Jumat, 13 April 2018

PEMBATALAN PERATURAN DAERAH


PEMBATALAN PERATURAN DAERAH
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

A.   Pendahuluan
Peraturan Daerah (Perda) adalah produk hukum  yang ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah sebelumnya dibahas  oleh DPRD dan pemerintah daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Menurut ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 236 Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah[1]. Rancangan Perda yang sudah disetujui bersama ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan pembubuhan tandatangan Kepala Daerah, untuk kemudian diundangan dalam Lembaran Daerah.Suatu Perda isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, serta kesusilaan[2].Jika suatu Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan atau bertentangan dengan kepentingan umum, serta kesusilaan, maka Perda tersebut dapat dibatalkan.
Berdasarkan ketentuan UUD 1945 dikenal adanya pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan daerah kabupaten dan pemerintahan daerah kota. Dengan demikian maka terdapat tiga jenis Perda, yaitu Perda Provinsi, Perda Kabupaten dan Perda Kota.Menurut ketentuan UU No. 12 Tahun 2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki. Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, kedudukannya berada di bawah peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu UU/Perpu, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden.
Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri. Sementara itu, Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota  yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat[3].
UUD 1945 Perubahan dan UU tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang jika bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
A.   Dualisme Dasar Hukum  Pembatalan Peraturan  Daerah.
Dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, terdapat ketentuan mengenai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Ketentuan tersebut menyatakan: Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945).  Artinya, bahwa Perda yang kedudukannya dalam tata urutan peraturan perundan-gundangan berada di bawah  undang-undang, apabila isinya bertentangan dengan undang-undang dapat dimohonkan untuk diuji ke Mahkamah Agung. Asas hukum mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan juga menetapkan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih tinggi.
Putusan Mahkamah Agung hasil pengujian dapat merupakan  pernyataan tidak sah dan tidak berlakunya Perda tersebut.[4] Dengan kata lain Perda yang dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku adalah batal demi hukum.
Kemudian, dalam undang-undang tentang Pemerintahan Daerah (UU No 23 Tahun 2014 yang telah diubah dengan UU No. 32 tahun 2016), diatur pula mengenai pembatalan Perda. Dalam undang-undang tersebut dibedakan antara pembatalan dan evaluasi terhadap Perda.[5]Pembatalan dilakukan terhadap Perda yang sudah diberlakukan, sementara evaluasi dilakukan terhadap Perda yang belum diberlakukan (rancangan Perda).
Dalam  UU No. 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan[6] (Pasal 250 ayat (1)). Peraturan Daerah Provinsi dan peraturan gubernur dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (Pasal 251 ayat (1)), sedangkan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota dibatalkan oleh Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (Pasal 251 ayat (2)). Pembatalan Peraturan Daerah Propinsi dan peraturan gubernur ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri, sedangkan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan Gubernur (Pasal 251 ayat (4)).Dalam ketentuan tersebut terdapat kejanggalan, mengapa suatu peraturan dibatalkan dengan keputusan. Seharusnya peraturan dibatalkan dengan peraturan, baik yang sejenis dan setingkat derajatnya atau peraturan yang lebih tinggi).Bentuk keputusan yang dapat membatalkan peraturan adalah keputusan hakim/pengadilan (vonnis).Pembatalan peraturan dengan keputusan (administrasi Negara), melanggar prinsip-prinsip hukum tata urutan.
Jika dicermati, ternyata konsepsi pembatalan Perda yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 identik dengan konsepsi pembatalan Perda menurut UU No. 5 Tahun 1974. Dalam UU No. 5 Tahun 1974, pembatalan Perda termasuk dalam kategori pengawasan represif, sedangkan evaluasi Perda sebagaimana disebut dalam Pasal 245 ayat (2) dan (3) sebagai bentuk pengawasan preventif.
B.   Permasalahan
Apabila diperhatikan secara cermat kedua ketentuan yang mengatur mengenai wewenang pembatalan peraturan perundang-undangan (khususnya Peraturan Daerah) tersebut terjadi dualisme wewenang. UUD 1945 dan UU tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang berwenang menguji (sekaligus membatalkannya) Perda adalah Mahkamah Agung, Sementara menurut UU tentang Pemerintahan Daerah yang berwenang membatalkan Perda adalah Menteri Dalam Negeri dan/atau Gubernur. Permasalahannya:
1.    Tepatkah  pembatalan Perda Propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Perda Kabupaten/Kota oleh Gubernur?
2.    Ketentuan perundang-undangan yang mana yang secara yuridis konstitusional tepat untuk dipakai sebagai landasan penetapan wewenang menguji Perda?
C.   UU No. 23 Tahun 2014 bersifat lexspecialis dari UU No 14 Tahun 1985 jo.  UU No. 5 Tahun 2004?

Praktik yang berlaku dewasa ini pembatalan Perda (Provinsi maupun Kabupaten/Kota) mengacu kepada UU tentang Pemerintahan Daerah. Dalam ilmu perundang-undangan dikenal asas lex specialis derogate legi generalis, ketentuan undang-undang yang mengatur hal/materi yang khusus mengesampingkan ketentuan undang-undang yang bersifat umum. Apakah UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dapat dikatakan sebagai lex specialis dari UU tentang Mahkamah Agung, bahkan lex spesialis dari UUD 1945? Lalu, dimana ketentuan yang dianggap bersifat umum dan mana yang bersifat khusus? Apakah ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan pengujian Perda dapat dianggap sebagai lex specialis dari ketentuan yang mengatur wewenang mengenai hak (menilai) menguji materi peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang (dalam hal ini Perda)? Mengingat pokok persoalan utamanya adalah tentang wewenang menilai atau hak mengujinya, maka wewenang untuk melakukan hak menguji sekaligus membatalkan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang (khususnya Perda) diberikan kepada Mahkamah Agung, Pengatribusikan atau pemberian wewenang tersebut diatur dalam Pasal 24A UUD 1945 Perubahan Ketiga.Sudah pada maklum bahwa kedudukan UUD 1945 berada pada puncak tata urutan peraturan perundang-undangan (Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011), maka secara konstitusional wewenang menguji sekaligus membatalkan Perda berada pada Mahkamah Agung.UUD 1945 berada pada kedudukan yang lebih tinggi dari UU No. 23 Tahun 2014. Dalam keadaan demikian berlaku asas hukum lex superiori derogate lex inperiori.[7]Ketentuan dalam UUD 1945 mengesampingkan ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014.Jadi, alasan pemberian wewenang pembatalan Perda oleh Pemerintah (Menteri Dalam Negeri) yang diatur melalui UU No. 23 Tahun 2014 bertentangan dengan ketentuan Pasal 24A UUD 1945 Perubahan Ketiga

Wewenang MA tersebut kemudian diatur-ulang dalam Pasal 31
UU No 14 Tahun 1985[8] sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. UU No. 5 Tahun 2004 merupakan turunan dari UUD 1945.Pemberian wewenang kepada MA untuk menguji peraturan di bawah undang-undang adalah wewenang atribusian.UU Pemerintahan Daerah adalah turunan dari Pasal 18 UUD 1945.Sementara Pasal 18 tidak mengatur mengenai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.Dengan demikian UU tentang Pemerintahan Daerah bukan merupakan undang-undang yang bersifat lex spesialis dari UU tentang Mahkamah Agung.Sudah tak terbantahkan bahwa wewenang menguji dan/atau membatalkan Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya bertentangan dengan UU, harus berada pada Mahkamah Agung. Atas dasar itu apabila Pemerintah dan masyarakat menganggap suatu Perda isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi harus dimohonkan uji materi ke Mahkamah Agung, karena pembentuk UUD 1945 berpendirian bahwa pengujian peraturan perundangan-undangan tergolong sebagai judicial review bukan administrative/executive review.

Pada sisi lain UU No. 23 Tahun 2014 tidak memberikan penjelasan yang rinci apa yang dimaksud dengan kepentingan umumdan  kesusilaan. Pengertian “kepentingan umum” dan “kesusilaan” yang dimaksud dalam UU tersebut sangat debatable, bahkan tidak jelas tolak ukurnya.Bisa saja “kepentingan umum” diartikan sebagai kepentingan Pemerintah Pusat.

D.   Pembatalan Perda menurut UU No. 32 Tahun 2004

Senada dengan ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014, menurut UU No. 32 Tahun 2004 Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 136). Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.[9] Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut oleh Pemerintah.[10]
Ada hal yang menarik dari ketentuan tersebut yang berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014, yaitu mengenai bentuk hukum pembatalan Perda, baik untuk Perda Propinsi maupun untuk Perda Kabupaten/Kota.Bahwa Perda hanya dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden.Artinya bahwa yang berwenang membatalkan Perda hanyalah Presiden.Bagaimana praktiknya? Kenyataannya sama, bahwa saat itu Perda dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (dalam bentuk hukum Keputusan Menteri).

Apapun alasannya, pembatalan Perda (baik Perda Propinsi maupun Perda Kabupaten/Kota) yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri adalah melanggar undang-undang.Bahkan bukan hanya melanggar undang-undang, juga bertentangan dengan Pasal 24A UUD 1945 Perubahan Ketiga dan UU tentang Mahkamah Agung.Bahkan pembatalan Perda oleh Presiden dalam bentuk hukum Peraturan Presiden pun, tidak sesuai dengan Pasal 24A UUD 1945. Namun sayang, pada saat berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut tidak ada upaya untuk melakukan uji materil ke Mahkamah Agung atau ke Mahkamah Konstitusi.[11]

E.   Kesimpulan dan Rekomendasi
Hal-hal yang dapat disimpulkan dari uraian di atas adalah:
1.  Secara konstitusional wewenang membatalkan Perda berada pada Mahkamah Agung, karena Perda adalah peraturan perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang.
2.  Pemberian wewenang kepada badan atau pejabat lain menurut undang-undang melanggar ketentuan Pasal 24A UUD 1945 Perubahan Ketiga. Seharusnya Pasal 24A UUD 1945 Perubahan Ketiga dan UU tentang Mahkamah Agung sebagai turunannya harus jadi acuan pembatalan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
3.  Pembatalan Perda oleh Pemerintah (Presiden, Menteri Dalam Negeri dan Gubernur) merupakan sebuah langkah mundur, kemunduran demokrasi dan khususnya otonomi daerah, karena pola tersebut pernah dianut dalam UU No. 5 Tahun 1974 (Orde Baru) yang dianggap lebih sentralistik, lebih mengutamakan asas dekonsentrasi ketimbang desentralisasi (otonomi) Pembatalan Perda oleh Pemerintah sebagai implementasi pengawasan represif.
4.    Penetapan pembatalan Perda menurut UU Pemerintahan Daerah perlu dikaji ulang, karena ada kecenderungan kesewenang-wenangan Pemerintah Pusat.




Daftar Bacaan

UUD 1945 Perubahan Ketiga
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
UU No 14 Tahun 1985
UU No. 5 Tahun 2004
UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Putusan MK No.137/PUU-XIII/2015 dan No.56/PUU-XIV/2016.


[1]Meskipun yang menyetujui adalah Kepala Daerah, tetapi pembahasa nrancangan Perda dilakukan oleh SKPD yang ditunjuk untuk mewakil iKepala Daerah bersama-sama DPRD.Kepala Daerah tidak ikut melakukan pembahasan, hanya menyampaikan raperda tersebut kepada  DPRD.
[2] Pasal 250 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014
[3]Pasal 251 ayat (1) dan ayat (2) UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
[4]Wewenang Mahkamah Agung tersebut diatur lebih lanjut dalam undang-undang tentang Mahkama Agung.Mahkamah Agung sendiri atas delegasian dari UU kemudian membuat Peraturan Mahkamah Agung tentang mekanisme Hak Uji Materil yaitu Peraturan Mahkamah Agung No.  01 tahun 2011 sebagai pembaharuan dari Perma  No.01 tahun 2004, Perma No 1 tahun 1999 dan Perma No.1 tahun 1993, tentang Hak Uji Materil.
[5]Lihat Pasal 245 (1) Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi MenterI sebelum ditetapkan oleh gubernur. (2) Menteri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan dan untuk evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang tata ruang daerah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang tata ruang. (3) Rancangan Perda kabupaten/kota yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah,  retribusi daerah, dan tata ruang daerah harus mendapa tevaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum ditetapkan oleh bupati/walikota.
[6]Bertentangan dengan kepentingan umum meliputi: (a) terganggunya kerukunan antar warga masyarakat; (b) terganggunya akses terhadap pelayanan public; (c) terganggunya ketentraman dan ketertiban umum; (d) terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan/atau; (e) diskriminasi terhada psuku, agama dan kepercayaan, ras, antar golongan dan gender. (Pasal 250 ayat 2).

[7]Asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan perundang-undangan di bawahanya (lebih rendah).
[8](1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alas an bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3)    Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4)    Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

[9]Pasal 145 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004.
[10]Pasal 145 ayat (3)UU No. 32 Tahun 2004.
[11]Lihat putusan MK No.137/PUU-XIII/2015 dan No.56/PUU-XIV/2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...