Sabtu, 21 April 2018

LEGISLATIVE POWER MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT


LEGISLATIVE POWER
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja



I. Pendahuluan
Dalam naskah UUD 1945 asli (yang berlaku sejak 18 Agustus 1945 dan yang diberlakukan kembali berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli1959), tidak secara eksplisit dicantumkan  adanya Ketetapan (TAP) MPR. Keberadaan TAP MPR(S) dimulai sejak tahun 1960 melalui praktik ketatanegaraan, yaitu setelah MPRS menetapkan TAP NO.I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara. Tafsir yang diberikan oleh MPRS saat itu berdasarkan kepada ketentuan Pasal 2 ayat (3) dan Pasal 3  UUD 1945 Asli.[1] Dari kata “ditetapkan” (Pasal 2 ayat (3) dan kata “menetapkan” (Pasal 3), muncul produk hukum berupa “ketetapan” MPR. Proses dari kegiatan “ditetapkan” dan “menetapkan” melahirkan produk berupa “ketetapan”. Menurut MPR sendiri, ketetapan MPR adalah putusan Majelis yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ke luar dan ke dalam (Pasal 102 TAP NO.I/MPR/1973 jis. Pasal 100 Tap MPR No. IMPR/1978, Pasal 98 TAP MPR No. I/MPR/1983).
Kemudian, dalam TAP MPRS No.XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundangan RI, dicantumkan Ketetapan MPR sebagai salah satu jenis peraturan perundang-undangan. Sesudah beberapa kali akan dilakukan peninjauan, yang dilaksanakan dengan terbitnya TAP MPR No. III/MPR/2000, jenis dan susunan peraturan perundang-undangan disederhanakan. Jenis-jenis peraturan perundang-undangan dalam TAP MPR No.III/MPR/2000 adalah sebagai berikut: UUD 1945, Ketetapan MPR, Undang-undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undangan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,dan Peraturan Daerah[2]
Namun, dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,  Ketetapan MPR dihapuskan dari tata urutan peraturan perundang-undangan. Dan dalam UU No. 12 Tahun 2011, sebagai pengganti UU No. 10 Tahun 2004, keberadaan Ketetapan MPR diakui kembali dengan dicantumkannya  dalam Pasal 7 ayat (1).  Dalam Penjelasan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 diuraikan:
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.”
Jika tidak salah tafsir, maka keberadaan Ketetapan MPR tersebut hanya sebatas untuk mengakomodir beberapa ketetapan MPR yang masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 2 (khususnya) Ketetapan MPR No.I/MPR/2003.  Penjelasan tersebut menjadi kabur tatkala dipahami ketentuan Pasal 16, Pasal 17 dan Pasal 18 (khususnya) UU No. 12 Tahun 2011. Pasal 18 menyatakan:
Dalam penyusunan Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, penyusunan daftar Rancangan Undang-Undang didasarkan atas:
a. ..............
b. perintah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. ..............

Dari rumusan Pasal 16, 17, dan 18 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut di atas, ternyata bahwa Ketetapan MPR tidak semata-mata berisi hal-hal yang dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut. Bahwa berdasarkan hal itu MPR dapat membentuk ketetapan baru, yang isinya dapat memuat hal yang diperintahkan untuk dijabarkan dalam Undang-undang. Dengan kata lain ”logika” atau ”dalil” yang termuat dalam Penjelasan Pasal 7, dimentahkan oleh keberadaan rumusan Pasal 18. Keadaan demikian mengacaukan status dan fungsi dari Ketetapan MPR sendiri.
II. Permasalahan
Berdasarkan  fakta yuridis sebagaimana termuat dalam UU No. 12 Tahun 2011 beserta penjelasannya, ada beberapa masalah yang dapat diindentifikasi:
1.    Bentuk-bentuk hukum apa yang dapat ditetapkan oleh MPR?
2.    Apakah tepat digunakan istilah Ketetapan (MPR), sementara dalam nomenklatur istilah ketetapan dikualifikasikan sebagai “beschikking’?
3.    Apakah pola pikir menempatkan kembali TAP MPR dalam tata urutan tersebut hanya untuk mengakomodasi TAP MPR yang sudah ada, merupakan pola pikir yang rasional, sesuai dengan fungsi hukum atau fungsi perundang-undangan pada khususnya? 
4.    Apakah dengan demikian MPR tidak dapat mengeluarkan produk hukum yang bersifat mengatur yang kedudukannya di bawah UUD 1945?
III. Pembahasan
1.   Wewenang MPR membentuk peraturan perundang-undangan
Menurut UUD 1945 asli atau UUD 1945 perubahan, badan yang menetapkan (membentuk) Undang-Undang Dasar adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga) yang sekaligus sebagai badan yang diberi wewenang untuk mengubahnya ( Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 37 UUD 1945 Perubahan Ketiga).[3] Sebelum UUD 1945 diubah selain berwenang menetapkan Undang-Undang Dasar,  MPR  juga  berwenang menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara. Garis-garis besar daripada haluan negara, khususnya Pola Umum Pembangunan  Lima Tahun (GBHN), dituangkan dalam Ketetapan MPR[4]. Ketetapan MPR adalah putusan MPR yang mengikat keluar dan ke dalam MPR. Ketetapan MPR dapat berisi ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur, seperti halnya undang-undang dasar.
Sebagaimana telah dipahami, Undang-undang Dasar merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang derajatnya tertinggi dalam petala peraturanperundang-undangan di Indonesia. Ketetapan MPR dan peraturan perundang-undangan lainnya merupakan peraturan untuk menjabarkan ketentuan Undang-undangDasar. Jadi, fungsi Ketetapan MPR (khususnya yang berisiperaturanatau yang “normstellen”) merinci lebih lanjut ketentuan-ketentuan Undang-undang Dasar, bukan mengulangi ketentuan Undang-undang Dasar (dalam kenyataannya banyak ketentuan dalam Ketetapan MPR yang mengulangi ketentuan dalam Undang-undangDasar). Dewasa ini eksistensi Ketetapan MPR diakui dalam UU No. 12 Tahun 2011.
Dalam struktur kelembagaan negara menurut UUD 1945 asli, MPR ditempatkan dalam kedudukan yang tertinggi. Lembaga negara lain, khususnya Presiden, adalah “untergeordnet”.  MPR membawahkan lembaga-lembaga negara lain. Walaupun kedudukan MPR adalah tertinggi tetapi kekuasaannya, khususnya dalam membentuk peraturan perundang-undangan (baca: Ketetapan MPR) adalah terbatas. MPR tidak dapat membuat peraturan perundang-undangan dengan nama Undang-undang atau materi muatannya adalah materi muatan undang-undang (organik).  Baik jenis maupun substansi peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh MPR adalah terbatas, dalam hal ini dibatasi oleh ketentuan Undang-undang Dasar.        
Dari segi substansi, UUD 1945 telah menetapkan beberapa materi yang harus diatur dengan Undang-undang organik(organiek wet, organic law)[5], seperti tentang susunan keanggotaan MPR dan DPR (Pasal 2 ayat 1 jo. Pasal 19 ayat 1), syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya (Pasal 12),  susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah (Pasal 18 ayat 7), dst. Materi-materi tersebut tidak dapat diatur dengan peraturan perundang-undangan lain, termasuk Ketetapan MPR, karena apabila MPR mengeluarkan Ketetapan mengenai materi tersebut maka Ketetapan MPR itu batal demi hukum (van rechtswegenietig). Mengapa demikian? Ketetapan MPR tidak boleh menyimpangi atau melanggar ketentuan Undang-undang Dasar! Undang-Undang Dasar sudah mengatur bahwa materi-materi tersebut akan (harus) diatur dengan Undang-undang!
Sesudah UUD 1945 diubah, kewenangan MPR dikurangi. Tidak tersurat dan tersirat lagi adanya kewenangan MPR menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Dengan demikian apakah fungsi legislasi MPR (dalam hal ini membentuk ketetapan MPR sebagai pelaksanaan ketentuan UUD) tidak ada lagi?Apakah putusan MPR hanya berupa perubahan dan atau penetapan UUD?
2.    Produk-produk hukum yang ditetapkan MPR
Dari ketentuan UUD 1945 dapat disimpulkan bahwa MPR menetapkan Undang-undang Dasar dan mengubah undang-undang dasar (Pasal 3 jo. Pasal 37). Kemudian, dengan masih diakuinya ketetapan-ketetapan MPR yang berlaku dan dikukuhkan dalam UU No. 12 Tahun 2011, maka produk-produk hukum MPR (putusan MPR) berupa UUD, Perubahan UUD, Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Ketiga produk hukum yang disebut di muka merupakan produk hukum yang bersifat mengikat secara umum, kedalam dan keluar MPR (regels), sementara keputusan MPR hanya mengikat ke dalam MPR sendiri.
3.    Ketetapan bersifat beschikking, bukan peraturan.
Istilah ketetapan atau penetapan (dalam bahasa Belanda disebut beschikking) adalah keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara (administrasi). Jadi ada di lapangan adminitrasi Negara. Ketetapan adalah produk keputusan yang bersifat administratif.[6]  
Ketetapan (istilah yang digunakan oleh E. Utrecht) atau penetapan (istilah yang digunakan oleh Prajudi Atmosudirdjo), merupakan keputusan di bidang administrasi atau tata usaha Negara, yang berisi norma hukum yang bersifat individual dan konkrit sebagai keputusan pejabat tata usaha Negara atau administrasi Negara.Ketetapan adalah produk hukum dari kegiatan menetapkan. Sementara peraturan adalah produk hukum dari kegiatan  mengatur yang menghasilkan aturan.[7]  Pada dasarnya, kedua akhli tersebut sependapat bahwa “ketetapan” merupakan produk hukum yang bersifat beschikking. Dia bukan peraturan (regeling), dan karenanya tidak mengikat umum. Umumnya “ketetapan” merupakan produk hukum administrasi Negara. Namun, bagaimana dengan Ketetapan MPR? MPR bukan administrasi Negara, MPR adalah lembaga legislatif. MPR tidak layak mengeluarkan “ketetapan”, meskipun praktik telah mengukuhkan dan mengakui keberadaannya.
 Dengan memperhatikan ciri-ciri tersebut maka penggunaan istilah “ketetapan” dan istilah “ketetapan MPR” perlu dipertanyakan ketepatan dan kebenarannya.
Sementara itu dengan mengacu kepada Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, ketetapan MPR digolongkan sebagai salah jenis peraturan perundang-undangan. Namun, Pasal 8 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tersebut menetapkan pula adanya jenis peraturan lain, yang diantaranya peraturan yang ditetapkan oleh MPR.[8] Oleh karenanya maka istilah yang tepat digunakan dalam konteks tersebut, seharusnya adalah “peraturan MPR”, karena “peraturan” berisi norma yang mengikat secara umum (naar buiten werkende voorschriften). Lalu, bagaimana dengan peraturan tata tertib MPR? Peraturan tata tertib MPR hanya mengikat kedalam MPR sendiri. Bila demikian maka ada produk hukum MPR berupa “peraturan MPR” yang mengikat secara umum dan “peraturan tata tertib MPR” yang mengikat secara intern.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar menyatakan bahwa TAP MPR ditilik dari materi muatannya dapat dibedakan:
a. TAP MPR yang memenuhi unsur-unsur sebagai peraturan perundang-undangan,
b. TAP MPR yang materi muatannya semacam materi muatan ketetapan atau penetapan administrasi Negara (beschikking),
c. TAP MPR yang berupa perencanaan (het plan) yaitu tentang GBHN, dan
d. TAP MPR yang bersifat pedoman, sehingga semacam peraturan kebijakan di bidang adminitrasi Negara.[9]
4.  Apa fungsi TAP MPR sekarang?
 Bila mengacu kepada Penjelasan Pasal 7 ayat (1) Huruf b Yang menyatakan: Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.” maka fungsi Ketetapan MPR hanya sebagai “wadah” untuk mengakomodir keberadaan TAP MPR. Namun menjadi lain apabila dicermati ketentuan Pasal 18 butir b UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah disinggung dimuka. Ketetapan MPR tidak hanya mengakomodir apa yang termuat dalam Pasal 2 TAP MPR No.I/MPR/2003. TAP MPR memiliki fungsi sebagaimana fungsi peraturan perundang-undangan lainnya.

Menurut Pasal 2 TAP MPR No.I/MPR/2003 ada tiga ketetapan MPR yang dinyatakan tetap berlaku, yaitu (1) TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai  Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara RI bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan setiap kegiatan untuk menyebarkan dan mengembangkan faham atau ajaran Komunis/Marxisme Leninisme; (2) TAP MPR No. XVI/MPR/ 1998 tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi; (3) Ketetapan MPR No. V/MPR/ 1999 tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur.
Pengakuan atas adanya Ketetapan MPR yang masih dinyatakan berlaku adalah sebuah fakta yuridis (dan sekaligus fakta sosial), yang harus diakui dan ditaati oleh semua lembaga Negara termasuk MPR dan pembentuk UU. Dengan dihapuskannya keberadaan TAP MPR dalam jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan maka berarti mengingkari fakta yuridis tersebut. Bahwa suatu peraturan perundang-undangan masih tetap berlaku sebelum dicabut, dibatalkan atau diganti dengan yang baru.[10] Pencabutan atau penggantian harus dilakukan dengan yang sederajat. Pencabutan dan atau penggantian pun harus dilakukan oleh lembaga yang kedudukannya sederajat. Pertanyaan berikutnya: apakah TAP MPR dapat diuji oleh Mahkamah Konstitusi? Jelas tidak dapat, karena Mahkamah Konstitusi hanya berwenang menguji UU terhadap UUD.
Adalah sebuah keanehan apabila keberadaan TAP MPR tersebut dalam tata urutan peraturan perundang-undangan (Pasal 7 ayat (1) UU NO. 12 Tahun 2011) hanya berfungsi untuk mengakomodir tiga ketetapan  MPR yang dinyatakan masih berlaku tersebut.
Seperti halnya hukum pada umumnya, dan peraturan perundang-undangan pada umumnya, ketetapan MPR memiliki berbagai fungsi. Mengacu kepada pendapat Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Fungsi Peraturan Perundang-Undangan meliputi:[11]
a.    Fungsi Internal, fungsi peraturan perundang-undangan sebagai subsistem hukum (hukum perundangan-undangan) terhadap sistem kaidah hukum pada umumnya;
Fungsi Internal meliputi:
1). Penciptaan Hukum.
2). Fungsi Pembaharuan Hukum;
3). Fungsi integrasi pluralisme sistem hukum;
4). Fungsi Kepastian Hukum.

b.    Fungsi Eksternal, adalah keterkaitan peraturan perundang-undangan dengan lingkungan tempatnya berlaku. Fungsi eskternal ini dapat disebut sebagai fungsi sosial hukum.
          Fungsi Eksternal meliputi:
1). Fungsi Perubahan, berkaitan dengan konsepsi “law as a tool of social engineering”. Peraturan perundang-undangan diciptakan untuk mendorong perubahan masyarakat di bidang ekonomi, social, maupun budaya. Masyakarat ‘patrilineal’ atau ‘matrilineal’ dapat didorong menuju masyarakat ‘parental’, melalui peraturan perundang-undangan perkawinan.
2). Fungsi sosialisasi, berfungsi sebagai alat stabilisasi masyarakat.
3). Fungsi kemudahan, sebagai sarana mengatur berbagai kemudahan (fasilitas). Misalnya mengenai ‘insentif’ perpajakan, penyederhanaan perizinan di berbagai bidang a.l. bidang usaha, dsb-nya.
Dengan demikian, fungsi ketetapan MPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 beserta Penjelasannya, tidak memiliki yang bersifat internal maupun eksternal. Oleh karena keberadaan ketetapan MPR tersebut hanya mengakomodir ketetapan MPR yang sudah ada, maka tidak memiliki fungsi penciptaan hukum, fungsi pembaharuan, bahkan fungsi perubahan dalam masyarakat. Jika MPR tidak berwenang membentuk produk hukum baru, bagaimana kalau Ketetapan-ketetapan MPR(S) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No. I/MPR/2003 tersebut akan dilakukan perubahan?
5.   Dapatkah MPR mengeluarkan produk hukum  Ketetapan MPR yang bersifat mengatur
 UUD 1945 Perubahan tidak   mengatur wewenang MPR untuk mengeluarkan produk hukum berupa “peraturan MPR”. UUD 1945 Perubahan hanya menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.[12] Dari rumusan tersebut dapat ditafsirkan bahwa MPR berwenang menetapkan UUD dan menetapkan perubahan UUD. Tidak disebutkan bahwa MPR berwenang menetapkan peraturan lain. Akan tetapi UUD 1945 tidak melarangnya. Kalau tidak dilarang,  berarti MPR dibolehkan atau dapat mengeluarkan produk hukum tersebut? Tidak ada larangan berarti dibolehkan.
Analog dengan hal itu, UUD 1945 tidak memberi wewenang kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Presiden. Wewenang Presiden di bidang legislasi dan regulasi hanya secara eksplisit berkaitan dengan pembentukan Undang-undang, penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang dan penetapan Peraturan Pemerintah. Praktek, sebagaimana ditetapkan dalam UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memberikan atribusi kepada Presiden untuk menetapkan Peraturan Presiden.[13]
 Dalam UU No. 12 Tahun 2011 pun ditetapkan adanya pengakuan terhadap produk hukum yang dikeluarkan oleh MPR (khususnya) sebagaimana diatur dalam Pasal 8(1):

Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.(garis miring, Penulis).

Dari kata-kata peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka sudah dapat dipastikan bahwa MPR berwenang menetapkan produk hukum berupa “peraturan MPR”, yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangannya.

Lalu, apakah benar bahwa MPR tidak dapat mengeluarkan produk hukum baru (peraturan MPR) selain hanya mengakomodasi Ketetapan-Ketepan MPR sebagaimana diakui dan dinyatakan masih tetap berlaku berdasarkan Pasal 2 TAP MPR No.I/MPR/2003? Sangat aneh argumentasi yang dikemukakan oleh penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No. 12 Tahun 2011 yang menyatakan: Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002,     tanggal 7 Agustus 2003.”
Rumusan penjelasan Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011 tersebut menginsyaratkan bahwa keberadaan Ketetapan MPR hanya mempertahankan “status quo”. Jadi tidak memberikan dinamika dan bahkan sebuah ”tool of social engineering”. Keberadaan ketetapan MPR demikian telah membuat stagnasi perundang-undangan.    
 Apabila pernyataan dalam penjelasan tersebut dikonfrontir dengan rumusan Pasal 8 ayat (1) sebagaimana dikutip di atas, maka jelas sangat kontradiksi. Dengan mengacu kepada asas bahwa penjelasan peraturan perundang-undangan (baca: undang-undang) bukanlah norma hukum, dia hanya sebagai “memorie van toelichting”, maka norma yang ada dalam rumusan Pasal 8 ayat (1)-lah yang harus dipahami sebagai ketentuan yang berlaku dan mengikat. Tegasnya harus dipahami bahwa ketentuan dalam rumusan Pasal 8 ayat (1) merupakan landasan hukum keberadaan wewenang MPR untuk mengeluarkan peraturan MPR, sebagai peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang Dasar. Dengan perkataan lain MPR berwenang menetapkan produk hukum baru, meskipun tidak berupa ketetapan MPR, tetapi berupa  peraturan MPR yang mengikat keluar dan kedalam.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Produk-produk “legislative power” MPR, berupa Undang-Undang Dasar, Perubahan Undang-Undang Dasar, Peraturan MPR dan Keputusan MPR.
2.    Istilah yang tepat digunakan dalam rumusan Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 adalah istilah “peraturan MPR”, bukan “ketetapan MPR”, karena ketetapan mengandung makna atau bersifat “beschikking.” Sementara istilah Peraturan MPR, bersifat “regels” yang mengikat keluar dan kedalam MPR. Tetapi hal  tersebut harus dibedakan dengan peraturan tata tertib MPR sebagai peraturan yang mengikat ke dalam tubuh MPR sendiri.
3.      MPR berwenang menetapkan produk hukum berupa “peraturan MPR” yang baru, tidak semata mengakomodir ketetapan MPR yang sudah ada. Mengakomodir ketetapan yang sudah ada sama hanya memandulkan MPR dan pada gilirannya mensterilkan Ketetapan MPR tersebut sebagai sebuah produk hukum yang tidak berarti.
V. Daftar Pustaka
Bagir Manan  dan Kuntana Magnar,  Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997.
Hamid S Attamimi A,  Peranan Keputusan Poresiden RI dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, Jakarta, 1990.
--------------------,  Hukum Tentang Peraturan Perundang-Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan), pidato Purna Bakti Guru Besar Tetap, UI Depok, 1993.
Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,  2007.
Rosjidi Ranggawidjaja,   Bahan Ajar HUKUM  PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA, Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung, 2010
Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan Pertama hingga Keempat.
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
UU No. 12 Tahun 2011 pengganti UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan



[1] Pasal 2 ayat (3) menyatakan: Segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak.
   Pasal 3 menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar dari pada haluan negara.
[2] Semula, menurut TAP MPRS No.XX/MPRS/1966, jenis-jenisnya adalah sebagai berikut: UUD 1945, Ketetapan MPR(S), Undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah,  Keputusan Presiden,  peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya, seperti: Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lain.
[3] Menurut Pasal 186 Konstitusi RIS 1949 yang berwenang menetapkan Undang-undang Dasar adalah Konstituante, sedangkan menurut Pasal 190 Konstitusi RIS 1949 Undang-undang Dasar dapat diubah dengan Undang-undang Federal. Menurut Pasal 134 UUDS 1950 yang berwenang menetapkan Undang-undang Dasar adalah Konstituante, sedangkan menurut Pasal 140 UUDS 1950 yang diberi wewenang untuk mengubah Undang-undang Dasar adalah Majelis Perubahan Undang-undang Dasar (MAPERUDA).
[4]Pengertian garis-garis besar haluan negara (ditulis dengan huruf kecil semua) jauh lebih luas daripada pengertian GBHN, karena GBHN hanya bagian dari garis-garis besar haluan negara tersebut.
[5] Rumusan dalam UUD 1945 beraneka ragam, yaitu “menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”,  “ditetapkan dengan undang-undang”, “berdasarkan undang-undang”, “diatur dengan undang-undang”, “menurut undang-undang”, dan “disahkan dengan undang-undang”.
[6] Bagir Manan  dan Kuntana Magnar,  Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Edisi Revisi, Alumni, Bandung, 1997, hlm135.
[7] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,  2007, hlm 254-255.
[8] Pasal 8
(1)    Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
(2)    Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

[9] Bagir Manan dan Kuntana Magnar,  op.cit. hlm 146.
[10] Lihat ketentuan Peralihan UUD 1945
[11]Disarikan dari Bagir Manan dan Kuntana Magnar, op. cit  hlm 138-145.
[12] Pasal 3 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga.
[13] Peraturan Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang undangan yang lebih tinggi atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...