Selasa, 17 April 2018

MAJELIS PERMUSYARATAN RAKYAT: SEBUAH BADAN ATAU FORUM

MAJELIS PERMUSYARATAN RAKYAT:
SEBUAH BADAN  ATAU FORUM .

A. PENDAHULUAN

     Baik dalam UUD 1945 asli maupun dalam UUD 1945 perubahan tidak ada pernyataan bahwa MPR adalah sebuah badan atau lembaga negara. Menurut pemahaman UUD 1945 asli, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan. Tugas MPR adalah menetapkan undang-undang dasar dan garis-garis besar haluan negara, memilih Presiden dan Wakil Presiden. Dalam melakukan tugasnya, MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibukota negara dan segala putusannya ditetapkan dengan suara yang terbanyak. Baru kemudian, dalam Penjelasan Umum angka III dinyatakan bahwa Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu Badan (cetak miring dari penulis), bernama ”Majelis Permusyawaratan Rakyat”, sebagai penjelmaan seluruh Rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Jadi, pernyataan bahwa MPR adalah ”suatu badan” diberikan oleh Penjelasan UUD 1945 yang dalam sejarah bukan produk dari PPKI, melainkan uraian yang dibuat oleh Soepomo.
    
    Setelah UUD 1945 dilakukan perubahan, susunan dan wewenang MPR mengalami perubahan.  MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD. Fungsi, tugas dan atau wewenang MPR menjadi: (1) berwenang mengubah dan menetapkan UUD; (2) melantik Presiden dan atau Wakil Presiden; (3) memberhentikan Presiden dan atau Wakil Presiden, setelah ada usulan dari DPR dan putusan Mahkamah Konstitusi; (4) memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan oleh Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Wakil Presiden; (5) memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam hal terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden secara bersamaan; (6) menyaksikan pengucapan  sumpah atau janji Presiden dan atau Wakil Presiden. Merujuk kepada ketentuan Pasal 24C dan Pasal II Aturan Peralihan, maka secara tersirat MPR tergolong sebagai lembaga negara. Namun demikian masih menjadi pertanyaan, apakah MPR dapat menjadi pihak dalam sengketa kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C tersebut.

     Sebagaimana diketahui, sebelum MPR hasil pemilihan umum dibentuk, berdasarkan Penpres No. 2 Tahun 1959 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (LN No. 77 Tahun 1959) dibentuklah MPRS. Dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor X/MPRS/1966 Tentang Kedudukan Semua Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat Dan Daerah Pada Posisi Dan Fungsi Yang Diatur Dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka kedudukan MPRS dianggap sama dengan MPR sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Kemudian dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang  Kedudukan Dan Hubungan Tata-Kerja Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga Tinggi Negara, ditetapkan dengan tegas kedudukan dari lembaga-lembaga tersebut. Bahkan MPR diposisikan sebagai Lembaga Tertinggi Negara.
     
    Berdasarkan rumusan pasal-pasal tersebut, para ahli secara umum menyimpulan bahwa MPR adalah sebuah lembaga (negara), selain DPR, Presiden, BPK, DPA dan MA. MPR adalah badan atau lembaga negara yang permanen, seperti halnya DPR, Presiden/Wakil Presiden, DPA, BPK, dan MA.
     
    Namun, diakui oleh para pendiri negara – bahkan menjadi ”mindset” berdirinya MPR -- khususnya pemikiran Soepomo dan Yamin, bahwa keberadaan MPR diadopsi dari  sistem ketatanegaraan berdasarkan ”hukum adat” yang berlaku saat itu di seluruh wilayah negara, khususnya di Jawa yaitu ”rapat desa” sebagai ”lembaga permusyawaratan desa” tempat rakyat mengadakan ”rembug desa”, membahas masalah-masalah pokok dalam kehidupan di desa maupun menetapkan ”aturan-aturan” yang akan diterapkan dan diberlakukan bagi seluruh warga desa. Hal yang sama ditemukan pula pada masyarakat suku Sasak di Lombok, dengan nama ”lembaga begundem”.
     
    Satu hal yang perlu digarisbawahi ialah bahwa ”rapat desa” atau ”rembug desa” atau ”begundem”, atau apa pun namanya tetapi mempunyai makna yang sama, bukan suatu lembaga (institusi) dalam pengertian jabatan atau badan kenegaraan.
     
    Para ahli telah sepakat bahwa keberadaan MPR bukan sesuatu yang diambil dari luar kehidupan bangsa Indonesia, meskipun ada kemiripan dengan ”People Congress” menurut konstitusi San Min Chui dalam Republik Tiongkok. MPR adalah ”Rapat Desa” yang dilipatgandakan besarnya serta diberi unsur-unsur modern sebagai organ yang menggantikan tempat (Vertretungsorgan) atau merupakan perwujudan/penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia. Rapat Desa itu sendiri adalah sebuah majelis yang menurut hukum adat biasanya disusun dari berbagai golongan penduduk yang berhak hadir dan memberi suara di dalam Rapat Desa.
     
    Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Rapat Desa bukanlah lembaga dalam pengertian ”institusi” atau ”organ”. Rapat Desa adalah sebuah ”association”, lembaga dalam pengertian abstrak atau sebuah forum semata.

B. PERMASALAHAN

    Permasalahan utama dalam konteks topik tulisan ini adalah: apakah MPR merupakan sebuah ”organ/badan/lembaga negara” atau hanya merupakan suatu ”asosiasi” atau ”forum”?  Dan mengapa pula MPR yang merupakan turunan atau ”copy paste” dari ”rapat desa”, diposisikan sebagai sebuah lembaga negara? Apakah tidak terjadi kekeliruan dalam menerapkan  ”rapat desa” sebagai sebuah forum  menjadi MPR sebagai sebuah lembaga negara?

C. PEMBAHASAN

    Jika MPR diyakini sebagai sebuah lembaga yang diadopsi dari  sebuah ”rapat desa” atau ”rembug desa” dalam kehidupan masyarakat adat di pulau Jawa khususnya, atau ”begundem” dalam kehidupan masyarakat Sasak, atau lembaga-lembaga sejenis yang ada di Nusantara dari sejak jaman dahulu kala, maka seharusnya MPR adalah sebuah ”asosiasi” atau ”forum”, bukan sebuah ”organ” atau ”institusi” atau suatu jabatan.  MPR adalah sebuah ”re-inkarnasi” dari rapat desa dan  rapat desa adalah sebuah forum, yaitu sarana tempat masyarakat desa (dalam hal ini seluruh rakyat Indonesia) melakukan musyawarah atau berunding, maka MPR bukan organ negara. Lebih-lebih sebagai organ negara yang permanen. Bila demikian, maka ada yang salah dalam mengadopsinya. Pengakuan bahwa MPR sebagai organ negara merupakan kekeliruan dalam penerapan, karena rapat desa bukan organ dalam pengertian institusi (institution, orgaan) melainkan  sebuah forum (association, lichaam).
      
    Dengan demikian dapat diartikan bahwa rapat desa adalah sebuah forum tempat rakyat desa bermusyawarah atau berunding dalam membahas atau membicarakan persoalan-persoalan kehidupan yang dihadapi masyarakat desa. Rapat desa atau rembug desa sifatnya sementara (ad-hoc). Jika persoalan-persoalan yang dibahas dianggap sudah selesai maka rapat atau pertemuan bubar dengan sendirinya. Rapat atau pertemuan baru diadakan lagi pada kesempatan berikutnya dengan membahas persoalan (acara) yang lain, atau mungkin pula kelanjutan dari acara yang belum secara tuntas dilaksanakan. Dalam forum MPR rapat adalah sidang-sidang atau persidangan yang diadakan untuk membahas sesuatu persoalan tertentu, misalnya tentang perubahan UUD, tentang penetapan haluan negara, mengenai masalah-masalah yang dianggap perlu untuk dimusyawarahkan. Rapat atau sidang yang diadakan oleh MPR adalah sebuah pertemuan yang bersifat ad-hoc, seperti halnya dalam rapat desa atau rembug desa. Jika rapat desa atau rembug desa sudah selesai, maka pertemuan dinyatakan bubar, karena rapat desa atau rembug desa bukan lembaga permanen atau sebuah institusi yang terus menerus ada. Rapat desa akan diadakan lagi pada kesempatan yang ditentukan kemudian untuk membahas sesuatu acara tertentu.
     
    Dalam hubungan dengan susunan rapat desa (yang hadir dalam rapat desa), Soetardjo Kartohadikoesoemo mengemukakan bahwa yang berhak hadir dan berhak memberi suara dalam rapat desa adalah:
Pertama   : Kepala Desa, sebagai ketua;
Kedua    : para kaki, tua-tua desa, para pinitua, anggota dari Dewan Morokaki, Ketiga       : parentah desa (pamong desa),
Keempat   : warga desa, dalam tiga tingkatannya,
Kelima     : bekas kepala desa, yang berhenti dengan hormat,  
Keenam   : orang-orang penting (kjahi, guru agama dsbnya).

    Dari susunan tersebut dapat diklasifikasi dalam tiga kelompok sbb:
  1. pejabat yang dipilih (kepala desa);
  2. wakil dari golongan fungsional (pejabat administrasi desa seperti sekretaris desa dan perangkat desa lainnya, tokoh masyarakat (mantan kepala desa), tokoh agama (penghulu, kiayi) dan tokoh adat.
  3. wakil dari wilayah/teritori (kepala dusun, kepala kampung).
     
    Susunan tersebut sesuai dengan susunan keanggotaan MPR menurut UUD 1945 asli, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan Majelis Permusyawaratan Rakyat  terdiri atas anggota-anggota DPR ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang”. Kemudian dalam penjelasan Pasal 2 UUD 1945 disebutkan:

”Maksudnya ialah, supaya seluruh rakyat, seluruh golongan, seluruh daerah memiliki wakil di MPR, sehingga MPR akan betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Yang disebut “golongan-golongan” ialah Badan-badan seperti kooperasi, Serikat Sekerja, dan lain-lain Badan kolektif. Aturan demikian memang sesuai dengan aliran zaman. Berhubung dengan anjuran mengadakan sistem kooperasi dalam ekonomi, maka ayat ini  mengingat akan adanya golongan-golongan dalam Badan-badan ekonomi.”
      
    Dengan demikian dari segi keanggotaannya, MPR mirip atau sesuai dengan susunan ”rapat desa”.

      Hal itu berbeda sekali dengan susunan keanggotaan MPR menurut UUD 1945 Perubahan Keempat, yang menetapkan bahwa MPR terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah, ....dst.  Ada satu unsur yang dihilangkan yaitu utusan golongan. Dengan demikian susunan MPR menurut UUD 1945 perubahan tidak mencerminkan kehendak para pendiri negara. Artinya terdapat penyimpangan dari konsep awalnya yaitu bahwa MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, seluruh golongan masyarakat Indonesia harus terwakili. Sesuai dengan konsep dalam rapat desa, yang mengakomodasi seluruh lapisan masyarakat, baik mayoritas maupun minoritas. Dengan perkataan lain bahwa susunan MPR menurut UUD 1945 perubahan tidak berakar pada paham kedaulatan rakyat menurut keyakinan bangsa Indonesia.

D. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

  1. Oleh karena MPR merupakan ”re-inkarnasi” dari ”rapat desa”, maka MPR adalah sebuah forum, sarana bagi seluruh rakyat Indonesia untuk melakukan musyawarah atau berunding. Jadi MPR adalah sebuah forum (associate, lichaam) bukan sebuah lembaga (orgaan, institution) permanen.
  2. Keberadaan MPR bersifat ”ad-hoc”, jadi pimpinan MPR tidak perlu terpisah dari pimpinan DPR dan DPD.
  3. Susunan keanggotaan MPR dalam UUD 1945 asli sesuai dengan susunan ”rapat desa”, yang mencerminkan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sementara susunan keanggotaan MPR menurut UUD 1945 baru (perubahan) kurang satu unsur yaitu utusan golongan.

Saran

  1. Pimpinan ”rapat desa” adalah kepala desa secara ”ex-officio”. Analog  dengan itu maka sesuai dengan pola yang ada dalam masyarakat tradisional Indonesia dan dalam rangka efisiensi dan efektifitas (penghematan anggaran) pimpinan MPR dirangkap dengan pimpinan DPR dan DPD, tidak perlu ada pemisahan. Sebagai salah satu alternatif, misalnya, karena keanggotaan MPR, DPR dan DPD adalah lima tahun, maka untuk 2,5 tahun pertama Ketua DPR menjadi Ketua MPR dan Ketua DPD menjadi Wakil Ketua MPR; untuk 2,5 tahun berikutnya Ketua DPD menjadi Ketua MPR sementara Wakil Ketua MPR dijabat oleh Ketua DPR.
  2. Perlu dikaji ulang penetapan MPR sebagai lembaga negara (state institution), mungkin lebih tepat MPR diposisikan sebagai sebuah forum (association).


Bandung, 18 Juni 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...