Sabtu, 14 April 2018

TEPATKAH UUD 1945 DILETAKKAN PADA PUNCAK SUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


TEPATKAH UUD 1945 DILETAKKAN
PADA PUNCAK SUSUNAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pendahuluan
Sudah pada maklum bahwa sejak ditetapkannya Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia dimulai dari UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan sebagai peraturan negara tertinggi dalam susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Susunan tesebut telah beberapa kali diubah, mulai ditetapkannya Ketetapan MPR No.III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004 dan terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2011.

Susunan tersebut ternyata tidak lengkap, tidak tuntas, karena masih diakui banyaknya jenis peraturan perundang-undangan yang belum ”tercover” dalam tata susunan tersebut.[1] Lepas dari persoalan-persoalan tersebut, hingga kini UUD 1945 ditempatkan pada puncak susunan peraturan perundang-undangan. Semua mengakuinya, tanpa komentar.

Susunan peraturan perundang-undangan tersebut menggambarkan bahwa semakin ke atas, kedudukannya semakin tinggi dan mempunyai sifat kekuatan (mengikat) yang lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya. Kedudukan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi rujukan dan dapat mengesampingkan peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Permasalahan

Satu hal yang menurut penulis ada suatu hal yang bersifat irrasional. Apakah itu? Tepatkan sebutan Undang Undang Dasar 1945 diletakkan di tempat yang paling  atas dalam tata susunan peraturan perundang-undangan?

Analisis

Rasanya tidak perlu menggunakan teori yang muluk, kita gunakan cara nalar yang sederhana saja.Namun, sebelumnya kita singgung dahulu pendapat Hans Kelsen tentang susunan norma hukum dalam negara. Bahwa norma hukum dalam negara selalu bersusun secara berjenjang (regressus), dari norma yang umum dan abstrak menuju ke norma yang khusus dan konkrit. Dalam Stufen Theorienya, Hans Kelsen menggambarkan bahwa pada puncak piramida hukum terdapat Ursprungsnorm, yaitu norma yang menjadi sumber dari segala norma di bawahnya. Secara tersusun norma di bawahnya berupa General Norm, Tussen Norm dan kemudian dikonkritkan dalam Concrete Norm. Hans Nawiasky, murid Hans Kelsen, merinci norma hukum dalam negara dalam empat tingkatan. Menurut Hans Nawiasky, norma-norma hukum dalam Negara berada dalam tata susunan dari atas ke bawah sebagai berikut:
-  Norma fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm);
-      Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (Staatsgrundgesetz);
-      Undang-undang (formal) (formell Gesetz); dan
-      Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom (Verordnung & autonome Satzung).[2]

Dalam konteks pemakaian istilah grundnorm dalam tata susunan norma dalam negara, penulis lebih cenderung memakai istilah ursprungnorm yang diartikan sebagai norma asal atau norma yang menjadi sumber dari segala norma di bawahnya.
Kelihatannya pendapat tersebut ”diadopsi” oleh para pakar Indonesia, seperti antara lain oleh Prof. Notonegoro dan Prof. Hamid S Attamimi. Prof. Notonagoro, menyebut Pancasila sebagai Staatsfundamentalenorm. Yang dalam tata susunan peraturan perundang-undangan tidak dimasukkan, karena Pancasila berada pada (pembukaan) UUD 1945. Demikian pula Hamid S Attamimi. Menurut beliau bukan hanya Pancasila yang dikeluarkan dari tata susunan norma hukum dalam negara, UUD 1945 dan Ketetapan MPR tidak termasuk jenis peraturan perundang-undangan. A Hamid S Attamimi secara konsekuen  “melepaskan” UUD dan Ketetapan MPR dalam pengertian peraturan perundang-undangan, sehingga urutan peraturan perundang-undangan tersebut dimulai dari Undang-undang/PERPU.
Kembali kepada pokok masalah di atas, yang tidak hilang dari rasa keanehan penulis adalah penempatan Staatsfundamentalnorm dan Staatsgrundgesetz di atas undag-undang dan peraturan pelaksanaan lainnya. Bukankah istilah fundamental dan grund mengandung arti dasar? Logika manusia, di manapun berada akan menyatakan bahwa dasar itu berada di bawah, bukan di atas. Oleh karenanya penempatan UUD 1945 di puncak tata susunan jenis-jenis peraturan perundang-undangan adalah irrasional!

Lalu, apa istilah yang lebih tepat, yang lebih rasional? Pengggunaan istilah konstitusi jauh lebih tepat. Namun, dapatkah UUD 1945 disebut sebagai Konstitusi 1945, seperti halnya sebutan Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949? Silahkan para ahli untuk mencari solusi yang terbaik!

Simpulan

Penyebutan UUD 1945 tidak salah apabila tidak dikaitkan dengan tata susunan peraturan perundang-undangan. Jika dikaitan dengan tata susunan peraturan perundang-undangan dan ditempatkan pada posisi tertinggi akan menjadi hal yang “tidak pas”, karena tempat untuk sesuatu yang disebut dasar adalah di bawah, bukan di atas.




-------------------





Bandung Pebruari 2017



[1] Lihat misalnya Pasal 8 UU No. 12Tahun 2011, yang diakui sebagai jenis-jenis peraturan perundang-undangan, tetapi tidak dimasukkan dalam tata susunan sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7. Praktikpun, sejak ditetapkan Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966, masih banyak jenis-jenis peraturan perundang-undang lain seperti Peraturan Presiden, Kepuusan Presiden, Peraturan Menteri, dsbnya.
[2] Dikutip dari A. Hamid S Attamini,  Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 287.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...