SIAPA BERWENANG MENGUJI PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG?
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
PENGANTAR
UUD 1945 Perubahan mengatribusikan wewenang menguji udang-undang terhadap undang-undang dasar kepada Mahkamah Konstusi (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga) dan wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang kepada Mahkamah Agung (Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga). Tentu saja pengartian undang-undang dimaksud adalah undang-undang dalam arti formal (wet in formele zin), sebagaimana diatur dalam Pasal 20 UUD 1945 Perubahan Pertama, bukan undang-undang dalam arti material (wet in materiele zin atau wettelijke regeling), sebab perartian wet in materiele zin, sangat luas. Undang-undang dalam arti material berdasarkan urutan dalam UU No. 12 Tahun 2011 akan termasuk UUD, TAP MPR, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berada di bawah undang-undang.
Sebagaimana diketahui bahwa produk hukum negara yang berupa keputusan-keputusan norma hukum terkualifikasi dalam:
- Keputusan yang bersifat mengatur (regeling) menghasilkan produk peraturan (regels);
- Keputusan hukum yang bersifat menentukan atau menetapkan sesuatu secara administratif menghasilkan keputusan administrasi negara (beschikking);
- Keputusan yang bersifat menghakimi sebagai hasil dari proses peradilan (adjudication) menghasilkan putusan (vonnis);
- Aturan kebijakan (policy rules, beleidsregel) atau quasi peraturan, dalam bentuk peraturan, tetapi isinya bersifat mengatur.
Sudah dapat dipastikan bahwa PERPU tergolong kedalam butir a, yaitu sebagai produk hukum berupa peraturan (regeling). Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditetapkan dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966, TAP MPR No. III/MPR/2000, UU No, 10 Tahn 2004 jo. UU No. 12 Tahn 2011. PERPU tergolong sebagai peratran perundang-undangan yang mengikat secara umum (algemene bindende voorschriften).
Perbedaan PERPU dengan Undang-Undang adalah dari kondisi pembentukannya. PERPU dibentuk dalam kondisi atau keadaan yang mendesak. Dalam hal ini UUD 1945 menyebutnya “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Undang-undang tidak dibentuk dalam “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. PERPU tidak dapat disamakan dengan undang-undang, meskipun kedudukan dan materi muatannya sama dengan undang-undang. Walaupun demikian, PERPU bukan Undang-Undang (dalam arti formal). PERPU adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan diberlakukan oleh Presiden tanpa persetujuan sebelumnya oleh DPR. PERPU adalah peraturan negara yang ditetapkan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah (Presiden) dalam keadaan genting, yang memaksa Pemerintah (Presiden) untuk bertindak lekas dan tepat (lihat penjelasan Pasal 22 UUD 1945 Asli). Jadi PERPU ada berdasarkan “hak Presiden untuk menetapkan peraturan darurat (noodverordeningsrecht).
Persyaratan material yang harus dipenuhi dalam mengeluarkan PERPU adalah “dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Sementara syarat formalnya adalah bahwa PERPU tersebut harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut”, dan jika PERPU itu tidak mendapat persetujuan dari DPR, maka PERPU tersebut harus dicabut”. Dari rumusan tersebut harus ditafsiran bahwa PERPU berada dibawah pengawasan DPR, bukan pada lembaga negara lain. Dengan kata lain UUD 1945 telah mengatribusikan wewenang menilai dan mencabut PERPU kepada DPR. Memberikan wewenang menguji PERPU kepada lembaga negara lain, sama saja dengan mengubah UUD 1945. Wewenang mengubah dan menetapkan UUD 1945 adalah wewenang MPR.
PERMASALAHAN
Untuk tidak memperluas pembahasan mengenai judul di atas, maka penulis membatasinya dengan mengajukan 2 (dua) permasalahan utama, yaitu:
- Siapa yang berwenang menguji PERPU, secara material?
- Apa solusi yuridis yang dapat dilakukan untuk mengatasi agar DPR tidak membiarkan PERPU “mengambang” dalam arti tidak dibahas sehingga tidak disetujui dan juga tidak ditolak?
PEMBAHASAN
- Pengertian dan Makna Perlunya ditetapkan PERPU
Sebagaimana diketahui, pada saat MPR melakukan perubahan, Pasal 22 UUD 1945 Asli luput dari perhatian MPR, sehingga pasal tersebut tidak diubah dan tetap berlaku. Rumusan Pasal 22 tersebut adalah sbb:
- Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai Pengganti Undang-undang.
- Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
- Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
Kemudian Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 tersebut menguraikan:
Pasal ini mengenai “noodverordeningsrecht” Presiden. Aturan sebagai ini memang perlu diadakan agar supaya keselamatan Negara dapat dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa Pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, Pemerintah tidak akan terlepas dari pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu Peraturan Pemerintah dalam pasal ini, yang kekuatannya sama dengan Undang-Undang harus disahkan pula oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam konteks penjelasan Pasal 22 UUD 1945 tersebut, Hamid S Attamimi, memberi tafsiran:
Noodverordeningsrecht Presiden dimaksud dalam Pasal 22 UUD 1945 ialah kewenangan Presiden untuk membentuk peraturan yang mengganti undang-undang dan karena itu setingkat Undang-undang serta memberlakukannya sebelum memperoleh persetujuan DPR. Oleh karena itu terhadap PERPU harus segera dimintakan persetujuan DPR setelah ditetapkannya. Apabila terhadap Undang-undang, persetujuan DPR diberikan terlebih dulu sebelum berlakunya, maka terhadap PERPU persetujuan itu diberikan setelah berlakunya. (“Pemberian persetujuan” hendaknya diartikan memberikan dan tidak memberikan persetujuan tersebut).
Pada tulisan yang lain Hamid S Attamimi dengan tegas menyatakan: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang merupakan peraturan yang setingkat dengan undang-undang, yang dibuat dalam kegentingan yang memaksa, dibentuk oleh Presiden dan mempunyai fungsi yang sama dengan Undang-undang. Oleh karena PERPU merupakan Peraturan Pemerintah yang menggantikan Undang-undang, maka materi muatannya adalah sama dengan materi muatan dari Undang-undang”. Hirarki, fungsi dan materi muatan Perpu sama dengan Undang-undang.
Hamid S Attamimi tidak memberikan penjelasan, apakah undang-undang yang diganti itu harus undang-undang yang sudah ada atau undang-undang yang belum ada (belum dibentuk). Yang jelas bahwa pembentukan PERPU dilakukan dalam keadaan sangat membutuhkan aturan tersebut. Dalam konteks ini penulis lebih cenderung mengartikan bahwa PERPU bukan hanya sekedar mengganti undang-undang yang sudah ada yang perlu penyesuaian dengan keadaan, tetapi juga undang-undang yang diprediksi perlu ada, karena keadaan belum memungkinkan untuk dibentuk, tetapi peraturan tersebut sangat dibutuhkan, maka untuk sementara, untuk mengisi kekosongan peraturan perundang-undangan (wetsvacuum), dikeluarkanlah PERPU.
PERPU mempunyai kekuatan berlaku dan mengikat sama dengan undang-undang. Hal itu tersirat dan tersurat dalam Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 yang menyebutkan “kekuatannya sama dengan undang-undang”. Apabila kekuatan dan kedudukannya sama dengan undang-undang maka materi muatannya pun harus sama dengan materi yang dapat diatur oleh undang-undang. Yang berbeda adalah keadaan kondisi materiil yang melatarbelakangi pembentukannya, dan persyaratan persetujuan DPR. Pada PERPU persetujuan DPR diberikan setelah diberlakukan dan diundangkan, sedangkan untuk undang-undang persetujuan DPR diberikan sebelum berlaku dan diundangkan.
Perlu kiranya dijadikan bahan renungan pula pendapat Bagir Manan berkaitan dengan PERPU tersebut, sebagaimana diuraikan sebagai berikut:
Persoalannya: apakah hal ikhwal kegentingan yang memaksa tersebut? Ada dua cirri kegentingan yang memaksa yaitu ada krisis dan atau kemendesakan. Suatu krisis, apabila ada keadaan yang menimbulkan gangguan dan bersifat mendadak ( a grave and sudden disturbance). Sedangkan kemendesakan yaitu apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak diperhitungkan sebelumnya, dan menuntut suatu tindakan atau pengaturan segera. Perpu berderajat sama dengan undang-undang, karena itu segala status, sifat, dan kekuatan undang-undang ada pada Perpu (walaupun hanya untuk sementara).
Dari uraian Bagir Manan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa syarat kegentingan yang memaksa dalam pembentukan PERPU diartikan adanya krisis dan kemendesakan. Penetapan adanya krisis dan kemendesakan tersebut ditentukan berdasarkan penilaian subyektif dari Presiden. Oleh karenanya ada yang berpandangan bahwa PERPU adalah peraturan yang bersifat kediktatoran. Untuk mencegah hal itu UUD 1945 menentukan perlu adanya pengawasan dari DPR berupa persetujuan atau penolakan (tidak menyetujui). Sebenarnya sifat kediktatoran tersebut sangat kecil apabila DPR melakukan fungsinya dengan baik. DPR tidak boleh menjadi “tukang stempel”, dalam arti mengiyakan segala tindakan Presiden. Implementasi dari fungsi pengawasan DPR harus dilakukan dengan baik dan obyektif.
Bila demikian maka tidak ada konklusi lain selain harus dipahami bahwa kedudukan PERPU adalah sederajat dengan Undang-undang. Tindakan yang sangat keliru, menempatkan PERPU di bawah Undang-undang. Hanya saja perlu dipahami bahwa PERPU ditetapkan dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa. (vide Pasal 22 ayat (1) UUD 1945). PERPU dibentuk dan ditetapkan dalam keadaan yang berbeda dengan pembentukan undang-undang. PERPU ditetapkan dan diberlakukan terlebih dahulu, baru kemudian pada persidangan DPR berikutnya dibahas oleh DPR untuk disetujui atau ditolak. Persamaannya adalah baik Undang-undang maupun Perpu berdasar kepada fungsi pengaturan (dalam teori Trias Politica termasuk lingkup kekuasaan legislatif/pouvoir legislatif) oleh negara, yakni pengaturan dalam wujud peraturan perundang-undangan. Fungsi pengaturan berupa Undang-undang dan PERPU adalah implementasi dari “pouvoir legislatif” atau lingkup kewenangan “wetgeving”. Baik Undang-undang maupun PERPU berfungsi untuk (antara lain) mengatur lebih lanjut hal-hal yang tegas-tegas diminta oleh ketentuan UUD dan (mungkin) Ketetapan MPR, ataupun mengatur lebih lanjut hal-hal yang secara implisit diminta oleh Undang-Undang Dasar. PERPU bukan peraturan untuk mengatur lebih lanjut atau menjalankan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang. Peraturan untuk menjalankan undang-undang, untuk mengatur lebih lanjut ketentuan dalam Undang-undang, baik secara tegas diminta atau tidak, adalah Peraturan Pemerintah (PP). Sebagaimana dituliskan dalam Pasal 5 ayat (2) UUD 1945 bahwa Peraturan Pemerintah adalah peraturan untuk menjalankan Undang-undang. Jadi dalam UUD 1945 terdapat dua macam peraturan pemerintah, yaitu Peraturan Pemerintah (biasa disingkat PP) untuk menjalankan undang-undang dan peraturan pemerintah yang sederajat dengan undang-undang, yakni peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (biasa disingkat Perpu).
- Siapa yang secara konstitusional berwenang menguji PERPU?
UUD 1945 telah secara tegas memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Ayat (2) dan (3) Pasal 22 UUD 1945 menetapkan bahwa penilaian atas PERPU yang ditetapkan oleh Presiden berada pada DPR. Ungkapan yang menyatakan: Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut dan Jika tidak mendapat persetujuan, maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut; mengandung makna bahwa DPR wajib membahas dan memberi putusan berupa persetujuan atau tidak menyetujui (menolak).
Jadi secara letterlijk sudah tidak dapat dibantah lagi bahwa DPR lah yang secara konstitusional memiliki wewenang untuk menilai atau menguji dan memutuskan, menyetujui atau menolak PERPU. Dasar konstitusional itu harus dipatuhi oleh semua lembaga negara. Tidak boleh disimpangi, atau diterobos melalui upaya inkonstitusional, kecuali apabila MPR mengubahnya.
Dalam praktik terjadi upaya pengujian PERPU oleh MK, sebagaimana tercatat dalam PUTUSAN Nomor 138/PUU-VII/2009 tertanggal 1 Pebruari 2010 tentang pengujian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5051).
Meskipun permohonan pemohon tidak dapat dikabulkan oleh MK, tetapi ternyata bahwa PERPU dapat diuji oleh MK. Dari uraian dalam Putusan tersebut tersirat bahwa MK berwenang menguji PERPU. Memang ada alasan berbeda (concurring opinion) dan pendapat berbeda (dissenting opinion) dari dua Hakim Konstitusi, yaitu dari Moh. Mahfud MD dan Muhammad Alim.
Terhadap pendapat bahwa PERPU dapat duji oleh MK, penulis sangat tidak sependapat, karena:
1). UUD 1945 sebagaimana telah diuraikan dimuka telah mengatribusikan wewenang menguji PERPU kepada DPR. Hak menguji terhadap PERPU berada pada domein DPR (legislative review).
2). Bahwa MK menurut ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga, hanya berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
3). Bahwa pengujian PERPU oleh MK sama dengan mengubah UUD 1945, sementara yang berwenang mengubah UUD 1945 adalah MPR, bukan MK.
4). Atribusi wewenang lembaga negara harus diberikan atau diatur dalam undang-undang dasar atau undang-undang atas delegasian dari UUD.
5). Adalah sebuah pelanggaran terhadap asas peradilan apabila MK mengadili dan memutus perkara yang berkaitan dengan dirinya sendiri.
