Jumat, 18 Mei 2018

DEWAN PERWAKILAN DAERAH: LEMBAGA NEGARA MAXI, WEWENANG MINI


DEWAN PERWAKILAN DAERAH:
LEMBAGA NEGARA MAXI, WEWENANG MINI
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja


A.   Pengantar

Dalam UUD 1945 Asli, yang ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945,[1] tidak dikenal lembaga negara bernama Dewan Perwakilan Daerah. Ide dasarnya mungkin, untuk mengganti keberadaan anggota-anggota MPR yang berasal dari Utusan Daerah yang dipilih oleh DPRD Provinsi Daerah Tingkat I.
Sebelum UUD 1945 diubah, keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR ditambah utusan-utusan dari Daeah dan utusan-utusan Golongan.  Utusan daerah  dipilih oleh DPRD Provinsi (Daerah Tingkat I)  termasuk Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, yang karena jabatannya (ex-officio) menjadi anggota MPR. Utusan golongan diangkat oleh Presiden. Konstruksi demikian dianggap tidak demokratis, bahkan menimbulkan sangkaan bahwa Gubernur khususnya, dan semua anggota MPR yang diangkat oleh Presiden, pada saat pemilihan Presiden oleh MPR akan memberikan dukungannya kepada Presiden.  Salah satu upaya agar terjadi cara pemilihan yang demokratis, maka MPR diisi dengan wakil-wakil yang dipilih secara langsung oleh rakyat, dan Presiden tidak dipilih lagi oleh MPR, melainkan dipilih secara langsung oleh rakyat.
Dewan Perwakilan Daerah (biasa disebut dengan singkatan DPD) adalah lembaga negara yang keberadaannya ditetapkan dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat, yaitu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E ayat (4). Dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Keempat dinyatakan ”Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum,[2] dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”(cetak miring dari Penulis). Dengan demikian maka anggota Dewan Perwakilan Daerah merangkap sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga baru yang diciptakan pada saat UUD 1945 diubah.  UUD 1945 Asli memposisikan MPR sebagai lembaga negara tunggal, artinya sistem badan perwakilan yang dianut adalah sistem mono atau uni kameral. Dengan perkataan lain, keberadaan DPD di luar konsep asli UUD 1945.
Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Jumlah seluruh anggota DPD  tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR. Tentunya menjadi pertanyaan, apa argumentasinya pembatasan jumlah anggota DPD tersebut? DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Susunan dan kedudukan DPD diatur dengan Undang-Undang. UUD 1945 Perubahan Ketiga tidak menetapkan  berapa jumlah anggota DPD dari masing-masing provinsi tersebut. Undang-undang organik yang mengatur tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menetapkan banyaknya anggota DPD dari masing-masing provinsi, yaitu empat orang untuk setiap provinsi.[3]
B.   Fungsi Dewan Perwakilan Daerah
DPD mempunyai fungsi:[4]
a. pengajuan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. ikut dalam pembahasan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
c. pemberian pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama; serta
d. pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama.
C.  Wewenang dan Tugas Dewan Perwakilan Daerah
Wewenang dan tugas DPD adalah:[5]
a. mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. menyusun dan menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
f. menyampaikan hasil pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti;
g. menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h. memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
i. menyusun program legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dengan ditetapkannya DPD dalam UUD 1945 dapat dikatakan bahwa lembaga tersebut tergolong vital, penting keberadaannya. Namun, bila memperhatikan fungsi, wewenang dan tugasnya, hanya sebagai pembantu DPR. DPD hanya ikut membahas RUU apabila diundang oleh DPR, karena yang berwenang menetapkan pembahasan RUU adalah DPR. DPD tidak memiliki wewenang memberikan keputusan suatu RUU. Putusan DPD tidak turut menentukan nasib suatu RUU. Wewenang DPD dalam fungsi legislasi dan anggaran sangat minim bahkan nol sama sekali.
D.   DPD bukan badan legislatif?
DPD dibentuk untuk meningkatkan peran serta daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara khususnya pembentukan undang-undang dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, termasuk gagasan membentuk sistem dua kamar.[6] Dengan demikian maka DPD memiliki tugas berkaitan dengan pembentukan undang-undang dan tugas supervisi atas pelaksanaan undang-undang mengenai materi tertentu.

Tugas DPD berkaitan dengan pembentukan undang-undang ialah mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahas RUU mengenai materi tertentu. Adapun yang dimaksud RUU dengan materi tertentu tersebut adalah yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.  DPD dapat ikut membahas RUU berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapat dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.[7] Perkataan ”dapat ikut membahas” mengandung makna bahwa apabila DPR tidak mengundangnya, karena yang menyelenggaran sidang untuk membahas RUU adalah DPR, maka DPD tidak dapat memberikan ”masukan” dan atau memberikan penjelasan, walaupun RUU tersebut berasal dari DPD.[8] 

Melihat wewenang DPD sebagaimana diuraikan di atas, maka DPD hanya sebagai badan pembantu DPR, sebagai badan komplementer, pelengkap penderita. DPD tidak memiliki fungsi untuk memutus, menetapkan sesuatu hal berkaitan dengan masalah legislasi. Dapat dipastikan DPD bukan badan yang memiliki fungsi legislasi (legislation function). Fungsi legislasi dipegang/dimiliki oleh DPR bersama Presiden. Hal itu tersurat dalam Pasal 20  UUD 1945 Perubahan Pertama. Jadi sangat tepat jika DPD digolongkan sebagai “auxiliary body”, “auxiliary state’s organ”, badan pembantu. DPD tidak tergolong sebagai lembaga negara utama (main state’s organ”). DPD tidak memiliki kesetaraan kedudukan dengan DPR. DPD adalah lembaga Negara maxi dengan kewenangan mini. Kenyataan semacam itulah yang pernah dikeluhkan oleh pimpinan DPD sejak dijabat oleh Ginanjar Kartasasmita.
Bagaimana kedudukan, fungsi dan wewenang DPD kemudian hari.  Hanya “political will” dari MPR yang akan mengubahnya. Apakah fungsi dan wewenangnya mau ditingkatkan atau malah mau dibinasakan (didelete)? Kita tunggu saja!

E.   Kesimpulan

a.    DPD bukan lembaga negara utama, meskipun ditetapkan dalam UUD 1945;
b.    Tidak ada kesetaraan kedudukan DPD dengan DPR.
c.    DPD hanya sebagai lembaga bantu atau lembaga penunjang.




Bandung, 17 Mei 2018



[1] Sebagaimana dimuat dalam Berita Republik No.II Tahun 1947 tertanggal 15 Februari 1946.
[2] Seharusnya kata-kata “dipilih melalui pemilihan umum” dihapuskan, karena overlap dengan ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang menyatakan: Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
[3] Undang-undang organik yang mengatur tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD adalah UU No. 2 Tahun 2018 sebagai pengganti dari UU No. 17 Tahun 2014. Menurut Pasal 252 UU No. 17 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU No. Tahun 2018, jumlah angguta DPD untuk setiap propinsi adalah 4(empat) orang.
[4] Pasal 248 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 2 Tahun 2018.
[5] Pasal 249 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2014 jo. UU No. 2 Tahun 2018.
[6] Bagir Manan,  DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm 3.
[7][7] Pasal 22D menyatakan:
(1)    Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2)   Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapat dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.
[8] Praktik yang berjalan selama ini dalam membahas RUU di DPR, DPD sebagai lembaga tidak pernah terlibat atau dilibatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...