UUD 1945: DARI “SINGLE DOCUMENT”
MENJADI “MULTI DOCUMENT”
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
A. PENDAHULUAN
Dilihat
dari segi bentuknya UUD dapat dibedakan antara UUD yang dimuat dalam satu
naskah (single document) dan UUD yang
dimuat dalam berbagai naskah secara “bercerai berai” (no single document atau multi document). The British
“Constitution”, misalnya digolongkan sebagai “multi document”, yang terdiri dari “the Great Charters and Important Documents” dan “Other Important Enactments”.[1]
Selain itu, banyak Negara di dunia yang UUD-nya tertuang dalam satu naskah
resmi yang otentik. UUD 1945 asli,[2]
misalnya, baik yang dimuat dalam Berita
Republik Indonesia Tahun II No. 7 atau UUD 1945 yang berlaku kembali
sejak ditetapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (LNRI Tahun 1959 No. 75),
dimuat dalam satu naskah otentik.
Baik
UUD 1945 yang dimuat dalam Berita RI Tahun II No. 7 maupun yang dimuat dalam
LNRI Tahun 1959 No. 75 tersebut di atas, UUD 1945 asli terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan
Penjelasan. Ketiga bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan satu sama lain, meskipun terbentuknya mempunyai latar belakang
historis yang berbeda. Lepas dari permasalahan tersebut, UUD 1945 asli
tergolong sebagai “the single document”, UUD yang dikompilasi dalam satu naskah.
Meskipun terdapat berbagai versi.[3]
Sebagaimana dimaklumi MPR-RI
sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 telah melakukan empat kali perubahan UUD
1945. Perubahan pertama
ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan kedua ditetapkan pada
tanggal 18 Agustus 2000, perubahan ketiga ditetapkan pada tanggal 10 Nopember
2001, dan perubahan keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dengan
demikian maka naskah resmi berkaitan dengan
UUD 1945 adalah:
1).
Naskah UUD 1945 Asli, yang terdiri atas Pembukaan ditambah pasal-pasal UUD 1945 yang tidak diubah;
2). Naskah Resmi Perubahan
Pertama Tahun 1999;
3). Naskah Resmi Perubahan
Kedua Tahun 2000;
4). Naskah Resmi Perubahan
Ketiga Tahun 2001; dan
5). Naskah Resmi Perubahan
Keempat Tahun 2002.
B. PERMASALAHAN
1.
Apakah
dengan adanya perubahan-perubahan UUD 1945 tersebut di atas, UUD 1945 tergolong
ke dalam “single document” atau “multi document”?
2.
Apakah
rumusan Naskah UUD 1945 sesudah Perubahan Pertama hingga Keempat yang
dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal MPR dan juga dikeluarkan oleh Sekretariat
Jenderal MK dapat dianggap sebagai naskah resmi yang otentik, padahal MPR-RI
tidak pernah menetapkan hal itu?.
C. PEMBAHASAN
1.
Pasal-pasal
UUD 1945 yang tidak diubah.
Memperhatkan bagian Penutup Perubahan Pertama hingga
bagian Penutup Perubahan Keempat UUD 1945, ternyata bahwa MPR-RI telah
menetapkan empat dokumen perubahan. Keempat dokumen perubahan tersebut
merupakan dokumen yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain ada empat naskah
resmi perubahan UUD 1945, yaitu naskah resmi perubahan pertama, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan tersebut diputuskan dalam
Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-12 tanggal
19 Oktober 1999 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
yang mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Naskah tersebut ditetapkan di
Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1999.
Kemudian Naskah Resmi Perubahan
Kedua yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Demikian pula Naskah Resmi Perubahan Ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diputuskan dalam rapat
Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2)
tanggal 9 Nopember 2001 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu pada tanggal 9
Nopember 2001. Terakhir Perubahan Keempat
yang diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia ke-6 (lanjutan) tanggal 19 Agustus 2002 Sidang Tahunan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan, yaitu pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dengan
demikian Keempat Naskah Resmi Perubahan
Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan dan dinyatakan mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan oleh MPR, merupakan naskah-naskah otentik yang tidak
terpisahkan dari UUD 1945 Asli. Sementara UUD 1945 Asli tinggal tersisa
beberapa pasal yang tidak diubah. Pasal-pasal yang tidak diubah tersebut adalah
sebagai berikut:
1.
Pasal 1 ayat (1);
2.
Pasal 2 ayat (2) dan (3);
3.
Pasal 4 ayat (1) dan (2);
4.
Pasal 5 ayat (2);
5.
Pasal 10;
6.
Pasal 12;
7.
Pasal 13 ayat (1);
8.
Pasal 17 ayat (1);
9.
Pasal 21 ayat (2);
10. Pasal
22 ayat (1) s/d (3);
11. Pasal
25;
12. Pasal
26 ayat (1);
13. Pasal
27 ayat (1) dan (2);
14. Pasal
28;
15. Pasal
29 ayat (1) dan (2);
16. Pasal 33 ayat (1) s/d (3);
17. Pasal
35; dan
18. Pasal
36.
Ke-18
pasal UUD 1945 Asli yang tidak diubah tersebut masih termuat dalam Naskah UUD
1945 Asli, dan tidak dipisahkan sebagai suatu naskah tersendiri. Sebagaimana diketahui Naskah Asli UUD 1945,
baik yang dimuat dalam Berita RI Tahun II No. 7 maupun yang dimuat dalam
Lampiran Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, tidak pernah disahkan atau
ditetapkan secara formal oleh MPR-RI sebagai UUD resmi. Hal itu berbeda dengan
Perubahan Pertama hingga Perubahan Keempat yang secara resmi diputuskan dalam
Rapat Paripuna MPR-RI.[4]
Lalu, apakah MPR-RI masih tetap
mengakui secara utuh UUD 1945 Asli, sebagai suatu Naskah Resmi UUD 1945 atau
hanya pasal-pasalnya yang tidak diubah saja (18 pasal)?.[5]
Mungkin sebuah kendala yang perlu diurai, terutama bagi para mahasiswa atau
pemerhati hukum konstitusi apakah pasal-pasal tertentu masih utuh (belum
diubah) atau sudah berubah, atau mungkin terjadi overlapping antara yang satu
dengan yang lain. Misalnya ketentuan Pasal 28 yang menyatakan: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang-undang, yang overlapping dengan ketentuan Pasal 28E ayat (3) yang
berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.” Terhadap kenyataan seperti ini sudah dapat dipastikan
bahwa MPR tidak cermat dalam melakukan perubahan UUD 1945.
2. Lima Naskah sebagai Dokumen Yang Resmi
Terlepas dari persoalan-persoalan yang
muncul tersebut di atas, maka ada lima naskah resmi yang menetapkan pasal-pasal
UUD 1945 sebagai Naskah Resmi yang diakui dan disahkan keberadaannya, yaitu:
a. Naskah UUD 1945 Asli, (yang tinggal
hanya terdiri dari Pembukaan dan
pasal-pasal UUD 1945 yang tidak diubah);[6]
b. Naskah
Perubahan Pertama tahun 1999;
c. Naskah
Perubahan Kedua tahun 2000;
d. Naskah
Perubahan Ketiga tahun 2001; dan
e. Naskah
Perubahan Keempat tahun 2002.
Masing-masing
naskah tersebut berdiri sendiri-sendiri. Artinya, naskah-naskah tersebut
terpisah satu sama lain, meskipun mempunyai hubungan yang sangat erat (closely related). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa UUD 1945 Asli dan Perubahan Pertama hingga Keempat, adalah
naskah resmi yang otentik. Namun, rumusan Bab dan pasal-pasal UUD 1945 yang
dikompilasikan, sebagai UUD 1945 Baru, bukanlah rumusan naskah resmi yang
otentik, karena tidak pernah diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI. Walaupun
demikian, dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan perubahan, UUD 1945
tergolong ke dalam UUD yang “multi
document”, bukan lagi sebagai “single
document”. Jadi, dapat diartikan bahwa perubahan yang dilakukan bukan lagi
sebagai “suatu perubahan undang-undang dasar”, melainkan sebagai “suatu
penggantian undang-undang dasar”. Penggantian dari “single document” menjadi “multi
document”.
3.
Pengakuan
Beberapa Prinsip
Sesudah
UUD 1945 diubah, berdasarkan TAP MPR No.I/MPR/2002 dibentuk Komisi Konstitusi.
Pada tahun 2003 dikeluarkan Keputusan
MPR No.4/MPR/2003 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan dan Keanggotaan
Komisi Konstitusi. Tugas Komisi Konstitusi adalah melakukan pengkajian secara
komprehensif tentang perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
telah dilakukan oleh MPR.[7]
Kajian komprehensif tersebut harus merujuk kepada kesepakatan dasar
fraksi-fraksi MPR sebelum melakukan perubahan yaitu:
1.
Tidak
mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
2.
Tetap
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.
Mempertegas
sistem presidensiil,
4.
Meniadakan
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dan memasukkan hal-hal yang normatif dalam
Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam pasal-pasal,
5.
Perubahan
dilakukan dengan cara adendum.
Dari kelima persyaratan
yang digariskan tersebut, ada dua prinsip utama yang dipertahankan, yaitu : (a)
mempertahankan Pembukaan UUD 1945; (b) Mempertahankan bentuk Negara Kesatuan.
Tentang bentuk pemerintahan Republik, secara implisit masih diminati, karena
tersirat dari pernyataan : ”tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (cetak miring dari
Penulis).
Mengenai sistem
pemerintahan presidential, meskipun ingin dipertegas, pada kenyataannya
(terbukti dari rumusan-rumusan pasal-pasal tertentu) masih menggambarkan
“kegamangan” para perumus untuk secara tegas menginginkan sistem pemerintahan presidential
murni![8].
Muncul pertanyaan: Apakah
dengan dirumuskannya pasal-pasal UUD 1945 yang mencirikan sistem pemerintahan
Presidential akan menjamin tegaknya sistem tersebut? Adakah ketentuan lain yang
dapat menggoyahkan hal itu? Kehawatiran akan terjadinya penyimpangan terhadap
ketentuan pasal-pasal UUD 1945 masih dimungkinkan, karena praktek
ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia lebih cenderung berupa penghapusan (nullifying) atau membuat ketentuan dalam
UUD 1945 tidak dilaksanakan menurut bunyi atau arti yang terkandung didalamnya.[9] Ada salah satu pasal yang memungkinkan
terjadinya pergeseran sistem pemerintahan dari sistem Prasidential ke sistem
pemerintahan Parlementer, yaitu ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 Perubahan Keempat.
Jika pasal tersebut berfungsi efektif secara faktual, akan menimbulkan
pergantian sistem pemerintahan yang dikehendaki, yaitu menjadi sistem
pemerintahan Parlementer. Dengan pola pikir yang dianut oleh pasal
tersebut sistem pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden kembali ke model sebelum UUD 1945 diubah, yaitu Presiden dan
Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Lepas dari alasan (argumentasi) bahwa
ketentuan itu adalah sebuah pengecualian (exception)
karena dianggap dalam keadaan darurat, tetapi produknya akan menjadi suatu
keadaan yang tetap. Katakanlah Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih
langsung oleh rakyat tersebut tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersamaan (termasuk dalam pengertian ini adalah Presiden dan
Wakil Presiden meninggal dunia), maka Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama
melaksanakan tugas dan wewenang presiden. Pelaksanaan tugas kepresidenan
oleh tiga orang menteri tersebut bersifat sementara waktu. Namun, apabila diperhatikan rumusan pasal
tersebut lebih lanjut, yang menyatakan:
“Selambat-lambatnya tiga
puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan
sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan….”,[10]
maka akan terbukti kembali bahwa MPR
memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam keadaan seperti
itu Presiden dan Wakil Presiden yang
dipilih oleh MPR adalah sah secara
konstitusional dan berhak menggantikan
Presiden dan Wakil Presiden (yang dipilih langsung oleh rakyat), hingga
berakhir masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang digantikannya. Benar
atau salah, ini adalah pola lama, pola UUD 1945 sebelum diubah, yang mencirikan
sistem pemilihan kepala eksekutif oleh parlemen. Secara tidak disadari pasal
ini menghidupkan kembali sistem pengangkatan Presiden dan Wakil
Presiden oleh MPR. Sudah barang tentu Presiden (khususnya) yang diangkat oleh
MPR akan tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, ia adalah “Mandataris” dari
MPR, ia berwajib menjalankan putusan-putusan MPR.
Dengan dihilangkannya
Penjelasan UUD 1945 pada suatu sisi memang lebih baik karena tidak menimbulkan
pertentangan dengan Batang Tubuh, namun di sisi lain dengan tidak adanya
Ketetapan MPR, sulit bagi masyarakat untuk memahami makna suatu rumusan pasal
kecuali mencermati risalah sidang MPR-RI dalam pembahasan pasal-pasal
perubahan. Hanya MPR-lah yang paham akan maksud sebenarnya dari pasal-pasal yang dirumuskan. Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga yang juga berwenang menafsirkan UUD 1945, tentu
punya pemikiran lain dari yang sebenarnya dikehendaki oleh pembentuk UUD itu
sendiri (MPR-RI).
Perubahan melalui addendum akan sulit
dicermati, apakah pasal atau ayat atau istilah yang dipakai dalam perubahan
selanjutnya sesuai atau tidak dengan pasal atau ayat atau istilah sebelumnya.
Bisa jadi akan terjadi overlapping, atau bahkan satu sama lain maknanya
bertentangan. Rumusan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 Perubahan Pertama
merupakan contoh kekeliruan (inkonsistensi) yang terjadi dalam perumusan pasal/ayat UUD 1945. Pasal 20
ayat (1) menyatakan: Dewan Perwakilan
Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sementara Pasal 20 ayat
(2)nya menyatakan: Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Jika demikian, bukan
DPR sendirian yang membentuk undang-undang.[11]
Inilah salah satu akibat dari perubahan yang dilakukan secara addendum.
LAMPIRAN I:
Rumusan Pembukaan
UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 Asli yang tidak diubah adalah sebagai
berikut:
PEMBUKAAN
(Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia)[12]
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah
hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan
Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa
mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara
Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa
dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan
yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk
suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah
Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang
berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 1
(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan
yang berbentuk Republik.
Pasal 2
(2)
Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di
ibu kota negara.
(3)
Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Pasal 4
(1)
Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
(2)
Dalam
melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.
Pasal 5
(2) Presiden
menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana
mestinya.
Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan
Laut dan Angkatan Udara.
Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan
bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 13(1)Presiden
mengangkat duta dan konsul. Pasal 17(1)Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara. Pasal 21Jika rancangan,
itu meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh
Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pasal 22(1)
Dalam
hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan
Pemerintah sebagai pengganti undang-undang.
(2)
Peraturan
Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam
persidangan yang berikut.
(3)
Jika
tidak mendapat persetujuan maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
Pasal 25
Syarat-syarat untuk
menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal
26
(1)
Yang
menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang
bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Pasal 27
(1)
Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)
Tiap-tiap
warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28
Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 29
(1)
Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2)
Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 33
(1)
Perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2)
Cabang-cabang
produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh negara.
(3)
Bumi
dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pasal 35
Bendera Negara
Indonesia ialah Sang Merah Putih.
Pasal 36
Bahasa Negara ialah
Bahasa Indonesia
LAMPIRAN
II:
1.
Rumusan
Penutup Perubahan Pertama UUD 1945:
Naskah
perubahan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan
tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia ke-12 tanggal 19 Oktober 1999 Sidang Umum Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1999
2.
Rumusan
Penutup Perubahan Kedua UUD 1945:
Ditetapkan
di Jakarta
pada tanggal 18 Agustus 2000
3.
Rumusan
Penutup Perubahan Ketiga UUD 1945:
Naskah
perubahan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan
tersebut diputuskan dalam rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2)
tanggal 9 Nopember 2001 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republlik
Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan
di Jakarta
pada tanggal 9 November 2001
4.
Rumusan
Penutup Perubahan Keempat UUD 1945:
Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-6 (lanjutan) tanggal 10 Agustus 2002 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia , dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di
Jakarta
Pada tanggal 10 Agustus 2002
Pada tanggal 10 Agustus 2002
[1] Shepherd L.Witman and John .J. Wuest, Visual Outline of Comparative Government,
Littlefield, Adams & Co., Paterson, New Jersey, 1963, p. 15
[2] Yang
dimaksud adalah UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang
kemudian dimuat dalam Berita RI Tahun II No. 7 dan atau UUD 1945 yang dimuat
dalam Lampiran Keppres No. 150 Tahun 1959 (LNRI Tahun 1959 No. 75).
[3] Lihat Sri
Soemantri, Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang Dasar Yang Berlaku dan Pernah
Berlaku di Indonesia, Percetakan Padjadjaran, Bandung, tanpa tahun, hlm 1
dst.
[4] Lihat
Naskah Perubahan Pertama hingga Perubahan Keempat UUD 1945 yang secara otentik
dipublikasikan oleh Sekretariat MPR-RI.
[5] Lihat Lampiran
[6] Rumusan
Pembukaan dan pasal-pasal yang tidak diubahdapat dilihat dalam Lampiran
[7] Perubahan pertama
ditetapkan 19 Oktober 1999, perubahan kedua ditetapkan 18 Agustus 2000,
perubahan ketiga ditetapkan 10 Nopember 2001, dan perubahan keempat ditetapkan
10 Agustus 2002.
[8] Lihat antara
lain rumusan Pasal 13 dan Pasal 14.
[9] KC Wheare
menyatakan adanya tiga bentuk konvensi, yaitu (1) Konvensi menghapuskan
beberapa ketentuan dalam UUD,(2) Konvensi mengalihkan kekuasaan yang telah
ditetapkan UUD, dan (3) Konvensi melengkapi UUD atau peraturan hukum
ketetanegaraan yang sudah ada.—lihat Bagir Manan, Konvesi Ketatanegaraan,
Armico, Bandung, 1987, hlm 41-47.
[10] Secara utuh
rumusan Pasal 8 ayat (3) adalah sbb: Jika Presiden danWakil Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar
Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama.
Selambat-lamabatnya tiga puliuh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan
Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari
dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil
Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya,
sampai berakhir masa jabatannya.
[11] Lihat lebih
seksama rumusan Pasal 1 UU No.10 Tahun 204 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar