DEWAN PERWAKILAN DAERAH:
LEMBAGA NEGARA MAXI, WEWENANG MINI
Oleh:
Rosjidi Ranggawidjaja
A.
Pengantar
Dalam UUD 1945 Asli, yang
ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945,[1]
tidak dikenal lembaga negara bernama Dewan Perwakilan Daerah. Ide dasarnya
mungkin, untuk mengganti keberadaan anggota-anggota MPR yang berasal dari
Utusan Daerah yang dipilih oleh DPRD Provinsi Daerah Tingkat I.
Sebelum UUD 1945 diubah, keanggotaan
MPR terdiri dari anggota DPR ditambah utusan-utusan dari Daeah dan utusan-utusan
Golongan. Utusan daerah dipilih oleh DPRD Provinsi (Daerah Tingkat I) termasuk Gubernur Kepala Daerah Tingkat I,
yang karena jabatannya (ex-officio) menjadi
anggota MPR. Utusan golongan diangkat oleh Presiden. Konstruksi demikian
dianggap tidak demokratis, bahkan menimbulkan sangkaan bahwa Gubernur
khususnya, dan semua anggota MPR yang diangkat oleh Presiden, pada saat
pemilihan Presiden oleh MPR akan memberikan dukungannya kepada Presiden. Salah satu upaya agar terjadi cara pemilihan
yang demokratis, maka MPR diisi dengan wakil-wakil yang dipilih secara langsung
oleh rakyat, dan Presiden tidak dipilih lagi oleh MPR, melainkan dipilih secara
langsung oleh rakyat.
Dewan Perwakilan Daerah (biasa
disebut dengan singkatan DPD) adalah lembaga negara yang keberadaannya
ditetapkan dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga dan Keempat, yaitu sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E ayat (4).
Dalam Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Keempat dinyatakan ”Majelis
Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota
Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum,[2]
dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”(cetak miring dari Penulis).
Dengan demikian maka anggota Dewan Perwakilan Daerah merangkap sebagai anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Jadi Dewan Perwakilan Daerah merupakan lembaga
baru yang diciptakan pada saat UUD 1945 diubah. UUD 1945 Asli memposisikan MPR sebagai lembaga
negara tunggal, artinya sistem badan perwakilan yang dianut adalah sistem mono
atau uni kameral. Dengan perkataan lain, keberadaan DPD di luar konsep asli UUD
1945.
Anggota
DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Jumlah seluruh anggota
DPD tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota
DPR. Tentunya menjadi pertanyaan, apa argumentasinya pembatasan
jumlah anggota DPD tersebut? DPD bersidang sedikitnya sekali dalam setahun. Susunan
dan kedudukan DPD diatur dengan Undang-Undang. UUD 1945 Perubahan Ketiga tidak menetapkan
berapa jumlah anggota DPD dari
masing-masing provinsi tersebut. Undang-undang organik yang mengatur tentang
MPR, DPR, DPD dan DPRD yang menetapkan banyaknya anggota DPD dari masing-masing
provinsi, yaitu empat orang untuk setiap provinsi.[3]
B. Fungsi Dewan Perwakilan Daerah
DPD mempunyai fungsi:[4]
a.
pengajuan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. ikut dalam pembahasan
rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan
daerah;
c. pemberian pertimbangan
kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang anggaran pendapatan dan belanja
negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan
agama; serta
d. pengawasan atas
pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan
agama.
C.
Wewenang dan Tugas Dewan Perwakilan
Daerah
Wewenang dan tugas DPD
adalah:[5]
a.
mengajukan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah kepada DPR;
b. ikut membahas rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. menyusun dan
menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang yang berasal
dari DPR atau Presiden yang berkaitan dengan hal sebagaimana dimaksud dalam
huruf a;
d. memberikan pertimbangan
kepada DPR atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. dapat melakukan
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam, dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak,
pendidikan, dan agama;
f. menyampaikan hasil
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan,
pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan undang-undang
APBN, pajak, pendidikan, dan agama kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk
ditindaklanjuti;
g. menerima hasil
pemeriksaan atas keuangan negara dari BPK sebagai bahan membuat pertimbangan
kepada DPR tentang rancangan undang-undang yang berkaitan dengan APBN;
h. memberikan pertimbangan
kepada DPR dalam pemilihan anggota BPK; dan
i. menyusun program
legislasi nasional yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Dengan ditetapkannya DPD dalam UUD 1945 dapat
dikatakan bahwa lembaga tersebut tergolong vital, penting keberadaannya. Namun,
bila memperhatikan fungsi, wewenang dan tugasnya, hanya sebagai pembantu DPR. DPD
hanya ikut membahas RUU apabila diundang oleh DPR, karena yang berwenang menetapkan
pembahasan RUU adalah DPR. DPD tidak memiliki wewenang memberikan keputusan
suatu RUU. Putusan DPD tidak turut menentukan nasib suatu RUU. Wewenang DPD
dalam fungsi legislasi dan anggaran sangat minim bahkan nol sama sekali.
D. DPD bukan badan
legislatif?
DPD dibentuk untuk meningkatkan
peran serta daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara khususnya
pembentukan undang-undang dan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan,
termasuk gagasan membentuk sistem dua kamar.[6]
Dengan demikian maka DPD memiliki tugas berkaitan dengan pembentukan
undang-undang dan tugas supervisi atas pelaksanaan undang-undang mengenai
materi tertentu.
Tugas DPD berkaitan dengan
pembentukan undang-undang ialah mengajukan RUU kepada DPR dan ikut membahas RUU
mengenai materi tertentu. Adapun yang dimaksud RUU dengan materi tertentu
tersebut adalah yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
DPD dapat ikut membahas RUU berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah, serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
atas rancangan undang-undang anggaran pendapat dan belanja negara dan rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan dan agama.[7]
Perkataan ”dapat ikut membahas” mengandung makna bahwa apabila DPR tidak
mengundangnya, karena yang menyelenggaran sidang untuk membahas RUU adalah DPR,
maka DPD tidak dapat memberikan ”masukan” dan atau memberikan penjelasan,
walaupun RUU tersebut berasal dari DPD.[8]
Melihat wewenang DPD
sebagaimana diuraikan di atas, maka DPD hanya sebagai badan pembantu DPR,
sebagai badan komplementer, pelengkap penderita. DPD tidak memiliki fungsi
untuk memutus, menetapkan sesuatu hal berkaitan dengan masalah legislasi. Dapat
dipastikan DPD bukan badan yang memiliki fungsi legislasi (legislation function). Fungsi legislasi dipegang/dimiliki oleh DPR
bersama Presiden. Hal itu tersurat dalam Pasal 20 UUD 1945 Perubahan Pertama. Jadi sangat tepat
jika DPD digolongkan sebagai “auxiliary body”, “auxiliary state’s organ”, badan pembantu. DPD tidak tergolong
sebagai lembaga negara utama (main state’s
organ”). DPD tidak memiliki kesetaraan kedudukan dengan DPR. DPD adalah
lembaga Negara maxi dengan kewenangan mini. Kenyataan semacam
itulah yang pernah dikeluhkan oleh pimpinan DPD sejak dijabat oleh Ginanjar
Kartasasmita.
Bagaimana kedudukan,
fungsi dan wewenang DPD kemudian hari.
Hanya “political will” dari
MPR yang akan mengubahnya. Apakah fungsi dan wewenangnya mau ditingkatkan atau
malah mau dibinasakan (didelete)? Kita tunggu saja!
E.
Kesimpulan
a. DPD bukan lembaga
negara utama, meskipun ditetapkan dalam UUD 1945;
b. Tidak ada kesetaraan
kedudukan DPD dengan DPR.
c. DPD hanya sebagai
lembaga bantu atau lembaga penunjang.
Bandung, 17 Mei 2018
[2]
Seharusnya kata-kata “dipilih melalui pemilihan umum” dihapuskan, karena
overlap dengan ketentuan Pasal 22C ayat (1) yang menyatakan: Anggota Dewan
Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
[3] Undang-undang organik yang mengatur tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD adalah UU No. 2 Tahun 2018 sebagai pengganti dari UU No. 17 Tahun
2014. Menurut Pasal 252 UU No. 17 Tahun 2014
sebagaimana telah diubah dengan UU No. Tahun 2018, jumlah angguta DPD untuk
setiap propinsi adalah 4(empat) orang.
(1)
Dewan
Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan
undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah,
pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan
keuangan pusat dan daerah.
(2)
Dewan
Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang berkaitan dengan
otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta memberikan
pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang
anggaran pendapat dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan pajak, pendidikan dan agama.
[8]
Praktik yang
berjalan selama ini dalam membahas RUU di DPR, DPD sebagai lembaga tidak pernah
terlibat atau dilibatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar