Sabtu, 21 April 2018

FORMAT DAN SUBSTANSI GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA


FORMAT DAN SUBSTANSI
GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Wacana pemberian kembali wewenang  MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar (daripada) Haluan Negara, tidak sekedar sebagai upaya  mencari format dan substansi apa yang perlu ditetapkannya. Rasanya tidak akan “nyambung”, kalau pembahasan mengenai hal tersebut tidak dikaitkan dengan wewenang MPR untuk menetapkannya. Dalam UUD 1945 Perubahan tidak terdapat rumusan pasal yang mengatribusikan wewenang kepada MPR untuk membentuk dan menetapkan GBHN.  Berbeda dengan rumusan yang tertuang dalam Pasal 3 UUD 1945 Asli yang dengan tegas dan jelas menyatakan: Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara.” Kemudian kata “menetapkan” tersebut diartikan oleh MPR sebagai wewenang untuk menetapkan garis-garis besar haluan negara dalam sebuah ketetapan MPR. Praktik tersebut meskipun tidak sepenuhnya diterapkan masih dilakukan hingga sekarang.[1] Keberadaan ketetapan MPR masih diakui sebagai salah satu produk hukum MPR. Fakta memperlihatkan bahwa produk-produk hokum MPR adalah (penetapan) Undang-Undang Dasar 1945, Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR dan Keputusan MPR.
Jadi, apabila sekarang akan merumuskan format, model dan substansi apa yang harus ditetapkan dalam naskah GBHN harus dimulai dengan upaya pengubahan kembali tugas dan wewenang MPR yang diatribusikan oleh UUD 1945. Tegasnya menambahkan kembali rumusan pasal atau bagian pasal yang berkaitan dengan pemberian (atribusi) wewenang MPR untuk menetapkan GBHN. Jika hal itu terjadi maka MPR dapat merumuskan dan menetapkan GBHN.
Meskipun MPR tidak diposisikan sebagai satu-satunya lembaga negara yang menjalankan kedaulatan rakyat, tetapi posisi MPR seperti yang dikehendaki oleh para pendiri negara (the founding fathers and mothers) adalah sebagai penjelmaan seluruh rakyat  Indonesia. Sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia selayaknya MPR mendapat tugas untuk menetapkan GBHN yang mencerminkan kehendak rakyat Indonesia. Kehendak dan cita-cita untuk mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, kesejahteraan yang adil dan makmur, seyogianya ditetapkan oleh rakyat Indonesia sendiri. Dalam hal ini pelaksanaan kedaulatan rakyat  didasarkan kepada kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maka seyogianya MPR-lah yang diberi tugas dan wewenang menetapkan program-program yang diwadahi dalam GBHN. Sangat beralasan kalau MPR diberi tugas dan wewenang tersebut.
Pengertian dari istilah “garis-garis daripada besar haluan negara” (ditulis dengan huruf kecil) lebih luas dibandingkan dengan pengertian istilah Garis Besar Haluan Negara (disingkat GBHN). Garis besar haluan negara adalah seluruh kebijakan negara yang bersifat primer (utama) termasuk Undang-Undang Dasar. Sementara itu Garis Besar Haluan Negara hanya salah satu kebijakan negara yang disusun (biasanya) selama lima tahun. GBHN adalah pola umum pembangunan lima tahunan, yang kemudian dijabarkan dalam pola pembangunan tahunan. Dalam konteks ini, Jimly Asshiddiqie misalnya, mengartikan haluan negara (state policies atau staatsbeleid) dalam tiga pengertian. Pertama, haluan negara yang ditetapkan dalam UUD 1945. Kedua, haluan negara yang tidak ditentukan dalam UUD 1945, ditetapkan oleh MPR(S), sebagai pelengkap UUD 1945. Dan ketiga, haluan negara dalam arti sempit, yaitu GBHN sebagai dokumen perencanaan pembangunan nasional.[2]
Sejarah membuktikan bahwa untuk pertama kali GBHN dirumuskan dan dimuat dalam Pidato Presiden RI Pertama, Bung Karno, yang kemudian dikukuhkan dalam Ketetapan MPRS. Selanjutnya, GBHN dimuat dalam Ketetapan MPR, terakhir dimuat dalam Ketetapan MPR No.  /MPR/1999. Setelah  perubahan UUD 1945 dilakukan, dan Presiden serta Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dikeluarkan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. Berdasarkan undang-undang tersebut Presiden menetapkan Peraturan Presiden No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009.


B. PERMASALAHAN
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan, antara lain:
1.    Tepatkah MPR  ditetapkan sebagai lembaga negara yang berwenang menetapkan GBHN?
2.    Dalam produk hukum (bentuk atau jenis peraturan perundang-undangan) apa sebaiknya GBHN dituangkan?
3.    Perlukah format dan substansi GBHN dibakukan?

B.   PEMBAHASAN DAN ANALISIS

1     Dasar Hukum Kewenangan
Dasar kewenangan sebuah lembaga negara untuk melakukan sesuatu tindakan harus diatur dalam undang-undang dasar (konstitusi) , karena undang-undang dasar suatu negara berisi antara lain mengenai pembatasan dan pembagian tugas dari alat-alat kelengkapan negara (lembaga negara) yang bersifat mendasar.[3] Jika undang-undang dasar tidak menetapkan tugas-tugas tersebut maka  lembaga negara tersebut tidak memiliki kewenangan konstitusional. Agar kewenangan lembaga negara tersebut dianggap sah secara konstitusional,  kekuasaan atau kewenangan  tersebut harus ditetapkan terlebih dahulu dalam undang-undang dasar.
Suatu kaedah hukum harus mempunyai  dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding). Dasar yuridis ini sangat penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Keharusan adanya kewenangan dari pembuat peraturan perundang-undangan, karena setiap peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh badan atau pejabat yang berwenang. Kalau tidak, peraturan perundang-undangan itu  batal demi hukum (van rechtswegenietig).[4]
Bila demikian maka wewenang MPR untuk menetapkan GBHN, yang pernah dimiliki dan kemudian dikebiri oleh MPR sendiri pada saat melakukan Perubahan Ketiga UUD 1945, harus ditetapkan ulang. Rumusannya apakah sama seperti dalam rumusan Pasal 3 UUD 1945 Asli, atau diubah dan ditetapkan dalam pasal tersendiri. Bukan masalah, yang penting wewenang tersebut  harus ditetapkan kembali dalam UUD 1945, seperti tercantum dalam rumusan  UUD 1945 Asli.  Artinya, bahwa UUD 1945 Perubahan  harus diubah kembali. Wewenang menetapkan GBHN harus dirumuskan dalam UUD 1945. Itulah sistem konstitusional.
Muncul pertanyaan: tepatkah MPR yang menetapkan GBHN? Jawabnya: sangat tepat. Seperti dikehendaki oleh para pendiri negara, khususnya  Soepomo sebagaimana tersurat dalam Penjelasan UUD 1945, bahwa MPR adalah penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes).[5]  Sebagai negara yang berkedaulatan rakyat berdasarkan permusyawaratan/perwakilan, seyogianya rakyat melalui wakil-wakilnya  dalam badan permusyawaratan menetapkan sendiri kebijakan-kebijakan yang akan dilakukan dalam pembangunan masa depannya. Kebijakan-kebijakan (yang tertuang dalam GBHN) harus dirumuskan oleh mereka, badan permusyawaratan rakyat yang merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, bukan oleh Presiden sebagai pihak eksekutip. Meskipun Presiden diilih langsung oleh rakyat.
Perlu dicatat pula bahwa posisi atau kedudukan MPR sebagai lembaga permusyawaratan rakyat,  berada pada dua  kedudukan/posisi. Sebagai badan pembentuk UUD (dewan konstituante) dan sebagai pelaksana UUD. Sebagai badan yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, MPR berada pada kedudukan yang mengatasi semua kewenangan lembaga negara yang ada, termasuk mengatasi UUD 1945 sendiri. Pada posisi itulah MPR berwenang menetapkan (mengatribusikan) kekuasaan-kekuasaan dan batas-batas tugas dari lembaga-lembaga negara yang ada dalam UUD 1945 sendiri. Bahkan MPR berwenang menghapus keberadaan suatu lembaga negara (contoh kasus penghapusan DPA).
Pada sisi lain, sesudah UUD 1945 ditetapkan, MPR harus tunduk pada ketentuan UUD. MPR tidak dapat bertindak sewenang-wenang, harus taat pada “aturan main” yang sudah ditetapkan dalam UUD 1945, yang nota bene ditetapkan oleh MPR sendiri. Dalam mengubah UUD MPR harus taat pada aturan mengenai perubahan UUD. Mengenai prosedur, kuorum kehadiran anggota, dan syarat-syarat pengambilan keputusan diatur dalam UUD 1945 (Pasal 37).
Artinya, apabila MPR akan diberi wewenang menetapkan kembali GBHN, maka ketentuan dalam UUD 1945 harus diubah kembali.
2     FORMAT DAN SUBSTANSI GBHN
Praktek ketatanegaraan Indonesia, dalam menyusun haluan negara, tidak pernah menetapkan bentuk atau format baku. Sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat bahwa Pidato Bung Karno (Presiden RI Pertama) yang berjudul Penemuan Kembali Revolusi Kita, yang kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol) diterima oleh MPRS sebagai GBHN.[6] Pola seperti itu kemudian dilanjutkan oleh MPRS dan MPR hasil pemilihan umum tahun 1971, hingga MPR hasil pemilihan umum tahun 1999. Dalam setiap GBHN, yang disertakan sebagai lampiran tak terpisahkan dari Ketetapan MPR tentang GBHN, tidak ada bentuk baku. MPR sekarang dan juga MPR berikutnya dalam menyusun GBHN tidak terikat pada format yang telah disusun sebelumnya.
Hanya perlu dicatat bahwa dalam penyusunan GBHN tersebut MPR membagi atas tahapan waktu, yaitu berupa Pola Umum Pembangunan Nasional Jangka Panjang (25 tahunan), Pola Pembangunan Nasional Jangka Menengah (5 tahunan) dan Pola/Rencana Tahunan  Pembangunan Nasional. Sebenarnya, mengingat masa bakti anggota MPR adalah lima tahunan, dan sesudah itu keanggotaannya harus dipilih melalui pemilu kembali, maka perumusan GBHN cukup dilakukan lima tahun sekali. Rincian Pola Tahunan Pembangunan Nasional diserahkan kepada Pemerintah dan DPR (dimuat dalam UU). Berdasarkan kepada rincian Pola Pembangunan Lima Tahunan (GBHN). Dengan demikian maka substansi GBHN tidak perlu rinci/detail. 
Dalam praktik, materi muatan atau substansi GBHN selalu meliputi masalah: Ideologi; Politik;  Hukum; Ekonomi; Sosial Budaya; Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; Pertahanan dan Keamanan. Isu-isu tersebut dapat dipakai sebagai pedoman saja. Terserah MPR yang akan merumuskannya, Yang terpenting adalah GBHN tidak harus rinci, cukup menggambarkan pola umum lima tahunan.
3.   PRODUK HUKUM YANG IDEAL
Apa kira-kira produk hukum yang ideal untuk mewadahi GBHN? Menurut praktik, GBHN dituangkan dalam produk hukum berupa Ketetapan MPR (S), baru kemudian setelah UUD 1945 Perubahan dijalankan ditetapkanlah RPJMN (GBHN ala reformasi?) dimuat dalam produk hukum Peraturan Presiden.[7] RPJMN merupakan penjabaran dari visi dan misi Presiden dan Wakil Presiden pada waktu berkampanye. Produk hukum Peraturan Presiden tidak dikenal dalam UUD 1945. Jenis peraturan tersebut “dilegalkan” melalui UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 10 Tahun 2004.
Bila merujuk kepada hukum positip, khususnya UU No 12 Tahun 2011. Produk hukum yang legal dikeluarkan oleh MPR adalah UUD 1945 (termasuk perubahannya) dan Ketetapan MPR. MPR berwenang mengeluarkan produk hukum berupa Ketetapan MPR. Meskipun ada sebuah “keblunderan” dari pembentuk UU dalam merumuskan penjelasan Pasal 7 huruf b, yaitu:
  Yang dimaksud dengan “Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat” adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai  dengan Tahun 2002, tanggal 7 Agustus 2003.

Pernyataan tersebut dapat dianggap blunder karena hanya mengakui atau mengakomodir Ketetapan MPR yang masih berlaku.  MPR tidak dapat mengeluarkan ketetapan baru. Bila pola pikir tersebut dipakai,  Presiden dan DPR pun tidak dapat mengeluarkan UU baru. Mungkin didasarkan pada anggapan bahwa  UUD 1945 Perubahan tidak mencantumkan wewenang  MPR untuk mengeluarkan ketetapan? Muncul pertanyaan yang sejenis: adakah UUD 1945 mencantumkan wewenang Presiden mengeluarkan Peraturan Presiden? Jika UUD 1945 tidak memberi sinyal keberadaan Peraturan Presiden, dapatkah UU No. 12 Tahun 2011 mengatribusikan wewenang kepada Presiden menetapkan Peraturan Presiden? Bukankah hal itu merupakan materi muatan yang harus diatur dalam UUD 1945? 

Jadi, dari segi hukum positif adalah tepat jika GBHN dimuat dalam produk hukum Ketetapan MPR. Dari segi teori memang ada permasalahan, karena “ketetapan” tergolong sebagai “beschikking” bukan “regeling”(peraturan). Padahal dalam UU No.12 Tahun 2011 tersebut Ketetapan MPR digolongkan sebagai salah satu bentuk/jenis peraturan perundang-undangan.  Ada hal “lucu” juga dalam rumusan Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011, yaitu adanya jenis peraturan MPR. Apa maksud   pembentuk undang-undang menambahkan pasal tersebut. Rumusan tersebut justru mengaburkan tata susunan jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang sudah disebut dalam Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011. Memang, yang namanya peraturan perundang-undangan (wettelyke regels) seharusnya mengikat secara umum (algemene bindende voorschriften). Secara teori peraturan MPR lah yang mengikat keluar dan kedalam MPR.

Dalam UUD 1945 Baru (Perubahan), badan perwakilan terdiri dari MPR, DPR dan DPD. Di tingkat daerah terdapat DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan DPRD Kota. MPR, DPR dan DPD masing-masing merupakan badan perwakilan yang mandiri. Tetapi MPR baru eksis tatkala ada “joint session” atau “joint meeting” antara DPR dan DPD. Dalam posisi seperti itulah MPR berkedudukan sebagai  pembentuk GBHN, karena dia mewakili seluruh rakyat Indonesia. 

Rumusan pasal-pasal dalam UUD 1945 Perubahan tidak mencerminkan sistem dua kamar (bicameral system), baik yang soft bicameralism lebih-lebih yang strong bicameralism. Tidak juga menganut mono kameral atau uni kameral. Kedudukan DPD tidak setara dengan DPR. Berbagai ketentuan mengenai DPD lebih menunjukkan fungsi komplementer DPD terhadap DPR daripada  sebagai badan perwakilan mandiri.[8] Dalam kenyataannya ternyata DPD tidak lebih hanya sebagai “pembantu” DPR dalam merancang undang-undang, dan tidak turut serta membahas, apalagi memberikan putusan.
   
4.   PENGAWASAN DAN EVALUASI
Dengan dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat (direct popular vote), tidak menutup kemungkinan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak bertanggung jawab. UUD 1945 Perubahan tidak mengatur tentang adanya pertanggungjawaban Presiden dan atau Wakil Presiden kepada MPR. Walaupun demikian, DPR yang seluruh anggotanya merangkap menjadi anggota MPR memiliki fungsi pengawasan, selain fungsi legislasi dan fungsi anggaran. Keberadaan fungsi-fungsi tersebut menggambarkan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden, meskipun dipilih langsung oleh rakyat  tidak luput dari pengawasan badan legislatif. Presiden (Pemerintah) harus menjalankan UUD dan UU sebagaimana mestinya, sebagaimana tercermin dari rumusan Sumpah/Janji Presiden dan Wakil Presiden. Masalahnya, apakah pelanggaran atas Sumpah/Janji tersebut dapat digolongkan sebagai salah satu klausul yang diatur dalam Pasal 7A?
Suatu rencana dibuat perlu ada pengawasan dalam pelaksanaannya. Evaluasi pun harus dilakukan oleh si pembuat rencana tersebut. Mana materi yang sudah dan dapat dilaksanakan, mana pula materi yang belum dan tidak dapat dilaksanakan. Tidak dilaksanakan dan tidak dapat dilaksanakannya suatu materi tidak harus selalu dikaitkan dengan masalah pertanggungjawaban, lebih-lebih masalah sanksi pemberhentian. Yang penting tidak merugikan rakyat dan negara. Dan perlu ada pengawasan dan evaluasi, dalam rangka perbaikan dalam perencanaan dan pelaksanaannya di masa mendatang.
Atas dasar itu maka penetapan GBHN oleh MPR merupakan pedoman bagi Presiden dan Wakil Presiden untuk melaksanakan kehendak rakyat. Pelaksanaan GBHN (kalau memang sudah ada) harus dievaluasi, mana isu-isu yang sudah dilaksanakan dan mana yang belum dilaksanakan. Evaluasi itu harus dilakukan oleh MPR (DPR dan DPD). Penilaian tersebut dapat dipakai sebagai rujukan apabila terjadi pemakzulan Presiden dana tau Wakil Presiden (sebagaimana diatur dalam Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945).
5.   KESIMPULAN DAN SARAN
Dari uraian di atas dapat dirumuskan beberapa simpulan dan saran, yakni:
a.    GBHN perlu disusun agar ada arahan pembangunan yang akan dikerjakan dan dicapai.
b.    Pembentuk GBHN adalah  MPR sebagai badan permusyawaratan rakyat dan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, sesuai dengan paham kedaulatan rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
c.    Wadah untuk GBHN perlu dicarikan produk hukum yang ideal, apakah dalam ketetapan atau peraturan MPR, yang penting ada keterikatan Pemerintah dalam melaksanakannya.
d.    Model GBHN cukup disusun untuk masa 5 tahunan, sesuai masa bakti keanggotaan MPR.
e.    GBHN tidak perlu rinci, global saja. Rincian untuk Pola Pembangunan Tahunan disusun dalam Undang-undang dan  dikongkritkan oleh Presiden.
f.     Format dan Materi tidak perlu dibakukan, disesuaikan kebutuhan zaman.
g.    Perlu ada pengawasan dan evaluasi guna menyusun kebijakan-kebijakan masa mendatang yang lebih baik.

6.    DAFTAR BACAAN

Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind.Hill. Co, Jakarta, 1992.
-----------------, DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2003.
Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden RI dalam Penyelenggaran Pemerintahan Negara, Disertasi, Universitas Indonesia, 1990
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1979.
---------------, Ketetapan MPR(S) sebagai salah satu Sumber Hukum Tata Negara, CV Remadja Karya, Bandung, 1985.
---------------. Tinjauan Terhadap Tiga Undang-Undang Dasar Yang Berlaku dan Pernah Berlaku di Indonesia, Percetakan Padjadjaran Bandung. Tanpa tahun.
---------------, Undang-Undang Dasar 1945 Kedudukan dan Aspek-aspek Perubahannya, Unpad Press, Bandung, 2002.
UUD 1945 Asli,
UUD 1945 Perubahan Pertama Hingga Keempat.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.




[1] Setelah UUD 1945 diubah, MPR tidak menerbitkan Ketetapan mengenai GBHN. Meskipun demikian keberadaan Ketetapan MPR diakui dalam UU No. 12 Tahun 2011.
[2] Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta,  hlm 233.
[3]Pendapat Mr.J.G. Steenbeek, seperti dikutip oleh Sri Soemantri dalam  Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1979, hlm 45, menyatakan adanya tiga  hal yang diatur dalam konstitusi, yaitu tentang perlindungan hak asasi manusia dan warganegara, susunan ketatanegaraan suatau negara yang bersifat fundamental serta pembatasan dan pembagian tugas-tugas ketatanegaraan yang juga bersifat fundamental.
[4] Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind.Hill. Co, Jakarta, 1992, hlm 14.
[5] Penjelasan Umum tentang Sistem Pemerintahan Negara angka III
[6] Jimly Asshiddiqie, ibid.
[7] Lihat Perpres No.7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, yang mengacu kepada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
[8][8] Bagir Manan,  DPR, DPD dan MPR Dalam UUD 1945 Baru, FH UII Press, Yogyakarta, 2003,   hlm 6.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...