UNDANG-UNDANG
TANPA PENGESAHAN PRESIDEN
Oleh:
Rosjidi Ranggawidjaja
Pengantar
Undang-undang (dalam arti
formal), dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah produk hukum negara yang
dibentuk oleh DPR bersama-sama Pemerintah (Presiden). Lahirnya produk hukum
tersebut terjadi setelah melalui pembicaraan panjang di DPR. Setelah ada
kesepahaman atau kesepakatan antara DPR dan Pemerintah maka RUU yang telah
dibahas tersebut disampaikan kepada Presiden untuk disahkan menjadi
undang-undang. Pembubuhan tanda tangan Presiden pada bagian penutup naskah
undang-undang adalah bukti yuridis bahwa undang-undang tersebut sah secara
hokum. Undag-undang baru mengikat secara hukum setelah diundangkan dalam
Lembaran Negara.
Fenomena undang-undang
tanpa pengesahan Presiden, tanpa pembubuhan tanda tangan Presiden, muncul
setelah Pasal 20 UUD 1945 diubah, tepatnya saat Megawati Soekarnoputri menjabat
sebagai Presiden menggantikan almarhum
Abdurrahman Wahid. Akhir-akhir ini muncul lagi undang-undang tanpa pengesahan
Presiden RI tersebut, yaitu undang-undang tentang MD3. Dulu, sebelum UUD 1945
diubah hal semacam itu tidak pernah terjadi. Apakah yang menjadi penyebab
terjadinya hal seperti itu? Mari kita analisis.
Patut diduga penyebabnya
adalah rumusan Pasal 20 UUD 1945 Perubahan Pertama dan Kedua. Rumusan Pasal 20
UUD 1945 tersebut mengatur mengenai mekanisme pembentukan undang-undang.
Siapa
pembentuk undang-undang?
Blunder sekali rumusan
Pasal 20 ayat (1) bila dikonfrontasi dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2)-nya.
Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang memegang kekuasaan membentuk
undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Jelas dan tegas rumusan pasal
itu, tidak perlu tafsir lain selain tafsir otentik-gramatikal. Pertanyaannya:
mengapa MPR (sebagai badan yang berwenang mengubah UUD 1945) memberikan
wewenang tersebut kepada DPR? Patut diduga, MPR menghendaki UUD 1945 menganut
paham pemisahan kekuasaan (separation of
powers), dengan memberikan wewenang membentuk undang-undang kepada DPR.
Namun, rumusan Pasal 20
ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua menyatakan lain. Rumusan itu menyatakan:
Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Dengan adanya rumusan tersebut
maka pupuslah pernyataan dalam rumusan Pasal 20 ayat (1) tersebut. Dengan kata
lain bahwa rumusan Pasal 20 ayat (2) telah menganulir rumusan Pasal 20 ayat
(1), bahwa yang memegang wewenang membentuk undang-undang bukan hanya DPR
tetapi juga bersama Pemerintah (Presiden). Bukankah tindakan “membahas” RUU termasuk
pengertian membentuk undang-undang? Praktik semacam itu sudah dilakukan sejak
lama. Lebih-lebih sejak DPRS terbentuk, sesaat setelah kembali ke UUD 1945
melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. RUU dibahas bersama oleh DPR dan
Pemerintah. Kemudian Presiden (dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara)
mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang.
Kapan
persetujuan bersama tercapai?
Rumusan Pasal 20 ayat (3)
UUD 1945 Perubahan Pertama yang secara substansial sama dan merupakan gabungan
rumusan Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 Asli[1],
menyatakan bahwa suatu RUU yang tidak mendapat persetujuan bersama tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan
DPR masa itu. Artinya bahwa pembahasan RUU tersebut harus dihentikan karena
tidak tercapai kata sepakat, tidak tercapai kesepahaman antara DPR dan
Pemerintah.
Memperhatikan tempo
pembicaraan yang dilakukan antara DPR dan Pemerintah maka persetujuan DPR
dilakukan pada akhir persidangan. Apakah hal itu berlaku pula bagi Pemerintah?
Sebagaimana dimaklumi bahwa sejak dahulu hingga UUD 1945 diubah, yang ikut
membahas RUU di DPR adalah Menteri atau pejabat setingkat Menteri atau bahkan
pejabat kementerian terkait dibawah Menteri. Presiden tidak pernah ikut
membahas RUU[2].
Praktik pembentukan undang-undang yang sudah dilaukan bertahun-tahun
membuktikan bahwa persetujuan yang dilakukan oleh Presiden adalah pada saat
Presiden membubuhkan tanda tangan dalam undang-undang dimaksud. Dengan tidak
membubuhkan tanda tangannya, maka Presiden tidak menyetujui RUU tersebut untuk
menjadi undang-undang. Hal itu tercermin dari rumusan Pasal 20 ayat (4) UUD
1945 Perubahan Pertama yang menyatakan: Presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”.
Oleh karena itu maka
rancangan undang-undang yang tidak disahkan oleh Presiden tersebut harus
dipending.
Adakah
“checks and balances” dalam pembentukan undang-undang?
Memperhatikan ketentuan
Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan Kedua yang menyatakan: Dalam hal rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut
disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan.
Rasanya janggal, tidak elok,
suatu undang-undang yang diberlakukan tanpa ada tanda tangan dari Presiden
sebagai Kepala Negara. Bukan janggal dan tidak elok, tetapi juga hal itu
mencerminkan ketidak selarasan antara legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden).
Bukankah, dahulu para pendiri negara (the
founding farhers) mengharapkan negara Indonesia berdasarkan pada asas
kekeluargaan. Negara yang dibentuk adalah negara integralistik (Soepomo) atau
negara gotong royong (Hatta). Negara
integralistik a la Indonesia adalah negara yang disemangati oleh rasa
persaudaraan, kebersamaan, persatuan. Bukan pertentangan antara satu kelompok dengan
kelompok lain. Demikian pula dalam hubungan antar lembaga negara. DPR dan
Pemerintah (Presiden) adalah partner, bukan rival. Satu sama lain tidak harus saling
jegal. Demikian halnya dalam pembentukan undang-undang. Harus ada kesepahaman,
kesepakatan, kesamaan pendapat.
Mungkin perlu dikaji ulang
struktur hubungan antara DPR dan Pemerintah (Presiden) dalam membentuk
undang-undang tersebut. Intinya bahwa UUD 1945 harus berakar pada falsafah
Bangsa Indonesia, kekeluargaan, gotong royong. Falsafah itu menggambarkan
adanya checks and balances dari sistem
ketatanegaraan Indonesia yang digagas para pendiri negara.
Sebelum UUD 1945 diubah,
tidak ditemukan suatu undang-undang tanpa pengesahan (tanda tangan) Presiden.
Saat itu suatu RUU untuk dapat disahkan harus mendapai persetujuan dari DPR
maupun Presiden. Kedua lembaga tersebut harus sepakat, ada pemahaman yang sama.
Suatu RUU meskipun sudah mendapat persetuluan DPR tetapi tidak disahkan oleh
Presiden RUU tersebut tidak dapat dimajukan/dibahas lebih lanjut oleh DPR dan
Pemerinah masa persidangan masa itu. Pembahasan RUU tersebut harus dipending.
Demikian sebaliknya, Presiden tidak dapat mengesahkan RUU tanpa terlebih dahulu
mencapai persetujuan DPR. Itulah mungkin yang disebut “checks and balances”.
Agar tercapai adanya saling
cek dan saling mengimbangi antara DPR dan Presiden, maka Presiden sebaiknya
diberi hak tolak.
Dampak
Undang-undang tidak disahkan oleh Presiden
Undang-undang berisi aturan
norma hukum umum (general legal norm).
Sebagai norma hukum umum, perlu ada penjabaran lebih lanjut, perlu ada
peraturan pelaksanaan untuk mengkonkritkan aturan-aturan dalam undang-undang
tersebut. Penjabaran lebih lanjut dari undang-undang dilaksanakan dalam
peraturan pemerintah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan
Menteri, dsb), secara berjenjang. Bagaimana Presiden yang tidak mengesahkan
undang-undang tersebut dapat membentuk peraturan pelaksanaannya? Undang-undang
yang memerlukan peraturan pelaksanaannya tidak mungkin dapat diaplikasikan. Dia
akan jadi aturan yang tidak berarti, hanya berlaku diatas kertas, tidak
membumi. Karena tidak merasa menyetujuinya, maka Pemerintah (Presiden) dapat
saja “berdiam diri”. Itulah salah satu akibat yang mungkin terjadi.
Kemudian, apabila
undang-undang tersebut dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi,
dapatkah Pemerintah (Presiden) dijadikan sebagai pihak termohon? Dapatkah pihak
Pemerintah menyatakan “no comment” apabila
dimintai penjelasan? Ini menjadi suatu masalah dalam beracara di
Mahkamah Konstitusi.
Dari segi teknik penyusunan
format undang-undang yang sudah baku ditetapkan dalam praktik maupun dalam
lampiran UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 10 Tahun 2004, terdapat frasa-frasa
mungkin menjadi permasalahan. Dalam pembukaan undang-undang di bawah judul
undang-undang tertulis PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, dan pada bagian lain
sebelum kata-kata dictum MEMUTUSKAN dan MENETAPKAN, terdapat frasa Dengan
Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA. Apakah frasa-frasa tersebut perlu dituliskan? Tepatkah hal
itu dicantumkan, sementara Presiden tidak membubuhkan tanda tangan alias tidak mengesahkannya? Ini pula salah satu
kejanggalan dan ketidakelokannya, akibat dari sistem hubungan antara DPR dan
Pemerintah (Presiden) yang tidak luwes.
Beberapa
rekomendasi untuk perbaikan di masa mendatang
Ada beberapa rekomendasi
yang ingin saya sampaikan di akhir tulisan ini, antara lain:
- UUD
1945 perlu direvisi kembali, tentunya dengan kajian yang matang, mendalam
dan komprehensif.
- Falsafah
bangsa Indonesia yang dijadikan dasar oleh para pendiri negara harus
menjadi acuan, khususnya tentang paham negara kekeluargaan (integralistik)
Indonesia. Hubungan antar lembaga harus didasarkan pada hubungan
kemitraan, saling hormat menghormati, sesuai falsafah Pancasila.
- Dalam
pembentukan undang-undang harus dijalin kesepahaman, kesepakatan agar
produk hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik.Tidak terjadi dominasi
satu lembaga terhadap lembaga yang lain. Jangan terjadi bahwa suatu
lembaga lebih “heavy” dari
lembaga yang lain. Konsepsi “checks
and balances” terjalin dengan rukun dan damai.
………………..
Bandung, akhir Maret 2018.
[1] Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Asli menyatakan: Jika suatu
rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi
tidak boleh dimajukan lagi dalam peridangan DPR masa itu.
Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 Asli menyatkan: Jika rancangan itu, meskipun
disetujui oleh DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak
boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
[2] Rumusan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Perubahan Pertama
sangat tidak rasional, karena disebutkan Presiden yang ikut membahas RUU di
DPR. Apakah dengan ketentuan seperti Presiden dapat mendelegasikan. Bila pola
pikir tersebut dipakai maka Presidenpun dapat mendelegasikan penandatanganan UU
kepada Menteri. Rumusan tersebut sangat keliru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar