TEPATKAH UUD 1945
DILETAKKAN
PADA PUNCAK SUSUNAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
Pendahuluan
Sudah pada maklum bahwa sejak ditetapkannya Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966,
tata susunan peraturan perundang-undangan di Indonesia dimulai dari UUD 1945.
UUD 1945 ditetapkan sebagai peraturan negara tertinggi dalam susunan peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Susunan tesebut telah beberapa kali diubah,
mulai ditetapkannya Ketetapan MPR No.III/MPR/2000, UU No. 10 Tahun 2004 dan
terakhir dengan UU No. 12 Tahun 2011.
Susunan tersebut ternyata tidak lengkap, tidak tuntas, karena masih diakui
banyaknya jenis peraturan perundang-undangan yang belum ”tercover” dalam tata
susunan tersebut.[1]
Lepas dari persoalan-persoalan tersebut, hingga kini UUD 1945 ditempatkan pada
puncak susunan peraturan perundang-undangan. Semua mengakuinya, tanpa komentar.
Susunan peraturan perundang-undangan tersebut menggambarkan bahwa semakin
ke atas, kedudukannya semakin tinggi dan mempunyai sifat kekuatan (mengikat)
yang lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang berada
di bawahnya. Kedudukan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi
rujukan dan dapat mengesampingkan peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Permasalahan
Satu hal yang menurut penulis ada suatu hal yang bersifat irrasional. Apakah
itu? Tepatkan sebutan Undang Undang Dasar 1945 diletakkan di tempat yang paling
atas dalam tata susunan peraturan perundang-undangan?
Analisis
Rasanya tidak perlu menggunakan teori yang muluk, kita gunakan cara nalar yang
sederhana saja.Namun, sebelumnya kita singgung dahulu pendapat Hans Kelsen
tentang susunan norma hukum dalam negara. Bahwa norma hukum dalam negara selalu
bersusun secara berjenjang (regressus),
dari norma yang umum dan abstrak menuju ke norma yang khusus dan konkrit. Dalam
Stufen Theorienya, Hans Kelsen menggambarkan bahwa pada puncak piramida hukum
terdapat Ursprungsnorm, yaitu norma
yang menjadi sumber dari segala norma di bawahnya. Secara tersusun norma di
bawahnya berupa General Norm, Tussen Norm dan kemudian dikonkritkan
dalam Concrete Norm. Hans Nawiasky,
murid Hans Kelsen, merinci norma hukum dalam negara dalam empat tingkatan. Menurut
Hans Nawiasky, norma-norma hukum dalam Negara berada dalam tata susunan dari
atas ke bawah sebagai berikut:
- Norma fundamental Negara (Staatsfundamentalnorm);
-
Aturan dasar Negara/aturan pokok Negara (Staatsgrundgesetz);
-
Undang-undang (formal) (formell Gesetz); dan
-
Peraturan pelaksanaan serta peraturan otonom
(Verordnung & autonome Satzung).[2]
Dalam konteks pemakaian istilah grundnorm dalam tata susunan norma dalam negara, penulis lebih
cenderung memakai istilah ursprungnorm
yang diartikan sebagai norma asal atau norma yang menjadi sumber dari segala
norma di bawahnya.
Kelihatannya pendapat tersebut ”diadopsi” oleh para pakar Indonesia,
seperti antara lain oleh Prof. Notonegoro dan Prof. Hamid S Attamimi. Prof.
Notonagoro, menyebut Pancasila sebagai Staatsfundamentalenorm.
Yang dalam tata susunan peraturan perundang-undangan tidak dimasukkan, karena
Pancasila berada pada (pembukaan) UUD 1945. Demikian pula Hamid S Attamimi. Menurut
beliau bukan hanya Pancasila yang dikeluarkan dari tata susunan norma hukum
dalam negara, UUD 1945 dan Ketetapan MPR tidak termasuk jenis peraturan
perundang-undangan. A Hamid S Attamimi secara konsekuen “melepaskan” UUD dan Ketetapan MPR dalam
pengertian peraturan perundang-undangan, sehingga urutan peraturan
perundang-undangan tersebut dimulai dari Undang-undang/PERPU.
Kembali kepada pokok masalah di atas, yang tidak hilang dari rasa keanehan
penulis adalah penempatan Staatsfundamentalnorm
dan Staatsgrundgesetz di atas undag-undang
dan peraturan pelaksanaan lainnya. Bukankah istilah fundamental dan grund
mengandung arti dasar? Logika manusia, di manapun berada akan menyatakan bahwa
dasar itu berada di bawah, bukan di atas. Oleh karenanya penempatan UUD 1945 di
puncak tata susunan jenis-jenis peraturan perundang-undangan adalah irrasional!
Lalu, apa istilah yang lebih tepat, yang lebih
rasional? Pengggunaan istilah konstitusi jauh lebih tepat. Namun, dapatkah UUD
1945 disebut sebagai Konstitusi 1945, seperti halnya sebutan Konstitusi
Republik Indonesia Serikat 1949? Silahkan para ahli untuk mencari solusi yang
terbaik!
Simpulan
Penyebutan UUD 1945 tidak salah apabila
tidak dikaitkan dengan tata susunan peraturan perundang-undangan. Jika dikaitan
dengan tata susunan peraturan perundang-undangan dan ditempatkan pada posisi
tertinggi akan menjadi hal yang “tidak pas”, karena tempat untuk sesuatu yang
disebut dasar adalah di bawah, bukan di atas.
-------------------
Bandung Pebruari 2017
[1]
Lihat misalnya Pasal 8 UU No. 12Tahun 2011, yang diakui sebagai jenis-jenis
peraturan perundang-undangan, tetapi tidak dimasukkan dalam tata susunan
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7. Praktikpun, sejak ditetapkan Ketetapan
MPRS No.XX/MPRS/1966, masih banyak jenis-jenis peraturan perundang-undang lain
seperti Peraturan Presiden, Kepuusan Presiden, Peraturan Menteri, dsbnya.
[2]
Dikutip dari A. Hamid S Attamini, Peranan
Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara,
Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm 287.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar