LEGISLATIVE POWER
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
I. Pendahuluan
Dalam naskah UUD
1945 asli (yang berlaku sejak 18 Agustus 1945 dan yang diberlakukan kembali
berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli1959), tidak secara eksplisit
dicantumkan adanya Ketetapan (TAP) MPR.
Keberadaan TAP MPR(S) dimulai sejak tahun 1960 melalui praktik ketatanegaraan,
yaitu setelah MPRS menetapkan TAP NO.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI
sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara. Tafsir yang diberikan oleh MPRS saat
itu berdasarkan kepada ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3 UUD 1945 Asli.[1]
Dari kata “ditetapkan” (Pasal 2 ayat (3) dan kata “menetapkan” (Pasal 3),
muncul produk hukum berupa “ketetapan” MPR. Proses dari kegiatan “ditetapkan”
dan “menetapkan” melahirkan produk berupa “ketetapan”. Menurut MPR sendiri,
ketetapan MPR adalah putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke
luar dan ke dalam (Pasal 102 TAP NO.I/MPR/1973 jis. Pasal 100 Tap MPR No.
IMPR/1978, Pasal 98 TAP MPR No. I/MPR/1983).
Kemudian, dalam TAP
MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber tertib Hukum RI
dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI, dicantumkan Ketetapan MPR sebagai
salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Sesudah beberapa kali akan
dilakukan peninjauan, yang dilaksanakan dengan terbitnya TAP MPR No.
III/MPR/2000, jenis dan susunan peraturan perundang-undangan disederhanakan.
Jenis-jenis peraturan perundang-undangan dalam TAP MPR No.III/MPR/2000 adalah
sebagai berikut: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,dan
Peraturan Daerah[2]
Namun, dengan UU No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Ketetapan MPR dihapuskan dari tata urutan
peraturan perundang-undangan. Dan dalam UU No. 12 Tahun 2011, sebagai pengganti
UU No. 10 Tahun 2004, keberadaan Ketetapan MPR diakui kembali dengan
dicantumkannya dalam Pasal 7 ayat (1). Dalam Penjelasan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011
diuraikan:
Yang dimaksud dengan
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”
Jika tidak salah
tafsir, maka keberadaan Ketetapan MPR tersebut hanya sebatas untuk mengakomodir
beberapa ketetapan MPR yang masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 2
(khususnya) Ketetapan MPR No.I/MPR/2003.
Penjelasan tersebut menjadi kabur tatkala dipahami ketentuan Pasal 16,
Pasal 17 dan Pasal 18 (khususnya) UU No. 12 Tahun 2011. Pasal 18 menyatakan:
Dalam penyusunan
Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan
Undang-Undang didasarkan atas:
a. ..............
b. perintah Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. ..............
Dari rumusan Pasal 16, 17, dan 18 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut di atas, ternyata bahwa Ketetapan MPR tidak semata-mata berisi
hal-hal yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut.
Bahwa berdasarkan hal itu MPR dapat membentuk ketetapan baru, yang isinya dapat
memuat hal yang diperintahkan untuk dijabarkan dalam Undang-undang. Dengan kata
lain ”logika” atau ”dalil” yang termuat dalam Penjelasan Pasal 7, dimentahkan
oleh keberadaan rumusan Pasal 18. Keadaan demikian mengacaukan status dan
fungsi dari Ketetapan MPR sendiri.
II. Permasalahan
Berdasarkan fakta yuridis sebagaimana termuat dalam UU
No. 12 Tahun 2011 beserta penjelasannya, ada beberapa masalah yang dapat
diindentifikasi:
1.
Bentuk-bentuk
hukum apa yang dapat ditetapkan oleh MPR?
2.
Apakah
tepat digunakan istilah Ketetapan (MPR), sementara dalam nomenklatur istilah
ketetapan dikualifikasikan sebagai “beschikking’?
3.
Apakah
pola pikir menempatkan kembali TAP MPR dalam tata urutan tersebut hanya untuk
mengakomodasi TAP MPR yang sudah ada, merupakan pola pikir yang rasional,
sesuai dengan fungsi hukum atau fungsi perundang-undangan pada khususnya?
4.
Apakah
dengan demikian MPR tidak dapat mengeluarkan produk hukum yang bersifat
mengatur yang kedudukannya di bawah UUD 1945?
III. Pembahasan
1. Wewenang MPR membentuk
peraturan perundang-undangan
Menurut UUD 1945
asli atau UUD 1945 perubahan, badan yang menetapkan (membentuk) Undang-Undang
Dasar adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 Perubahan
Ketiga) yang sekaligus sebagai badan yang diberi wewenang untuk mengubahnya (
Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 37 UUD 1945 Perubahan Ketiga).[3] Sebelum UUD 1945
diubah selain berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar, MPR
juga berwenang menetapkan
garis-garis besar daripada haluan negara. Garis-garis besar daripada haluan
negara, khususnya Pola Umum Pembangunan
Lima Tahun (GBHN), dituangkan dalam Ketetapan MPR[4].
Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang mengikat keluar dan ke dalam MPR.
Ketetapan MPR dapat berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur, seperti
halnya undang-undang dasar.
Sebagaimana telah
dipahami, Undang-undang Dasar merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang
derajatnya tertinggi dalam petala peraturanperundang-undangan di Indonesia.
Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan peraturan
untuk menjabarkan ketentuan Undang-undangDasar. Jadi, fungsi Ketetapan MPR (khususnya
yang berisiperaturanatau yang “normstellen”)
merinci lebih lanjut ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasar, bukan mengulangi
ketentuan Undang-undang Dasar (dalam kenyataannya banyak ketentuan dalam
Ketetapan MPR yang mengulangi ketentuan dalam Undang-undangDasar). Dewasa ini
eksistensi Ketetapan MPR diakui dalam UU No. 12 Tahun 2011.
Dalam struktur kelembagaan negara menurut UUD 1945 asli, MPR ditempatkan
dalam kedudukan yang tertinggi. Lembaga negara lain, khususnya Presiden, adalah
“untergeordnet”. MPR membawahkan lembaga-lembaga negara lain.
Walaupun kedudukan MPR adalah tertinggi tetapi kekuasaannya, khususnya dalam
membentuk peraturan perundang-undangan (baca: Ketetapan MPR) adalah terbatas.
MPR tidak dapat membuat peraturan perundang-undangan dengan nama Undang-undang
atau materi muatannya adalah materi muatan undang-undang (organik). Baik jenis maupun substansi peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh MPR adalah terbatas, dalam hal ini
dibatasi oleh ketentuan Undang-undang Dasar.
Dari segi substansi, UUD 1945 telah menetapkan beberapa materi yang harus
diatur dengan Undang-undang organik(organiek
wet, organic law)[5], seperti tentang susunan keanggotaan MPR dan DPR (Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 19 ayat 1),
syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya (Pasal 12), susunan dan tata cara penyelenggaraan
pemerintahan daerah (Pasal 18 ayat 7), dst. Materi-materi tersebut tidak dapat
diatur dengan peraturan perundang-undangan lain, termasuk Ketetapan MPR, karena
apabila MPR mengeluarkan Ketetapan mengenai materi tersebut maka Ketetapan MPR
itu batal demi hukum (van
rechtswegenietig). Mengapa demikian? Ketetapan MPR tidak boleh menyimpangi
atau melanggar ketentuan Undang-undang Dasar! Undang-Undang Dasar sudah mengatur bahwa materi-materi tersebut akan
(harus) diatur dengan Undang-undang!
Sesudah UUD 1945 diubah, kewenangan MPR dikurangi. Tidak tersurat dan tersirat
lagi adanya kewenangan MPR menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Dengan
demikian apakah fungsi legislasi MPR (dalam hal ini membentuk ketetapan MPR
sebagai pelaksanaan ketentuan UUD) tidak ada lagi?Apakah putusan MPR hanya
berupa perubahan dan atau penetapan UUD?
2.
Produk-produk hukum
yang ditetapkan MPR
Dari ketentuan UUD 1945 dapat disimpulkan
bahwa MPR menetapkan Undang-undang Dasar dan mengubah undang-undang dasar
(Pasal 3 jo. Pasal 37). Kemudian, dengan masih diakuinya ketetapan-ketetapan
MPR yang berlaku dan dikukuhkan dalam UU No. 12 Tahun 2011, maka produk-produk
hukum MPR (putusan MPR) berupa UUD, Perubahan UUD, Ketetapan MPR dan Keputusan
MPR. Ketiga produk hukum yang disebut di muka merupakan produk hukum yang
bersifat mengikat secara umum, kedalam dan keluar MPR (regels), sementara keputusan MPR hanya mengikat ke dalam MPR
sendiri.
3.
Ketetapan bersifat beschikking, bukan peraturan.
Istilah ketetapan
atau penetapan (dalam bahasa Belanda disebut beschikking) adalah keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara
(administrasi). Jadi ada di lapangan adminitrasi Negara. Ketetapan adalah
produk keputusan yang bersifat administratif.[6]
Ketetapan (istilah
yang digunakan oleh E. Utrecht) atau penetapan (istilah yang digunakan oleh
Prajudi Atmosudirdjo), merupakan keputusan di bidang administrasi atau tata
usaha Negara, yang berisi norma hukum yang bersifat individual dan konkrit
sebagai keputusan pejabat tata usaha Negara atau administrasi Negara.Ketetapan
adalah produk hukum dari kegiatan menetapkan. Sementara peraturan adalah produk
hukum dari kegiatan mengatur yang
menghasilkan aturan.[7] Pada dasarnya, kedua akhli tersebut
sependapat bahwa “ketetapan” merupakan produk hukum yang bersifat beschikking. Dia bukan peraturan (regeling), dan karenanya tidak mengikat
umum. Umumnya “ketetapan” merupakan produk hukum administrasi Negara. Namun,
bagaimana dengan Ketetapan MPR? MPR bukan administrasi Negara, MPR adalah
lembaga legislatif. MPR tidak layak mengeluarkan “ketetapan”, meskipun praktik
telah mengukuhkan dan mengakui keberadaannya.
Dengan memperhatikan ciri-ciri tersebut maka
penggunaan istilah “ketetapan” dan istilah “ketetapan MPR” perlu dipertanyakan
ketepatan dan kebenarannya.
Sementara itu dengan
mengacu kepada Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, ketetapan MPR digolongkan sebagai salah jenis peraturan
perundang-undangan. Namun, Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tersebut
menetapkan pula adanya jenis peraturan lain, yang diantaranya peraturan yang
ditetapkan oleh MPR.[8]
Oleh karenanya maka istilah yang tepat digunakan dalam konteks tersebut,
seharusnya adalah “peraturan MPR”, karena “peraturan” berisi norma yang
mengikat secara umum (naar buiten
werkende voorschriften). Lalu, bagaimana dengan peraturan tata tertib MPR?
Peraturan tata tertib MPR hanya mengikat kedalam MPR sendiri. Bila demikian
maka ada produk hukum MPR berupa “peraturan MPR” yang mengikat secara umum dan
“peraturan tata tertib MPR” yang mengikat secara intern.
Bagir Manan dan
Kuntana Magnar menyatakan bahwa TAP MPR ditilik dari materi muatannya dapat
dibedakan:
a.
TAP MPR yang memenuhi unsur-unsur sebagai peraturan perundang-undangan,
b.
TAP MPR yang materi muatannya semacam materi muatan ketetapan atau penetapan
administrasi Negara (beschikking),
c.
TAP MPR yang berupa perencanaan (het plan)
yaitu tentang GBHN, dan
d.
TAP MPR yang bersifat pedoman, sehingga semacam peraturan kebijakan di bidang
adminitrasi Negara.[9]
4. Apa fungsi TAP MPR sekarang?
Bila mengacu kepada
Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf b Yang menyatakan: Yang dimaksud dengan
“Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang
Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai
dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.” maka fungsi Ketetapan MPR hanya
sebagai “wadah” untuk mengakomodir keberadaan TAP MPR. Namun menjadi lain
apabila dicermati ketentuan Pasal 18 butir b UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana
telah disinggung dimuka. Ketetapan MPR tidak hanya mengakomodir apa yang
termuat dalam Pasal 2 TAP MPR No.I/MPR/2003. TAP MPR memiliki fungsi
sebagaimana fungsi peraturan perundang-undangan lainnya.
Menurut Pasal 2 TAP
MPR No.I/MPR/2003 ada tiga ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku, yaitu
(1) TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang
di seluruh Wilayah Negara RI bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan setiap
kegiatan untuk menyebarkan dan mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Marxisme
Leninisme; (2) TAP MPR No. XVI/MPR/ 1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka
Demokrasi Ekonomi; (3) Ketetapan MPR No. V/MPR/ 1999 tentang Penentuan Pendapat
di Timor Timur.
Pengakuan atas
adanya Ketetapan MPR yang masih dinyatakan berlaku adalah sebuah fakta yuridis
(dan sekaligus fakta sosial), yang harus diakui dan ditaati oleh semua lembaga
Negara termasuk MPR dan pembentuk UU. Dengan dihapuskannya keberadaan TAP MPR
dalam jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan maka berarti
mengingkari fakta yuridis tersebut. Bahwa suatu peraturan perundang-undangan
masih tetap berlaku sebelum dicabut, dibatalkan atau diganti dengan yang baru.[10] Pencabutan atau
penggantian harus dilakukan dengan yang sederajat. Pencabutan dan atau
penggantian pun harus dilakukan oleh lembaga yang kedudukannya sederajat.
Pertanyaan berikutnya: apakah TAP MPR dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi?
Jelas tidak dapat, karena Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji UU
terhadap UUD.
Adalah sebuah
keanehan apabila keberadaan TAP MPR tersebut dalam tata urutan peraturan
perundang-undangan (Pasal 7 ayat (1) UU NO. 12 Tahun 2011) hanya berfungsi
untuk mengakomodir tiga ketetapan MPR
yang dinyatakan masih berlaku tersebut.
Seperti halnya hukum
pada umumnya, dan peraturan perundang-undangan pada umumnya, ketetapan MPR
memiliki berbagai fungsi. Mengacu kepada pendapat Bagir Manan dan Kuntana
Magnar, Fungsi Peraturan Perundang-Undangan meliputi:[11]
a.
Fungsi
Internal, fungsi peraturan perundang-undangan sebagai subsistem hukum (hukum
perundangan-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya;
Fungsi Internal
meliputi:
1). Penciptaan
Hukum.
2). Fungsi
Pembaharuan Hukum;
3). Fungsi integrasi
pluralisme sistem hukum;
4). Fungsi Kepastian
Hukum.
b.
Fungsi Eksternal,
adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan lingkungan tempatnya
berlaku. Fungsi
eskternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum.
Fungsi Eksternal meliputi:
1). Fungsi
Perubahan, berkaitan dengan konsepsi “law
as a tool of social engineering”. Peraturan perundang-undangan diciptakan
untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, social, maupun budaya.
Masyakarat ‘patrilineal’ atau ‘matrilineal’ dapat didorong menuju masyarakat
‘parental’, melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.
2). Fungsi sosialisasi, berfungsi sebagai
alat stabilisasi masyarakat.
3). Fungsi
kemudahan, sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas). Misalnya
mengenai ‘insentif’ perpajakan, penyederhanaan perizinan di berbagai bidang
a.l. bidang usaha, dsb-nya.
Dengan demikian,
fungsi ketetapan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12
Tahun 2011 beserta Penjelasannya, tidak memiliki yang bersifat internal maupun
eksternal. Oleh karena keberadaan ketetapan MPR tersebut hanya mengakomodir
ketetapan MPR yang sudah ada, maka tidak memiliki fungsi penciptaan hukum,
fungsi pembaharuan, bahkan fungsi perubahan dalam masyarakat. Jika MPR tidak
berwenang membentuk produk hukum baru, bagaimana kalau Ketetapan-ketetapan
MPR(S) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tersebut
akan dilakukan perubahan?
5. Dapatkah MPR mengeluarkan produk hukum Ketetapan MPR yang bersifat mengatur
UUD 1945 Perubahan tidak mengatur wewenang MPR untuk mengeluarkan
produk hukum berupa “peraturan MPR”. UUD 1945 Perubahan hanya menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar.”[12]
Dari rumusan tersebut dapat ditafsirkan bahwa MPR berwenang menetapkan UUD dan
menetapkan perubahan UUD. Tidak disebutkan bahwa MPR berwenang menetapkan
peraturan lain. Akan tetapi UUD 1945 tidak melarangnya. Kalau tidak
dilarang, berarti MPR dibolehkan atau
dapat mengeluarkan produk hukum tersebut? Tidak ada larangan berarti
dibolehkan.
Analog dengan hal
itu, UUD 1945 tidak memberi wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan
Presiden. Wewenang Presiden di bidang legislasi dan regulasi hanya secara
eksplisit berkaitan dengan pembentukan Undang-undang, penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan penetapan Peraturan Pemerintah. Praktek,
sebagaimana ditetapkan dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, memberikan atribusi kepada Presiden untuk menetapkan
Peraturan Presiden.[13]
Dalam UU No. 12 Tahun 2011 pun ditetapkan
adanya pengakuan terhadap produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR (khususnya)
sebagaimana diatur dalam Pasal 8(1):
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah
Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang
atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota,
Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.(garis miring, Penulis).
Dari kata-kata peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, maka sudah dapat dipastikan bahwa MPR berwenang
menetapkan produk hukum berupa “peraturan MPR”, yang diakui keberadaannya dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan
Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya.
Lalu, apakah benar
bahwa MPR tidak dapat mengeluarkan produk hukum baru (peraturan MPR) selain
hanya mengakomodasi Ketetapan-Ketepan MPR sebagaimana diakui dan dinyatakan
masih tetap berlaku berdasarkan Pasal 2 TAP MPR No.I/MPR/2003? Sangat aneh
argumentasi yang dikemukakan oleh penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12
Tahun 2011 yang menyatakan: Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,
tanggal 7 Agustus 2003.”
Rumusan penjelasan
Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut menginsyaratkan bahwa keberadaan
Ketetapan MPR hanya mempertahankan “status
quo”. Jadi tidak memberikan dinamika dan bahkan sebuah ”tool of social engineering”. Keberadaan
ketetapan MPR demikian telah membuat stagnasi perundang-undangan.
Apabila pernyataan dalam penjelasan tersebut
dikonfrontir dengan rumusan Pasal 8 ayat (1) sebagaimana dikutip di atas, maka
jelas sangat kontradiksi. Dengan mengacu kepada asas bahwa penjelasan peraturan
perundang-undangan (baca: undang-undang) bukanlah norma hukum, dia hanya
sebagai “memorie van toelichting”,
maka norma yang ada dalam rumusan Pasal 8 ayat (1)-lah yang harus dipahami
sebagai ketentuan yang berlaku dan mengikat. Tegasnya harus dipahami bahwa
ketentuan dalam rumusan Pasal 8 ayat (1) merupakan landasan hukum keberadaan
wewenang MPR untuk mengeluarkan peraturan MPR, sebagai peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang Dasar. Dengan perkataan lain MPR
berwenang menetapkan produk hukum baru, meskipun tidak berupa ketetapan MPR,
tetapi berupa peraturan MPR yang
mengikat keluar dan kedalam.
IV. KESIMPULAN
Dari
uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.
Produk-produk
“legislative power” MPR, berupa
Undang-Undang Dasar, Perubahan Undang-Undang Dasar, Peraturan MPR dan Keputusan
MPR.
2.
Istilah
yang tepat digunakan dalam rumusan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 adalah
istilah “peraturan MPR”, bukan “ketetapan MPR”, karena ketetapan mengandung
makna atau bersifat “beschikking.” Sementara
istilah Peraturan MPR, bersifat “regels”
yang mengikat keluar dan kedalam MPR. Tetapi hal tersebut harus dibedakan dengan peraturan tata
tertib MPR sebagai peraturan yang mengikat ke dalam tubuh MPR sendiri.
3.
MPR
berwenang menetapkan produk hukum berupa “peraturan MPR” yang baru, tidak
semata mengakomodir ketetapan MPR yang sudah ada. Mengakomodir ketetapan yang
sudah ada sama hanya memandulkan MPR dan pada gilirannya mensterilkan Ketetapan
MPR tersebut sebagai sebuah produk hukum yang tidak berarti.
V. Daftar Pustaka
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa
Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997.
Hamid S Attamimi A, Peranan Keputusan Poresiden RI dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990.
--------------------, Hukum
Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata
Pengaturan), pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap, UI Depok, 1993.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia,
Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007.
Rosjidi Ranggawidjaja, Bahan Ajar
HUKUM PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA, Bagian
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 2010
Undang-Undang Dasar
1945 Perubahan Pertama hingga Keempat.
UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU No. 12 Tahun 2011
pengganti UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
[1] Pasal 2
ayat (3) menyatakan: Segala putusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
Pasal 3 menyatakan: Majelis
Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar
dari pada haluan negara.
[2] Semula, menurut TAP
MPRS No.XX/MPRS/1966, jenis-jenisnya adalah sebagai berikut: UUD 1945, Ketetapan
MPR(S), Undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti:
Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
[3] Menurut Pasal 186 Konstitusi RIS 1949 yang berwenang
menetapkan Undang-undang Dasar adalah Konstituante, sedangkan menurut Pasal 190
Konstitusi RIS 1949 Undang-undang Dasar dapat diubah dengan Undang-undang
Federal. Menurut Pasal 134 UUDS 1950 yang berwenang menetapkan Undang-undang
Dasar adalah Konstituante, sedangkan menurut Pasal 140 UUDS 1950 yang diberi
wewenang untuk mengubah Undang-undang Dasar adalah Majelis Perubahan
Undang-undang Dasar (MAPERUDA).
[4]Pengertian
garis-garis besar haluan negara (ditulis dengan huruf kecil semua) jauh lebih luas
daripada pengertian GBHN, karena GBHN hanya bagian dari garis-garis besar
haluan negara tersebut.
[5] Rumusan dalam UUD 1945 beraneka ragam, yaitu “menurut aturan
yang ditetapkan dengan undang-undang”,
“ditetapkan dengan undang-undang”, “berdasarkan undang-undang”, “diatur
dengan undang-undang”, “menurut undang-undang”, dan “disahkan dengan
undang-undang”.
[6]
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa
Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997,
hlm135.
[7] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia,
Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm 254-255.
[8]
Pasal 8
(1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia,
Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih
tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
[13]
Peraturan
Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden
untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi atau
dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar