-undangan dicapai setelah diperintahkan Tap MPRS No. XIX tahun 1966
tersebut dengan membuka pintu bagi suatu legisalative review, bukan judicial
review."[45]
Apakah
yang dimaksud dengan Legislative review
tersebut?.
Di muka telah dikemukakan adanya dua bentuk
hak menguji, yaitu yudicial review
dan political review.[46] Keduanya dilakukan oleh suatu badan yang
berada di luar pembentuk undang-undang. Apabila pembentuk undang-undang
(legislatif), yang menurut Undang-undang Dasar 1945 adalah Presiden dan DPR
melakukan "pengujian", baik atas inisiatif sendiri maupun atas
perintah MPR, maka menurut penulis hal itu bukan dalam rangka hak menguji
material, melainkan suatu proses legislatif biasa seperti membuat, mengubah
atau mencabut undang-undang. Apalagi dengan adanya ketentuan bahwa pernyataan
tidak berlaku itu efektif pada saat undang-undang penggantinya mulai berlaku.
Dengan demikian, legislative review yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang
sendiri bukan merupakan suatu kekuasaan yang baru diberikan, tetapi memang
sudah termasuk dalam pengertian "membuat" sebagaimana diatur dalam
UUD 1945.
Praktik peninjauan kembali semacam itu masih
dilanjutkan oleh MPR hasil pemilihan umum, seperti ternyata dalam
Ketetapan No.V/ MPR/ 1973 tentang
Peninjauan Kembali Produk-produk Ketetapan MPRS. Selanjutnya atas dasar
keinginan meyempurnakan pengalaman kehidupan kenegaraan yang
demokratis-konstitusional berdasarkan Undang-undang Dasar 1945, Ketetapan No.
V/ MPR/ 1973 itu kemudian diperkuat dan tetap diberlakukan oleh Ketetapan No.
IX/ MPR/ 1978. Namun dalam praktek, beberapa Ketetapan MPRS sampai saat ini
masih berlaku.
5.2.
Seminar Hukum Nasional II
Salah satu topik yang dibicarakan dalam
Seminar Hukum Nasional II di Semarang pada tahun 1968, adalah "Menegakkan
Kekuasaan Kehakiman Yang Bebas". Topik ini dibicarakan karena Kekuasaan
Kehakiman yang berjalan di bawah pengaturan Undang-undang No. 19 tahun 1964
tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang No. 13 tahun 1965 tentang
Peradilan dalam Lingkungan Pera dilan Umum dan Mahkamah Agung, dianggap
bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.
Pasal 19 Undang Undang No.19 tahun 1964
menyatakan sebagai berikut :
"Demi kepentingan revolusi, kehormatan negara dan
bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut
atau campur tangan dalam soal-soal pengadilan."
Sedangkan Pasal 23 ayat(1) Undang Undang
No.13 tahun 1965, menyatakan :
"Dalam hal-hal di mana Presiden melakukan turun
tangan, sidang dengan seketika menghentikan pemeriksaan yang sedang dilakukan
dan mengumumkan Keputusan Presiden dalam sidang terbuka dengan membubuhi catatan
dalam berita acara dan melampirkan keputusan Presiden dalam berkas tanpa menjatuhkan
putusan."
Pasal 24 Undang Undang Dasar 1945 tentang
Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa :
1. Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang.
2. Susunan
dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang.
Jadi dalam Undang Undang Dasar 1945 tidak
terdapat penegasan mengenai kedudukan kekuasaan kehakiman. Akan tetapi, pasal
itu memberikan wewenang konstitusional (constitutional
power) kepada Presiden dan DPR selaku pembentuk undang-undang untuk
mengatur kedudukan, susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung serta meng adakan
lain-lain badan kehakiman, termasuk kedudukan dan kekuasaannya.
Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan
kehakiman berdasarkan Undang Undang Dasar 1945, tergantung kepada Presiden dan
DPR.
Penjelasan Pasal 24 adalah satu petunjuk
yang harus diperhatikan dalam pembentukan undang-undang tentang kekuasaan
kehakiman, yaitu bahwa :
Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka,
artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus
diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim. (kursif penulis)
Di Amerika Serikat, kekuasaan kehakiman
mempunyai kedudukan yang kuat karena ditunjang oleh doktrin pemisahan kekuasaan
(separation of powers). Memang tidak
dapat disangkal bahwa kemerdekaan kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan
lain berawal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Tetapi, dalam perkembangan
selanjutnya soal itu tidak harus berkaitan dengan pemisahan kekuasaan atau
trias politika. Hal itu bisa kita lihat di Inggris yang menganut trias politika.
Parlemen dengan undang-undang dapat memben tuk, mengubah, atau menghapus
peradilan dan menentukan hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman,
seperti kewenangan, serta prosedur pemilihan para hakim. Akan tetapi, meski
tidak menganut trias politika, dalam kenyataannya badan-badan peradilan di
Inggris adalah merdeka. Sebab terdapat ketentuan-ketentuan baik dalam "custom" ataupun "convention" yang menjaga peradilan
dari campur tangan legislatif serta pengaruh-pengaruh politik lainnya.[47]
Dewasa ini, adanya suatu peradilan yang
bebas dianggap merupakan prasyarat bagi negara hukum yang demokratis. Oleh
karena itu tidak relevan lagi untuk mengaitkan kekuasaan kehakiman yang merdeka
dengan trias politica, seperti yang terdapat pada Undang Undang No.19 tahun
1964. Hal itu tampak dalam Penjelasan Umum yang menyatakan :
"Trias politica tidak mempunyai tempat sama sekali
dalam hukum nasional Indonesia. Presiden/ Pemimpin Besar Revolusi harus dapat
melakukan campur tangan atau turun tangan dalam pengadilan, yaitu dalam hal-hal
tertentu."
[48]
Dalam Seminar Hukum itu, Undang Undang No.19
tahun 1964 dianggap bertentangan dengan jiwa Undang Undang Dasar 1945. Di sisi
lain, keadaan ini menimbulkan kesadaran pentingnya suatu pranata atau mekanisme
pengawasan seperti hak menguji material. Sehingga dapat dihindari kemungkinan
terjadi penyelewengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya
terha dap Undang-Undang Dasar. Namun demikian, sangat disa ang kan seminar itu
tidak menghasilkan kata sepakat. Sepanjang mengenai hak menguji muncul berbagai
pendapat sebagai berikut:
1. Bahwa wewenang hak menguji ini harus diserahkan
kepada Makamah Agung, dengan variasi-variasi :
a. hak menguji meliputi seluruh hukum dan
perundang-undangan (Tap MPR, undang-undang dan peraturan lain)
b. terbatas pada undang-undang dan peraturan yang
lebih rendah
c. terbatas hanya pada peraturan-peraturan yang lebih rendah dari undang-undang.
2. Bahwa wewenang untuk melakukan hak penguji ini
tidak dapat diserahkan kepada Makamah Agung ,karena wewenang tersebut ada pada MPR.
3. Bahwa hak menguji tersebut tidak dimilki oleh
Mahkamah Agung, Undang Undang Dasar ataupun setidak-tidaknya Ketetapan MPR lah yang dapat memberikan hak menguji ini
kepada organ yang ditunjuk olehnya.
4. Bahwa hak menguji undang-undang merupakan
wewenang para hakim untuk mengenyampingkan undang-undang melalui perkara yang
dihadapinya karena dianggap bertentangan
dengan Undang Undang Dasar.
5. Bahwa khusus mengenai Ketetapan MPR ada
yang mengu sulkan supaya Makamah Agung
diberi hak menilai dan menyatakan pendapatnya, apakah ketetapan yang
bersangkutan bertentangan dengan Pembukaan serta Undang Undang Dasar 1945 atau
tidak?.[49]
Ismail
Sunny salah seorang pemrasaran dalam seminar itu mengemukakan keberatannya terhadap hak menguji material sebagai berikut :
Dalam hubungan ini sebagai halnya di negara-negara yang
menganut Parlimentary Supremacy atau National Assembly Supremacy, maka
Makamah Agung tidak dapat menilai secara
material Ketetapan MPR(S) dan undang-undang sebagai produk badan legislatip
tertinggi sebagai mana dimungkinkan di negara-negara yang menganut Supremacy of Supreme Court [50].
Pendapat
itu termasuk kepada kelompok mereka yang setuju memberikan hak menguji
material kepada MA terbatas hanya terhadap peraturan yang berada di bawah undang-undang. Menanggapi pernyataan
Ismail Sunny tersebut ,salah seorang pembahas yakni Deliar Noer
mengemukakan antara lain :
Kalau pendapat ini diikuti, timbul pertanyaan apakah
Ketetapan MPR yang mungkin berlawanan dengan Undang Undang Dasar dapat dianggap
sebagai amandemen terhadap Undang Undang Dasar?. Ataukah diyakini saja
bahwa Ketetapan MPR tidak akan
berlawanan dengan Undang Undang Dasar ?. Tetapi pandangan seperti ini adalah
wishful thinking oleh karena kita telah mengalami di masa yang lalu betapa
suatu MPRS dapat menyeleweng dari Undang Undang Dasar 1945.
[51]
Sedangkan mengenai hak menguji material
terhadap undang-undang, Deliar Noer
mengatakan :
"Tetapi teori parliamentary supremacy dianalogkan
pemrasaran (Ismail Sunny) dengan supremasi MPR, tidak dengan Supremasi DPR.
Jadi kalau produknya yakni undang-undang tidak pula supremasi dengan kata lain
ia bisa dinilai oleh pihak lain secara hukum. [52]
Jadi Deliar Noer
melihat pada dua hal yang berbeda, yaitu Ketetapan MPR di satu pihak dan
undang-undang di lain pihak. Hal ini sejalan dengan Sri Soemantri yang juga
hadir dalam seminar itu. Dalam bukunya Hak Menguji Material di Indonesia, sepanjang
menyangkut hak menguji material terhadap Ketetapan MPR, mengemukakan pendapat
sebagai berikut :
"Oleh karena Ketetapan MPR itu merupakan produk
legislatif Lembaga Negara Tertinggi maka hak menguji, menurut pendapat penulis
tidak dapat dilakukan oleh lembaga negara yang berada di bawah MPR." [53]
Dengan kata lain, Ketetapan MPR tidak dapat
diuji oleh MA karena secara hirarkis kedudukan MPR lebih tinggi dari MA.
Kedudukan MPR sebagai lembaga negara tertinggi kita ketahui dari Ketetapan MPR
No.VI/ MPR/ 1973 serta Pen jelasan Undang Undang Dasar 1945 tentang Sistem
Pemerintah Negara. Terlepas dari kedudukan Penjelasan yang masih dipersoalkan
sampai saat ini, dalam Penjelasan ini hanya dikemukakan hubungan sub-ordinasi
atau unter geornet antara Presiden dan MPR. Hubungan antara Pre siden dan organ
eksekutif lainnya, serta hubungan koordinasi antara Presiden dan DPR.
Adapun mengenai kedudukan MA dalam
Penjelasan ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh MA dan
badan-badan peradilan lain, ialah kekuasaan yang merdeka. Kekuasaan yang
merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah. Pemerintah di sini
bisa diartikan secara luas, yang meliputi seluruh alat-alat perlengkapan negara. Hal ini sejalan dengan kesimpulan Seminar
Nasional II tersebut, bahwa kebebasan dimaksud mengandung didalamnya
suatu kebebasan dari campur tangan pihak kekuasaan-kekuasaan lainnya (pihak
ekstra judisial).[54]
Kemudian dalam Ketetapan MPR No.III/MPR/1978
terdapat ketentuan yang menyatakan, bahwa :
"Mahkamah Agung adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang dalam pelaksaan
tugasnya, terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lainnya."
Pengaruh-pengaruh lainnya itu bisa diartikan
termasuk MPR Oleh karena itu, dalam bagan susunan kekuasaan, seharusnya MA
terlepas dari alur kekuasaan yang berasal dari MPR.
Selanjutnya Abdul Kadir Besar salah seorang
pembahas dalam Seminar tersebut berpendapat, andaikata MA berwenang menguji secara material putusan-putusan MPR maka
hapuslah posisi dan fungsi MPR selaku lembaga negara tertinggi pemangku kedaulatan rakyat dan dengan demikian
runtuhlah sistem pemerintahan
Undang-undang Dasar 1945.[55] Jadi menurut pendapatnya, apabila wewenang
itu diberikan kepada MA maka sendi "pemerintahan yang bertanggung
jawab" yang terwujud dalam sistem pertanggungjawaban Presiden akan menjadi
kabur dan kacau."
Dalam hal ini ia mengatakan :
"Suatu pengujian material terhadap Undang-undang
dan Keputusan-keputusan Presiden oleh MA akan mendorong dan atau membuka
kemungkinan bagi seorang Presiden untuk membagi dan bahkan menggeserkan sama
sekali pertanggungjawaban pelaksanaan GBHN pada MA, suatu lembaga yang sama
sekali di luar bidang eksekutif." [56]
Pendapat ini logis, tetapi tidak tepat.
Undang-undang dan keputusan Presiden adalah dua hal yang berbeda. Lagi pula
tidak setiap undang-undang atau keputusan Presiden merupakan pelaksanaan GBHN,
dan pertanggung jawaban Presiden bukan hanya terhadap GBHN. Tegasnya, hak
menguji material bukan cuma soal GBHN. Di samping itu, di negara manapun yang
melaksanakan hak menguji material, tidak pernah mengakibatkan bergesernya
tanggung jawab eksekutif. Dalam hal ini penulis lebih condong pada pendapat
Deliar Noer yang melihat hak menguji material pada proporsi yang tepat, yaitu
pada soal pengawasan.