Oleh karenanya sangat ironis sekali kalau MK yang salah satu fungsinya adalah sebagai pengawal Konstitusi (the guardian of the Constitution) justru melanggar aturan UUD itu sendiri. Pelanggaran terhadap UUD 1945 adalah tindakan inkonstitusional, dan patut disayangkan. MK seharusnya berpegang teguh kepada ketentuan UUD 1945, yang selalu menjadi batu uji dalam pengujian undang-undang (constitutional review).
- Solusi Yuridis mengatasi upaya DPR yang tidak memberikan persetujuan dan juga tidak menolak keberadaan PERPU
Kiranya perlu dipahami ulang, bahwa PERPU adalah peraturan darurat (noodverordening), yang ditetapkan dalam keadaan mendesak. Oleh karenanya maka substansi PERPU sangat subyektif, sesuai dengan kacamata Pemerintah (Presiden). Agar dapat diobyektifkan, maka perlu ada evaluasi (pengawasan) dari legislator (DPR). Seperti dikemukakan dalam Pasal 22 bahwa Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Jadi PERPU merupakan peraturan yang berlakunya sementara waktu, tidak boleh berlarut-larut. Hanya ada dua opsi yang harus dilakukan oleh DPR, yaitu menyetujui atau menolak.
Ada dua hal yang perlu dicermati oleh DPR dalam membahas tentang PERPU. Pertama, menurut pandangan DPR, apakah benar keadaan yang dipakai alasan ditetapkannya PERPU tersebut dalam keadaan mendesak. Artinya, apakah menurut DPR situasinya dapat dibenarkan dan dinyatakan benar-benar dalam keadaan mendesak? Mungkinkah DPR berpendapat bahwa situasinya tidak seperti yang dikemukakan oleh Presiden. Kedua, apakah materi PERPU tersebut sangat relevan dan urgen untuk diatur dalam peraturan yang setingkat undang-undang? Kedua tolok ukur itu yang dapat dipergunakan untuk menilai dan kemudian memutuskan bahwa PERPU tersebut disetujui atau ditolak.
Praktik ketatanegaraan menggambarkan bahwa masa persidangan DPR disusun dalam agenda persidangan, yang selama satu tahun masa persidangan dibagi atas empat masa sidang dan empat masa reses. Dengan demikian masa sidang adalah masa kegiatan DPR di dalam gedung DPR. Satu masa persidangan terdiri dari dua bukan masa sidang dan satu bulan masa reses. Berdasarkan agenda kegiatan masa persidangan tersebut maka yang dimaksud dengan “dalam persidangan yang berikut” dalam Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 adalah masa sidang berikutnya. Apabila PERPU diterima oleh DPR pada persidangan pertama, maka PERPU tersebut harus dibahas oleh DPR pada persidangan kedua. Bukan pada masa sidang ketiga, keempat atau bahwa pada persidangan tahun berikutnya. Adalah sangat keliru jika DPR mengulur waktu untuk membahas PERPU pada persidangan yang jauh dari masa persidangan saat PERPU diterima oleh DPR dari Presiden. Mengapa demikian? Karena, sebagaimana telah dibahas sebelumnya, bahwa PERPU adalah peraturan darurat. Sebagai peraturan darurat tidak boleh berlaku dalam jangka waktu yang lama (panjang). Perlu harus segera dibahas, tidak boleh dibiarkan berlarut.
Untuk menghindari “kelicikan” DPR dalam mengulur waktu atau menunda-nunda pembahasan PERPU, satu-satunya cara adalah menambah rumusan dari Pasal 22. Misalnya dilakukan penambahan rumusan satu ayat yakni Pasal 22 ayat (4) dengan rumusan sbb:
Apabila dalam waktu 30 hari sejak PERPU diterima oleh DPR dan DPR tidak membahasnya untuk menolak atau menerima PERPU dimaksud, maka PERPU tersebut dinyatakan sah untuk ditetapkan menjadi undang-undang.
Dengan adaanya penambahan rumusan ayat tersebut, maka DPR akan didorong untuk segera membahas PERPU yang telah ditetapkan dan diberlakukan oleh Presiden tersebut. Dengan mengulur waktu tersebut berarti hak DPR untuk tidak menyetujui (menolak) PERPU tersebut menjadi pupus (hilang).
DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi suatu Negara, penyunting H.Mashudi,SH.MH dan Kuntana Magnar,SH.MH, Mandar Maju, Bandung, 1995.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997.
Hamid S Attamimi. A, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, Copyright Renewed, Russell & Russell, New York, 1973.
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.
--------------------, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005.
--------------------, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
Mahfud MD, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, dalam Gagasan Amandemen UUD 1945, Suatu Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional RI, 2008
Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, 1982,
Strong, CF, Modern Political Constitutions, The English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, 1966.
Usep Ranawidjaja, Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.
Yamin, Muhammad, Naskah Persiapan Undang-undang Dasar 1945, Jilid Pertama, Penerbit Prapanca, 1959.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar