Sabtu, 14 April 2018

MAJELIS PERMUSYARATAN RAKYAT: (BUKAN) LEMBAGA NEGARA TERTINGGI?

MAJELIS PERMUSYARATAN RAKYAT:
(BUKAN) LEMBAGA NEGARA TERTINGGI?
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Latar Belakang
Baik dalam UUD 1945 asli maupun dalam UUD 1945 perubahan tidak ada pernyataan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sebuah badan atau lembaga negara. Menurut pemahaman UUD 1945 asli, MPR adalah pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan. Tugas MPR adalah menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara, memilih Presiden dan Wakil Presiden. Wewenang MPR adalah mengubah UUD. Dalam melakukan tugasnya, MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara dan segala putusannya ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Dalam Penjelasan Umum angka III dinyatakan bahwa Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan (cetak miring dari penulis), bernama ”Majelis Permusyawaratan Rakyat”, sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Jadi, pernyataan bahwa MPR adalah ”suatu badan” diberikan oleh Penjelasan UUD 1945 yang secara historis bukan produk dari PPKI, melainkan uraian yang dibuat oleh Soepomo.
Setelah UUD 1945 diubah, susunan, tugas dan wewenang MPR mengalami perubahan.  MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Fungsi, tugas dan  wewenang MPR menjadi: (1) berwenang mengubah dan menetapkan UUD; (2) melantik Presiden dan atau Wakil Presiden; (3) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, setelah ada usulan dari DPR dan putusan Mahkamah Konstitusi; (4) memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan oleh Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden; (5) memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan; (6) menyaksikan pengucapan  sumpah atau janji Presiden dan atau Wakil Presiden. Secara implisit, MPR memiliki hak untuk menetapkan Ketetapan MPR (UU No. 12 Tahun 2011). Merujuk kepada ketentuan Pasal 24C dan Pasal II Aturan Peralihan, maka secara tersirat MPR tergolong sebagai lembaga negara.
Perubahan UUD 1945 telah menghilangkan tugas MPR untuk memiih Presiden dan atau Wakil Presiden (dalam keadaan normal). Tugas tersebut hanya dilakukan apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan atau Wakil Presiden (Pasal 8). Pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden pun hanya dapat dilakukan setelah ada dugaan dari DPR dan diajukan ke MK untuk diperiksa dan diputus. Walaupun demikian produk hukum MPR menduduki posisi yang tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Hal itu disebabkan pula oleh fungsi dan wewenang MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD.  
Permasalahan
UUD 1945 Asli maupunUUD 1945 Perubahan tidak menetapkan kedudukan MPR dalam struktur pemerintahan negara. Apakah MPR sebagai lembaga negara tertinggi atau sebagai lembaga negara tinggi?
Kajian  historis fungsional MPR
a.            Kedudukan MPR dalam sejarah kenegaraan RI
Sebagaimana diketahui, sebelum MPR hasil pemilihan umum dibentuk, berdasarkan Penpres No. 2 Tahun 1959 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (LN No. 77 Tahun 1959) dibentuklah MPRS. Dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada posisi dan Fungsi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka kedudukan MPRS dianggap sama dengan MPR sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kemudian dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang  Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja  Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, ditetapkan dengan tegas kedudukan dari lembaga-lembaga tersebut. Bahkan MPR diposisikan sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
Namun, diakui oleh para pendiri negara – bahkan menjadi ”mindset” berdirinya MPR -- khususnya pemikiran Soepomo dan Yamin, bahwa keberadaan MPR diadopsi dari  sistem ketatanegaraan berdasarkan ”hukum adat” yang berlaku saat itu di seluruh wilayah negara, khususnya di Jawa yaitu ”rapat desa” sebagai ”lembaga permusyawaratan desa” tempat rakyat mengadakan ”rembug desa”, membahas masalah-masalah pokok dalam kehidupan di desa maupun menetapkan ”aturan-aturan” yang akan diterapkan dan diberlakukan bagi seluruh warga desa. Hal yang sama ditemukan pula pada masyarakat suku Sasak di Lombok, dengan nama ”lembaga begundem”. Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah bahwa ”rapat desa” atau ”rembug desa” atau ”begundem”, atau apa pun namanya tetapi mempunyai makna yang sama, bukan suatu lembaga (institusi) dalam pengertian jabatan atau badan kenegaraan.
Jika MPR diyakini sebagai sebuah lembaga yang diadopsi dari  sebuah ”rapat desa” atau ”rembug desa” dalam kehidupan masyarakat adat di pulau Jawa khususnya, atau ”begundem” dalam kehidupan masyarakat Sasak, atau lembaga-lembaga sejenis yang ada di Nusantara dari sejak jaman dahulu kala, maka seharusnya MPR adalah sebuah ”asosiasi” atau ”forum”, bukan sebuah ”organ” atau ”institusi” atau suatu jabatan.  MPR adalah sebuah ”re-inkarnasi” dari rapat desa dan  rapat desa adalah sebuah forum, yaitu sarana tempat masyarakat desa (dalam hal ini seluruh rakyat Indonesia) melakukan musyawarah atau berunding, maka MPR bukan organ negara. Lebih-lebih sebagai organ negara yang permanen. Bila demikian, maka ada yang salah dalam penerapannya. Pengakuan bahwa MPR sebagai organ negara merupakan kekeliruan dalam penerapan, karena rapat desa bukan organ dalam pengertian institusi (institution, orgaan) melainkan  sebuah forum (association, lichaam). Walaupun demikian itulah faktanya, MPR adalah sebuah lembaga negara (state institution/body).
Pengakuan MPR sebagai lembaga negara tertinggi berlaku hingga UUD 1945 diubah. Pemikiran yang berbeda dengan para pendiri negara (the founding fathers) terjadi setelah rezim Soeharto tumbang. MPR yang bersidang secara maraton sejak tahun 1999 hingga tahun 2002, menerapkan konsepsi-konsepsi baru tentang kelembagaan negara. Ditetapkannya lembaga negara baru yakni DPD, KY dan MK. Dihapusnya DPA diganti dengan Dewan Pertimbangan Presiden yang kedudukannya di bawah Presiden.
  1. Kedudukan MPR pasca perubahan UUD 1945: fungsi, tugas dan wewenangnya
Kedudukan MPR diubah total. MPR tidak diposisikan sebagai lembaga negara tertinggi. Hal tersebut tercermin dalam Bahan Tayangan Materi Sosialisasi UUD Negara RI tahun 1945. BPK, Presiden, DPR, MPR, DPD, MA dan MK dalam satu level. Pertanyaan dari penulis: benarkah hal itu?
Perlu dipahami bahwa MPR memiliki dua fungsi, yaitu sebagai pembentuk UUD dan sebagai pelaksana UUD. Sebagai pembentuk UUD (dewan konstituante) maupun sebagai majelis perubahan UUD, kedudukan MPR mengatasi semua lembaga negara. Putusan MPR adalah mutlak dalam arti tidak dapat diganggu gugat. MPR berada pada posisi sebagai lembaga negara yang ”omnipotent”, maha kuasa. Artinya, dalam kedudukannya sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, kedudukan MPR membawahi semua lembaga negara yang ada. MPR dapat membentuk/menetapkan adanya lembaga negara baru dan juga dapat menghapus lembaga negara yang ada. Dalam fungsinya sebagai pengubah dan penetap UUD, kedudukan MPR sebagai ”distributor kekuasaan” tidak dapat disangkal lagi. Itulah peran sentral MPR, meskipun wewenangnya telah ”dilucuti” oleh MPR sendiri saat mengubah dan menetapkan perubahan UUD 1945. Dalam keadaan seperti itu maka kedudukan MPR adalah supreme, produk hukum MPR berada pada posisi paling tinggi dan tidak dapat dinilai (diuji) oleh lembaga negara lain, termasuk MK. Jadi, benarkah MPR diposisikan sederajat dengan lembaga negara yang lain?
Lain halnya dengan kedudukan MPR sebagai pelaksana UUD yang telah ditetapkan olehnya. MPR harus tunduk dan hormat pada ketentuan-ketentuan tersebut. Untuk melaksanakan hak, tugas dan wewenangnya MPR harus tunduk pada aturan yang dibuatnya. Salah satunya adalah wewenang MPR untuk mengubah UUD, harus berdasarkan ketentuan Pasal 37 UUD 1945 Perubahan.
  1. Produk hukum MPR bebas nilai.
Seperti halnya lembaga negara lain, MPR mempunyai hak, tugas, dan wewenang. Wewenang MPR di bidang legislative (legislative power) adalah menetapkan putusan-putusan MPR yang berupa:  (penetapan) UUD, Perubahan UUD dan menetapkan Ketetapan MPR. Semua produk hukum tersebut berada di atas undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya (lihat Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011). Sesuai dengan asas hierarki bahwa peraturan yang lebih rendah harus mengacu kepada peraturan yang lebih tinggi. Perubahan peraturan perundang-undangan harus dilakukan dengan peraturan yang sederajat atau lebih tinggi. Hanya undang-undang dan peraturan di bawahnya yang dapat diuji (undang-undang oleh MK dan peraturan perundang-undangan di bawahnya diuji oleh MA).
Mengacu kepada fungsi dan wewenang MPR tersebut di atas, ditambah dengan kedudukan produk hukum MPR yang berada di atas undang-undang, maka secara teoritik maupun berdasarkan hukum positif, putusan MPR adalah bebas nilai, tidak dapat diganggu gugat, tidak dapat diuji baik materiil maupun formal. Hanya MPR yang berhak dan berwenang mengubahnya. Produk hukum MPR yang supreme tersebut mencerminkan kedudukan  pembentuknya. MPR tetap supreme, mengatasi kewenangan semua lembaga Negara yang ada. Tidak terbantahkan bahwa posisi MPR tetap berada pada tingkatan tertinggi. Tidak ada wewenang tandingan, meskipun UUD 1945 tidak menyebutkannya. Karena fungsi dan wewenang yang dimilikinya MPR akan berada pada kedudukan tertinggi.




Kesimpulan
Dari uraian singkat di atas, dapat disimpulkan:
  1. Walaupun MPR tidak disebut sebagai lembaga Negara tertinggi, tetapi menilik fungsi dan wewenangnya, terutama dalam fungsinya sebagai badan pembentuk UUD, kedudukan MPR adalah supreme.
  2. Produk hukum tidak dapat diganggu gugat alias diuji oleh lembaga Negara manapun. Hanya MPR sendiri yang dapat menilai dan mengubahnya.
  3. Walaupun UUD 1945 telah diubah, tidak ada otoritas tandingan (no rival authority) terhadap kewenangan MPR





Bandung 22 Januari 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...