"Masalah ini sebenarnya menyangkut soal siapa yang
merupakan penjaga, the guardian, kemurnian Undang Undang Dasar dan
pelaksanaannya. Tanpa penjaga ini kemungkinan masih besar terjadinya
penyelewengan tersebut. Ketiadaan penjaga akan menyebabkan Undang Undang Dasar
sebagai secarik kertas kosong." [57]
5.3. Hak Menguji Material Menurut
Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970
Seperti telah dikemukakan, Undang Undang
No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman memberikan wewenang
kepada MA untuk melaksanakan hak menguji material terbatas hanya terhadap
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripada undang-undang. Ketika
undang-undang itu masih dalam pembahasan di DPR(GR) terdapat banyak pandangan
yang menghendaki undang-undang pun termasuk dalam wewenang MA tersebut. Tak
kurang dari Ketua MA, DPA, IKAHI dan Peradin dan beberapa anggota DPR(GR)
sendiri, namun tampaknya tidak dapat mengesampingkan pendapat dari penyusun RUU
(Pemerintah) sehingga terwujud dalam Pasal 26 tersebut.[58]
Ketua MA dalam suratnya kepada Pimpinan
DPR(GR) tanggal 13 Mei 1969 berpendapat antara lain bahwa bahwa UUD tidak
menutup kemungkinan diadakannya pengujian terhadap produk-produk legislatif.
Dalam UUD tidak terdapat ketentuan "undang-undang tidak dapat diganggu-gugat".
Pengujian terhadap produk legislatif itu wajar mengingat UUD kita harus
dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Sebagai UUD, jangan sampai lembaga
legislatif sehari-hari yang wewenang dan kekuasaannya bersumber dari UUD akan
berada di atas UUD.[59]
Dari ketentuan Pasal 26 Undang-undang No.14 Tahun 1970 itu
dapat dkemukakan beberapa hal yaitu :
1. Bahwa hak
menguji material berada pada Mahkamah Agung.
2. Bahwa hak
menguji material dapat dlakukan terhadap per aturan perundang-undangan yang
lebih rendah dari undang-undang.
3. Bahwa
pelaksanaan hak menguji material itu hanya dapat dilakukan dalam pemeriksaan
tingkat kasasi.
4. Bahwa apabila
Mahkamah Agung telah melaksanakan hak menguji meterialnya, maka yang mencabut
peraturan per undang-undangan yang telah diuji adalah instansi yang telah
menetapkan atau yang telah mengeluarkan.[60]
Jadi hak menguji material terhadap
undang-undang tidak diberikan kepada Mahkamah Agung, sebab :
a. Undang Undang Dasar 1945 tidak mengaturnya. Hak
menguji material terhadap undang-undang seharusnya merupakan ketentuan
konstitusional.
b. Hanya Undang Undang Dasar atau Ketetapan MPR(S)
yang dapat memberikan wewenang kepada MA menguji undang-undang.[61]
Selanjutnya berdasarkan Pasal 26 tersebut,
tidak dengan sendirinya MA dapat melaksanakan hak menguji material, melainkan
harus ada perkara lebih dahulu yang sampai pada tingkat kasasi itu akan
menempuh waktu yang cukup lama bagi pencari keadilan yang menuntut agar MA
menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan.[62]
Untuk sampai pada pemeriksaan tingkat
kasasi, tuntutan tersebut harus dimajukan terlebih dahulu kepada peradilan
tingkat pertama dan tingkat banding, yang sebenarnya tidak berwenang.[63] Secara teoritis sepanjang suatu perkara
berkaitan dengan penerapan peraturan perundang-undangan yang dituntut untuk
dinyatakan tidak sah, peradilan tingkat pertama dan banding akan tetap
menerapkannya meskipun mengetahui bahwa
peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.[64]
Hakim yang bijak hanya dapat mengatasi kesulitan ini melalui konstruksi hukum
tertentu atau memutuskan tidak menerapkan tetapi juga tidak membatalkan.[65]
Pencabutan peraturan perundang-undangan yang telah dinyatakan tidak sah oleh MA harus
dilakukan oleh instansi yang mengeluarkannya, dalam prakteknya akan menimbulkan
persoalan. Secara teoritis, ketentuan ini berangkat dari trias politika atau
pemisahan kekuasaan.[66]
Bagaimana sekiranya instansi yang
mengeluarkan itu tidak mencabut peraturan perundang-undangan tersebut. Apakah
dengan demikian ia tetap berlaku, atau hanya tidak berlaku per kasus.[67]
Dalam Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung memang dikatakan bahwa pencabutan itu segera dilakukan oleh instansi yang bersangkutan, tetapi tetap
tidak jelas batasan segera tersebut. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 26
Undang-undang No.14 Tahun 1970 itu kemudian ditegaskan kembali dalam Ketetapan
MPR No.VI/MPR/1973 (diubah oleh Tap No. III/ MPR/ 1978) tentang Kedudukan dan
Hubungan Tata Kerja lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau antar lembaga-lembaga
Tinggi Negara Pasal 11 ayat (4) Ketetapan itu menyatakan bahwa :
"Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara
material hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang".
5.4. Seminar Ketatanegaraan 30 Tahun Kembali
ke UUD
1945
Tiadanya kesepakatan mengenai boleh atau
tidaknya hak menguji material terhadap undang-undang dalam kerangka
Undang-undang Dasar 1945, merupakan masalah krusial bagi Ahli Hukum yang tidak
terselesaikan oleh peraturan-peraturan tersebut di atas. Hal itulah yang
mungkin mendorong upaya pengkajian ulang terhadap hak menguji material, seperti
tampak dalam Seminar Ketatanegaraan 30 Tahun Kembali ke UUD 45, yang diselenggarakan
di Universitas Padjadjaran pada tanggal 5 sampai 6 Juli 1989. Meski tidak
terdapat topik khusus mengenai hak menguji material, tetapi hal itu muncul pada
saat membahas "Kekuasaan Kehakiman Menurut Undang-undang Dasar 1945".
Seminar tersebut menghasilkan dua pendapat. Pendapat pertama menganggap Mahkamah
Agung mempunyai hak menguji material terhadap Undang-undang yang menyimpang
atau berlawanan dengan UUD 1945, dengan alasan-alasan sebagai berikut :
a. Untuk memelihara kesatuan sistem hukum di Indonesia
sehingga tidak terdapat kontradiksi di dalamnya;
b. Karena UUD mempunyai derajat yang lebih tinggi
dari undang-undang dan oleh sebab itu harus semua hasil legislatif berada di
bawah UUD;
c. Perkembangan di negara-negara Eropa menunjukkan
adanya hak menguji material dari Mahkamah Agung tertinggi seperti di Negeri
Belanda, Hoge Raad mempunyai hak menguji undang-undang sejak 1953 kepada
perjanjian-perjanjian internasional yang dianggap oleh banyak Sarjana Hukum
sebagai mempunyai derajat lebih tinggi dari UUD;
d. Mahkamah Agung harus diberi wewenang juga untuk
menguji Ketetapan-ketetapan MPR yang diputuskan dengan jumlah suara terbanyak
biasa atau terbanyak mutlak, kecuali yang mendapat dukungan dari jumlah 2/3
jumlah anggota yang hadir dalam suatu sidang yang dihadiri oleh
sedikit-dikitnya 2/3 jumlah anggota MPR.
Sedangkan pendapat kedua, menganggap Mahkamah Agung tidak mempunyai hak
menguji material, disebabkan :
a. Hak uji undang-undang adalah konsekuensi dari
digunakannya sistem pemisahan kekuasaan.
Karena UUD tidak menganut pemisahan kekuasaan, maka Mahkamah Agung
dengan sendirinya tidak memiliki hak menguji terhadap undang-undang.
b. Pelaksanaan dari kehendak rakyat yang tertuang
dari GBHN menempuh proses legislatif dalam bentuk Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden.
Apabila Mahkamah Agung memiliki hak menguji
terhadap Undang-undang berarti menguji kehendak rakyat yang berdaulat. Dengan
itu, maka Presiden dapat menggeser sebagian atau seluruh pertanggungjawaban
Presiden mengenai pelaksanaan GBHN kepada Mahkamah Agung, suatu lembaga di luar
kekuasaan eksekutif, sehingga sistem pemerintah negara menjadi tidak berjalan
seharusnya.[68] Oemar Seno Adjie dalam makalah yang
berjudul "Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
sejak Kembali ke UUD 1945", memberikan bahasan secara khusus terhadap
hak menguji material. Mewakili pandangan yang menolak hak menguji material,
beliau mengemukan beberapa alasan.
Pertama, alasan yuridis historis "toetsingsrecht" kepada MA
terhadap konstitusionalitas undang-undang seha rusnya dinyatakan secara expressis verbis, secara "uitdruk kelijk" dalam Undang-
undang Dasar 1945 ataupun Ketetapan MPR.
Kedua, kemungkinan terjadi friksi-friksi politik (political friction). Dalam hal ini Oemar
Seno Adjie menunjuk pengalaman-pengalaman hak menguji material di Amerika
Serikat.
"Pengalaman-pengalaman negara-negara lain
menunjukkan pula bahwa "judicial review" demikian tidak saja terbatas
pada soal-soal teknis yuridis ..., melainkan ia melihat Hakim juga sebagai
"politicion" khususnya dalam menafsirkan UUD yang tidak dapat
dihindari olehnya apabila Hakim itu mengadakan "review"
tersebut". Pengalaman itu menjadikan Mahkamah Agung Amerika Serikat
sebagai "the Supreme Court becomes a super legislative". Dalam hal
ini Mahkamah Agung berarti membuat peraturan (jurisprudentiele wet geving).[69]
Leonard W. Levy
mengemukakan bahwa di Amerika Serikat sendiri, kritik terhadap "judicial review" umumnya bukan
terhadap tujuan dan mekanismenya, melainkan cenderung pada ungkapan yang
berlebihan seperti "Judicial
Supremacy" atau "Government
by Judiciary" yang dikemukakan beberapa orang untuk menggambarkan
bahwa MA merupakan "the Master
Institution" dalam sistem
Amerika.[70]
Istilah Judicial Review sering rancu dengan Judicial
Supremacy atau Judicial Policy Making
atau Judicial Legislation.[71]
Sungguhpun demikian, "judicial supremacy" tersebut adalah
bersifat negatif. Tidak akan membuat Mahkamah Agung secara aktif membuat
peraturan, karena Keputusan Mahkamah Agung baik mengenai urusan federal
atau negara-negara bagian yang sangat
bergantung pada mereka sendiri (eksekutif dan legislatif). Jadi "the last word" ada pada
lembaga-lembaga tersebut. Tanpa adanya dukungan eksekutif dan legislatif maka
putusan-putusan Mahkamah Agung tidak berdaya.[72]
Kedua, hak menguji material (oleh badan peradilan)
berkaitan dengan bentuk negara serikat. Kesimpulan itu didapat dengan melihat
pengalaman beberapa UUD di Indonesia, serta negara-negara lain seperti
Perancis, Belgia, Inggris, Italia yang tidak memberikan hak menguji material
kepada Mahkamah Agung, melainkan kepada lembaga lain.
6.
Pengujian Peraturan
Perundang-undangan Paska UUD 1945 diubah
Dengan berubahnya
“era orde baru” ke “era reformasi”, terjadilah perubahan besar pemikiran para elit
poitik (khususnya). Pertama-tama dilakukan “constitutional
reform”, yaitu dengan melakukan perubahan UUD 1945. Perubahan dilakukan
secara marathon mulai tahun 1999 hingga tahun 2002. Dalam UUD 1945 Perubahan
tersebut diatur secara jelas lembaga yang diberi wewenang dan jenis peraturan
yang dapat diujinya. Ketentuan-ketentuan tsb adalah sbb:
Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, diubah lagi dengan Nomor 3 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung. Inilah peraturan Perundang-undangan yang berlaku saat ini
mengenai pengajuan permohonan Pengujian Hak Uji ke Mahkamah yaitu Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 Tentang MAHKAMAH AGUNG. Pasal yang mengatur hak menguji material adalah:
Pasal 31A
(1) Permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan
langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat secara
tertulis dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh
berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b.
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia kurangnya
harus memuat: a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang
menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: 1. materi muatan yang
diatur dalam undang-undang; atau
c. badan hukum publik atau badan hukum
privat.
(3) Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasar
permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: 1. materi muatan ayat, pasal,
dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau 2.
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
dan c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
(4) Permohonan
pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung
paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya
permohonan.
(5) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa
pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan
permohonan tidak diterima.
6) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan dikabulkan.
7) Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
(8) Putusan Mahkamah Agung yang mengabulkan
permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus dimuat dalam Berita Negara
atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak
tanggal putusan diucapkan.
(9) Dalam hal peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan
menyatakan permohonan ditolak.
(10) Ketentuan mengenai tata cara pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dengan Peraturan
Mahkamah Agung.
Adapun Hukum Acaranya yang semula diatur dalam Perma No.1
Tahun 1993, Perma No.1 Tahun 1999, Perma
No.1 Tahun 2004, Terakhir diganti dengan Perma No. 1 Tahun 2011. Dibawah ini
kami lampirkan Peraturan Mahkamah Agung yang terakhir Nomor 1 Tahun 2011.
7. Penutup
Dari tinjauan
terhadap perkembangan hukum dan pemikiran-pemikiran hukum tersebut, dapat
diidentifikasikan beberapa alasan prinsipal penolakan hak menguji material
terhadap undang-undang sebagai berikut :
Pertama, bahwa hak menguji
material terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung dianggap merupakan
konsekuensi dari trias politica. Sedangkan Undang Undang Dasar 1945 tidak
menganut sistem trias politika.
Kedua, bahwa hak menguji
material terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung dianggap tidak sesuai
dengan paham kedaulatan yang terdapat dalam Undang Undang Dasar 1945.
Ketiga, bahwa hak menguji
material tersebut dianggap hanya berkaitan serta dibutuhkan dalam negara yang
berbentuk serikat guna menjaga
eksistensi pembagian kekuasaan pusat dan daerah. Oleh karena Indonesia
merupakan negara kesatuan, maka hak menguji material itu tidak diperlukan.
Dengan demikian,
berdasarkan tinjauan historis dimulai sejak pembentukan Undang Undang Dasar
1945 sampai dengan lahirnya UU No.14 Tahun 1970, terdapat kecenderungan untuk
tidak memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji secara material
suatu undang-undang. Selama kurun waktu itu, tidak dijumpai praktik pengujian
undang-undang oleh Mahkamah Agung.
Sehubungan dengan
itu, Bagir Manan menyatakan bahwa waktu yang cukup panjang merupakan dasar yang
cukup memadai telah terbentuk kebiasaan ketatanegaraan (konvensi) bahwa
Mahkamah Agung (beserta badan peradilan lain) tidak melakukan pengujian
terhadap undang-undang.[73]
Akan tetapi, perlu disadari bahwa konvensi diadakan dalam praktik
penyelenggaraan negara untuk melengkapi, penyempurnaan, menghidupkan
(mendinamisasi), dan bukan dalam rangka mematikan atau menghambat sistem yang
ada.[74]
Dengan ditetapkannya
Perubahan Ketiga UUD 1945, mengenai
pemberian (atribusi) wewenang hak menguji kepada Mahkamah Agung untuk menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang,
semua perdebatan dan polemic berakhir. Hal itu telah jelas diatur dalam
Pasal 24A, ayat (1) sebagai berikut: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Di Amerika Serikat
sebagai perbandingan, hak menguji material tidak diatur dalam konstitusi,
melainkan muncul dalam kasus yang terkenal, yaitu Marbury lawan Madison.
John Marshall, Hakim Agung yang memeriksa kasus tersebut, menyatakan bahwa
Konsitusi Amerika Serikat merupakan hukum (law) dan hukum yang tertinggi (supreme law). Sebagai hukum yang tertinggi dalam negara maka sudah
merupakan keharusan bagi setiap cabang kekuasaan untuk mentaatinya, termasuk
badan legislatif dalam membentuk undang- undang. Dengan demikian, setiap
undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi adalah batal. Pendapat ini
didasarkan pada Artikel VI Konstitusi, yang menyatakan :
"this
Constitution, and the Laws of the United
State which shall be made in pursuance thereof, and all Treaties made, or which
shall be made, under the Authority of the United States, shall be bound
thereby, anything in the Constitution or Laws of any State to the Contrary
notwithstanding" [75]
Menurut Marshall,
sudah menjadi tugas dan kewajiban badan judisial untuk menyatakan "hukum
yang mana?" (what the law is?).
Oleh karena itu, siapapun (Hakim) yang akan menerapkan suatu ketentuan dalam
suatu perkara harus menjelaskan dan menafsirkan ketentuan tersebut. Apabila
dalam suatu perkara terdapat lebih dari satu peraturan yang dapat diterapkan,
dan peraturan-peraturan itu saling bertentangan satu sama lain, maka pengadilan
harus memilih salah satu yang dapat dijalankan. Apabila pertentangan itu
terjadi antara konstitusi dan undang-undang biasa, maka konstitusilah dan bukan
undang-undang yang dipergunakan dalam pemutus perkara tersebut.
Meski pada saat ini
hak menguji merupakan pranata penting dalam sistem ketatanegaraan Amerika
Serikat, tetapi tidak terlepas dari pro dan kontra. Kritik terhadap John Marshal sehubungan dengan kasus Marbury
tidak hanya menyangkut dasar konstitusional dan dasar historis dari hak menguji
tersebut, tetapi juga terhadap premis-premis yang digunakannya.
Pernyataan Marshall
bahwa peraturan hukum dan tindakan-tindakan yang tidak selaras dengan
prinsip-prinsip konstitusi adalah batal, menimbulkan beberapa persoalan. Sebab
kenyataan rakyat menetapkan suatu pemerintahan terbatas tidak selalu berarti
mereka menetapkan suatu dokumen tunggal untuk mengawasi proses demokrasi
mereka. Setidak-tidaknya terdapat kemungkinan pembentuk undang-undang memiliki
kebebasan sendiri untuk menafsirkan konstitusi dan harus diperhatikan oleh
cabang kekuasaan lainnya. [76]
Pendapat Marshall bahwa esensi konstitusi tertulis
terletak pada sifatnya sebagai dokumen yang fundamental dan mengikat, dan hanya
badan peradilanlah yang dapat menafsirkan dan menerapkan hukum yang tertinggi
apabila terjadi konflik dengan hukum yang lebih rendah, juga tidak benar
seluruhnya. Ada negara-negara yang memiliki konstitusi tertulis yang memuat
prinsip-prinsip umum pemerintahan, tanpa harus diawasi oleh badan peradilan.
Suatu hal yang
diakui semua pihak adalah bahwa konstitusi merupakan "hukum" dalam
arti sebenarnya. Akan tetapi, prinsip konstitusi sebagai hukum tidak memberikan
alasan pembenar bahwa peradilan adalah badan yang melaksanakan hak menguji.
Kedua hal itu berbeda seperti perbedaan antara "tarian" dan
"penari".[77]
Dilihat dari segi
sistem, maka hak menguji material terhadap undang-undang adalah sangat relevan
baik secara yuridis maupun politis Undang-Undang Dasar 1945 diakui sebagai the supreme law. Oleh karena itu, setiap
undang-undang ataupun peraturan lainnya tidak boleh bertentangan dengan Undang
Undang Dasar 1945.
Dilihat dari segi
kebutuhan pun, keberadaan hak menguji material sangat relevan disebabkan
alasan-alasan sebagai berikut :
Pertama, pengalaman-pengalaman dalam sejarah
ketatanegaraan Indonesia menunjukkan bahwa Undang Undang Dasar 1945 sering
dilanggar oleh berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Undang Undang
No.19 Tahun 1964 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Kedua, kenyataan bahwa
terdapat peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang dibuat pada
masa kolonial Belanda, masih berlaku hingga saat ini. Bukan tidak mungkin di antara
peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang Undang Dasar
1945. Sedangkan baru sebagian dari peraturan perundang-undangan tersebut yang
dicabut, diubah atau diganti melalui proses legislatif biasa.
Jika Mahkamah Agung
diberi wewenang menguji undang-undang, maka akan merupakan salah satu upaya
mempercepat "seleksi hukum"
dalam rangka pembentukan sistem Hukum Nasional.
Lepas dari pendapat
dan asumsi yang beraneka ragam, fakta sudah menunjukkan bahwa Hak Menguji Peraturan
Perundang-undangan dewasa ini telah diatribusikan kepada Makamah Konstitutsi
untuk menguji Undang-undang terhadap UUD 15, dan Hak untuk menguji peratuan
perundang-undangan di bawah undang diserahkan kepada Mahkamah Agung.
Lampiran
PERATURAN MAHKAMAH
AGUNG REPUBLIK INDONESIA
------------------------------------
Nomor: 01 Tahun 2011
TENTANG
HAK UJI MATERIIL
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a.
Bahwa
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004
tentang Hak Uji Materiil menentukan bahwa: Permohonan keberatan diajukan dalam
tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan Peraturan
Perundang-undangan yang bersangkutan;
b. Bahwa
pada dasarnya penentuan tenggat waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji
Materiil adalah tidak tepat diterapkan bagi suatu aturan yang bersifat umum
(Regelend) karena sejalan dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa,
dirasakan telah bertentangan dengan perauran yang lebih tinggi dan tidak lagi
sesuai dengan “hukum yang hidup (the living law) yang berlaku”;
c. Bahwa
oleh karena penentuan batas waktu 180 (Seratus delapan puluh) hari seperti
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) tersebut diatas, sudah seharusnya dihapuskan
dan/atau dicabut dari materi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tersebut. Namun demikian secara kasuistis harus dipertimbangkan kasus demi kasus
tentang hak yang telah diperoleh para pihak-pihak yang terkait sebagai bentuk
perlindungan hukum bagi mereka.
d. Bahwa
pencabutan dan/atau penghapusan tenggat waktu dimaksud sejalan dengan
pertimbangan-pertimbangan hukum yang tercantum dalam berbagai putusan Mahkamah
Agung Republik Indonesia antara lain:
1. Putusan
Hak Uji Materiil Nomor 25 P/HUM/2006 tanggal 30 Agustus 2006;
2. Putusan
Hak Uji Materiil Nomor 41 P/HUM/2006 tanggal 21 Nopember 2006;
3. Putusan
Hak Uji Materiil Nomor 37 P/HUM/2008 tanggal 18 Maret 2009;
4. Putusan
Hak Uji Materiil Nomor 03 P/HUM/2011 tanggal 25 April 2011;
e. Bahwa
berhubung dengan hal tersebut dalam huruf c dan d, perlu pengaturan kembali
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji
Materiil.:
Mengingat:
1. Pasal
24A Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahan-perubahannya;
2. Pasal
20 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
3. Pasal
79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
4. Pasal
31 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
5. Hasil
Keputusan Rapat Pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 19 Mei 2011
atas Memorandum Nomor 41/Td/TUN/V/2011 tanggal 9 Mei 2011.
Memperhatikan:
Pasal-pasal
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2004 serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang bersangkutan.
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN: PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA TENTANG HAK UJI MATERIIL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini, yang
dimaksud dengan:
(1)
Hak
Uji Materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan
tingkat lebih tinggi.
(2)
Peraturan
perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah
Undang-undang.
(3)
Permohonan
Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya
suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu
peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah
Agung untuk mendapatkan putusan.
(4)
Pemohon
Keberatan adalah kelompok masyarakat atau perseorangan yang mengajukan
permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang;
(5)
Termohon
adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan
perundang-undangan.
BAB II
TATA CARA PENGAJUAN
PERMOHONAN KEBERATAN
Pasal 2
(1)
Permohonan
Keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara:
b.
Langsung
ke Mahkamah Agung; atau
c.
Melalui
Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon.
(2)
Permohonan
keberatan diajukan terhadap suatu peraturan perundang-undangan-yang diduga
bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
(3)
Permohonan
Keberatan dibuat rangkat sesuai keperluan dengan menyebutkan secara jelas
alasan-alasan sebagai dasar keberatan dan wajib ditandatangani oleh Pemohon
atau kuasanya yang sah.
(4)
Pemohon
membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang
besarnya akan diatur tersendiri.
Pasal 3
(1)
Dalam
hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung, didaftarkan di
Kepaniteraan Mahkamah Agung dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan
menggunakan kode:..P/HUM/Th...
(2)
Panitera
Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat
meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah.
(3)
Panitera
Mahkamah Agung wajib mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak
Termohon setelah terpenuhi kelengkapan berkasnya.
(4)
Termohon
wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterima salinan permohonan tersebut.
(5)
Panitera
Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan
Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
(6)
Penetapan
majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang
Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 4
(1)
Dalam
hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri, didaftarkan pada
kepaniteraan Pengadilan Negeri dan dibukukan dalam bku register permohonan
tersendiri dengan menggunakan kode ...P/HUM/Th../PN... setelah Permohonan atau
kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
(2)
Panitera
Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah
didaftarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat
kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah;
(3)
Panitera
Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung pada
hari berikutnya setelah pendaftaran.
(4)
Panitera
Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menentapkan
Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
(5)
Penetapan
majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang
Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.
BAB III
PEMERIKSAAN DALAM PERSIDANGAN
Pasal 5
(1)
Ketua
Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung menetapkan Majelis
Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak
Uji Materiil tersebut
(2)
Majelis
Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil
tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan asas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
BAB IV
PUTUSAN
Pasal 6
(1)
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena
peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau
peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan keberatan tersebut.
(2)
Mahkamah
Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,
serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.
(3)
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan,
Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.
BAB V
PEMBERITAHUAN ISI PUTUSAN
Pasal 7
Pemberitahuan
isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan
menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat
Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri
setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan
juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.
BAB VI
PELAKSANAAN PUTUSAN
Pasal 8
(1)
Panitera
Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan
atas biaya Negara.
(2)
Dalam
hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
BAB VII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 9
Terhadap
putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 10
Pada
saat mulai berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Peraturan yang telah ada
mengenai Hak Uji Materiil tetap berlaku bagi gugatan, permohonan keberatan yang
telah diterima oleh Mahkamah Agung.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 11
Pada
saat mulai berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1993, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1999 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 12
Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di : JAKARTA
Pada
tanggal: 30 Mei 2011
KETUA
MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK
INDONESIA,
CAP/TERTANDA
DR.H.
HARIFIN A. TUMPA,SH.MH
Topik
|
Perma No. 1 - 1993
|
Perma No. 1 - 1999
|
Perma No. 1 - 2004
|
Perma No. 1 -2011
|
Penggugat/Pemohon
|
|
Penggugat adalah seseorang, badan hukum,
kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan Hak Uji Materiil kepada Mahkamah
Agung.
(Pasal
1)
|
Pemohon
Keberatan adalah kelompok masyarakat atau perseorangan yang mengajukan
permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang (Pasal 1)
|
Pemohon
Keberatan adalah kelompok masyarakat atau perseorangan yang mengajukan
permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih rendah dari undang-undang.
(Pasal
1)
|
Tergugat/Termohon
|
Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang telah mengeluarkan menerbitkan atau
mengumumkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1)
|
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang digugat.(Pasal 1)
|
Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan
perundang-undangan. (Pasal 1)
|
Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan
perundang-undangan. (Pasal 1)
|
Tenggang
waktu pengajuan gugatan/permohonan
|
|
Gugatan diajukan dalam tenggang waktu 180
(seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. (Pasal 2 ayat 4)
|
Permohonan
Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari
sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.(Pasal 2)
|
Dicabut/ditiadakan
(konsiderans menimbang)
|
Tata
cara pengajuan gugatan/permohonan keberatan
|
a.
diajukan
langsung ke Mahkamah Agung
b.
melalui Pengadilan tingkat pertama yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat
(Pasal
1)
|
a.
langsung
ke Mahkamah Agung;
b.
melalui
Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.
(Pasal 5 ayat 4)
|
d.
Langsung
ke Mahkamah Agung; atau
e.
Melalui
Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon.
(Pasal 2)
|
a.
Langsung
ke Mahkamah Agung; atau
b.
Melalui
Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon.
(Pasal 2)
|
Putusan
Gugatan
Hak Uji
|
a.
Majelis Hakim peradilan tingkat pertama dan tingkat banding yang memeriksa
dan memutuskan tentang gugatan Hak Uji Materiil itu, dapat menyatakan
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan perundang-undangan yang
lebih tinggi tidak mempunyai akibat hukum dan tidak mengikat pihak-pihak yang
berperkara.
b.
Bila Majelis Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu beralasan, maka
Majelis Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa
peraturan perundang-undangan yang digugat tersebut sebagai tidak sah karena
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
(Pasal
3)
|
a.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu beralasan, karena peraturan
perundang-undangan dimaksud bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan
tersebut.
b.
Mahkamah
Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang digugat
tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan
dengan segera pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan.
c.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu tidak beralasan, Majelis
Hakim Agung menolak gugatan tersebut.
(Pasal 9)
|
a.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan,
karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan
Undang-undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi,
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
b.
Mahkamah
Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,
serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.
c.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak
beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.
(Pasal 6)
|
|
Putusan
Permohonan Keberatan Hak Uji
|
Tidak
diatur
|
a.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan,
karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan
Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Mahkamah
Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
b.
Mahkamah
Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,
serta memerintahkan dengan segera pencabutannya kepada instansi yang
bersangkutan.
(Pasal 10)
|
Tidak diatur
|
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan,
karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan
Undang-undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi,
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan
bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai
tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi
yang bersangkutan segera pencabutannya.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa
permohonan keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan
keberatan tersebut.
(Pasal
6)
|
Pelaksanaan
Putusan
Gugatan Hak Uji
Materiil
|
Tidak
diatur
|
Dalam
hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim
kepada Tergugat, ternyata Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, demi
hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan
hukum.
(Pasal
12)
|
Dalam
hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. (Pasal 8)
|
Dalam
hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.(Pasal 8)
|
Pemberitahuan
Isi Putusan
|
Pemberitahuan
isi putusan Mahkamah Agung pada dua belah pihak atau salah satu dari padanya
yang tidak hadir pada saat putusan diucapkan, dilakukan dengan perantaraan
Pengadilan tingkat pertama setempat; (Pasal 4)
|
Pemberitahuan
salinan putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan dan permohonan keberatan
disampaikan dengan surat Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan
melalui Pengadilan Negeri setempat, pemberitahuan salinan putusan Mahkamah
Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.
(Pasal
11)
|
Pemberitahuan isi
putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan
menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat
Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri
setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung
disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim. (Pasal 7)
|
Pemberitahuan isi
putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan
menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat
Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri
setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung
disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.
(Pasal
7)
|
Peninjau
kembali
|
Terhadap
putusan mengenai gugatan Hak Uji Materiil tidak dapat diajukan peninjauan
kembali.(Pasal 5)
|
Terhadap putusan mengenai gugatan dan
permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
(Pasal 14)
|
Terhadap
putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan
kembali. (Pasal 9)
|
Terhadap
putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan
kembali. (Pasal 9)
|
Catatan
(1)
Gugatan
adalah tuntutan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara terhadap peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk
mendapatkan putusan.
(2)
Permohonan
Keberatan adalah suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya
suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk
mendapat putusan.
(Perma No. 1 Tahun 1999)
Bandung, 20 Mei 2017
88888888888888
[1] Penjelasan umum UUD
1945 Asli dalam judul Sistem Pemerintahan Negara.
[3]
Mauro
Cappelletti, Judicial Review in the
Contemporary World, the Boobs-Merril Company Inc, 1971, hlm.viii.
[6] Muhammad
Yamin, Naskah Persiapan
Undang-undang Dasar 1945,
Jilid Pertama, Penerbit Prapanca, 1959, hlm. 341-342.
[7]
Keberadaan hak
menguji sebenarnya bertentangan dengan ajaran pemisahan
kekuasaan, karena adanya pengujian oleh badan kehakiman terhadap produk hukum
badan lain berarti adanya intervensi kekuasaan dari satu badan terhadap
kekuasaan badan lain.Sementara dalam ajaran trias politika tidak dibenarkan
adanya campur tangah satu kekuasaan terhadap kekuasaan yang lain. Jadi tidaklah tepat
jika hak menguji berkaitan dengan ajaran Trias Politika. Kalau
Amerika Serikat menganut Trias Politika itu adalah benar, tetapi tidak berarti
bahwa Amerika Serikat yang memberlakukan judicial
review, dapat disimpulkan bahwa keberadaan judicial review, berkaitan dengan
Trias Politika atau sebaliknya. Pola pikir tersebut perlu dikoreksi atau
dijernihkan. Keberadaan judicial di Amerika
Serikat berkaitan dengan konsep ”checks and balances”.
[8]
Hal itu berbeda
dengan ketentuan Konstitusi RIS 1949 (Pasal 130 ayat
2) dan
UUDS 1950 (Pasal 95 ayat 2) yang mengandung Prinsip undang-undang tidak dapat diganggu gugat atau tidak dapat diuji.
[9] Sri Soemantri, op. cit., hlm 2
[10] Pada saat itu UUD
1945 Asli tidak mengaturnya.
[11] Ketetapan MPR No.
VI/MPR/1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara
Dengan/Atau Antar Lembaga Lembaga Tinggi Negara. Lihat Pasal 11.
[12] Lihat uraian berikut
tentang pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.
[13] Hans Kelsen, General Theory of Law and State,
translated by Anders Wedberg, Russell & Russell, New York, 1973, hlm.124.
[14] Ibid
[15] Ibid, hlm 260. Menurut K.C. Wheare, op. cit, hlm 2, Konstitusi dalam arti sempit, yaitu suatu
naskah hukum yang tertuang dalam dokumen tertentu.
[16] Archibald Cox,The Role of the Supreme in American
Government, Oxford University Press, 1979, hlm 13.
[17] Allan R.
Brewer-Carias, Judicial Review in
Comparative Law, Cambridge University Press, 1989, hlm.1
[18] Pasal
95 ayat (2) UUD 1950.
[20] Sri Soemantri, Prosedur dan sistem Perubahan Konstitusi,
Alumni Bandung, 1979, hlm. 22.
[22] Ibid, hlm.341.
[24] J.H.A. Logemann, Keterangan-keterangan Baru tentang
Terjadinya Undang Undang Dasar Indonesia 1945, terjemahan Dardji
Darmodiharjo, Aries Lima, Jakarta, 1982, hlm.28-29
[25] Muhamad.Yamin, .loc.ct, hlm. 312.
[26] Ibid
[27] Ibid. Penulis menduga . Muhamad Yamin khawatir akan dikalahkan
dalam pemungutan suara, mengingat beberapa usul lainya juga kalah dalam
pemungutan suara. Sementara usulnya mengenai hak-hak dasar (grondrechten) juga dipending atas
permintaan Moh. Hatta.
[28] Pada waktu Ketua
Radjiman minta hadirin berdiri untuk menyatakan persetujuannya terhadap
Undang-undang Dasar,Pringgodigdo melihat Yamin belum berdiri. Mengapa anggota
Yamin ragu-ragu atau tetap menolak, tak dapat ditentukan berdasarkan
debat-debat yang mendahuluinya, Logeman, op.cit,
hlm. 14.
[29] Lihat Pasal 156 ayat
(1) Konstitusi RIS. Dalam konteks ini adalah pengujian terhadap undang-undang
negara bagian, karena Konstitusi RIS 1945 menganut federalism.
[31] Sri Soemantri, Hak
menguji…, op.cit, hlm 18.
[32] D.C.Yardley, Introduction to British Constitutional Law,
Butterword, London, 1984, hlm. 32.
[33] C.H. Mc Ilwain, Constitutionalism Ancien & Modern,
Cornel University Press, Ithacha, New
York, 1966, hlm 5.
[35]
Mr. Soenarko,
Susunan Negara Kita Sejak Proklamasi Negara Kesatuan, Buku I, Jambatan Jakarta,
1952. hlm. 96-97
[36]
Meski dalam
Pasal 119 ayat (2) Konstitusi RIS dinyatakan bahwa "Menteri-Menteri
bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik sendiri-sendiri
maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri.", tetapi ketentuan ini tidak
berlaku efektif karena adanya pembatasan dari Pasal 122 yang
berbunyi:"Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut Pasal 109 dan 110
tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing Menteri meletakan
jabatannya". Pasal 118 ayat (2) dimaksud baru berlaku bagi DPR hasil
pemilihan umum.
[40]
Oemar Seno
Adjie, Kekuasaan Kehakiman di Indonesia
Sejak Kembali ke UUD 1945, Makalah,
Seminar Ketatanegaraan 30 tahun kembali
ke UUD 1945. Unpad, 1989.
[42]
Menurut Undang-undang No.3 tahun 1959 tentang DPAS, Ketua DPAS dijabat oleh
Presiden.
[43] Oemar Seno Adjie,
loc.cit.
[44] Ibid, hlm. 9.
[45] Ibid, hlm. 15.
[46] Mauro Cappelletti, Judicial Review in the Contemporary World,
the Bobbs-Merril Company. Inc, 1971, hlm. 1-20.
[47]
Rodee-Anderson-Cristol-Greene,
Introduction to the Political Science,
Third Eddition, McGraw-Hill International Book Company. 1981, hlm.1133
menyatakan:"Basic to democratic
doctrine is the principle that judicial branch must be independent. This is
interpreted to mean that judges must be impartial and must be protected from
political influence or other pressures that might affect their decision."
[48]
Jika
diperhatikan bunyi Penjelasan UUD 1945, tampak banyak memuat pikiran-pikiran
Soepomo yang dikemukakannya dalam sidang-sidang BPUPK, bukan dalam rangka trias
politica. Sedangkan Soepomo sangat anti terhadap trias politica. Sekiranya hal
itu benar, maka penjelasan yang menyatakan kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan yang merdeka, sudah tentu bukan dalam rangka trias politika.
[50]
Ismail Sunny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Seminar
Hukum Nasional II, Buku II LPHN, 1968, hlm.20
[51] Seminar Hukum
Nasional ke-II tahun 1968, Jilid II, LPHN, hlm.76-77.
[52] Ibid
[53] Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia,
op.cit. hlm.61
[59]
Ibid
[62] Menurut
ketentuan Pasal 31A UU No. 3 Tahun 2009
permohonan dapat diajukan langsung ke Mahkamah Agung
[63]
Ketentuan
mengenai proses ini sekarang telah diterobos dan disederhanakan oleh Peraturan
Mahkamah Agung (PERMA) No.1 Tahun 1993
[64]
Bagir Manan, pembahasan terhadap Makalah Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia Sejak Kembali ke UUD 1945, Seminar Ketatanegaraan 30
Tahun Kembali ke UUD 1945, Fak.Hukum Unpad, 1989.hlm.11.
[65]
Ibid
[66]
Ibid
[67]
Dalam teori
perundang-undangan, tidak berlakunya asuatu peraturan bisa disebabkan dicabut
(dibatalkan), atau dikeluarkan peraturan baru yang bertentangan dengannya
(dibatalkan secara diam-diam), atau karena masa berlakunya habis, atau secara
faktual tidak dapat dijalankan.
[68]
Lihat hasil
Seminar Ketatanegaaan 30 Tahun Kembali ke Undang Undang Dasar 1945, Unversitas
Padjadjaran, 1989.
[70]
Leonard W.Levy,
Judicial Review, History and Democracy:
An Introduction dalam "Judicial Review and the Supreme Court",
Harper Publisher, New York, 1967. hlm.26.
[71]
Ibid
[72]
Ibid
[76] Lauren H.Tribe, loc.cit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar