PEMILIHAN
KEPALA DAERAH OLEH BADAN PEMILIH (ELECTORAL COLLEGE):
SEBUAH
ALTERNATIF
Oleh:
Rosjidi Ranggawidjaja
Pengantar
Sudah pada maklum pada tanggal 27 Juni 2018, akan
diselenggarakan pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah secara
serentak di 171 daerah seluruh Indonesia, dengan rincian 17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota. Pemiihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung dilakukan setelah adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jadi pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah dilakukan hampir selama 14 tahun.Sebelumnya
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dari masing-masing
daerah (UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 5 Tahun 1974).
Sejarah mencatat bahwa pemiihan
melalui DPRD maupun pemilihan secara langsung oleh rakyat, menimbulkan
berbagai permasalahan. Disinyalir bahwa pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah
oleh DPRD ataupun secara langsung, melahirkan barbagai kemudharatan. Masing2
cara pemilihan tersebut memiliki berbagai kelemahan. Dalam tulisan ini saya
tidak akan membahas mengenai kebaikan dan kelemahan kedua cara pemiihan tersebut.
Saya hanya ingin mengemukakan bahwa masih ada cara lain yang patut untuk
dipertimbangkan, dikaji secara lebih mendalam dalam memilih kepala dan wakil
kepala daerah. Saya berharap ide sederhana ini dapat menjadi solusi dalam
menetapkan cara pemilihan kepala/wakil kepala daerah untuk masa mendatang.
Perdebatan dewasa ini berkisar pada munculnya wacana dari praktisi
(antara lain Ketua MPR dan Ketua DPR) serta beberapa pakar yang menginginkan
dikembalikannya pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada DPRD (antara
lain pendapat Ketua PP Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas). Alasan
yang utama untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah
ke DPRD adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan, baik oleh bakal calon(kandidat) maupun
negara. Selain tingginya biaya finansial, juga munculnya resiko (ekses-ekses)
secara sosial, seperti konflik horizontal, tindakan anarkis, money politic,
disintegrasi, dsbnya.
Pemilihan oleh badan pemilih.
Pemilihan kepala/wakil kepala daerah oleh DPRD merupakan implementasi
dari demokrasi perwakilan (indirect
democracy, representative government) yang dianut oleh Indonesia,
sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. UUD 1945 sendiri
tidak mengharuskan bahwa Kepala/Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung.
Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Perubahan Kedua menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati
dan Walikota dipilih secara demokratis. Jadi tidak ada kaharusan
Gubernur/Bupati/Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pihak yang tidak setuju Kepala/Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD,
antara lain beranggapan: karena telah lunturnya kepercayaan masyarakat kepada
partai politik, wakil-wakil rakyat di parlemen (khusunya di DPRD) tidak menjadi corong kehendak rakyat, partai
gagal merekrut calon-calon pemimpin yang berkualitas, amanah, jujur dan tidak
korup. Permainan “kotor” bisa dimainkan oleh kandidat kepala/wakil kepala
Daerah dengan anggota DPRD, baik dengan cara menyuap, janji-janji politik balas
jasa, atau cara-cara lain yang bersifat negatif. Bahkan tidak mustahil
pemilihan oleh DPRD akan melahirkan politik karter, karena adanya kekuatan
partai politik yang menentukan pemilihan kepala daerah.[1]
Atas hal-hal tersebut di atas maka salah satu solusi, sebagai jalan
tengah agar Kepala/Wakil Kepala Daerah tidak dipilih langsung maupun tidak
dipilih oleh DPRD karena alasan-alasan seperti diuraikan di atas, adalah
dialukan pemilihan oleh sebuah badan pemilih (electoral college). Badan ini diharapkan lebih netral dibandingkan
dengan DPRD. Tidak membebani anggaran negara yang besar dan para kandidat/bakal
calon tidak mengeluarkan dana sangat besar. Dapat menghilangkan mahar politik.
Menghapus rantai birokrasi yang jelimet, seperti penetapan daftar pemilih,
sensus penduduk, bahkan mengurangi keterlibatan personil.
Susunan Badan Pemilih
Agar badan pemilih ini relatif netral, susunan keanggotaannya terdiri
dari unsur-unsur partai politik, wakil-wakil masyarakat dan wakil-wakil
pemerintah yang ada di daerah.
Susunan keanggotaan badan pemilih tingkat propinsi terdiri dari
(misalnya):
- Ketua-ketua Fraksi DPRD Propinsi;
- Mantan-mantan Gubernur dan Wakil Gubernur;
- Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi;
- Anggota Dewan Perwakilan Daerah (4 orang) yang mewakili
dan telah dipilih oleh masyarakat di wilayah propinsi ybs.
Susunan keanggotaan badan pemilih tingkat Kabupaten/Kota terdiri dari
(misalnya):
- Ketua-ketua Fraksi DPRD Kabupaten/Kota;
- Mantan-mantan Bupati dan Wakil Bupati untuk tingkat
kabupaten dan mantan-mantan Walikota/Wakil Walikota untuk tingkat kota.
- Komandan Kodim, Kapolres, Kajari, dan Ketua Pengadilan
Tingkat Pertama.
Perlu dicatat bahwa badan tersebut bersifat sementara (ad hoc). Masa tugasnya, mungkin tidak
akan lebih dari enam bulan. Dalam hal tugas-tugasnya telah berakhir, badan
tersebut dinyatakan bubar (dibubarkan). Saya sadar bahwa tulisan ini sangat
sumir, hanya sebagai sebuah stimulus bagi para legislator untuk menyusun suatu
sistem pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah dengan resiko yang minimalis, baik
resiko finansial maupun resiko social-politik. Mudah-mudahan.
Bandung, 15 Maret 2018
[1] Menurut
Ketua Pusat Pemuda Muhammadiyah, Virgo Sulianto, sebagaimana dimuat dalam
Tribunnews.com, tanggal 9 Maret 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar