MENYOAL
PRESIDENTIAL THRESHOLD
SEBAGAI
SYARAT DALAM PENGAJUAN CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN
Oleh:
Rosjidi Ranggawidjaja
Pendahuluan
Penetapan ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (presidential
threshold) yang ditetapkan dalam Pasal 222 UU No.7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum,[1]
pernah menjadi perdebatan. Bahkan hal tersebut pernah diajukan uji materil oleh Partai Idaman dengan
registrasi No. 53/PUU-XV/2017 di Mahkamah Konstitusi. Putusan MK menolak permohonan
uji materi tersebut. Terlepas dari persoalan bahwa putusan MK tersebut sudah
final dan mengikat, maka dari segi akamemik perlu ada kajian teoritik.
Bahwa UUD memuat aturan
aturan pokok ketatanegaraan, khususnya memuat mengenai struktur kelembagaan
negara (suprastruktur politik) dan hak-hak warga negara (infrastruktur politik).
Khusus mengenai kelembagaan negara ditetapkan cara pengisian, syarat-syarat,
tugas dan wewenang serta hubungan antar lembaga negara satu sama lain. Salah
satunya adalah penetapan/pengaturan mengenai jabatan Presiden dan Wakil
Presiden, dalam negara republik dengan sistem pemerintahan Presidential. UUD
adalah tempat atau wadah pengaturan hal-hal tersebut.
Dalam sistem hukum Indonesia
yang menganut paham konstitusional, dimuat dalam UUD 1945 yang kemudian secara
berjenjang dijabarkan dalam Ketetapan MPR, Undang-undang (organik), Peraturan
Pemerintah, dst. Undang-undang organik adalah undang-undang yang melaksanakan
perintah UUD. Dengan perkataan lain undang-undang organik merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari UUD. Apa yang diatur dalam undang-undang organik harus terlebih dahulu dimuat dalam UUD. Undang-undang
Pemilihan Umum, khususnya mengenai pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
merupakan “turunan” dari UUD 1945. Materi yang diantur dalam undang-undang organic
harus ditetapkan terlebih dahulu dalam UUD.
Permasalahan
Apakah materi mengenai penetapan
ambang batas pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ditetapkan dalam
Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017, tidak menyimpangi ketentuan dalam Pasal 6 dan
Pasal 6A UUD 1945 Perubahan Ketiga?
Analisis
Konstitusional
Pasal 6 UUD 1945 menetapkan mengenai syarat-syarat
calon Presiden dan Wakil Presiden. Syarat-syarat tersebut harus diatur lebih
lanjut dengan undang-undang. Dan Pasal 6A UUD 1945 Perubahan Ketiga menyatakan
bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung
oleh rakyat.Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden tersebut diusulkan oleh
partasi politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pemilihan
umum.
Dari rumusan pasal 6 dan
Pasal 6A tersebut tersimpul bahwa undang-undang (organik) mengenai pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden hanya berisi tentang (a) syarat-syarat calon
Presiden dan Wakil Presiden, dan (b) tata cara pengajuan calon Presiden dan
Wakil Presiden. Pasal 6 dan Pasal 6A UUD 1945 tidak memuat bahkan mengatur
mengenai persyaratan pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden. Tidak ada
ketentuan mengenai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Ini
artinya bahwa terdapat kekurangan norma hukum yang ditetapkan dalam Pasal 6 dan
Pasal 6A UUD 1945 Perubahan Ketiga. Harus diakui bahwa perubahan UUD 1945 yang
dilakukan sejak tahun 1999 hingga tahun 2002 masih memiliki kelemahan!
Siapa
yang berwenang melengkapi ketentuan UUD 1945?
UUD 1945 telah dengan tegas
(eksplisit) menetapkan bahwa yang berwenang mengubah UUD 1945 adalah MPR.[2]
Menambah dan mengurangi ketentuan dalam UUD 1945 adalah perbuatan melakukan
perubahan.[3]
Oleh karenanya wewenang untuk menambah ketentuan dalam UUD 1945 adalah wewenang
mutlak MPR, pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) tidak berwenang
melakukan hal itu. Bila hal itu dilakukan maka produk hukumnya adalah batal
demi hukum (van rechtwegenietig). Hal
itu pun merupakan pelanggaran konstitusi.
Praktik ketatanegaraan RI,
berkaitan dengan penambahan materi muatan UUD 1945 dilakukan melalui (antara
lain) penerbitan Ketetapan MPR(S). Salah satu contohnya mengenai syarat-syarat
dan tata cara pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelum UUD 1945 diubah,
yakni dengan diterbitkannya Ketetapan MPR.[4]
MPR adalah lembaga yang secara
konstitutional diberi wewenang menetapan dan mengubah UUD. Produk hukum MPR
berkaitan dengan pengaturan kelembagaan negara dapat berupa UUD (penetapan),
perubahan UUD dan Ketetapan MPR. Keberadaan Ketetapan MPR adalah legal konstitusional.[5]
Berkaitan dengan kekurangan norma hukum yang termuat dalam Pasal 6 dan Pasal 6A
UUD 1945 Perubahan Ketiga, adalah wewenang MPR untuk menambah/melengkapinya.
Ada du acara yang dapat dilakukan oleh MPR. Pertama, melalui
perubahan/penambahan aturan dalam Pasal 6A. Kedua, dilakukan dengan cara
menerbitkan ketetapan MPR yang bersifat melengkapi ketentuan dalam UUD 1945.
Bagaimana
halnya dengan materi dalam UU No. 7 Tahun 2017 mengenai ambang batas pengajuan
calon Presiden dan Wakil Presiden?
Penulis beranggapan bahwa
ketentuan tersebut bersifat “extra
konstitusional” atau bahkan dapat dikatakan “in-konstitusional”. Hal itu identik dengan pengaturan mengenai
pertanggungjawaban Presiden menurut UUD 1945 Asli, yang dimuat dalam Penjelasan
Umum UUD 1945. Ketentuan ambang batas pengajuan calon Presiden dan Wakil
Presiden merupakan materi muatan (het
onderwerp) UUD. Oleh karenanya hal itu seharusnya diatur dalam batang tubuh
UUD 1945, bukan diatur dalam undang-undang organik. Undang-undang organik baru
dapat mengatur lebih lanjut apabila materi tersebut telah dimuat dalam UUD1945
atau telah diatur dalam Ketetapan MPR.
Dapat disimpulkan bahwa
undang-undang organic hanya dapat mengatur materi yang sebelumnya telah dimuat
dalam UUD 1945 atau dalam Ketetapan MPR. Penetapan ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden dalam undang-undang telah melanggar asas
perundang-undangan, bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus mendapat
landasan yuridis (formal maupun materil) dari peraturan yang lebih tinggi.
Penempatan ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden tidak memenuhi
landasan yuridis materil, dan oleh karenanya harus batal demi hukum.
Kesimpulan
dan Saran
Simpulan
a.
Bahwa muatan tentang ambang batas pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden seharusnya dimuat dalam UUD 1945, baru diatur lebih
lanjut dengan undang-undang organic.
b.
Bahwa keberadaan materi tentang ambang batas
pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dalam UU No. 7 Tahun 2017 adalah “inkonstitusional”.
c.
Bahwa ketentuan Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017
tidak memenuhi landasan yuridis materil, dan oleh karenanya harus batal demi hukum.
Saran
a.
MPR sebagai lembaga negara yang secara
konstitusional diberi wewenang untuk mengubah (melengkapi) ketentuan UUD 1945
dapat memahami kekuarangan tersebut dan segera bertindak melakukan tugas dan
wewenangnya.
b.
MPR mengagendakan perubahan UUD 1945 atau
menerbitkan Ketetapan MPR untuk melengkapi kekurangan ketentuan-ketentuan dalam
UUD 1945, khususnya berkaitan dengan masalah ambang batas pengajuan calon
Presiden dan Wakil Presiden.
Bandung, 25 April 2018
[1] Pasal
222 tersebut menyatakan: Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan
kursi paling sedikit 2Oo/o (dva puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25o/o (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada
Pemilu anggota DPR sebelumnya.
[2]
Lihat Pasal 3 jo. Pasal 37 UUD 1945.
[3] Mengubah UUD tidak hanya mengandung arti menambah,
mengurangi atau mengubah kata-kata dan istilah maupun kalimat dalam
Undang-undang Dasar, tetapi juga berarti membuat isi ketentuan Undang-undang
Dasar menjadi lain dari pada semula, melalui penafsiran. Sri
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1979, hlm 196.
[4]
Misalnya Ketetapan MPR No.II/MPR/1973, No. VI/MPR/1973 dan No.VII/MPR/1973.
[5] Lihat UU
No. 12 Tahun 2011 dan praktik bahwa masih terdapatnya 14 Ketetapan MPR yang
dinyatakan masih berlaku. Secara konstitutsonal MPR berwenang mengeluarkan dan
menetapkan Ketetapan MPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar