Rabu, 11 April 2018

UNDANG-UNDANG TANPA PENGESAHAN PRESIDEN


UNDANG-UNDANG TANPA PENGESAHAN PRESIDEN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pengantar
Undang-undang (dalam arti formal), dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah produk hukum negara yang dibentuk oleh DPR bersama-sama Pemerintah (Presiden). Lahirnya produk hukum tersebut terjadi setelah melalui pembicaraan panjang di DPR. Setelah ada kesepahaman atau kesepakatan antara DPR dan Pemerintah maka RUU yang telah dibahas tersebut disampaikan kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang. Pembubuhan tanda tangan Presiden pada bagian penutup naskah undang-undang adalah bukti yuridis bahwa undang-undang tersebut sah secara hokum. Undag-undang baru mengikat secara hukum setelah diundangkan dalam Lembaran Negara.
Fenomena undang-undang tanpa pengesahan Presiden, tanpa pembubuhan tanda tangan Presiden, muncul setelah Pasal 20 UUD 1945 diubah, tepatnya saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden menggantikan  almarhum Abdurrahman Wahid. Akhir-akhir ini muncul lagi undang-undang tanpa pengesahan Presiden RI tersebut, yaitu undang-undang tentang MD3. Dulu, sebelum UUD 1945 diubah hal semacam itu tidak pernah terjadi. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya hal seperti itu? Mari kita analisis.

Patut diduga penyebabnya adalah rumusan Pasal 20 UUD 1945 Perubahan Pertama dan Kedua. Rumusan Pasal 20 UUD 1945 tersebut mengatur mengenai mekanisme pembentukan undang-undang.
Siapa pembentuk undang-undang?
Blunder sekali rumusan Pasal 20 ayat (1) bila dikonfrontasi dengan ketentuan Pasal 20 ayat (2)-nya. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Jelas dan tegas rumusan pasal itu, tidak perlu tafsir lain selain tafsir otentik-gramatikal. Pertanyaannya: mengapa MPR (sebagai badan yang berwenang mengubah UUD 1945) memberikan wewenang tersebut kepada DPR? Patut diduga, MPR menghendaki UUD 1945 menganut paham pemisahan kekuasaan (separation of powers), dengan memberikan wewenang membentuk undang-undang kepada DPR.
Namun, rumusan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Perubahan Kedua menyatakan lain. Rumusan itu menyatakan: Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Dengan adanya rumusan tersebut maka pupuslah pernyataan dalam rumusan Pasal 20 ayat (1) tersebut. Dengan kata lain bahwa rumusan Pasal 20 ayat (2) telah menganulir rumusan Pasal 20 ayat (1), bahwa yang memegang wewenang membentuk undang-undang bukan hanya DPR tetapi juga bersama Pemerintah (Presiden). Bukankah tindakan “membahas” RUU termasuk pengertian membentuk undang-undang? Praktik semacam itu sudah dilakukan sejak lama. Lebih-lebih sejak DPRS terbentuk, sesaat setelah kembali ke UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. RUU dibahas bersama oleh DPR dan Pemerintah. Kemudian Presiden (dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara) mengesahkan RUU tersebut menjadi undang-undang.
Kapan persetujuan bersama tercapai?
Rumusan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 Perubahan Pertama yang secara substansial sama dan merupakan gabungan rumusan Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 Asli[1], menyatakan bahwa suatu RUU yang tidak mendapat persetujuan bersama  tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu. Artinya bahwa pembahasan RUU tersebut harus dihentikan karena tidak tercapai kata sepakat, tidak tercapai kesepahaman antara DPR dan Pemerintah.
Memperhatikan tempo pembicaraan yang dilakukan antara DPR dan Pemerintah maka persetujuan DPR dilakukan pada akhir persidangan. Apakah hal itu berlaku pula bagi Pemerintah? Sebagaimana dimaklumi bahwa sejak dahulu hingga UUD 1945 diubah, yang ikut membahas RUU di DPR adalah Menteri atau pejabat setingkat Menteri atau bahkan pejabat kementerian terkait dibawah Menteri. Presiden tidak pernah ikut membahas RUU[2]. Praktik pembentukan undang-undang yang sudah dilaukan bertahun-tahun membuktikan bahwa persetujuan yang dilakukan oleh Presiden adalah pada saat Presiden membubuhkan tanda tangan dalam undang-undang dimaksud. Dengan tidak membubuhkan tanda tangannya, maka Presiden tidak menyetujui RUU tersebut untuk menjadi undang-undang. Hal itu tercermin dari rumusan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 Perubahan Pertama yang menyatakan: Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang”.
Oleh karena itu maka rancangan undang-undang yang tidak disahkan oleh Presiden tersebut harus dipending.
Adakah “checks and balances” dalam pembentukan undang-undang?
Memperhatikan ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan Kedua yang menyatakan: Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Rasanya janggal, tidak elok, suatu undang-undang yang diberlakukan tanpa ada tanda tangan dari Presiden sebagai Kepala Negara. Bukan janggal dan tidak elok, tetapi juga hal itu mencerminkan ketidak selarasan antara legislatif (DPR) dan eksekutif (Presiden). Bukankah, dahulu para pendiri negara (the founding farhers) mengharapkan negara Indonesia berdasarkan pada asas kekeluargaan. Negara yang dibentuk adalah negara integralistik (Soepomo) atau negara gotong royong (Hatta).  Negara integralistik a la Indonesia adalah negara yang disemangati oleh rasa persaudaraan, kebersamaan, persatuan. Bukan pertentangan antara satu kelompok dengan kelompok lain. Demikian pula dalam hubungan antar lembaga negara. DPR dan Pemerintah (Presiden) adalah partner, bukan rival. Satu sama lain tidak harus saling jegal. Demikian halnya dalam pembentukan undang-undang. Harus ada kesepahaman, kesepakatan, kesamaan pendapat.
Mungkin perlu dikaji ulang struktur hubungan antara DPR dan Pemerintah (Presiden) dalam membentuk undang-undang tersebut. Intinya bahwa UUD 1945 harus berakar pada falsafah Bangsa Indonesia, kekeluargaan, gotong royong. Falsafah itu menggambarkan adanya checks and balances dari sistem ketatanegaraan Indonesia yang digagas para pendiri negara.
Sebelum UUD 1945 diubah, tidak ditemukan suatu undang-undang tanpa pengesahan (tanda tangan) Presiden. Saat itu suatu RUU untuk dapat disahkan harus mendapai persetujuan dari DPR maupun Presiden. Kedua lembaga tersebut harus sepakat, ada pemahaman yang sama. Suatu RUU meskipun sudah mendapat persetuluan DPR tetapi tidak disahkan oleh Presiden RUU tersebut tidak dapat dimajukan/dibahas lebih lanjut oleh DPR dan Pemerinah masa persidangan masa itu. Pembahasan RUU tersebut harus dipending. Demikian sebaliknya, Presiden tidak dapat mengesahkan RUU tanpa terlebih dahulu mencapai persetujuan DPR. Itulah mungkin yang disebut “checks and balances”.
Agar tercapai adanya saling cek dan saling mengimbangi antara DPR dan Presiden, maka Presiden sebaiknya diberi hak tolak.
Dampak Undang-undang tidak disahkan oleh Presiden
Undang-undang berisi aturan norma hukum umum (general legal norm). Sebagai norma hukum umum, perlu ada penjabaran lebih lanjut, perlu ada peraturan pelaksanaan untuk mengkonkritkan aturan-aturan dalam undang-undang tersebut. Penjabaran lebih lanjut dari undang-undang dilaksanakan dalam peraturan pemerintah (Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri, dsb), secara berjenjang. Bagaimana Presiden yang tidak mengesahkan undang-undang tersebut dapat membentuk peraturan pelaksanaannya? Undang-undang yang memerlukan peraturan pelaksanaannya tidak mungkin dapat diaplikasikan. Dia akan jadi aturan yang tidak berarti, hanya berlaku diatas kertas, tidak membumi. Karena tidak merasa menyetujuinya, maka Pemerintah (Presiden) dapat saja “berdiam diri”. Itulah salah satu akibat yang mungkin terjadi.
Kemudian, apabila undang-undang tersebut dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi untuk diuji materi, dapatkah Pemerintah (Presiden) dijadikan sebagai pihak termohon? Dapatkah pihak Pemerintah menyatakan “no comment  apabila  dimintai penjelasan? Ini menjadi suatu masalah dalam beracara di Mahkamah Konstitusi.
Dari segi teknik penyusunan format undang-undang yang sudah baku ditetapkan dalam praktik maupun dalam lampiran UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 10 Tahun 2004, terdapat frasa-frasa mungkin menjadi permasalahan. Dalam pembukaan undang-undang di bawah judul undang-undang tertulis PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, dan pada bagian lain sebelum kata-kata dictum MEMUTUSKAN dan MENETAPKAN, terdapat frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Apakah frasa-frasa tersebut perlu dituliskan? Tepatkah hal itu dicantumkan, sementara Presiden tidak membubuhkan tanda tangan  alias tidak mengesahkannya? Ini pula salah satu kejanggalan dan ketidakelokannya, akibat dari sistem hubungan antara DPR dan Pemerintah (Presiden) yang tidak luwes.
Beberapa rekomendasi untuk perbaikan di masa mendatang
Ada beberapa rekomendasi yang ingin saya sampaikan di akhir tulisan ini, antara lain:
  1. UUD 1945 perlu direvisi kembali, tentunya dengan kajian yang matang, mendalam dan komprehensif.
  2. Falsafah bangsa Indonesia yang dijadikan dasar oleh para pendiri negara harus menjadi acuan, khususnya tentang paham negara kekeluargaan (integralistik) Indonesia. Hubungan antar lembaga harus didasarkan pada hubungan kemitraan, saling hormat menghormati, sesuai falsafah Pancasila.
  3. Dalam pembentukan undang-undang harus dijalin kesepahaman, kesepakatan agar produk hukum tersebut dapat dijalankan dengan baik.Tidak terjadi dominasi satu lembaga terhadap lembaga yang lain. Jangan terjadi bahwa suatu lembaga lebih “heavy” dari lembaga yang lain. Konsepsi “checks and balances” terjalin dengan rukun dan damai.
………………..
Bandung, akhir Maret 2018.



[1] Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Asli menyatakan: Jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan DPR, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam peridangan DPR masa itu.
Pasal 21 ayat (2) UUD 1945 Asli menyatkan: Jika rancangan itu, meskipun disetujui oleh DPR, tidak disahkan oleh Presiden, maka rancangan tadi tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
[2] Rumusan Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 Perubahan Pertama sangat tidak rasional, karena disebutkan Presiden yang ikut membahas RUU di DPR. Apakah dengan ketentuan seperti Presiden dapat mendelegasikan. Bila pola pikir tersebut dipakai maka Presidenpun dapat mendelegasikan penandatanganan UU kepada Menteri. Rumusan tersebut sangat keliru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...