Kamis, 19 April 2018

PENGUNDANGAN UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMERINTAH OLEH MENTERI HUKUM DAN HAM: TEPATKAH?


PENGUNDANGAN UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMERINTAH
OLEH MENTERI HUKUM DAN HAM: TEPATKAH?
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pembukaan
Pengundangan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, khususnya, dilakukan berdasarkan tradisi yang pernah dijalankan pada zaman Hindia Belanda. Pejabat yang diberi wewenang mengundangkan adalah governments secretarisen, berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Indische Staatsregeling  atau biasa disebut IS.[1] Setelah Indonesia merdeka, berdasarklan PP No. 1 Tahun 1945, yang “mengumumkan” (istilah yang digunakan) adalah Sekretaris Negara[2], atas nama Presiden.
Pada tahun 1950 berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950 pengundangan dilakukan oleh Menteri Kehakiman. Selanjutnya, kewenangan mengundangkan peraturan negara di tingkat pusat, khususnya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, berdasarkan Keputusan Presiden No. 234 Tahun 1960 dikembalikan lagi dari Menteri Kehakiman kepada Sekretaris Negara. Wewenang pengundangan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut kemudian dikukuhkan dalam Inpres No. 15 Tahun 1970 hingga dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998.
Sesudah UUD 1945 diubah, DPR dan Presiden menetapkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011. Dalam kedua undang-undang tersebut, pengundangan peraturan negara diserahkan wewenangnya kepada Menteri, yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, kongkritnya adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Secara organisasi ketatanegaraan, siapakah pejabat Negara yang tepat diberi wewenang mengundangkan peraturan Negara tersebut?
Sistem pemerintahan Negara Indonesia
Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk Republik. Para pembentuk Negara sepakat bahwa Indonesia tidak berdasarkan kepada paham pemisahan kekuasaan (separation of powers). Undang-undang dibentuk atas kerja antara DPR dan Pemerintah (Presiden). Presiden memiliki dua fungsi, sebagai Kepala Negara (Head of State) dan sebagai Kepala Pemerintahan (Chief Executive). Kedua fungsi tersebut melekat pada seorang Presiden, tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan. Berbeda halnya dengan Negara dengan sistem pemerintahan parlementer, Kepala Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri (Prime Minister), dibantu oleh Menteri-menteri. Kepala Negara dijalankan oleh Presiden/Raja/Ratu/Kaisar/sebutan lain. Salah satu tugas Kepala Negara adalah mengundangkan (to promulgate) undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya yang dianggap perlu diundangkan dan dimuat dalam lembaran Negara (Gazette, Staatsblad).
Suatu RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah (Presiden) disahkan oleh Presiden untuk kemudian diundangkan. Pengesahkan RUU oleh Presiden menjadi undang-undang dalam kedudukan sebagai Kepala Negara. Hal itu sesuai dengan tradisi yang dilakukan diberbagai Negara yang ada di dunia, baik dalam Negara yang menganut sistem pemerintah presidential maupun yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Indonesia mengikuti tradisi tersebut.
Historis pengaturan pengundang di Indonesia
Sebagaimana disinggung di muka, sejak Zaman Hindia Belanda pengundangan undang-undang, peraturan pemerintah,ordonansi, dilakukan oleh Sekretaris Negara (Pemerintah HB) berdasar kepada IS. Setelah Indonesia merdeka, hal tersebut diteruskan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Pasal 1 PP tersebut menyatakan”Segala Undang-undang dan Peraturan Presiden diumumkan oleh Pesiden dan ditandatangani oleh Sekretaris Negara”.
Setelah itu pada tahun 1950 berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950 pengundangan dilakukan oleh Menteri Kehakiman. Selanjutnya, kewenangan mengundangkan peraturan negara di tingkat pusat, khususnya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, berdasarkan Keputusan Presiden No. 234 Tahun 1960 dikembalikan lagi dari Menteri Kehakiman kepada Sekretaris Negara. Wewenang pengundangan tersebut dikukuhkan dalam Inpres No. 15 Tahun 1970 hingga dikeluarkanya Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998.
Sesudah UUD 1945 diubah, DPR dan Presiden menetapkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. UU tersebut diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011. Dalam kedua undang-undang tersebut, pengundangan peraturan negara diserahkan wewenangnya kepada Menteri, yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum, kongkritnya adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Jadi, dewasa ini pengundangan undang-undang dan peraturan pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Huum dan HAM.
Perbandingan dengan Negara-negara lain
Baik di negara yang menganut sistem pemerintahan presidential atau negara yang menganut sstem parlementer, juga di negara dengan bentuk pemerintahan kerajaan maupun bentuk republik, penandatanganan undang-undang dan pengundangannya dilakukan oleh Kepala Negara. Khusus untuk pengundangan didelegasikan kepada Sekretaris Negara.
Ada dua lajur administrasi pemerintahan yang biasa dijalankan, yaitu lajur dalam konteks pelaksanaan pemerintahan (eksekutif) dan lajur pemerintahan non eksekutif.
Presiden Indonesia pada saat mengangkat dan memberhentikan Menteri berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan, sementara pada saat mengangkat pejabat lain (anggota DPR, hakim, duta besar, memberi grasi, amnesti, dsb) berkedudukan sebagai Kepala Negara. Tugas-tugas administrasi seperti itu adalah tugas-tugas kenegaraan yang menjadi lingkup urusan Presiden sebagai Kepala Negara. Di bawah Presiden sebasgai Kepala Negara adalah Sekretariat Negara, yang dipimpin oleh Sekretaris Negara. Di bawah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah Menteri-menteri. Menteri yang secara khusus mengurus administrasi pemerintahan adalah Sekretaris Kabinet.
Baik dilihat dari struktur organisasi kenegaraan maupun berdasarkan sejarah dan praktik yang berlaku di berbagai negara, selalu ada pembedaan tugas Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan. Khusus berkaitan dengan pengesahan RUU menjadi undang-undang, penetapan Perpu, Penetapan Peraturan Pemerintah, adalah termasuk kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara.  Urusan tersebut, turunannya dilaksanakan oleh Sekretaris Negara, bukan oleh Sekretaris Kabinet. Saat pemerintahan Presiden Soekarno, hal itu belum kelihatan secara tegas. Sementara pada saat pemerintahan Presiden Soeharto, terdapat pemisahanan yang jelas. Hal itu terbukti dengan penetapan Menteri Sekretaris Negara dan Menteri Sekretaris Kabinet. Tugas pengundangan peraturan Negara (khususnya undang-undang dan Peraturan Pemerintah) diserahkan kepada Menteri Sekretaris Negara.
Pola seperti itu menurut penulis adalah tepat, sesuai dengan lajurnya, sesuai dengan tradisi dan praktik ketatanegaraan diberbagai negara yang ada di dunia. Hanya saja, Sekretaris Negara selayaknya tidak diberi predikat menteri.
Oleh karena itu sangat logis sekali, apabila pengundangan segala jenis peraturan negara di tingkat pusat, wewenangnya diberikan kepada Sekretaris Negara, bukan kepada menteri yang berada dalam ranah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
Praktik pengundangan dan materinya.
Baik UU NO. 10 Tahun 2004 maupun UU No. 12 Tahun 2011 telah menentapkan bahwa pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi negara. Lembaran resmi negara tersebut di tingkat pusat adalah LN, TLN, Berita Negara, Tambahan Berita Negara. Lembaran resmi di tingkat daerah adalah Lembaran Daerah dan Tambahan Lembaran Daerah. Peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi:  a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; b. Peraturan Pemerintah;  c. Peraturan Presiden; dan d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.[3]
Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer pun, pengesahan undang-undang dilakukan oleh Kepala Negara. Menteri atau Perdana Menteri hanya membubuhkan tanda tangan serta (countersign). Pembubuhan tandatangan serta tersebut dilakukan oleh Menteri yang mengurus urusan berkaitan dengan materi rancangan undang-undang dimaksud (appropriate minister). Kemudian, pengundangan (promulgation) dilakukan oleh Sekretaris Negara. Sangat logis karena produk hukum peraturan yang disahkan/ditetapkan adalah peraturan negara bukan peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah (cabinet). Posisi Sekretaris Negara berada di bawah Kepala Negara, yang bertugas mengurus atau menyelenggarakan urusan administrasi negara. Urusan administrasi pemerintahan berada pada Dewan Menteri, yang dipimpin oleh Perdana Menteri.
Perlu dipahami bahwa dalam negara yang menganut sistem pemerintahan presidential (seperti Indonesia, Amerika Serikat, dsb), kedudukan Presiden berada pada dua fungsi, sebagai Kepala Pemerintahan (chief government/executive) dan juga sebagai Kepala Negara (head of the state). Dua jabatan atau fungsi tersebut melekat pada satu pribadi, tidak bisa dipisahkan. Walaupun demikian dalam menjalankan fungsi-fungsinya akan berbeda mana fungsi sebagai Kepala Pemerintahan dan mana fungsi sebagai Kepala Negara. Jadi, meskipun fungsi pemerintahan dan fungsi kenegaraan (administrasi) dari Presiden tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan.
Baik di negara yang menganut system pemerintahan presidential atau negara yang menganut system parlementer, juga di negara dengan bentuk pemerintahan kerajaan maupun bentuk republik, penandatangan undang-undang dan pengundangannya dilakukan oleh Kepala Negara. Khusus untuk pengundangan didelegasikan kepada Sekretaris Negara.
Presiden Indonesia pada saat mengangkat dan memberhentikan Menteri berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan, sementara pada saat mengangkat pejabat lain (anggota DPR, hakim, duta besar, memberi grasi, amnesti, dsb) berkedudukan sebagai Kepala Negara. Tugas-tugas administrasi seperti itu adalah tugas-tugas kenegaraan yang menjadi lingkup urusan Presiden sebagai Kepala Negara. Di bawah Preswiden sebasgai Kepala Negara adalah Sekretariat Negara, yang dipimpin oleh Sekretaris Negara.
Baik dilihat dari struktur organisasi kenegaraan maupun berdasarkan sejarah dan praktik yang berlaku di berbagai negara, perlu ada pembedaan tugas Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan. Khusus berkaitan dengan pengesahan RUU menjadi undang-undang, penetapan Perpu, Penetapan Peraturan Pemerintah, adalah termasuk kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara.  Urusan tersebut, turunannya dilaksanakan oleh Sekretaris Negara, bukan oleh Sekretaris Kabinet.
Oleh karena itu sangat logis sekali, apabila pengundangan segala jenis peraturan negara di tingkat pusat, wewenangnya diberikan kepada Sekretaris Negara.
Pengundangan Perda oleh Sekretaris Daerah?
Ada hal yang tidak konsisten dan konsekuen yang ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun 2011, yaitu mengenai pengundangan Peraturan Daerah, yang ditempatkan dalam Lembaran Daerah oleh Sekretaris Daerah. Bila pola pikir yang dipakai dalam pengundangan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat, yakni pengundangannya dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, bukan oleh Sekretaris Negara, maka ada ketidaksejalanan pemikiran. Seharusnya di tingkat daerah pun, pengundangan Perda  tidak dilakukan oleh Sekretaris Daerah, tetapi oleh salah satu Dinas. Dinas adalah perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan tertentu di bawah Kepala Daerah, seperti halnya Kementerian.
Praktik pengaturan semacam ini mencerminkan  adanya “ketidakharmonisan” atau inkonsistensi  antara penyelenggaraan pemerintahan di tingkat pusat dengan di tingkat daerah. Fungsi kesekretariatan daerah adalah membantu Kepala Daerah. Demikian pula fungsi Sekretaris Negara adalah membantu Kepala Negara (Presiden) dalam urusan kesekretariatan atau administrasi negara. Salah satinya adalah fungsi mengundangkan peraturan perundang-undangan di tingkat pemerintahan pusat.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian singkat tersebut, maka pemberian wewenang pengundangan peraturan perundang-undangan di tingkat Pemerintahan Pusat diserahkan kepada  Sekretaris Negara, bukan diserahkan kepada Menteri Hukum dan HAM. Praktik yang pernah dilakukan berdasarkan ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1950, Keputusan Presiden No. 234 Tahun 1960, dan Inpres No. 15 Tahun 1970, adalah sangat tepat sesuai dengan tradisi yang berlaku dfi banyak negara (secara internasional).
Akibat pemahaman tersebut maka rumusan dalam UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 85 ditinjau ulang atau diubah sama sekali, karena Menteri Hukum dan HAM termasuk dalam rezim eksekutif (cabinet/pemerintah dalam arti sempit).


Bandung, 20-01-2018


[1] Pasal 95(1) IS menyatakan De algemeene verordeningen (regeringsverordeningen, ordonanntie, algemeene maatregelenvan bestuur en wetten) worden door den Gouverneur-Generaal afgekondigd en  door den algemeene secretaries of een der governments=scretariessen gewaarmerkt.
[2] Pada waktu itu Sekretaris Negara tidak diberi predikat Menteri. Jadi kedudukan Sekretaris Negara berada di luar kabinet, tetapi dibawah Presiden sebagai Kepala Negara.
[3] Pasal 82 UU No. 12 Tahun 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...