Rabu, 25 April 2018

OTONOMI NYATA ATAU OTONOMI SELUAS-LUASNYA: SEBUAH PILIHAN

OTONOMI NYATA ATAU OTONOMI SELUAS-LUASNYA:
SEBUAH PILIHAN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pendahuluan

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia diterapkan berbagai konsep otonomi, seperti otonomi nyata, otonomi nyata dan bertanggung jawab, serta otonomi seluas-luasnya. Konsep otonomi seluas-luasnya pernah diutarakan dalam Ketetapan MPRS No. XXI/MPRS/1966 tentang Pemberian Otonomi Seluas-luasnya kepada Daerah. Tetapi ketetapan tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Ketatapan MPR No.V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-produk yang berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

Pada tahun 1974 dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Dalam UU tersebut konsep otonomi yang digunakan adalah otonomi nyata yang bertanggung jawab (lihat Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1974). Hal itu berdasarkan kepada amanat Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 tentang Garis-garis besar haluan Negara, yang telah menggariskan politik  otonomi adalah otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.

Dalam Pasal 18 UUD 1945 Perubahan Kedua[1]  disebutkan bahwa otonomi yang dianut adalah otonomi seluas-luasnya. Jadi kembali lagi ke masa sebelum UU No. 5 Tahun 1974 dibentuk. Realisasi dari perubahan UUD 1945 tersebut dikelarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Seperti dijelaskan dalam Penjelasan umumnya, UU No. 32 Tahun 2004 menganut otonomi seluas-luasnya.[2] Namun dalam penjelasan tersebut disebutkan pula tentang dianutnya prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. UU No. 23 Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 32 Tahun 2004 menetapkan prinsip otonomi seluas-luasnya pula,dan secara tersamar menganut prinsip otonomi nyata dan bertanggung jawab.

Permasalahan

Ketidak jelasan dalam UU No. 23 Tahun 2014 menimbulkan pertanyaan: Apakah prinsip yang dianut dalam UU tersebut sesuai dengan amanat Pasal 18 UUD 1945 Perubahan? Dengan perkataan lain apakah prinsip otonomi yang dianut dewasa ini adalah otonomi seluas-luasnya, otonomi nyata dan bertanggung jawab atau kombinasi dari keduanya?

Liku-liku Penerapan Konsep Otonomi Daerah

Sepintas sudah disinggung di muka bahwa terjadi pergeseran penerapan konsep otonomi daerah dari otonomi nyata(riil), otonomi formal dan materiil, otonomi nyata dan bertanggung jawab ke otonomi seluas-luasnya. Dalam UU No. 22 Tahun 1948 diterapkan “otonomi sebanyak-banyaknya”, yang tiada lain identik dengan otonomi seluas-luasnya. Kemudian dalam UU No. 1 Tahun 1957 diterapkan otonomi seluas-luasnya.[3] Hingga tahun 1966 konsep otonomi seluas-luasnya masih dipakai, walaupun dalam pelaksanaannya jauh berbeda karena pemerintahan saat itu lebih bersifat sentralistik.Dengan Ketetapan MPRS No.XXI/MPRS/1966 ditegaskan kembali arah otonomi seluasnya. Namun dengan pergantian orde lama ke orde baru, konsepsi tersebut diganti kembali dengan dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1974, sebagai pengejawantahan dari Ketetapan MPR No.IV/MPR/1973 tentang GBHN.[4] UU tersebut menganut otonomi nyata dan bertanggung jawab.
Setelah terjadi pergeseran kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, keinginan menata kembali penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan otonomi luas, muncul kembali. Dengan ditetapkannya Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka NKRI, maka kepada daerah otonom diberikan kewenangan yang seluas-luasnya disertai dengan pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan pemerintahan negara. Hal itu berlaku hingga dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999.

Dengan terjadinya perubahan UUD 1945 politik hukum otonomi daerah dengan tegas disebutkan dalam Pasal 18 UUD 1945 Perubahan Kedua. Otonomi seluas-luasnya dimuat secara jelas dalam UUD 1945 Perubahan. Hal itu menjadi dasar bagi UU organik dan peraturan pelaksanaannya.

UU No. 23 Tahun 2014 sebagai undang-undang organik yang berlaku saat ini, menggambarkan tentang pemberian otonomi seluas-luasnya kepada daerah, sebagaimana diuraikan dalam Penjelasan Umumnya, sebagai berikut:
Pemberian otonomi yang seluas-luasnya kepada Daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di samping itu melalui otonomi luas, dalam lingkungan strategis globalisasi, Daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman Daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada Daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat. Untuk itu Pemerintahan Daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan Pemerintahan Nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh Daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas Daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan.

Prinsip Otonomi Nyata dan Bertanggung Jawab
serta Otonomi Seluas-luasnya

A. Otonomi Nyata dan Bertanggung Jawab

Menurut Penjelasan UU No. 5 Tahun 1974 disebutkan pengertian otonomi nyata dan bertanggungjawab. Nyata, dalam arti bahwa pemberian otonomi kepada Daerah haruslah didasarkan pada faktor-faktor, perhitungan-perhitungan dan tindakan-tindakan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang benar-benar dapat menjamin daerah yang bersangkutan secara nyata mampu mengurus rumah tangga sendiri. Jadi, Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip  bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya.

Bertanggungjawab, dalam arti bahwa pemberian otonomi itu benar-benar sejalan dengan tujuannya, yaitu melancarkan pembangunan yang tersebar diseluruh pelosok Negara dan serasi atau tidak bertentangan dengan pengarahan-pengarahan yang telah diberikan, serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan Bangsa, menjamin hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan daerah serta dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah.

Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggungjawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.

b. Otonomi Seluas-luasnya.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti  daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan  dan  aspirasi  yang  tumbuh  dalam  masyarakat.
Selain itu penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara Daerah dengan Daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar Daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar Daerah. Hal yang tidak kalah pentingnya bahwa otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi  antar Daerah dengan Pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan wilayah Negara dan tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan negara.

Jadi otonomi seluas-luasnya tidak dapat diartikan bahwa Daerah dapat mengurus dan mengatur segala urusan sesuai dengan kehendaknya sendiri. Ada pembatasan-pembatasan yang “menghadang” otonomi seluas-luasnya.
Pertama, ketentuan undang-undang yang menyatakan bahwa urusan pemerintahan absolut tidak menjadi urusan yang dapat dilakukan oleh Daerah Otonom. Urusan pemerintahan absolut menjadi urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi wewenang Pemerintahan Pusat. Urusan Pemerintahan absolut tersebut disebut dalam Pasal 10 UU No. 23 Tahun 2014.[5] Segala urusan yang akan dilakukan oleh Daerah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan.
Kedua, yang turut membatasi penyelenggaraan otononomi adalah kemampuan Daerah, baik berupa kemampuan keuangan (finansial), kemampuan SDA dan kemampuan SDM. Ketiga unsur tsb membatasi penyelenggaraan urusan pemerintahan. Bagaimana daerah akan melakukan urusan sebanyak-banyaknya apabila tidak memiliki kemampuan sebagaimana disebutkan di atas.
Ketiga, adalah kerangka negara kesatuan. Apapun yang dilakukan oleh Daerah pada akhirnya akan bermuara pada tanggung jawab Pemerintah Pusat. Daerah tidak dapat melakukan urusan-urusan yang bertentangan dengan kepentingan (umum) Negara.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa otonomi seluas-luasnya tidak mungkin ada, yang ada adalah otonomi yang sesuai dengan kemampuan Daerah alias otonomi nyata.Dalam Negara kesatuan tidaklah mungkin suatu Daerah mengurus dan mengatur segala urusan, karena terbatas akan kemampuan dan keberadaan Pemerintahan Pusat. Konsepsi otonomi seluas-luasnya hanya ada dalam khayalan saja, dalam angan-angan belaka. Jelas sekali apa yang diuraikan dalam Penjelasan Umum UU No. 23 Tahun 2014 sebagaimana penulis kutip di atas. “Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada Daerah. Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada Daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan Pemerintahan Daerah akan tetap ada ditangan Pemerintah Pusat.”

Kesimpulan

Apapun argument yang dikemukakan oleh MPR dan pembentuk undang-undang untuk tetap berharap diterapkannya otonomi seluas-luasnya, rasanya akan sulit diaplikasikan.Kekuasaan pemerintahan Negara mutlak hanya ada pada Negara, bukan pada Daerah. Jadi kesimpulannya adalah:

1.    Otonomi seluas-luasnya dalam kerangka NKRI sebagaimana digariskan dalam UUD 1945 Perubahan tidak terrewalisasikan dalam UU No. 23 Tahun 2014. Oleh karenanya konsepsi otonomi seluas-luas adalah sebuah kemustahilan;
2.    Konsep otonomi yang cocok dalam NKRI adalah otonomi nyata dan bertanggungjawab, karena otonomi adalah kemandirian bukan kebebasan.

Saran

Perlu ada pembagian/perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang adil dan proporsional, agar Daerah dapat secara mandiri mengelola SDA dan SDMnya untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di Daerah khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.




Bandung April 2018




[1] Pasal 18 ayat (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.
[2] Penjelasan Umum angka 1 huruf b Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti  daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

[3] Lihat Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1957 beserta penjelasannya.
[4]Di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara, telah digariskan prinsip-prinsip pokok tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah sebagai berikut:” Dalam rangka melancarkan pelaksanaan pembangunan yang tersebar di seluruh pelosok Negara, dan dalam membina kestabilan politik serta kesatuan Bangsa maka hubungan yang serasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah atas dasar keutuhan Negara Kesatuan, diarahkan pada pelaksanaan Otonomi Daerah yang nyata dan bertanggungjawab yang dapat menjamin perkembangan dan pembangunan Daerah, dan dilaksanakan bersama-sama dengan dekonsentrasi”.

[5]  Urusan pemerintahan absolut  adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.(Pasal 9(2) UU 23 thn 2014). Sementara, Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. (Pasal 10 (1) UU 23 thn 2014).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...