Senin, 30 April 2018

PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH BADAN PEMILIH (ELECTORAL COLLEGE): SEBUAH ALTERNATIF


PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH BADAN PEMILIH (ELECTORAL COLLEGE):
SEBUAH ALTERNATIF
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pengantar
Sudah pada maklum pada tanggal 27 Juni 2018, akan diselenggarakan pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak di 171 daerah seluruh Indonesia, dengan rincian  17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota. Pemiihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dilakukan setelah adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jadi pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah dilakukan hampir selama 14 tahun.Sebelumnya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dari masing-masing daerah (UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 5 Tahun 1974).
Sejarah mencatat bahwa pemiihan  melalui DPRD maupun pemilihan secara langsung oleh rakyat, menimbulkan berbagai permasalahan. Disinyalir bahwa pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah oleh DPRD ataupun secara langsung, melahirkan barbagai kemudharatan. Masing2 cara pemilihan tersebut memiliki berbagai kelemahan. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas mengenai kebaikan dan kelemahan kedua cara pemiihan tersebut. Saya hanya ingin mengemukakan bahwa masih ada cara lain yang patut untuk dipertimbangkan, dikaji secara lebih mendalam dalam memilih kepala dan wakil kepala daerah. Saya berharap ide sederhana ini dapat menjadi solusi dalam menetapkan cara pemilihan kepala/wakil kepala daerah untuk masa mendatang.
Perdebatan dewasa ini berkisar pada munculnya wacana dari praktisi (antara lain Ketua MPR dan Ketua DPR) serta beberapa pakar yang menginginkan dikembalikannya pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada DPRD (antara lain pendapat  Ketua PP Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas). Alasan yang utama untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ke DPRD adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan,  baik oleh bakal calon(kandidat) maupun negara. Selain tingginya biaya finansial, juga munculnya resiko (ekses-ekses) secara sosial, seperti konflik horizontal, tindakan anarkis, money politic, disintegrasi, dsbnya.
Pemilihan oleh badan pemilih.
Pemilihan kepala/wakil kepala daerah oleh DPRD merupakan implementasi dari demokrasi perwakilan (indirect democracy, representative government) yang dianut oleh Indonesia, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. UUD 1945 sendiri tidak mengharuskan bahwa Kepala/Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Perubahan Kedua menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis. Jadi tidak ada kaharusan Gubernur/Bupati/Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pihak yang tidak setuju Kepala/Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, antara lain beranggapan: karena telah lunturnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik, wakil-wakil rakyat di parlemen (khusunya di DPRD)  tidak menjadi corong kehendak rakyat, partai gagal merekrut calon-calon pemimpin yang berkualitas, amanah, jujur dan tidak korup. Permainan “kotor” bisa dimainkan oleh kandidat kepala/wakil kepala Daerah dengan anggota DPRD, baik dengan cara menyuap, janji-janji politik balas jasa, atau cara-cara lain yang bersifat negatif. Bahkan tidak mustahil pemilihan oleh DPRD akan melahirkan politik karter, karena adanya kekuatan partai politik yang menentukan pemilihan kepala daerah.[1]
Atas hal-hal tersebut di atas maka salah satu solusi, sebagai jalan tengah agar Kepala/Wakil Kepala Daerah tidak dipilih langsung maupun tidak dipilih oleh DPRD karena alasan-alasan seperti diuraikan di atas, adalah dialukan pemilihan oleh sebuah badan pemilih (electoral college). Badan ini diharapkan lebih netral dibandingkan dengan DPRD. Tidak membebani anggaran negara yang besar dan para kandidat/bakal calon tidak mengeluarkan dana sangat besar. Dapat menghilangkan mahar politik. Menghapus rantai birokrasi yang jelimet, seperti penetapan daftar pemilih, sensus penduduk, bahkan mengurangi keterlibatan personil.
Susunan Badan Pemilih
Agar badan pemilih ini relatif netral, susunan keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur partai politik, wakil-wakil masyarakat dan wakil-wakil pemerintah yang ada di daerah.
Susunan keanggotaan badan pemilih tingkat propinsi terdiri dari (misalnya):
  1. Ketua-ketua Fraksi DPRD Propinsi;
  2. Mantan-mantan Gubernur dan Wakil Gubernur;
  3. Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi;
  4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (4 orang) yang mewakili dan telah dipilih oleh masyarakat di wilayah propinsi ybs.
Susunan keanggotaan badan pemilih tingkat Kabupaten/Kota terdiri dari (misalnya):
  1. Ketua-ketua Fraksi DPRD Kabupaten/Kota;
  2. Mantan-mantan Bupati dan Wakil Bupati untuk tingkat kabupaten dan mantan-mantan Walikota/Wakil Walikota untuk tingkat kota.
  3. Komandan Kodim, Kapolres, Kajari, dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
Perlu dicatat bahwa badan tersebut bersifat sementara (ad hoc). Masa tugasnya, mungkin tidak akan lebih dari enam bulan. Dalam hal tugas-tugasnya telah berakhir, badan tersebut dinyatakan bubar (dibubarkan). Saya sadar bahwa tulisan ini sangat sumir, hanya sebagai sebuah stimulus bagi para legislator untuk menyusun suatu sistem pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah dengan resiko yang minimalis, baik resiko finansial maupun resiko social-politik. Mudah-mudahan.


Bandung, 15 Maret 2018


[1] Menurut Ketua Pusat Pemuda Muhammadiyah, Virgo Sulianto, sebagaimana dimuat dalam Tribunnews.com, tanggal 9 Maret 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...