Kamis, 12 April 2018


UUD 1945: DARI “SINGLE DOCUMENT”
MENJADI “MULTI DOCUMENT”
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

A.   PENDAHULUAN
Dilihat dari segi bentuknya UUD dapat dibedakan antara UUD yang dimuat dalam satu naskah (single document) dan UUD yang dimuat dalam berbagai naskah secara “bercerai berai” (no single document atau multi document). The British “Constitution”, misalnya digolongkan sebagai “multi document”, yang terdiri dari “the Great Charters and Important Documents” dan “Other Important Enactments”.[1] Selain itu, banyak Negara di dunia yang UUD-nya tertuang dalam satu naskah resmi yang otentik. UUD 1945 asli,[2] misalnya, baik yang dimuat dalam Berita  Republik Indonesia Tahun II No. 7 atau UUD 1945 yang berlaku kembali sejak ditetapkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (LNRI Tahun 1959 No. 75), dimuat dalam satu naskah otentik.
Baik UUD 1945 yang dimuat dalam Berita RI Tahun II No. 7 maupun yang dimuat dalam LNRI Tahun 1959 No. 75 tersebut di atas, UUD 1945 asli  terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan. Ketiga bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan satu sama lain, meskipun terbentuknya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. Lepas dari permasalahan tersebut, UUD 1945 asli tergolong sebagai  the single document”, UUD yang dikompilasi dalam satu naskah. Meskipun terdapat berbagai versi.[3]
Sebagaimana dimaklumi MPR-RI sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 telah melakukan empat kali perubahan UUD 1945. Perubahan pertama ditetapkan pada tanggal 19 Oktober 1999, perubahan kedua ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000, perubahan ketiga ditetapkan pada tanggal 10 Nopember 2001, dan perubahan keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Dengan demikian maka naskah resmi berkaitan dengan  UUD 1945 adalah:
1). Naskah UUD 1945 Asli, yang terdiri atas Pembukaan  ditambah pasal-pasal UUD 1945  yang tidak diubah;
2). Naskah Resmi Perubahan Pertama Tahun 1999;
3). Naskah Resmi Perubahan Kedua Tahun 2000;
4). Naskah Resmi Perubahan Ketiga Tahun 2001; dan
5). Naskah Resmi Perubahan Keempat Tahun 2002.
B.   PERMASALAHAN
1.    Apakah dengan adanya perubahan-perubahan UUD 1945 tersebut di atas, UUD 1945 tergolong ke dalam “single document” atau “multi document”?
2.    Apakah rumusan Naskah UUD 1945 sesudah Perubahan Pertama hingga Keempat yang dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal MPR dan juga dikeluarkan oleh Sekretariat Jenderal MK dapat dianggap sebagai naskah resmi yang otentik, padahal MPR-RI tidak pernah menetapkan hal itu?.
C.   PEMBAHASAN
1.   Pasal-pasal UUD 1945 yang tidak diubah.

Memperhatkan  bagian Penutup Perubahan Pertama hingga bagian Penutup Perubahan Keempat UUD 1945, ternyata bahwa MPR-RI telah menetapkan empat dokumen perubahan. Keempat dokumen perubahan tersebut merupakan dokumen yang berdiri sendiri. Dengan perkataan lain ada empat naskah resmi perubahan UUD 1945, yaitu naskah resmi perubahan pertama, yang merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-12 tanggal 19 Oktober 1999 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, yang mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Naskah tersebut ditetapkan di Jakarta pada tanggal 19 Oktober 1999. Kemudian Naskah Resmi Perubahan Kedua yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Demikian pula Naskah Resmi Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diputuskan dalam rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 9 Nopember 2001 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan yaitu pada tanggal 9 Nopember 2001. Terakhir Perubahan Keempat yang diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-6 (lanjutan) tanggal 19 Agustus 2002 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yaitu pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dengan demikian  Keempat Naskah Resmi Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan oleh MPR, merupakan naskah-naskah otentik yang tidak terpisahkan dari UUD 1945 Asli. Sementara UUD 1945 Asli tinggal tersisa beberapa pasal yang tidak diubah. Pasal-pasal yang tidak diubah tersebut adalah sebagai berikut:
1.        Pasal 1 ayat (1);
2.        Pasal 2 ayat (2) dan (3);
3.        Pasal 4 ayat (1) dan (2);
4.        Pasal 5 ayat (2);
5.        Pasal 10;
6.        Pasal 12;
7.        Pasal 13 ayat (1);
8.        Pasal 17 ayat (1);
9.        Pasal 21 ayat (2);
10.     Pasal 22 ayat (1) s/d (3);
11.     Pasal 25;
12.     Pasal 26 ayat (1);
13.     Pasal 27 ayat (1) dan (2);
14.     Pasal 28;
15.     Pasal 29 ayat (1) dan (2);
16.     Pasal  33 ayat (1) s/d (3);
17.     Pasal 35; dan
18.     Pasal 36.

Ke-18 pasal UUD 1945 Asli yang tidak diubah tersebut masih termuat dalam Naskah UUD 1945 Asli, dan tidak dipisahkan sebagai suatu naskah tersendiri.  Sebagaimana diketahui Naskah Asli UUD 1945, baik yang dimuat dalam Berita RI Tahun II No. 7 maupun yang dimuat dalam Lampiran Dekrit Presiden RI tanggal 5 Juli 1959, tidak pernah disahkan atau ditetapkan secara formal oleh MPR-RI sebagai UUD resmi. Hal itu berbeda dengan Perubahan Pertama hingga Perubahan Keempat yang secara resmi diputuskan dalam Rapat Paripuna MPR-RI.[4] Lalu, apakah MPR-RI    masih tetap mengakui secara utuh UUD 1945 Asli, sebagai suatu Naskah Resmi UUD 1945 atau hanya pasal-pasalnya yang tidak diubah saja (18 pasal)?.[5] Mungkin sebuah kendala yang perlu diurai, terutama bagi para mahasiswa atau pemerhati hukum konstitusi apakah pasal-pasal tertentu masih utuh (belum diubah) atau sudah berubah, atau mungkin terjadi overlapping antara yang satu dengan yang lain. Misalnya ketentuan Pasal 28 yang menyatakan: Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, yang overlapping dengan ketentuan Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi: Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Terhadap kenyataan seperti ini sudah dapat dipastikan bahwa MPR tidak cermat dalam melakukan perubahan UUD 1945.

2.   2. Lima Naskah sebagai Dokumen Yang Resmi

Terlepas dari persoalan-persoalan yang muncul tersebut di atas, maka ada lima naskah resmi yang menetapkan pasal-pasal UUD 1945 sebagai Naskah Resmi yang diakui dan disahkan keberadaannya, yaitu:
a.    Naskah UUD 1945 Asli, (yang tinggal hanya terdiri dari Pembukaan  dan pasal-pasal UUD 1945  yang tidak diubah);[6]
b.    Naskah Perubahan Pertama tahun 1999;
c.    Naskah Perubahan Kedua tahun 2000;
d.    Naskah Perubahan Ketiga tahun 2001; dan
e.    Naskah Perubahan Keempat tahun 2002.
Masing-masing naskah tersebut berdiri sendiri-sendiri. Artinya, naskah-naskah tersebut terpisah satu sama lain, meskipun mempunyai hubungan yang sangat erat (closely related). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa  UUD 1945 Asli  dan Perubahan Pertama hingga Keempat, adalah naskah resmi yang otentik. Namun, rumusan Bab dan pasal-pasal UUD 1945 yang dikompilasikan, sebagai UUD 1945 Baru, bukanlah rumusan naskah resmi yang otentik, karena tidak pernah diputuskan dalam Rapat Paripurna MPR-RI. Walaupun demikian, dapat disimpulkan bahwa setelah dilakukan perubahan, UUD 1945 tergolong ke dalam UUD yang “multi document”, bukan lagi sebagai “single document”. Jadi, dapat diartikan bahwa perubahan yang dilakukan bukan lagi sebagai “suatu perubahan undang-undang dasar”, melainkan sebagai “suatu penggantian undang-undang dasar”. Penggantian dari “single document” menjadi “multi document”.
3.   Pengakuan Beberapa Prinsip
Sesudah UUD 1945 diubah, berdasarkan TAP MPR No.I/MPR/2002 dibentuk Komisi Konstitusi. Pada tahun 2003 dikeluarkan Keputusan  MPR No.4/MPR/2003 tentang Susunan, Kedudukan, Kewenangan dan Keanggotaan Komisi Konstitusi. Tugas Komisi Konstitusi adalah melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dilakukan oleh MPR.[7] Kajian komprehensif tersebut harus merujuk kepada kesepakatan dasar fraksi-fraksi MPR sebelum melakukan perubahan yaitu:
1.    Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
2.    Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
3.    Mempertegas sistem presidensiil,
4.    Meniadakan Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 dan memasukkan hal-hal yang normatif dalam Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 ke dalam pasal-pasal,
5.    Perubahan dilakukan dengan cara adendum.
Dari kelima persyaratan yang digariskan tersebut, ada dua prinsip utama yang dipertahankan, yaitu : (a) mempertahankan Pembukaan UUD 1945; (b) Mempertahankan bentuk Negara Kesatuan. Tentang bentuk pemerintahan Republik, secara implisit masih diminati, karena tersirat dari pernyataan : ”tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. (cetak miring dari Penulis).
Mengenai sistem pemerintahan presidential, meskipun ingin dipertegas, pada kenyataannya (terbukti dari rumusan-rumusan pasal-pasal tertentu) masih menggambarkan “kegamangan” para perumus untuk secara tegas menginginkan sistem pemerintahan presidential murni![8].
Muncul pertanyaan: Apakah dengan dirumuskannya pasal-pasal UUD 1945 yang mencirikan sistem pemerintahan Presidential akan menjamin tegaknya sistem tersebut? Adakah ketentuan lain yang dapat menggoyahkan hal itu? Kehawatiran akan terjadinya penyimpangan terhadap ketentuan pasal-pasal UUD 1945 masih dimungkinkan, karena praktek ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia lebih cenderung berupa penghapusan (nullifying) atau membuat ketentuan dalam UUD 1945 tidak dilaksanakan menurut bunyi atau arti yang terkandung didalamnya.[9]        Ada salah satu pasal yang memungkinkan terjadinya pergeseran sistem pemerintahan dari sistem Prasidential ke sistem pemerintahan Parlementer, yaitu ketentuan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 Perubahan Keempat. Jika pasal tersebut berfungsi efektif secara faktual, akan menimbulkan pergantian sistem pemerintahan yang dikehendaki, yaitu menjadi sistem pemerintahan Parlementer. Dengan pola pikir yang dianut oleh pasal tersebut  sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden kembali ke model sebelum UUD 1945 diubah, yaitu Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Lepas dari alasan (argumentasi) bahwa ketentuan itu adalah sebuah pengecualian (exception) karena dianggap dalam keadaan darurat, tetapi produknya akan menjadi suatu keadaan yang tetap. Katakanlah Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat tersebut tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan (termasuk dalam pengertian ini adalah Presiden dan Wakil Presiden meninggal dunia), maka Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama  melaksanakan tugas dan wewenang presiden. Pelaksanaan tugas kepresidenan oleh tiga orang menteri tersebut bersifat sementara waktu.  Namun, apabila diperhatikan rumusan pasal tersebut lebih lanjut, yang menyatakan:
“Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan….”,[10] maka akan terbukti kembali   bahwa MPR memiliki kewenangan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Dalam keadaan seperti itu  Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh MPR adalah  sah secara konstitusional dan berhak  menggantikan Presiden dan Wakil Presiden (yang dipilih langsung oleh rakyat), hingga berakhir masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang digantikannya. Benar atau salah, ini adalah pola lama, pola UUD 1945 sebelum diubah, yang mencirikan sistem pemilihan kepala eksekutif oleh parlemen. Secara tidak disadari pasal ini  menghidupkan kembali  sistem pengangkatan Presiden dan Wakil Presiden oleh MPR. Sudah barang tentu Presiden (khususnya) yang diangkat oleh MPR akan tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR, ia adalah “Mandataris” dari MPR, ia berwajib menjalankan putusan-putusan MPR.
Dengan dihilangkannya Penjelasan UUD 1945 pada suatu sisi memang lebih baik karena tidak menimbulkan pertentangan dengan Batang Tubuh, namun di sisi lain dengan tidak adanya Ketetapan MPR, sulit bagi masyarakat untuk memahami makna suatu rumusan pasal kecuali mencermati risalah sidang MPR-RI dalam pembahasan pasal-pasal perubahan. Hanya MPR-lah yang paham akan maksud sebenarnya dari  pasal-pasal yang dirumuskan. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang juga berwenang menafsirkan UUD 1945, tentu punya pemikiran lain dari yang sebenarnya dikehendaki oleh pembentuk UUD itu sendiri (MPR-RI).
Perubahan melalui addendum akan sulit dicermati, apakah pasal atau ayat atau istilah yang dipakai dalam perubahan selanjutnya sesuai atau tidak dengan pasal atau ayat atau istilah sebelumnya. Bisa jadi akan terjadi overlapping, atau bahkan satu sama lain maknanya bertentangan. Rumusan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 Perubahan Pertama merupakan contoh kekeliruan (inkonsistensi) yang terjadi  dalam perumusan pasal/ayat UUD 1945. Pasal 20 ayat (1) menyatakan: Dewan  Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sementara Pasal 20 ayat (2)nya menyatakan: Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” Jika demikian, bukan DPR sendirian yang membentuk undang-undang.[11] Inilah salah satu akibat dari perubahan yang dilakukan secara addendum.




LAMPIRAN I:
Rumusan Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal UUD 1945 Asli yang tidak diubah adalah sebagai berikut:

PEMBUKAAN
(Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia)[12]
      Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
      Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
      Atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
      Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pasal 1
(1) Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Pasal 2 
(2) Majelis Permusyawaratan Rakyat bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara.
(3) Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.

 

Pasal  4

(1) Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
(2) Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.

Pasal 5
(2) Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
 
Pasal 10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.

Pasal 12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.

Pasal 13(1)Presiden mengangkat duta dan konsul. Pasal 17(1)Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Pasal 21Jika rancangan, itu meskipun disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. Pasal 22(1) Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

(2) Peraturan Pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.
(3) Jika tidak mendapat persetujuan maka Peraturan Pemerintah itu harus dicabut.
Pasal 25
Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 26
(1) Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Pasal 27
(1)   Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2)   Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 29
(1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal 33
(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasasi hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
(3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 35
Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.

Pasal 36
Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia
LAMPIRAN II:
1.    Rumusan Penutup Perubahan Pertama UUD 1945:
Naskah perubahan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-12 tanggal 19 Oktober 1999 Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

                                                           Ditetapkan di Jakarta                                                        pada tanggal 19 Oktober 1999


2.    Rumusan Penutup Perubahan Kedua UUD 1945:

                                                                      Ditetapkan di Jakarta
                                                        pada tanggal 18 Agustus 2000


3.    Rumusan Penutup Perubahan Ketiga UUD 1945:
Naskah perubahan ini merupakan bagian tak terpisahkan dari naskah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan  Rakyat Republik Indonesia ke-7 (lanjutan 2) tanggal 9 Nopember 2001 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republlik Indonesia, dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

          Ditetapkan di Jakarta
          pada tanggal 9 November 2001


4.    Rumusan Penutup Perubahan Keempat UUD 1945:

Perubahan tersebut diputuskan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-6 (lanjutan) tanggal 10 Agustus 2002 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia , dan mulai berlaku  pada tanggal ditetapkan.
                                                                Ditetapkan di Jakarta
                                                                   
Pada tanggal 10 Agustus 2002



[1]  Shepherd L.Witman and  John .J. Wuest, Visual Outline of Comparative Government, Littlefield, Adams & Co., Paterson, New Jersey, 1963, p. 15
[2] Yang dimaksud adalah UUD 1945 yang ditetapkan oleh PPKI tanggal 18 Agustus 1945 yang kemudian dimuat dalam Berita RI Tahun II No. 7 dan atau UUD 1945 yang dimuat dalam Lampiran Keppres No. 150 Tahun 1959 (LNRI Tahun 1959 No. 75).
[3] Lihat Sri Soemantri,  Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang Dasar Yang Berlaku dan Pernah Berlaku di Indonesia, Percetakan Padjadjaran, Bandung, tanpa tahun, hlm 1 dst.
[4] Lihat Naskah Perubahan Pertama hingga Perubahan Keempat UUD 1945 yang secara otentik dipublikasikan oleh Sekretariat MPR-RI.
[5] Lihat Lampiran
[6] Rumusan Pembukaan dan pasal-pasal yang tidak diubahdapat dilihat dalam  Lampiran
[7] Perubahan pertama ditetapkan 19 Oktober 1999, perubahan kedua ditetapkan 18 Agustus 2000, perubahan ketiga ditetapkan 10 Nopember 2001, dan perubahan keempat ditetapkan 10 Agustus 2002.
[8] Lihat antara lain rumusan Pasal 13 dan Pasal 14.
[9] KC Wheare menyatakan adanya tiga bentuk konvensi, yaitu (1) Konvensi menghapuskan beberapa ketentuan dalam UUD,(2) Konvensi mengalihkan kekuasaan yang telah ditetapkan UUD, dan (3) Konvensi melengkapi UUD atau peraturan hukum ketetanegaraan yang sudah ada.—lihat Bagir Manan, Konvesi Ketatanegaraan, Armico, Bandung, 1987, hlm 41-47.
[10] Secara utuh rumusan Pasal 8 ayat (3) adalah sbb: Jika Presiden danWakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lamabatnya tiga puliuh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden dari dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya.  

[11] Lihat lebih seksama rumusan Pasal 1 UU No.10 Tahun 204 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[12] Menurut Versi Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...