PEMBATALAN
PERATURAN DAERAH
Oleh:
Rosjidi Ranggawidjaja
A.
Pendahuluan
Peraturan
Daerah (Perda) adalah produk hukum yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah sebelumnya dibahas oleh DPRD dan
pemerintah daerah untuk mendapat persetujuan bersama. Menurut ketentuan UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 236 Peraturan Daerah dibentuk
oleh DPRD dengan persetujuan bersama kepala Daerah[1]. Rancangan
Perda yang sudah disetujui bersama ditetapkan oleh Kepala Daerah dengan
pembubuhan tandatangan Kepala Daerah, untuk kemudian diundangan dalam Lembaran
Daerah.Suatu Perda isinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan tidak boleh bertentangan dengan
kepentingan umum, serta kesusilaan[2].Jika
suatu Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dan atau bertentangan dengan kepentingan umum, serta kesusilaan, maka Perda
tersebut dapat dibatalkan.
Berdasarkan
ketentuan UUD 1945 dikenal adanya pemerintahan daerah provinsi, pemerintahan
daerah kabupaten dan pemerintahan daerah kota. Dengan demikian maka terdapat
tiga jenis Perda, yaitu Perda Provinsi, Perda Kabupaten dan Perda Kota.Menurut
ketentuan UU No. 12 Tahun 2011Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,
kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki. Peraturan
Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, kedudukannya berada di bawah
peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu UU/Perpu, Peraturan Pemerintah dan
Peraturan Presiden.
Perda
Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan
oleh Menteri. Sementara itu, Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali
kota yang bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau
kesusilaan dibatalkan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat[3].
UUD
1945 Perubahan dan UU tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa Mahkamah Agung
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang jika
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.
A.
Dualisme Dasar Hukum Pembatalan
Peraturan Daerah.
Dalam
UUD 1945 Perubahan Ketiga yang mengatur tentang Kekuasaan Kehakiman, terdapat
ketentuan mengenai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang. Ketentuan tersebut menyatakan: Mahkamah Agung berwenang
mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh undang-undang. (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). Artinya, bahwa Perda yang kedudukannya dalam
tata urutan peraturan perundan-gundangan berada di bawah undang-undang,
apabila isinya bertentangan dengan undang-undang dapat dimohonkan untuk diuji
ke Mahkamah Agung. Asas hukum mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan
juga menetapkan bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang derajatnya lebih
tinggi.
Putusan
Mahkamah Agung hasil pengujian dapat merupakan
pernyataan tidak sah dan tidak berlakunya Perda tersebut.[4]
Dengan kata lain Perda yang dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku adalah batal
demi hukum.
Kemudian, dalam undang-undang tentang
Pemerintahan Daerah (UU No 23 Tahun 2014 yang telah diubah dengan UU No. 32
tahun 2016), diatur pula mengenai pembatalan Perda. Dalam undang-undang
tersebut dibedakan antara pembatalan dan evaluasi terhadap Perda.[5]Pembatalan dilakukan terhadap
Perda yang sudah diberlakukan, sementara evaluasi dilakukan terhadap Perda yang
belum diberlakukan (rancangan Perda).
Dalam
UU No. 23 Tahun 2014 disebutkan bahwa Peraturan Daerah dan Peraturan
Kepala Daerah dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau kesusilaan[6] (Pasal 250 ayat (1)).
Peraturan Daerah Provinsi dan peraturan gubernur dibatalkan oleh Menteri Dalam
Negeri (Pasal 251 ayat (1)), sedangkan pembatalan Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/walikota dibatalkan oleh Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah Pusat (Pasal 251 ayat (2)). Pembatalan Peraturan Daerah
Propinsi dan peraturan gubernur ditetapkan dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri, sedangkan pembatalan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan peraturan
bupati/walikota ditetapkan dengan keputusan Gubernur (Pasal 251 ayat (4)).Dalam
ketentuan tersebut terdapat kejanggalan, mengapa suatu peraturan dibatalkan
dengan keputusan. Seharusnya peraturan dibatalkan dengan peraturan, baik yang
sejenis dan setingkat derajatnya atau peraturan yang lebih tinggi).Bentuk
keputusan yang dapat membatalkan peraturan adalah keputusan hakim/pengadilan (vonnis).Pembatalan peraturan dengan
keputusan (administrasi Negara), melanggar prinsip-prinsip hukum tata urutan.
Jika dicermati, ternyata konsepsi
pembatalan Perda yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 identik dengan konsepsi
pembatalan Perda menurut UU No. 5 Tahun 1974. Dalam UU No. 5 Tahun 1974,
pembatalan Perda termasuk dalam kategori pengawasan represif, sedangkan
evaluasi Perda sebagaimana disebut dalam Pasal 245 ayat (2) dan (3) sebagai
bentuk pengawasan preventif.
B.
Permasalahan
Apabila diperhatikan secara cermat kedua
ketentuan yang mengatur mengenai wewenang pembatalan peraturan
perundang-undangan (khususnya Peraturan Daerah) tersebut terjadi dualisme
wewenang. UUD 1945 dan UU tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa yang
berwenang menguji (sekaligus membatalkannya) Perda adalah Mahkamah Agung,
Sementara menurut UU tentang Pemerintahan Daerah yang berwenang membatalkan
Perda adalah Menteri Dalam Negeri dan/atau Gubernur. Permasalahannya:
1.
Tepatkah pembatalan Perda
Propinsi dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri dan Perda Kabupaten/Kota oleh
Gubernur?
2.
Ketentuan perundang-undangan yang mana yang secara yuridis
konstitusional tepat untuk dipakai sebagai landasan penetapan wewenang menguji
Perda?
C. UU No.
23 Tahun 2014 bersifat lexspecialis dari UU No 14 Tahun 1985 jo. UU No. 5 Tahun 2004?
Praktik yang berlaku dewasa
ini pembatalan Perda (Provinsi maupun Kabupaten/Kota) mengacu kepada UU tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam ilmu perundang-undangan dikenal asas lex specialis derogate legi generalis,
ketentuan undang-undang yang mengatur hal/materi yang khusus mengesampingkan
ketentuan undang-undang yang bersifat umum. Apakah UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah dapat dikatakan sebagai lex
specialis dari UU tentang Mahkamah Agung, bahkan lex spesialis dari UUD 1945? Lalu, dimana ketentuan yang dianggap
bersifat umum dan mana yang bersifat khusus? Apakah ketentuan dalam UU No.
23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah yang berkaitan dengan pengujian Perda dapat dianggap
sebagai lex specialis dari ketentuan
yang mengatur wewenang mengenai hak (menilai) menguji materi peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang (dalam hal ini Perda)? Mengingat pokok
persoalan utamanya adalah tentang wewenang menilai atau hak mengujinya, maka
wewenang untuk melakukan hak menguji sekaligus membatalkan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang (khususnya Perda) diberikan kepada
Mahkamah Agung, Pengatribusikan atau pemberian wewenang tersebut diatur dalam
Pasal 24A UUD 1945 Perubahan Ketiga.Sudah pada maklum bahwa kedudukan UUD 1945
berada pada puncak tata urutan peraturan perundang-undangan (Pasal 7 UU No. 12
Tahun 2011), maka secara konstitusional wewenang menguji sekaligus membatalkan
Perda berada pada Mahkamah Agung.UUD 1945 berada pada kedudukan yang lebih
tinggi dari UU No. 23 Tahun 2014. Dalam keadaan demikian berlaku asas hukum lex superiori derogate lex inperiori.[7]Ketentuan dalam UUD 1945
mengesampingkan ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014.Jadi, alasan pemberian
wewenang pembatalan Perda oleh Pemerintah (Menteri Dalam Negeri) yang diatur
melalui UU No. 23 Tahun 2014 bertentangan dengan ketentuan Pasal 24A UUD 1945
Perubahan Ketiga
Wewenang MA tersebut kemudian diatur-ulang dalam Pasal 31 UU No 14 Tahun 1985[8] sebagaimana terakhir diubah dengan UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. UU No. 5 Tahun 2004 merupakan turunan dari UUD 1945.Pemberian wewenang kepada MA untuk menguji peraturan di bawah undang-undang adalah wewenang atribusian.UU Pemerintahan Daerah adalah turunan dari Pasal 18 UUD 1945.Sementara Pasal 18 tidak mengatur mengenai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.Dengan demikian UU tentang Pemerintahan Daerah bukan merupakan undang-undang yang bersifat lex spesialis dari UU tentang Mahkamah Agung.Sudah tak terbantahkan bahwa wewenang menguji dan/atau membatalkan Perda yang dianggap bertentangan dengan peraturan-perundang-undangan yang lebih tinggi, khususnya bertentangan dengan UU, harus berada pada Mahkamah Agung. Atas dasar itu apabila Pemerintah dan masyarakat menganggap suatu Perda isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi harus dimohonkan uji materi ke Mahkamah Agung, karena pembentuk UUD 1945 berpendirian bahwa pengujian peraturan perundangan-undangan tergolong sebagai judicial review bukan administrative/executive review.
Pada sisi lain UU No. 23
Tahun 2014 tidak memberikan penjelasan yang rinci apa yang dimaksud dengan
kepentingan umumdan kesusilaan.
Pengertian “kepentingan umum” dan “kesusilaan” yang dimaksud dalam UU tersebut
sangat debatable, bahkan tidak jelas tolak ukurnya.Bisa saja “kepentingan umum”
diartikan sebagai kepentingan Pemerintah Pusat.
D.
Pembatalan
Perda menurut UU No. 32 Tahun 2004
Senada dengan ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014,
menurut UU No. 32 Tahun 2004 Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan
umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 136). Perda
yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.[9] Keputusan
pembatalan Perda sebagaimana dimaksud ditetapkan
dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh)
hari sejak diterimanya Perda tersebut oleh Pemerintah.[10]
Ada hal yang menarik dari ketentuan tersebut yang
berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2014, yaitu mengenai bentuk hukum
pembatalan Perda, baik untuk Perda Propinsi maupun untuk Perda
Kabupaten/Kota.Bahwa Perda hanya dapat dibatalkan dengan Peraturan
Presiden.Artinya bahwa yang berwenang membatalkan Perda hanyalah
Presiden.Bagaimana praktiknya? Kenyataannya sama, bahwa saat itu Perda
dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri (dalam bentuk hukum Keputusan Menteri).
Apapun alasannya, pembatalan Perda (baik Perda
Propinsi maupun Perda Kabupaten/Kota) yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri
adalah melanggar undang-undang.Bahkan bukan hanya melanggar undang-undang, juga
bertentangan dengan Pasal 24A UUD 1945 Perubahan Ketiga dan UU tentang Mahkamah
Agung.Bahkan pembatalan Perda oleh Presiden dalam bentuk hukum Peraturan
Presiden pun, tidak sesuai dengan Pasal 24A UUD 1945. Namun sayang, pada saat
berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tersebut tidak ada upaya untuk melakukan uji
materil ke Mahkamah Agung atau ke Mahkamah Konstitusi.[11]
E.
Kesimpulan
dan Rekomendasi
Hal-hal yang dapat
disimpulkan dari uraian di atas adalah:
1. Secara konstitusional wewenang
membatalkan Perda berada pada Mahkamah Agung, karena Perda adalah peraturan
perundang-undangan yang berada di bawah undang-undang.
2. Pemberian wewenang kepada badan atau
pejabat lain menurut undang-undang melanggar ketentuan Pasal 24A UUD 1945
Perubahan Ketiga. Seharusnya Pasal 24A UUD 1945 Perubahan Ketiga dan UU tentang
Mahkamah Agung sebagai turunannya harus jadi acuan pembatalan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang.
3. Pembatalan Perda oleh Pemerintah (Presiden,
Menteri Dalam Negeri dan Gubernur) merupakan sebuah langkah mundur, kemunduran
demokrasi dan khususnya otonomi daerah, karena pola tersebut pernah dianut
dalam UU No. 5 Tahun 1974 (Orde Baru) yang dianggap lebih sentralistik, lebih
mengutamakan asas dekonsentrasi ketimbang desentralisasi (otonomi) Pembatalan
Perda oleh Pemerintah sebagai implementasi pengawasan represif.
4. Penetapan pembatalan Perda menurut UU
Pemerintahan Daerah perlu dikaji ulang, karena ada kecenderungan
kesewenang-wenangan Pemerintah Pusat.
Daftar Bacaan
UUD
1945 Perubahan Ketiga
UU No. 5 Tahun 1974
tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
UU No 14 Tahun 1985
UU No. 5 Tahun 2004
UU No.
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
UU No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Putusan
MK No.137/PUU-XIII/2015
dan No.56/PUU-XIV/2016.
[1]Meskipun yang menyetujui adalah Kepala Daerah, tetapi
pembahasa nrancangan Perda dilakukan oleh SKPD yang ditunjuk untuk mewakil
iKepala Daerah bersama-sama DPRD.Kepala Daerah tidak ikut melakukan pembahasan,
hanya menyampaikan raperda tersebut kepada
DPRD.
[4]Wewenang Mahkamah Agung tersebut diatur lebih lanjut
dalam undang-undang tentang Mahkama Agung.Mahkamah Agung sendiri atas delegasian
dari UU kemudian membuat Peraturan Mahkamah Agung tentang mekanisme Hak Uji
Materil yaitu Peraturan
Mahkamah Agung No. 01 tahun 2011 sebagai pembaharuan dari Perma
No.01 tahun 2004, Perma No 1 tahun 1999 dan Perma No.1 tahun 1993, tentang Hak
Uji Materil.
[5]Lihat
Pasal 245 (1) Rancangan Perda Provinsi yang mengatur tentang RPJPD, RPJMD,
APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah,
retribusi daerah dan tata ruang daerah harus mendapat evaluasi MenterI sebelum
ditetapkan oleh gubernur. (2) Menteri dalam melakukan evaluasi Rancangan Perda
Provinsi tentang pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang keuangan dan untuk evaluasi Rancangan Perda Provinsi tentang tata ruang
daerah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan
bidang tata ruang. (3) Rancangan Perda kabupaten/kota yang mengatur tentang
RPJPD, RPJMD, APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak
daerah, retribusi daerah, dan tata ruang
daerah harus mendapa tevaluasi gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebelum
ditetapkan oleh bupati/walikota.
[6]Bertentangan dengan
kepentingan umum meliputi: (a) terganggunya kerukunan antar warga masyarakat;
(b) terganggunya akses terhadap pelayanan public; (c) terganggunya ketentraman
dan ketertiban umum; (d) terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan/atau; (e) diskriminasi terhada psuku, agama dan
kepercayaan, ras, antar golongan dan gender. (Pasal 250 ayat 2).
[7]Asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi mengesampingkan
peraturan perundang-undangan di bawahanya (lebih rendah).
[8](1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
(2) Mahkamah Agung
menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas
alas an bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3)
Putusan mengenai
tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun
berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4)
Peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[9]Pasal 145 ayat (2) UU
No. 32 Tahun 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar