PENGUNDANGAN
UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMERINTAH
OLEH
MENTERI HUKUM DAN HAM: TEPATKAH?
Oleh:
Rosjidi Ranggawidjaja
Pembukaan
Pengundangan Undang-undang
dan Peraturan Pemerintah, khususnya, dilakukan berdasarkan tradisi yang pernah
dijalankan pada zaman Hindia Belanda. Pejabat yang diberi wewenang
mengundangkan adalah governments
secretarisen, berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Indische Staatsregeling atau
biasa disebut IS.[1]
Setelah Indonesia merdeka, berdasarklan PP No. 1 Tahun 1945, yang “mengumumkan”
(istilah yang digunakan) adalah Sekretaris Negara[2],
atas nama Presiden.
Pada tahun 1950 berdasarkan
UU No. 1 Tahun 1950 pengundangan dilakukan oleh Menteri Kehakiman. Selanjutnya,
kewenangan mengundangkan peraturan negara di tingkat pusat, khususnya Undang-undang
dan Peraturan Pemerintah, berdasarkan Keputusan Presiden No. 234 Tahun 1960
dikembalikan lagi dari Menteri Kehakiman kepada Sekretaris Negara. Wewenang
pengundangan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah tersebut kemudian dikukuhkan
dalam Inpres No. 15 Tahun 1970 hingga dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 188
Tahun 1998.
Sesudah UUD 1945 diubah,
DPR dan Presiden menetapkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. UU tersebut diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011. Dalam
kedua undang-undang tersebut, pengundangan peraturan negara diserahkan
wewenangnya kepada Menteri, yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum, kongkritnya adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
Secara organisasi ketatanegaraan,
siapakah pejabat Negara yang tepat diberi wewenang mengundangkan peraturan
Negara tersebut?
Sistem
pemerintahan Negara Indonesia
Indonesia adalah Negara
kesatuan yang berbentuk Republik. Para pembentuk Negara sepakat bahwa Indonesia
tidak berdasarkan kepada paham pemisahan kekuasaan (separation of powers). Undang-undang dibentuk atas kerja antara DPR
dan Pemerintah (Presiden). Presiden memiliki dua fungsi, sebagai Kepala Negara
(Head of State) dan sebagai Kepala
Pemerintahan (Chief Executive). Kedua
fungsi tersebut melekat pada seorang Presiden, tidak dapat dipisahkan tetapi
dapat dibedakan. Berbeda halnya dengan Negara dengan sistem pemerintahan
parlementer, Kepala Pemerintahan dijalankan oleh Perdana Menteri (Prime Minister), dibantu oleh Menteri-menteri.
Kepala Negara dijalankan oleh Presiden/Raja/Ratu/Kaisar/sebutan lain. Salah
satu tugas Kepala Negara adalah mengundangkan (to promulgate) undang-undang dan peraturan perundang-undangan
lainnya yang dianggap perlu diundangkan dan dimuat dalam lembaran Negara (Gazette, Staatsblad).
Suatu RUU yang telah
disetujui bersama oleh DPR dan Pemerintah (Presiden) disahkan oleh Presiden
untuk kemudian diundangkan. Pengesahkan RUU oleh Presiden menjadi undang-undang
dalam kedudukan sebagai Kepala Negara. Hal itu sesuai dengan tradisi yang
dilakukan diberbagai Negara yang ada di dunia, baik dalam Negara yang menganut
sistem pemerintah presidential maupun yang menganut sistem pemerintahan
parlementer. Indonesia mengikuti tradisi tersebut.
Historis
pengaturan pengundang di Indonesia
Sebagaimana disinggung di
muka, sejak Zaman Hindia Belanda pengundangan undang-undang, peraturan
pemerintah,ordonansi, dilakukan oleh Sekretaris Negara (Pemerintah HB) berdasar
kepada IS. Setelah Indonesia merdeka, hal tersebut diteruskan dengan
diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945.
Pasal 1 PP tersebut menyatakan”Segala Undang-undang dan Peraturan Presiden
diumumkan oleh Pesiden dan ditandatangani oleh Sekretaris Negara”.
Setelah itu pada tahun 1950
berdasarkan UU No. 1 Tahun 1950 pengundangan dilakukan oleh Menteri Kehakiman.
Selanjutnya, kewenangan mengundangkan peraturan negara di tingkat pusat,
khususnya Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, berdasarkan Keputusan
Presiden No. 234 Tahun 1960 dikembalikan lagi dari Menteri Kehakiman kepada
Sekretaris Negara. Wewenang pengundangan tersebut dikukuhkan dalam Inpres No.
15 Tahun 1970 hingga dikeluarkanya Keputusan Presiden No. 188 Tahun 1998.
Sesudah UUD 1945 diubah,
DPR dan Presiden menetapkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. UU tersebut diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011. Dalam
kedua undang-undang tersebut, pengundangan peraturan negara diserahkan
wewenangnya kepada Menteri, yaitu menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum, kongkritnya adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia.
Jadi, dewasa ini
pengundangan undang-undang dan peraturan pemerintah dilaksanakan oleh Menteri Huum
dan HAM.
Perbandingan
dengan Negara-negara lain
Baik di negara yang
menganut sistem pemerintahan presidential atau negara yang menganut sstem
parlementer, juga di negara dengan bentuk pemerintahan kerajaan maupun bentuk
republik, penandatanganan undang-undang dan pengundangannya dilakukan oleh
Kepala Negara. Khusus untuk pengundangan didelegasikan kepada Sekretaris
Negara.
Ada dua lajur administrasi
pemerintahan yang biasa dijalankan, yaitu lajur dalam konteks pelaksanaan
pemerintahan (eksekutif) dan lajur pemerintahan non eksekutif.
Presiden Indonesia pada
saat mengangkat dan memberhentikan Menteri berkedudukan sebagai Kepala
Pemerintahan, sementara pada saat mengangkat pejabat lain (anggota DPR, hakim,
duta besar, memberi grasi, amnesti, dsb) berkedudukan sebagai Kepala Negara.
Tugas-tugas administrasi seperti itu adalah tugas-tugas kenegaraan yang menjadi
lingkup urusan Presiden sebagai Kepala Negara. Di bawah Presiden sebasgai
Kepala Negara adalah Sekretariat Negara, yang dipimpin oleh Sekretaris Negara.
Di bawah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah Menteri-menteri. Menteri
yang secara khusus mengurus administrasi pemerintahan adalah Sekretaris
Kabinet.
Baik dilihat dari struktur
organisasi kenegaraan maupun berdasarkan sejarah dan praktik yang berlaku di
berbagai negara, selalu ada pembedaan tugas Presiden sebagai Kepala Negara dan
sebagai Kepala Pemerintahan. Khusus berkaitan dengan pengesahan RUU menjadi
undang-undang, penetapan Perpu, Penetapan Peraturan Pemerintah, adalah termasuk
kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara.
Urusan tersebut, turunannya dilaksanakan oleh Sekretaris Negara, bukan
oleh Sekretaris Kabinet. Saat pemerintahan Presiden Soekarno, hal itu belum
kelihatan secara tegas. Sementara pada saat pemerintahan Presiden Soeharto,
terdapat pemisahanan yang jelas. Hal itu terbukti dengan penetapan Menteri
Sekretaris Negara dan Menteri Sekretaris Kabinet. Tugas pengundangan peraturan
Negara (khususnya undang-undang dan Peraturan Pemerintah) diserahkan kepada Menteri
Sekretaris Negara.
Pola seperti itu menurut
penulis adalah tepat, sesuai dengan lajurnya, sesuai dengan tradisi dan praktik
ketatanegaraan diberbagai negara yang ada di dunia. Hanya saja, Sekretaris
Negara selayaknya tidak diberi predikat menteri.
Oleh karena itu sangat
logis sekali, apabila pengundangan segala jenis peraturan negara di tingkat
pusat, wewenangnya diberikan kepada Sekretaris Negara, bukan kepada menteri
yang berada dalam ranah Presiden sebagai Kepala Pemerintahan.
Praktik
pengundangan dan materinya.
Baik UU NO. 10 Tahun 2004
maupun UU No. 12 Tahun 2011 telah menentapkan bahwa pengundangan adalah
penempatan peraturan perundang-undangan dalam lembaran resmi negara. Lembaran
resmi negara tersebut di tingkat pusat adalah LN, TLN, Berita Negara, Tambahan
Berita Negara. Lembaran resmi di tingkat daerah adalah Lembaran Daerah dan
Tambahan Lembaran Daerah. Peraturan perundang-undangan yang diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia, meliputi:
a. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; b.
Peraturan Pemerintah; c. Peraturan
Presiden; dan d. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.[3]
Dalam negara yang menganut sistem
pemerintahan parlementer pun, pengesahan undang-undang dilakukan oleh Kepala
Negara. Menteri atau Perdana Menteri hanya membubuhkan tanda tangan serta (countersign). Pembubuhan tandatangan
serta tersebut dilakukan oleh Menteri yang mengurus urusan berkaitan dengan
materi rancangan undang-undang dimaksud (appropriate
minister). Kemudian, pengundangan (promulgation)
dilakukan oleh Sekretaris Negara. Sangat logis karena produk hukum peraturan
yang disahkan/ditetapkan adalah peraturan negara bukan peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah (cabinet). Posisi Sekretaris Negara berada di bawah
Kepala Negara, yang bertugas mengurus atau menyelenggarakan urusan administrasi
negara. Urusan administrasi pemerintahan berada pada Dewan Menteri, yang
dipimpin oleh Perdana Menteri.
Perlu dipahami bahwa dalam
negara yang menganut sistem pemerintahan presidential (seperti Indonesia,
Amerika Serikat, dsb), kedudukan Presiden berada pada dua fungsi, sebagai
Kepala Pemerintahan (chief government/executive)
dan juga sebagai Kepala Negara (head of
the state). Dua jabatan atau fungsi tersebut melekat pada satu pribadi,
tidak bisa dipisahkan. Walaupun demikian dalam menjalankan fungsi-fungsinya
akan berbeda mana fungsi sebagai Kepala Pemerintahan dan mana fungsi sebagai
Kepala Negara. Jadi, meskipun fungsi pemerintahan dan fungsi kenegaraan
(administrasi) dari Presiden tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan.
Baik di negara yang
menganut system pemerintahan presidential atau negara yang menganut system
parlementer, juga di negara dengan bentuk pemerintahan kerajaan maupun bentuk
republik, penandatangan undang-undang dan pengundangannya dilakukan oleh Kepala
Negara. Khusus untuk pengundangan didelegasikan kepada Sekretaris Negara.
Presiden Indonesia pada
saat mengangkat dan memberhentikan Menteri berkedudukan sebagai Kepala
Pemerintahan, sementara pada saat mengangkat pejabat lain (anggota DPR, hakim,
duta besar, memberi grasi, amnesti, dsb) berkedudukan sebagai Kepala Negara.
Tugas-tugas administrasi seperti itu adalah tugas-tugas kenegaraan yang menjadi
lingkup urusan Presiden sebagai Kepala Negara. Di bawah Preswiden sebasgai
Kepala Negara adalah Sekretariat Negara, yang dipimpin oleh Sekretaris Negara.
Baik dilihat dari struktur
organisasi kenegaraan maupun berdasarkan sejarah dan praktik yang berlaku di
berbagai negara, perlu ada pembedaan tugas Presiden sebagai Kepala Negara dan
sebagai Kepala Pemerintahan. Khusus berkaitan dengan pengesahan RUU menjadi
undang-undang, penetapan Perpu, Penetapan Peraturan Pemerintah, adalah termasuk
kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara.
Urusan tersebut, turunannya dilaksanakan oleh Sekretaris Negara, bukan
oleh Sekretaris Kabinet.
Oleh karena itu sangat
logis sekali, apabila pengundangan segala jenis peraturan negara di tingkat
pusat, wewenangnya diberikan kepada Sekretaris Negara.
Pengundangan
Perda oleh Sekretaris Daerah?
Ada hal yang tidak
konsisten dan konsekuen yang ditetapkan dalam UU No. 12 Tahun 2011, yaitu
mengenai pengundangan Peraturan Daerah, yang ditempatkan dalam Lembaran Daerah
oleh Sekretaris Daerah. Bila pola pikir yang dipakai dalam pengundangan
peraturan perundang-undangan di tingkat pusat, yakni pengundangannya dilakukan
oleh Menteri Hukum dan HAM, bukan oleh Sekretaris Negara, maka ada ketidaksejalanan
pemikiran. Seharusnya di tingkat daerah pun, pengundangan Perda tidak dilakukan oleh Sekretaris Daerah, tetapi
oleh salah satu Dinas. Dinas adalah perangkat daerah yang menyelenggarakan
urusan tertentu di bawah Kepala Daerah, seperti halnya Kementerian.
Praktik pengaturan semacam
ini mencerminkan adanya
“ketidakharmonisan” atau inkonsistensi
antara penyelenggaraan pemerintahan di tingkat pusat dengan di tingkat
daerah. Fungsi kesekretariatan daerah adalah membantu Kepala Daerah. Demikian
pula fungsi Sekretaris Negara adalah membantu Kepala Negara (Presiden) dalam
urusan kesekretariatan atau administrasi negara. Salah satinya adalah fungsi mengundangkan
peraturan perundang-undangan di tingkat pemerintahan pusat.
Kesimpulan
Berdasarkan kajian singkat
tersebut, maka pemberian wewenang pengundangan peraturan perundang-undangan di
tingkat Pemerintahan Pusat diserahkan kepada
Sekretaris Negara, bukan diserahkan kepada Menteri Hukum dan HAM.
Praktik yang pernah dilakukan berdasarkan ketentuan dalam UU No. 1 Tahun 1950,
Keputusan Presiden No. 234 Tahun 1960, dan Inpres No. 15 Tahun 1970, adalah
sangat tepat sesuai dengan tradisi yang berlaku dfi banyak negara (secara
internasional).
Akibat pemahaman tersebut
maka rumusan dalam UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 85 ditinjau ulang atau diubah
sama sekali, karena Menteri Hukum dan HAM termasuk dalam rezim eksekutif
(cabinet/pemerintah dalam arti sempit).
Bandung, 20-01-2018
[1] Pasal 95(1) IS menyatakan De
algemeene verordeningen (regeringsverordeningen, ordonanntie, algemeene
maatregelenvan bestuur en wetten) worden door den Gouverneur-Generaal
afgekondigd en door den algemeene
secretaries of een der governments=scretariessen gewaarmerkt.
[2] Pada waktu itu Sekretaris Negara tidak diberi predikat Menteri.
Jadi kedudukan Sekretaris Negara berada di luar kabinet, tetapi dibawah Presiden sebagai Kepala
Negara.
[3] Pasal 82 UU No. 12 Tahun 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar