Selasa, 22 Mei 2018

FORMAT UNDANG-UNDANG SETELAH UUD 1945 DIUBAH

FORMAT UNDANG-UNDANG SETELAH UUD 1945 DIUBAH
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pengantar
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 Asli menyatakan: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Rumusan pasal tersebut membawa konsekuensi terhadap format rumusan pembukaan dan penutup suatu undang-undang.
Kewenangan tersebut oleh MPR “digeser” kepada DPR pada saat UUD 1945 diubah. Hal tersebut tertera dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Pertama yang menetapkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Rumusan tersebut seharusnya membawa konsekuensi terhadap format dan rumusan pembukaan dan penutup undang-undang. Faktanya, walaupun wewenang membentuk undang-undang telah bergeser dari Presiden kepada DPR, format dan rumusan tersebut tidak berubah. Yang berubah hanya frasa Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Konsekuensi Perubahan Kewenangan
  1. Pejabat Pembentuk Undang-undang
Sebagaimana diketahui kerangka suatu peraturan perundang-undangan, khususnya kerangka undang-undang, terdiri dari:
A. Judul; B. Pembukaan; C. Batang tubuh; D. Penutup; E. Penjelasan (jika diperlukan) dan; F. Lampiran (jika diperlukan).
PEMBUKAAN sendiri terdiri atas: 1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum, dan 5. Diktum. Sementara BATANG TUBUH  meliputi: 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur 3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan), dan 5. Ketentuan Penutup.
Baik dalam rumusan undang-undang yang diterbitkan sebelum UUD 1945 diubah maupun dalam rumusan undang-undang setelah UUD 1945 diubah, rumusan jabatan pembentuk undang-undang adalah PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (ditulis dengan huruf kapital semua). Bila mengacu kepada ketentuan Pasal 5 UUD 1945 Asli, rumusan tersebut sangat tepat, karena yang berwenang membentuk undang-undang adalah Presiden. Namun, apabila mengacu kepada ketentuan UUD 1945 Perubahan Pertama, Pasal 20 ayat (1), bahwa DPR yang berwenang membentuk undang-undang, maka rumusan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal tersebut. Seharusnya rumusan yang ditulis pada pembukaan undang-undang tersebut adalah DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. bukan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Perubahan kewenangan tersebut seharusnya membawa konsekuensi terhadap format dan rumusan pembukaan undang-undang.
  1. Frasa sebelum diktum Memutuskan
Sebelum UUD 1945 diubah rumusan frasa sebelum diktum “memutuskan” dituliskan kalimat “Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Ditulis di tengah margin dengan penulisan sebagai berikut:
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Setelah UUD 1945 diubah, berdasarkan contoh yang dimuat dalam lampiran UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dituliskan kalimat:
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Rumusan tersebut terasa “rancu” karena ada dua frasa/kalimat PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, yaitu yang tercantum pada pembukaan dan sebelum kata “memutuskan”. Bukankah itu merupakan satu rangkaian pernyataan?
  1. Pejabat Yang Menandatangani
Konsekuensi lebih lanjut atas pernyataan bahwa yang berwenang membentuk undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, maka pejabat yang menandatangani undang-undang adalah Ketua DPR, bukan Presiden. Pengesahan Presiden dalam naskah undang-undang sebagai tanda tanganserta (counter sign). Jadi harus ada dua tanda tangan pejabat. Sadar atau tidak hal itu adalah “model” atau “pola” dalam sistem pemerintahan parlementer. Pembubuhan tanda tangan Presiden (sebagai Kepala Negara) adalah sebuah bukti pengesahan, sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 Perubahan Pertama.  Tanpa pengesahan Presiden berarti prosedur pembentukan undang-undang tidak sesuai dengan ketentuan UUD, Jadi dapat diuji formal.

  1. Undang-undang Tanpa Pengesahan Presiden

Sejarah mencatat bahwa pada saat UUD 1945 belum diubah, tidak pernah ada undang-undang tanpa pengesahan Presiden. Setelah UUD 1945 diubah, dimulai sejak Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden, terdapat undang-undang tanpa tanda tangan Presiden. Terakhir, kasus UU MD3 yang luput dari tanda tangan Presiden Joko Widodo. Secara konstiturional memang sah, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5). Namun, bagaimana dengan format dan rumusan frasa sebagaimana disebutkan di muka. Tepatkah pencantuman frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA tersebut? Bukankah Presiden tidak menyetujui undang-undang tersebut?

Itulah beberapa konsekuensi dalam perancangan undang-undang, menyangkut format dan rumusan naskah dalam pembukaan dan penutup suatu undang-undang. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Perubahan Pertama. Terlepas dari masalah itu, seharusnya suatu undang-undang dibentuk atas persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah (Presiden), harus ada kesepahaman antara legislatif dan eksekutif, karena Indonesia tidak menganut paham pemisahan kekuasaan antara DPR dan Presiden dalam membentuk undang-undang.


Bandung, 20 Mei 2018.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...