Sabtu, 19 Mei 2018

ATRIBUSI WEWENANG MEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


ATRIBUSI WEWENANG
MEMBENTUK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

 Istilah Atribusi, Delegasi, dan Mandat.

Istilah atribusi berasal dari bahasa Belanda “attributie”. Menurut HD van Wijk/Willem Konijnenbelt, attributie: toekenning van een bestuursbevoegheid door van wetgever aan een bestuursorgaan, (atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan). Atribusi berkenaan dengan penyerahan wewenang baru.[1] Hal itu berbeda dengan delegasi (delegatie).   Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya. Delegasi menyangkut pelimpahan wewenang yang telah ada (oleh organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada organ lain. Jadi delegasi secara logis selalu didahului oleh atribusi.[2] 
Dalam Hukum Administrasi (Negara) selain istilah atribusi dan delegasi dikenal pula istilah mandat (mandaat). Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Mandat  berarti suruhan (opdracht) pada suatu alat perlengkapan (organ) untuk melaksanakan kompetensinya sendiri, maupun berupa tindakan hukum oleh pemegang sesuatu wewenang dengan mana diberikan kekuasaan penuh kepada sesuatu subyek lain untuk melaksanakan kompetensi si pemberi mandat, atas nama si pemberi mandat itu.[3] Dalam mandat, tanggung jawab ada pada si pemberi mandat, bukan pada si penerima mandat, walaupun kewenangannya telah beralih pada si penerima mandat, karena si penerima mandat hanyalah suruhan. Dalam konteks ini Bagir Manan menjelaskan “Mandat adalah pemberian wewenang dari atasan kepada bawahan dalam satu satuan organisasi untuk bertindak atau membuat keputusan untuk dan atas nama atasan yang memberikan wewenang. Segala tanggung jawab pada mandat tetap ada pada pemberi wewenang.”[4] Dalam (ilmu) hukum perundang-undangan tidak dikenal adanya mandat.  
Atribusi terdapat apabila UUD atau UU (dalam arti formal) memberikan kepada suatu badan dengan kekuasaan sendiri dan tanggung jawab sendiri (mandiri) wewenang membuat/membentuk peraturan perundang-undangan.[5] Jadi kewenangan atribusi dapat lahir dari UUD atau dari undang-undang.
Atribusi Wewenang dan Atribusi Materi Perundang-undangan
Sementara itu menurut Hamid S Attamimi atribusi kewenangan perundang-undangan diartikan penciptaan kewenangan (baru) oleh konstitusi/Grondwet  atau oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang dibentuk baru untuk itu.[6]
Dalam literatur Belanda dikenal istilah ”attributie van rechtsmacht”. Khususnya dalam perundang-undangan disebut ”attributie van wetgevendemacht” atau ”attributie van wetgevendebevoegdheid”. Sering diartikan sebagai pemberian kewenangan kepada badan atau lembaga atau pejabat (ambt) negara tertentu, baik oleh pembentuk Undang-Undang Dasar maupun pembentuk Undang-undang. Dalam hal ini berupa penciptaan wewenang baru untuk dan atas nama yang diberi wewenang tersebut. Dengan pemberian wewenang tersebut maka melahirkan suatu ”original power” atau ”originare van macht” yang kemudian melahirkan suatu ”original power of legislation” atau originare van wetgevendemacht”. Dengan demikian dalam atribusi terdapat atau lahir suatu kewenangan baru (yang sebelumnya tidak ada).
Baik atribusi maupun delegasi menyangkut dua hal, yaitu berkaitan dengan “wewenang” dan berkaitan dengan “substansi” atau materi yang diberikan atau didelegasikan. UUD 1945 misalnya, memberikan atribusi wewenang kepada DPR dan Presiden dalam membentuk undang-undang.[7] Selain itu UUD 1945 juga memberikan wewenang untuk membentuk undang-undang dengan materi (substansi) tertentu, misalnya mengenai susunan dan kedudukan MPR,DPR,DPD dan DPRD; mengenai syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden; mengenai pajak; pemilihan umum; dsbnya. Hal tersebut dikenal dengan undang-undang organik (organic law, organiek wet). Dalam hal ini atribusian kepada undang-undang organik meliputi pula atribusi materi muatannya.
Ada juga atribusian hanya menyangkut wewenangnya saja, seperti wewenang Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 22 UUD 1945); wewenang Pemerintahan Daerah menetapkan peraturan daerah (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 Perubahan Kedua).[8] Sementara itu, wewenang Presiden menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) tidak diatur dalam UUD 1945. Atribusi wewenang menetapkan Perpres diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Delegasi dalam Perundang-undangan
Delegasi di bidang perundang-undangan dilakukan oleh undang-undang ke bawah. Kongkritnya dari undang-undang ke Presiden (menetapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden), dan pejabat/badan/lembaga yang ditentukan dalam undang-undang tersebut. Delegasi tersebut menyangkut wewenang dan materi muatannya. Khusus mengenai wewenang menetapkan Peraturan Pemerintah telah diatribusikan oleh Pasal 5 UUD 1945,  tetapi mengenai materinya didelegasikan oleh undang-undang. Demikian juga wewenang untuk menetapkan Peraturan Presiden ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun 2011.
Tiga contoh pendelegasian wewenang di bawah ini,  memperlihatkan bentuk hukum/jenis peraturan perundang-undangan, dan materi muatan yang ditetapkannya.
1.    Ketentuan mengenai tata cara memperoleh informasi ketenagakerjaan dan penyusunan serta pelaksanaan perencanaan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. (Pasal 8 ayat (3) UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN);
2.    Ketentuan lebih lanjut mengenai penjabat sekretaris Daerah diatur dalam Peraturan Presiden. (Pasal 214 ayat (5) UU NOMOR 23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH)
3.    Ketentuan mengenai tata keda KPU, KPU provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota diatur dengan peraturan KPU. (Pasal 9 ayat (4) UU NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PEMILIHAN UMUM)
Dari ketiga contoh di atas memperlihatkan adanya pendelegasian jenis peraturan yang mewadahinya dan materi muatan yang ditetapkannya. Pendelegasian tersebut selain menyangkut materi muatan, juga menyangkut pejabat yang diberi delegasi (delegans).
Demikianlah ulasan singkat mengenai “delegation of rule making power” di Indonesia.




---------------------------


[1] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm 104-105
[2] Ibid
[3] MUSTAMIN DG MATTUTU, Pengertian “Delegasi wewenang perundang-undangan” sebagaimana dapat ditemukan dalam literatur dan dalam Praktek Beberapa Negara Asing”, tanpa tahun dan penerbit
[4] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, FH UII, Yogyakarta,2001, hlm 55
[5] Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997, hlm 210
[6] Hamid S Attamini, Peranan Keputusan Poresiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 352
[7] Pasal 20 UUD 1945 Perubahan Pertama.
[8] UUD 1945 hanya mengenal  5 jenis peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Dasar, Undang-undang, Peraturan Pemeirntah Pengganti Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peratran Daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...