FORMAT
DAN SUBSTANSI
GARIS-GARIS
BESAR HALUAN NEGARA
Oleh:
Rosjidi Ranggawidjaja
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Wacana pemberian kembali
wewenang MPR untuk menetapkan
Garis-garis Besar (daripada) Haluan Negara, tidak sekedar sebagai upaya mencari format dan substansi apa yang perlu
ditetapkannya. Rasanya tidak akan “nyambung”, kalau pembahasan mengenai hal
tersebut tidak dikaitkan dengan wewenang MPR untuk menetapkannya. Dalam UUD
1945 Perubahan tidak terdapat rumusan pasal yang mengatribusikan wewenang
kepada MPR untuk membentuk dan menetapkan GBHN.
Berbeda dengan rumusan yang tertuang dalam Pasal 3 UUD 1945 Asli yang
dengan tegas dan jelas menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan
Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara.” Kemudian
kata “menetapkan” tersebut diartikan oleh MPR sebagai wewenang untuk menetapkan
garis-garis besar haluan negara dalam sebuah ketetapan MPR. Praktik tersebut
meskipun tidak sepenuhnya diterapkan masih dilakukan hingga sekarang.[1]
Keberadaan ketetapan MPR masih diakui sebagai salah satu produk hukum MPR.
Fakta memperlihatkan bahwa produk-produk hokum MPR adalah (penetapan)
Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR dan
Keputusan MPR.
Jadi, apabila sekarang akan
merumuskan format, model dan substansi apa yang harus ditetapkan dalam naskah
GBHN harus dimulai dengan upaya pengubahan kembali tugas dan wewenang MPR yang
diatribusikan oleh UUD 1945. Tegasnya menambahkan kembali rumusan pasal atau
bagian pasal yang berkaitan dengan pemberian (atribusi) wewenang MPR untuk
menetapkan GBHN. Jika hal itu terjadi maka MPR dapat merumuskan dan menetapkan
GBHN.
Meskipun MPR tidak
diposisikan sebagai satu-satunya lembaga negara yang menjalankan kedaulatan
rakyat, tetapi posisi MPR seperti yang dikehendaki oleh para pendiri negara (the founding fathers and mothers) adalah
sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia. Sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia selayaknya MPR
mendapat tugas untuk menetapkan GBHN yang mencerminkan kehendak rakyat
Indonesia. Kehendak dan cita-cita untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, kesejahteraan yang adil dan makmur, seyogianya
ditetapkan oleh rakyat Indonesia sendiri. Dalam hal ini pelaksanaan kedaulatan
rakyat didasarkan kepada kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maka
seyogianya MPR-lah yang diberi tugas dan wewenang menetapkan program-program
yang diwadahi dalam GBHN. Sangat beralasan kalau MPR diberi tugas dan wewenang tersebut.
Pengertian dari istilah
“garis-garis daripada besar haluan negara” (ditulis dengan huruf kecil) lebih
luas dibandingkan dengan pengertian istilah Garis Besar Haluan Negara
(disingkat GBHN). Garis besar haluan negara adalah seluruh kebijakan negara yang
bersifat primer (utama) termasuk Undang-Undang Dasar. Sementara itu Garis Besar
Haluan Negara hanya salah satu kebijakan negara yang disusun (biasanya) selama
lima tahun. GBHN adalah pola umum pembangunan lima tahunan, yang kemudian
dijabarkan dalam pola pembangunan tahunan. Dalam konteks ini, Jimly Asshiddiqie
misalnya, mengartikan haluan negara (state policies atau staatsbeleid) dalam
tiga pengertian. Pertama, haluan negara yang ditetapkan dalam UUD 1945. Kedua,
haluan negara yang tidak ditentukan dalam UUD 1945, ditetapkan oleh MPR(S),
sebagai pelengkap UUD 1945. Dan ketiga, haluan negara dalam arti sempit, yaitu
GBHN sebagai dokumen perencanaan pembangunan nasional.[2]
Sejarah membuktikan bahwa
untuk pertama kali GBHN dirumuskan dan dimuat dalam Pidato Presiden RI Pertama,
Bung Karno, yang kemudian dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS. Selanjutnya, GBHN
dimuat dalam Ketetapan MPR, terakhir dimuat dalam Ketetapan MPR No. /MPR/1999. Setelah perubahan UUD 1945 dilakukan, dan Presiden
serta Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dikeluarkan UU No. 25 Tahun
2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Berdasarkan undang-undang
tersebut Presiden menetapkan Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.
B.
PERMASALAHAN
Dari apa yang telah
diuraikan di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, antara lain:
1.
Tepatkah MPR ditetapkan sebagai lembaga negara yang
berwenang menetapkan GBHN?
2.
Dalam produk hukum (bentuk
atau jenis peraturan perundang-undangan) apa sebaiknya GBHN dituangkan?
3.
Perlukah format dan
substansi GBHN dibakukan?
B.
PEMBAHASAN
DAN ANALISIS
1 Dasar Hukum Kewenangan
Dasar
kewenangan sebuah lembaga negara untuk melakukan sesuatu tindakan harus diatur
dalam undang-undang dasar (konstitusi) , karena undang-undang dasar suatu
negara berisi antara lain mengenai pembatasan dan pembagian tugas dari
alat-alat kelengkapan negara (lembaga negara) yang bersifat mendasar.[3]
Jika undang-undang dasar tidak menetapkan tugas-tugas tersebut maka lembaga negara tersebut tidak memiliki
kewenangan konstitusional. Agar kewenangan lembaga negara tersebut dianggap sah
secara konstitusional, kekuasaan atau
kewenangan tersebut harus ditetapkan
terlebih dahulu dalam undang-undang dasar.
Suatu
kaedah hukum harus mempunyai dasar
berlaku secara yuridis (juridische
gelding). Dasar yuridis ini sangat penting dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan
perundang-undangan, karena setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat
oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, peraturan
perundang-undangan itu batal demi hukum
(van rechtswegenietig).[4]
Bila
demikian maka wewenang MPR untuk menetapkan GBHN, yang pernah dimiliki dan
kemudian dikebiri oleh MPR sendiri pada saat melakukan Perubahan Ketiga UUD
1945, harus ditetapkan ulang. Rumusannya apakah sama seperti dalam rumusan
Pasal 3 UUD 1945 Asli, atau diubah dan ditetapkan dalam pasal tersendiri. Bukan
masalah, yang penting wewenang tersebut
harus ditetapkan kembali dalam UUD 1945, seperti tercantum dalam
rumusan UUD 1945 Asli. Artinya, bahwa UUD 1945 Perubahan harus diubah kembali. Wewenang menetapkan
GBHN harus dirumuskan dalam UUD 1945. Itulah sistem konstitusional.
Muncul
pertanyaan: tepatkah MPR yang menetapkan GBHN? Jawabnya: sangat tepat. Seperti
dikehendaki oleh para pendiri negara, khususnya Soepomo sebagaimana tersurat dalam Penjelasan
UUD 1945, bahwa MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes).[5] Sebagai negara yang berkedaulatan rakyat
berdasarkan permusyawaratan/perwakilan, seyogianya rakyat melalui
wakil-wakilnya dalam badan
permusyawaratan menetapkan sendiri kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan
dalam pembangunan masa depannya. Kebijakan-kebijakan (yang tertuang dalam GBHN)
harus dirumuskan oleh mereka, badan permusyawaratan rakyat yang merupakan
penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, bukan oleh Presiden sebagai pihak
eksekutip. Meskipun Presiden diilih langsung oleh rakyat.
Perlu
dicatat pula bahwa posisi atau kedudukan MPR sebagai lembaga permusyawaratan
rakyat, berada pada dua kedudukan/posisi. Sebagai badan pembentuk UUD
(dewan konstituante) dan sebagai pelaksana UUD. Sebagai badan yang berwenang
mengubah dan menetapkan UUD, MPR berada pada kedudukan yang mengatasi semua
kewenangan lembaga negara yang ada, termasuk mengatasi UUD 1945 sendiri. Pada
posisi itulah MPR berwenang menetapkan (mengatribusikan) kekuasaan-kekuasaan
dan batas-batas tugas dari lembaga-lembaga negara yang ada dalam UUD 1945
sendiri. Bahkan MPR berwenang menghapus keberadaan suatu lembaga negara (contoh
kasus penghapusan DPA).
Pada
sisi lain, sesudah UUD 1945 ditetapkan, MPR harus tunduk pada ketentuan UUD. MPR
tidak dapat bertindak sewenang-wenang, harus taat pada “aturan main” yang sudah
ditetapkan dalam UUD 1945, yang nota bene ditetapkan oleh MPR sendiri. Dalam
mengubah UUD MPR harus taat pada aturan mengenai perubahan UUD. Mengenai
prosedur, kuorum kehadiran anggota, dan syarat-syarat pengambilan keputusan diatur
dalam UUD 1945 (Pasal 37).
Artinya,
apabila MPR akan diberi wewenang menetapkan kembali GBHN, maka ketentuan dalam
UUD 1945 harus diubah kembali.
2 FORMAT DAN SUBSTANSI GBHN
Praktek
ketatanegaraan Indonesia, dalam menyusun haluan negara, tidak pernah menetapkan
bentuk atau format baku. Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat bahwa Pidato
Bung Karno (Presiden RI Pertama) yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita,
yang kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol) diterima oleh MPRS
sebagai GBHN.[6]
Pola seperti itu kemudian dilanjutkan oleh MPRS dan MPR hasil pemilihan umum
tahun 1971, hingga MPR hasil pemilihan umum tahun 1999. Dalam setiap GBHN, yang
disertakan sebagai lampiran tak terpisahkan dari Ketetapan MPR tentang GBHN,
tidak ada bentuk baku. MPR sekarang dan juga MPR berikutnya dalam menyusun GBHN
tidak terikat pada format yang telah disusun sebelumnya.
Hanya
perlu dicatat bahwa dalam penyusunan GBHN tersebut MPR membagi atas tahapan
waktu, yaitu berupa Pola Umum Pembangunan Nasional Jangka Panjang (25 tahunan),
Pola Pembangunan Nasional Jangka Menengah (5 tahunan) dan Pola/Rencana
Tahunan Pembangunan Nasional.
Sebenarnya, mengingat masa bakti anggota MPR adalah lima tahunan, dan sesudah
itu keanggotaannya harus dipilih melalui pemilu kembali, maka perumusan GBHN
cukup dilakukan lima tahun sekali. Rincian Pola Tahunan Pembangunan Nasional
diserahkan kepada Pemerintah dan DPR (dimuat dalam UU). Berdasarkan kepada
rincian Pola Pembangunan Lima Tahunan (GBHN). Dengan demikian maka substansi
GBHN tidak perlu rinci/detail.
Dalam
praktik, materi muatan atau substansi GBHN selalu meliputi masalah: Ideologi; Politik; Hukum; Ekonomi; Sosial Budaya; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; Pertahanan dan Keamanan. Isu-isu tersebut
dapat dipakai sebagai pedoman saja. Terserah MPR yang akan merumuskannya, Yang
terpenting adalah GBHN tidak harus rinci, cukup menggambarkan pola umum lima
tahunan.
3. PRODUK HUKUM YANG IDEAL
Apa
kira-kira produk hukum yang ideal untuk mewadahi GBHN? Menurut praktik, GBHN
dituangkan dalam produk hukum berupa Ketetapan MPR (S), baru kemudian setelah
UUD 1945 Perubahan dijalankan ditetapkanlah RPJMN (GBHN ala reformasi?) dimuat
dalam produk hukum Peraturan Presiden.[7]
RPJMN merupakan penjabaran dari visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden pada
waktu berkampanye. Produk hukum Peraturan Presiden tidak dikenal dalam UUD
1945. Jenis peraturan tersebut “dilegalkan” melalui UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU
No. 10 Tahun 2004.
Bila
merujuk kepada hukum positip, khususnya UU No 12 Tahun 2011. Produk hukum yang
legal dikeluarkan oleh MPR adalah UUD 1945 (termasuk perubahannya) dan
Ketetapan MPR. MPR berwenang mengeluarkan produk hukum berupa Ketetapan MPR.
Meskipun ada sebuah “keblunderan” dari pembentuk UU dalam merumuskan penjelasan
Pasal 7 huruf b, yaitu:
Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.
Pernyataan tersebut dapat dianggap blunder karena hanya mengakui atau mengakomodir
Ketetapan MPR yang masih berlaku. MPR
tidak dapat mengeluarkan ketetapan baru. Bila pola pikir tersebut dipakai, Presiden dan DPR pun tidak dapat mengeluarkan
UU baru. Mungkin didasarkan pada anggapan bahwa
UUD 1945 Perubahan tidak mencantumkan wewenang MPR untuk mengeluarkan ketetapan? Muncul
pertanyaan yang sejenis: adakah UUD 1945 mencantumkan wewenang Presiden
mengeluarkan Peraturan Presiden? Jika UUD 1945 tidak memberi sinyal keberadaan
Peraturan Presiden, dapatkah UU No. 12 Tahun 2011 mengatribusikan wewenang
kepada Presiden menetapkan Peraturan Presiden? Bukankah hal itu merupakan
materi muatan yang harus diatur dalam UUD 1945?
Jadi, dari segi hukum positif adalah tepat
jika GBHN dimuat dalam produk hukum Ketetapan MPR. Dari segi teori memang ada
permasalahan, karena “ketetapan” tergolong sebagai “beschikking” bukan “regeling”(peraturan).
Padahal dalam UU No.12 Tahun 2011 tersebut Ketetapan MPR digolongkan sebagai
salah satu bentuk/jenis peraturan perundang-undangan. Ada hal “lucu” juga dalam rumusan Pasal 8 UU
No. 12 Tahun 2011, yaitu adanya jenis peraturan MPR. Apa maksud pembentuk undang-undang menambahkan pasal
tersebut. Rumusan tersebut justru mengaburkan tata susunan jenis-jenis
peraturan perundang-undangan yang sudah disebut dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun
2011. Memang, yang namanya peraturan perundang-undangan (wettelyke regels)
seharusnya mengikat secara umum (algemene bindende voorschriften). Secara teori
peraturan MPR lah yang mengikat keluar dan kedalam MPR.
Dalam UUD 1945 Baru (Perubahan), badan
perwakilan terdiri dari MPR, DPR dan DPD. Di tingkat daerah terdapat DPRD
Provinsi, DPRD Kabupaten dan DPRD Kota. MPR, DPR dan DPD masing-masing
merupakan badan perwakilan yang mandiri. Tetapi MPR baru eksis tatkala ada “joint session” atau “joint meeting” antara DPR dan DPD. Dalam
posisi seperti itulah MPR berkedudukan sebagai
pembentuk GBHN, karena dia mewakili seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan pasal-pasal dalam UUD 1945 Perubahan
tidak mencerminkan sistem dua kamar (bicameral
system), baik yang soft bicameralism lebih-lebih
yang strong bicameralism. Tidak juga
menganut mono kameral atau uni kameral. Kedudukan DPD tidak setara dengan DPR.
Berbagai ketentuan mengenai DPD lebih menunjukkan fungsi komplementer DPD
terhadap DPR daripada sebagai badan
perwakilan mandiri.[8]
Dalam kenyataannya ternyata DPD tidak lebih hanya sebagai “pembantu” DPR dalam
merancang undang-undang, dan tidak turut serta membahas, apalagi memberikan
putusan.
4. PENGAWASAN DAN EVALUASI
Dengan
dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat (direct popular vote), tidak menutup
kemungkinan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak bertanggung jawab. UUD
1945 Perubahan tidak mengatur tentang adanya pertanggungjawaban Presiden dan
atau Wakil Presiden kepada MPR. Walaupun demikian, DPR yang seluruh anggotanya
merangkap menjadi anggota MPR memiliki fungsi pengawasan, selain fungsi
legislasi dan fungsi anggaran. Keberadaan fungsi-fungsi tersebut menggambarkan
bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden, meskipun dipilih langsung oleh
rakyat tidak luput dari pengawasan badan
legislatif. Presiden (Pemerintah) harus menjalankan UUD dan UU sebagaimana
mestinya, sebagaimana tercermin dari rumusan Sumpah/Janji Presiden dan Wakil
Presiden. Masalahnya, apakah pelanggaran atas Sumpah/Janji tersebut dapat
digolongkan sebagai salah satu klausul yang diatur dalam Pasal 7A?
Suatu
rencana dibuat perlu ada pengawasan dalam pelaksanaannya. Evaluasi pun harus
dilakukan oleh si pembuat rencana tersebut. Mana materi yang sudah dan dapat
dilaksanakan, mana pula materi yang belum dan tidak dapat dilaksanakan. Tidak
dilaksanakan dan tidak dapat dilaksanakannya suatu materi tidak harus selalu
dikaitkan dengan masalah pertanggungjawaban, lebih-lebih masalah sanksi
pemberhentian. Yang penting tidak merugikan rakyat dan negara. Dan perlu ada
pengawasan dan evaluasi, dalam rangka perbaikan dalam perencanaan dan pelaksanaannya
di masa mendatang.
Atas
dasar itu maka penetapan GBHN oleh MPR merupakan pedoman bagi Presiden dan
Wakil Presiden untuk melaksanakan kehendak rakyat. Pelaksanaan GBHN (kalau
memang sudah ada) harus dievaluasi, mana isu-isu yang sudah dilaksanakan dan
mana yang belum dilaksanakan. Evaluasi itu harus dilakukan oleh MPR (DPR dan
DPD). Penilaian tersebut dapat dipakai sebagai rujukan apabila terjadi
pemakzulan Presiden dana tau Wakil Presiden (sebagaimana diatur dalam Pasal 7A
dan Pasal 7B UUD 1945).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Dari
uraian di atas dapat dirumuskan beberapa simpulan dan saran, yakni:
a. GBHN
perlu disusun agar ada arahan pembangunan yang akan dikerjakan dan dicapai.
b. Pembentuk
GBHN adalah MPR sebagai badan
permusyawaratan rakyat dan penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan paham
kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan.
c. Wadah
untuk GBHN perlu dicarikan produk hukum yang ideal, apakah dalam ketetapan atau
peraturan MPR, yang penting ada keterikatan Pemerintah dalam melaksanakannya.
d. Model
GBHN cukup disusun untuk masa 5 tahunan, sesuai masa bakti keanggotaan MPR.
e. GBHN
tidak perlu rinci, global saja. Rincian untuk Pola Pembangunan Tahunan disusun
dalam Undang-undang dan dikongkritkan
oleh Presiden.
f. Format
dan Materi tidak perlu dibakukan, disesuaikan kebutuhan zaman.
g. Perlu
ada pengawasan dan evaluasi guna menyusun kebijakan-kebijakan masa mendatang
yang lebih baik.
6.
DAFTAR BACAAN
Bagir
Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan
Indonesia, Ind.Hill. Co, Jakarta, 1992.
-----------------,
DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru,
FH UII Press, Yogyakarta, 2003.
Hamid S Attamimi,
Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara,
Disertasi, Universitas Indonesia, 1990
Jimly
Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007
Sri
Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung,
1979.
---------------,
Ketetapan MPR(S) sebagai salah satu
Sumber Hukum Tata Negara, CV Remadja Karya, Bandung, 1985.
---------------.
Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang
Dasar Yang Berlaku dan Pernah Berlaku di Indonesia, Percetakan Padjadjaran
Bandung. Tanpa tahun.
---------------,
Undang-Undang Dasar 1945 Kedudukan dan
Aspek-aspek Perubahannya, Unpad Press, Bandung, 2002.
UUD
1945 Asli,
UUD
1945 Perubahan Pertama Hingga Keempat.
Ketetapan
MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
Undang-Undang
No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.
[1] Setelah UUD 1945 diubah, MPR tidak menerbitkan Ketetapan mengenai GBHN.
Meskipun demikian keberadaan Ketetapan MPR diakui dalam UU No. 12 Tahun 2011.
[2] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm 233.
[3]Pendapat
Mr.J.G. Steenbeek, seperti dikutip oleh Sri Soemantri dalam Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi,
Alumni, Bandung, 1979, hlm 45, menyatakan adanya tiga hal yang diatur dalam konstitusi, yaitu
tentang perlindungan hak asasi manusia dan warganegara, susunan ketatanegaraan
suatau negara yang bersifat fundamental serta pembatasan dan pembagian
tugas-tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
[4] Bagir Manan,
Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind.Hill. Co, Jakarta, 1992, hlm 14.
[6] Jimly
Asshiddiqie, ibid.
[7] Lihat
Perpres No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2004-2009, yang mengacu kepada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar