MAJELIS
PERMUSYARATAN RAKYAT:
(BUKAN)
LEMBAGA NEGARA TERTINGGI?
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
Latar
Belakang
Baik
dalam UUD 1945 asli maupun dalam UUD 1945 perubahan tidak ada pernyataan bahwa
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sebuah badan atau lembaga negara.
Menurut pemahaman UUD 1945 asli, MPR adalah pelaku sepenuhnya kedaulatan
rakyat. Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah
dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan. Tugas MPR adalah menetapkan
undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara, memilih Presiden dan
Wakil Presiden. Wewenang MPR adalah mengubah UUD. Dalam melakukan tugasnya, MPR
bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara dan segala
putusannya ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Dalam
Penjelasan Umum angka III dinyatakan bahwa Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu
badan (cetak miring dari penulis), bernama ”Majelis Permusyawaratan
Rakyat”, sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des
Willens des Staatsvolkes). Jadi, pernyataan bahwa MPR adalah ”suatu
badan” diberikan oleh Penjelasan UUD 1945 yang secara historis bukan produk
dari PPKI, melainkan uraian yang dibuat oleh Soepomo.
Setelah
UUD 1945 diubah, susunan, tugas dan wewenang MPR mengalami perubahan. MPR
terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Fungsi, tugas dan wewenang MPR
menjadi: (1) berwenang mengubah dan menetapkan UUD; (2) melantik Presiden dan
atau Wakil Presiden; (3) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden,
setelah ada usulan dari DPR dan putusan Mahkamah Konstitusi; (4) memilih Wakil
Presiden dari dua calon yang diajukan oleh Presiden dalam hal terjadi
kekosongan jabatan Wakil Presiden; (5) memilih Presiden dan Wakil Presiden
dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara
bersamaan; (6) menyaksikan pengucapan sumpah atau janji Presiden dan atau
Wakil Presiden. Secara implisit, MPR memiliki hak untuk menetapkan Ketetapan
MPR (UU No. 12 Tahun 2011). Merujuk kepada ketentuan Pasal 24C dan Pasal II
Aturan Peralihan, maka secara tersirat MPR tergolong sebagai lembaga negara.
Perubahan
UUD 1945 telah menghilangkan tugas MPR untuk memiih Presiden dan atau Wakil
Presiden (dalam keadaan normal). Tugas tersebut hanya dilakukan apabila terjadi
kekosongan jabatan Presiden dan atau Wakil Presiden (Pasal 8). Pemberhentian
Presiden dan atau Wakil Presiden pun hanya dapat dilakukan setelah ada dugaan
dari DPR dan diajukan ke MK untuk diperiksa dan diputus. Walaupun demikian
produk hukum MPR menduduki posisi yang tertinggi dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan. Hal itu disebabkan pula oleh fungsi dan wewenang MPR untuk
mengubah dan menetapkan UUD.
Permasalahan
UUD 1945
Asli maupunUUD 1945 Perubahan tidak menetapkan kedudukan MPR dalam struktur
pemerintahan negara. Apakah MPR sebagai lembaga negara tertinggi atau sebagai
lembaga negara tinggi?
Kajian
historis fungsional MPR
a.
Kedudukan MPR dalam sejarah kenegaraan RI
Sebagaimana
diketahui, sebelum MPR hasil pemilihan umum dibentuk, berdasarkan Penpres No. 2
Tahun 1959 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (LN No. 77 Tahun
1959) dibentuklah MPRS. Dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara Republik Indonesia Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua
Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada posisi dan Fungsi yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka kedudukan MPRS dianggap sama dengan
MPR sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kemudian dalam Ketetapan MPR No.
III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja Tertinggi
Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, ditetapkan dengan tegas
kedudukan dari lembaga-lembaga tersebut. Bahkan MPR diposisikan sebagai Lembaga
Tertinggi Negara.
Namun,
diakui oleh para pendiri negara – bahkan menjadi ”mindset” berdirinya
MPR -- khususnya pemikiran Soepomo dan Yamin, bahwa keberadaan MPR diadopsi
dari sistem ketatanegaraan berdasarkan ”hukum adat” yang berlaku
saat itu di seluruh wilayah negara, khususnya di Jawa yaitu ”rapat desa”
sebagai ”lembaga permusyawaratan desa” tempat rakyat mengadakan ”rembug
desa”, membahas masalah-masalah pokok dalam kehidupan di desa maupun
menetapkan ”aturan-aturan” yang akan diterapkan dan diberlakukan bagi
seluruh warga desa. Hal yang sama ditemukan pula pada masyarakat suku Sasak di Lombok,
dengan nama ”lembaga begundem”. Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah
bahwa ”rapat desa” atau ”rembug desa” atau ”begundem”,
atau apa pun namanya tetapi mempunyai makna yang sama, bukan suatu lembaga
(institusi) dalam pengertian jabatan atau badan kenegaraan.
Jika MPR
diyakini sebagai sebuah lembaga yang diadopsi dari sebuah ”rapat desa”
atau ”rembug desa” dalam kehidupan masyarakat adat di pulau Jawa
khususnya, atau ”begundem” dalam kehidupan masyarakat Sasak, atau
lembaga-lembaga sejenis yang ada di Nusantara dari sejak jaman dahulu kala,
maka seharusnya MPR adalah sebuah ”asosiasi” atau ”forum”, bukan
sebuah ”organ” atau ”institusi” atau suatu jabatan. MPR
adalah sebuah ”re-inkarnasi” dari rapat desa dan rapat
desa adalah sebuah forum, yaitu sarana tempat masyarakat desa (dalam hal
ini seluruh rakyat Indonesia) melakukan musyawarah atau berunding, maka MPR
bukan organ negara. Lebih-lebih sebagai organ negara yang permanen. Bila
demikian, maka ada yang salah dalam penerapannya. Pengakuan bahwa MPR sebagai
organ negara merupakan kekeliruan dalam penerapan, karena rapat desa bukan
organ dalam pengertian institusi (institution, orgaan) melainkan
sebuah forum (association, lichaam). Walaupun demikian itulah
faktanya, MPR adalah sebuah lembaga negara (state institution/body).
Pengakuan
MPR sebagai lembaga negara tertinggi berlaku hingga UUD 1945 diubah. Pemikiran
yang berbeda dengan para pendiri negara (the founding fathers) terjadi
setelah rezim Soeharto tumbang. MPR yang bersidang secara maraton sejak tahun
1999 hingga tahun 2002, menerapkan konsepsi-konsepsi baru tentang kelembagaan
negara. Ditetapkannya lembaga negara baru yakni DPD, KY dan MK. Dihapusnya DPA
diganti dengan Dewan Pertimbangan Presiden yang kedudukannya di bawah Presiden.
- Kedudukan MPR
pasca perubahan UUD 1945: fungsi, tugas dan wewenangnya
Kedudukan
MPR diubah total. MPR tidak diposisikan sebagai lembaga negara tertinggi. Hal
tersebut tercermin dalam Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD Negara RI tahun
1945. BPK, Presiden, DPR, MPR, DPD, MA dan MK dalam satu level. Pertanyaan dari
penulis: benarkah hal itu?
Perlu
dipahami bahwa MPR memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pembentuk UUD dan sebagai
pelaksana UUD. Sebagai pembentuk UUD (dewan konstituante) maupun sebagai
majelis perubahan UUD, kedudukan MPR mengatasi semua lembaga negara. Putusan
MPR adalah mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat. MPR berada pada posisi
sebagai lembaga negara yang ”omnipotent”, maha kuasa. Artinya, dalam
kedudukannya sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD,
kedudukan MPR membawahi semua lembaga negara yang ada. MPR dapat
membentuk/menetapkan adanya lembaga negara baru dan juga dapat menghapus
lembaga negara yang ada. Dalam fungsinya sebagai pengubah dan penetap UUD,
kedudukan MPR sebagai ”distributor kekuasaan” tidak dapat disangkal
lagi. Itulah peran sentral MPR, meskipun wewenangnya telah ”dilucuti” oleh MPR
sendiri saat mengubah dan menetapkan perubahan UUD 1945. Dalam keadaan seperti
itu maka kedudukan MPR adalah supreme, produk hukum MPR berada pada posisi
paling tinggi dan tidak dapat dinilai (diuji) oleh lembaga negara lain,
termasuk MK. Jadi, benarkah MPR diposisikan sederajat dengan lembaga negara
yang lain?
Lain
halnya dengan kedudukan MPR sebagai pelaksana UUD yang telah ditetapkan
olehnya. MPR harus tunduk dan hormat pada ketentuan-ketentuan tersebut. Untuk
melaksanakan hak, tugas dan wewenangnya MPR harus tunduk pada aturan yang
dibuatnya. Salah satunya adalah wewenang MPR untuk mengubah UUD, harus
berdasarkan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 Perubahan.
- Produk hukum
MPR bebas nilai.
Seperti
halnya lembaga negara lain, MPR mempunyai hak, tugas, dan wewenang. Wewenang
MPR di bidang legislative (legislative power) adalah menetapkan
putusan-putusan MPR yang berupa: (penetapan) UUD, Perubahan UUD dan
menetapkan Ketetapan MPR. Semua produk hukum tersebut berada di atas
undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya (lihat Pasal 7 UU No. 12
Tahun 2011). Sesuai dengan asas hierarki bahwa peraturan yang lebih rendah
harus mengacu kepada peraturan yang lebih tinggi. Perubahan peraturan
perundang-undangan harus dilakukan dengan peraturan yang sederajat atau lebih
tinggi. Hanya undang-undang dan peraturan di bawahnya yang dapat diuji
(undang-undang oleh MK dan peraturan perundang-undangan di bawahnya diuji oleh
MA).
Mengacu
kepada fungsi dan wewenang MPR tersebut di atas, ditambah dengan kedudukan
produk hukum MPR yang berada di atas undang-undang, maka secara teoritik maupun
berdasarkan hukum positif, putusan MPR adalah bebas nilai, tidak dapat diganggu
gugat, tidak dapat diuji baik materiil maupun formal. Hanya MPR yang berhak dan
berwenang mengubahnya. Produk hukum MPR yang supreme tersebut mencerminkan
kedudukan pembentuknya. MPR tetap supreme, mengatasi kewenangan semua lembaga
Negara yang ada. Tidak terbantahkan bahwa posisi MPR tetap berada pada
tingkatan tertinggi. Tidak ada wewenang tandingan, meskipun UUD 1945 tidak
menyebutkannya. Karena fungsi dan wewenang yang dimilikinya MPR akan berada
pada kedudukan tertinggi.
Kesimpulan
Dari
uraian singkat di atas, dapat disimpulkan:
- Walaupun MPR
tidak disebut sebagai lembaga Negara tertinggi, tetapi menilik fungsi dan
wewenangnya, terutama dalam fungsinya sebagai badan pembentuk UUD,
kedudukan MPR adalah supreme.
- Produk hukum
tidak dapat diganggu gugat alias diuji oleh lembaga Negara manapun. Hanya
MPR sendiri yang dapat menilai dan mengubahnya.
- Walaupun UUD
1945 telah diubah, tidak ada otoritas tandingan (no rival authority)
terhadap kewenangan MPR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar