Sabtu, 28 April 2018

MENYOAL PRESIDENTIAL THRESHOLD SEBAGAI SYARAT DALAM PENGAJUAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN


MENYOAL PRESIDENTIAL THRESHOLD
SEBAGAI SYARAT DALAM PENGAJUAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pendahuluan

Penetapan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential threshold) yang ditetapkan dalam Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,[1] pernah menjadi perdebatan. Bahkan hal tersebut pernah diajukan  uji materil oleh Partai Idaman dengan registrasi No. 53/PUU-XV/2017 di Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menolak permohonan uji materi tersebut. Terlepas dari persoalan bahwa putusan MK tersebut sudah final dan mengikat, maka dari segi akamemik perlu ada kajian teoritik.
Bahwa UUD memuat aturan aturan pokok ketatanegaraan, khususnya memuat mengenai struktur kelembagaan negara (suprastruktur politik) dan hak-hak warga negara (infrastruktur politik). Khusus mengenai kelembagaan negara ditetapkan cara pengisian, syarat-syarat, tugas dan wewenang serta hubungan antar lembaga negara satu sama lain. Salah satunya adalah penetapan/pengaturan mengenai jabatan Presiden dan Wakil Presiden, dalam negara republik dengan sistem pemerintahan Presidential. UUD adalah tempat atau wadah pengaturan hal-hal tersebut.
Dalam sistem hukum Indonesia yang menganut paham konstitusional, dimuat dalam UUD 1945 yang kemudian secara berjenjang dijabarkan dalam Ketetapan MPR, Undang-undang (organik), Peraturan Pemerintah, dst. Undang-undang organik adalah undang-undang yang melaksanakan perintah UUD. Dengan perkataan lain undang-undang organik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari UUD. Apa yang diatur dalam undang-undang organik harus  terlebih dahulu dimuat dalam UUD. Undang-undang Pemilihan Umum, khususnya mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan “turunan” dari UUD 1945. Materi yang diantur dalam undang-undang organic harus ditetapkan terlebih dahulu dalam UUD.
Permasalahan
Apakah materi mengenai penetapan ambang batas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017, tidak menyimpangi ketentuan dalam Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 Perubahan Ketiga?

Analisis Konstitusional
Pasal 6  UUD 1945 menetapkan mengenai syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden. Syarat-syarat tersebut harus diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Dan Pasal 6A UUD 1945 Perubahan Ketiga menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut diusulkan oleh partasi politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan umum.
Dari rumusan pasal 6 dan Pasal 6A tersebut tersimpul bahwa undang-undang (organik) mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden hanya berisi tentang (a) syarat-syarat calon Presiden dan Wakil Presiden, dan (b) tata cara pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 tidak memuat bahkan mengatur mengenai persyaratan pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden. Tidak ada ketentuan mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Ini artinya bahwa terdapat kekurangan norma hukum yang ditetapkan dalam Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 Perubahan Ketiga. Harus diakui bahwa perubahan UUD 1945 yang dilakukan sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 masih memiliki kelemahan!
Siapa yang berwenang melengkapi ketentuan UUD 1945?
UUD 1945 telah dengan tegas (eksplisit) menetapkan bahwa yang berwenang mengubah UUD 1945 adalah MPR.[2] Menambah dan mengurangi ketentuan dalam UUD 1945 adalah perbuatan melakukan perubahan.[3] Oleh karenanya wewenang untuk menambah ketentuan dalam UUD 1945 adalah wewenang mutlak MPR, pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) tidak berwenang melakukan hal itu. Bila hal itu dilakukan maka produk hukumnya adalah batal demi hukum (van rechtwegenietig). Hal itu pun merupakan pelanggaran konstitusi.
Praktik ketatanegaraan RI, berkaitan dengan penambahan materi muatan UUD 1945 dilakukan melalui (antara lain) penerbitan Ketetapan MPR(S). Salah satu contohnya mengenai syarat-syarat dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelum UUD 1945 diubah, yakni dengan diterbitkannya Ketetapan MPR.[4]
MPR adalah lembaga yang secara konstitutional diberi wewenang menetapan dan mengubah UUD. Produk hukum MPR berkaitan dengan pengaturan kelembagaan negara dapat berupa UUD (penetapan), perubahan UUD dan Ketetapan MPR. Keberadaan Ketetapan MPR adalah legal konstitusional.[5] Berkaitan dengan kekurangan norma hukum yang termuat dalam Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 Perubahan Ketiga, adalah wewenang MPR untuk menambah/melengkapinya. Ada du acara yang dapat dilakukan oleh MPR. Pertama, melalui perubahan/penambahan aturan dalam Pasal 6A. Kedua, dilakukan dengan cara menerbitkan ketetapan MPR yang bersifat melengkapi ketentuan dalam UUD 1945.
Bagaimana halnya dengan materi dalam UU No. 7 Tahun 2017 mengenai ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden?
Penulis beranggapan bahwa ketentuan tersebut bersifat “extra konstitusional” atau bahkan dapat dikatakan “in-konstitusional”. Hal itu identik dengan pengaturan mengenai pertanggungjawaban Presiden menurut UUD 1945 Asli, yang dimuat dalam Penjelasan Umum UUD 1945. Ketentuan ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden merupakan materi muatan (het onderwerp) UUD. Oleh karenanya hal itu seharusnya diatur dalam batang tubuh UUD 1945, bukan diatur dalam undang-undang organik. Undang-undang organik baru dapat mengatur lebih lanjut apabila materi tersebut telah dimuat dalam UUD1945 atau telah diatur dalam Ketetapan MPR.
Dapat disimpulkan bahwa undang-undang organic hanya dapat mengatur materi yang sebelumnya telah dimuat dalam UUD 1945 atau dalam Ketetapan MPR. Penetapan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam undang-undang telah melanggar asas perundang-undangan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus mendapat landasan yuridis (formal maupun materil) dari peraturan yang lebih tinggi. Penempatan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak memenuhi landasan yuridis materil, dan oleh karenanya harus batal demi hukum.
Kesimpulan dan Saran
Simpulan
a.    Bahwa muatan tentang ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden seharusnya dimuat dalam UUD 1945, baru diatur lebih lanjut dengan undang-undang organic.
b.    Bahwa keberadaan materi tentang ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam UU No. 7 Tahun 2017 adalah “inkonstitusional”.
c.    Bahwa ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tidak memenuhi landasan yuridis materil, dan oleh karenanya harus batal demi hukum.

Saran
a.    MPR sebagai lembaga negara yang secara konstitusional diberi wewenang untuk mengubah (melengkapi) ketentuan UUD 1945 dapat memahami kekuarangan tersebut dan segera bertindak melakukan tugas dan wewenangnya.
b.    MPR mengagendakan perubahan UUD 1945 atau menerbitkan Ketetapan MPR untuk melengkapi kekurangan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945, khususnya berkaitan dengan masalah ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden.


Bandung, 25 April 2018



[1] Pasal 222 tersebut menyatakan: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 2Oo/o (dva puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25o/o (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
[2] Lihat Pasal 3 jo. Pasal 37 UUD 1945.
[3] Mengubah UUD tidak hanya mengandung arti menambah, mengurangi atau mengubah kata-kata dan istilah maupun kalimat dalam Undang-undang Dasar, tetapi juga berarti membuat isi ketentuan Undang-undang Dasar menjadi lain dari pada semula, melalui penafsiran. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1979, hlm 196.
[4] Misalnya Ketetapan MPR No.II/MPR/1973, No. VI/MPR/1973 dan No.VII/MPR/1973.
[5] Lihat UU No. 12 Tahun 2011 dan praktik bahwa masih terdapatnya 14 Ketetapan MPR yang dinyatakan masih berlaku. Secara konstitutsonal MPR berwenang mengeluarkan dan menetapkan Ketetapan MPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...