OTONOMI NYATA ATAU OTONOMI SELUAS-LUASNYA:
SEBUAH PILIHAN
Oleh: Rosjidi
Ranggawidjaja
Pendahuluan
Dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia diterapkan berbagai konsep
otonomi, seperti otonomi nyata, otonomi nyata dan bertanggung jawab, serta
otonomi seluas-luasnya. Konsep otonomi seluas-luasnya pernah diutarakan dalam
Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya
kepada Daerah. Tetapi ketetapan tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku
oleh Ketatapan MPR No.V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk
yang berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
Pada tahun 1974
dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah.
Dalam UU tersebut konsep otonomi yang digunakan adalah otonomi nyata yang
bertanggung jawab (lihat Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1974). Hal itu
berdasarkan kepada amanat Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 tentang Garis-garis
besar haluan Negara, yang telah menggariskan politik otonomi adalah otonomi yang nyata dan
bertanggung jawab.
Dalam Pasal 18 UUD
1945 Perubahan Kedua[1]
disebutkan bahwa otonomi yang dianut
adalah otonomi seluas-luasnya. Jadi kembali lagi ke masa sebelum UU No. 5 Tahun
1974 dibentuk. Realisasi dari perubahan UUD 1945 tersebut dikelarkan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Seperti dijelaskan dalam Penjelasan
umumnya, UU No. 32 Tahun 2004 menganut otonomi seluas-luasnya.[2]
Namun dalam penjelasan tersebut disebutkan pula tentang dianutnya prinsip
otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti
UU No. 32 Tahun 2004 menetapkan prinsip otonomi seluas-luasnya pula,dan secara
tersamar menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab.
Permasalahan
Ketidak jelasan
dalam UU No. 23 Tahun 2014 menimbulkan pertanyaan: Apakah prinsip yang dianut
dalam UU tersebut sesuai dengan amanat Pasal 18 UUD 1945 Perubahan? Dengan
perkataan lain apakah prinsip otonomi yang dianut dewasa ini adalah otonomi
seluas-luasnya, otonomi nyata dan bertanggung jawab atau kombinasi dari
keduanya?
Liku-liku Penerapan Konsep Otonomi Daerah
Sepintas sudah
disinggung di muka bahwa terjadi pergeseran penerapan konsep otonomi daerah
dari otonomi nyata(riil), otonomi formal dan materiil, otonomi nyata dan
bertanggung jawab ke otonomi seluas-luasnya. Dalam UU No. 22 Tahun 1948
diterapkan “otonomi sebanyak-banyaknya”, yang tiada lain identik dengan otonomi
seluas-luasnya. Kemudian dalam UU No. 1 Tahun 1957 diterapkan otonomi
seluas-luasnya.[3]
Hingga tahun 1966 konsep otonomi seluas-luasnya masih dipakai, walaupun dalam
pelaksanaannya jauh berbeda karena pemerintahan saat itu lebih bersifat sentralistik.Dengan
Ketetapan MPRS No.XXI/MPRS/1966 ditegaskan kembali arah otonomi seluasnya.
Namun dengan pergantian orde lama ke orde baru, konsepsi tersebut diganti
kembali dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1974, sebagai pengejawantahan dari
Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN.[4]
UU tersebut menganut otonomi nyata dan bertanggung jawab.
Setelah terjadi
pergeseran kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, keinginan menata kembali
penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan otonomi luas, muncul kembali. Dengan
ditetapkannya Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi
Daerah, Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta
perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, maka kepada daerah
otonom diberikan
kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban
menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara. Hal itu berlaku hingga dikeluarkannya UU No. 22 Tahun
1999.
Dengan terjadinya
perubahan UUD 1945 politik hukum otonomi daerah dengan tegas disebutkan dalam
Pasal 18 UUD 1945 Perubahan Kedua. Otonomi seluas-luasnya dimuat secara jelas
dalam UUD 1945 Perubahan. Hal itu menjadi dasar bagi UU organik dan peraturan
pelaksanaannya.
UU No. 23 Tahun 2014
sebagai undang-undang organik yang berlaku saat ini, menggambarkan tentang
pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, sebagaimana diuraikan dalam
Penjelasan Umumnya, sebagai berikut:
Pemberian otonomi yang
seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran
serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan
strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang
seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan.
Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau
pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu,
seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat.
Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan
dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan
dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional.
Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi,
inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional
tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan
nasional secara keseluruhan.
Prinsip Otonomi Nyata dan Bertanggung Jawab
serta Otonomi Seluas-luasnya
A. Otonomi Nyata dan
Bertanggung Jawab
Menurut Penjelasan
UU No. 5 Tahun 1974 disebutkan pengertian otonomi nyata dan bertanggungjawab.
Nyata, dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan
pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang
bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Jadi, Prinsip
otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa
untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang,
dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan
jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.
Bertanggungjawab,
dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya,
yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan serasi
atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan,
serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan Bangsa, menjamin hubungan yang
serasi antara Pemerintah Pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan dan
pembangunan Daerah.
Adapun yang dimaksud
dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian
otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
b. Otonomi
Seluas-luasnya.
Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan prinsip itu
penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan
aspirasi yang tumbuh
dalam masyarakat.
Selain itu
penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara
Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah
untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah.
Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin
hubungan yang serasi antar Daerah dengan
Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara
dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan
tujuan negara.
Jadi otonomi
seluas-luasnya tidak dapat diartikan bahwa Daerah dapat mengurus dan mengatur
segala urusan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Ada pembatasan-pembatasan yang
“menghadang” otonomi seluas-luasnya.
Pertama, ketentuan
undang-undang yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan absolut tidak menjadi
urusan yang dapat dilakukan oleh Daerah Otonom. Urusan pemerintahan absolut
menjadi urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi wewenang Pemerintahan
Pusat. Urusan Pemerintahan absolut tersebut disebut dalam Pasal 10 UU No. 23
Tahun 2014.[5]
Segala urusan yang akan dilakukan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan.
Kedua, yang turut
membatasi penyelenggaraan otononomi adalah kemampuan Daerah, baik berupa kemampuan
keuangan (finansial), kemampuan SDA dan kemampuan SDM. Ketiga unsur tsb
membatasi penyelenggaraan urusan pemerintahan. Bagaimana daerah akan melakukan
urusan sebanyak-banyaknya apabila tidak memiliki kemampuan sebagaimana
disebutkan di atas.
Ketiga, adalah kerangka
negara kesatuan. Apapun yang dilakukan oleh Daerah pada akhirnya akan bermuara
pada tanggung jawab Pemerintah Pusat. Daerah tidak dapat melakukan
urusan-urusan yang bertentangan dengan kepentingan (umum) Negara.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa otonomi seluas-luasnya tidak mungkin ada, yang ada
adalah otonomi yang sesuai dengan kemampuan Daerah alias otonomi nyata.Dalam Negara
kesatuan tidaklah mungkin suatu Daerah mengurus dan mengatur segala urusan,
karena terbatas akan kemampuan dan keberadaan Pemerintahan Pusat. Konsepsi otonomi
seluas-luasnya hanya ada dalam khayalan saja, dalam angan-angan belaka. Jelas
sekali apa yang diuraikan dalam Penjelasan Umum UU No. 23 Tahun 2014
sebagaimana penulis kutip di atas. “Dalam
negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan
nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun
otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat.”
Kesimpulan
Apapun argument yang
dikemukakan oleh MPR dan pembentuk undang-undang untuk tetap berharap
diterapkannya otonomi seluas-luasnya, rasanya akan sulit diaplikasikan.Kekuasaan
pemerintahan Negara mutlak hanya ada pada Negara, bukan pada Daerah. Jadi kesimpulannya
adalah:
1.
Otonomi
seluas-luasnya dalam kerangka NKRI sebagaimana digariskan dalam UUD 1945
Perubahan tidak terrewalisasikan dalam UU No. 23 Tahun 2014. Oleh karenanya
konsepsi otonomi seluas-luas adalah sebuah kemustahilan;
2.
Konsep
otonomi yang cocok dalam NKRI adalah otonomi nyata dan bertanggungjawab, karena
otonomi adalah kemandirian bukan kebebasan.
Saran
Perlu ada
pembagian/perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang adil dan
proporsional, agar Daerah dapat secara mandiri mengelola SDA dan SDMnya untuk
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di Daerah khususnya dan bangsa Indonesia pada
umumnya.
Bandung April 2018
[1] Pasal 18 ayat (5) Pemerintahan
daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
[2] Penjelasan Umum
angka 1 huruf b Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi
seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar
yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan
pada peningkatan kesejahteraan rakyat.
[3]
Lihat Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1957 beserta penjelasannya.
[4]Di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara, telah digariskan prinsip-prinsip pokok tentang
Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai berikut:” Dalam rangka melancarkan pelaksanaan
pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara, dan dalam membina
kestabilan politik serta kesatuan Bangsa maka hubungan yang serasi antara
Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada
pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab yang dapat menjamin
perkembangan dan pembangunan Daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan
dekonsentrasi”.
[5] Urusan pemerintahan absolut adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.(Pasal 9(2) UU 23 thn 2014). Sementara,
Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2)
meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e.
moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (Pasal 10 (1) UU 23 thn 2014).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar