Rabu, 30 Mei 2018

MEMAHAMI BERBAGAI ISTILAH DALAM PENGUJIAN PRODUK HUKUM NEGARA


MEMAHAMI BERBAGAI ISTILAH
DALAM PENGUJIAN PRODUK HUKUM NEGARA
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

A.   Pengantar
Istilah “menguji” (yang berasal dari kata “uji”) secara harfiah berarti memeriksa sesuatu. Tujuannya adalah untuk mengetahui apakah sesuatu obyek/benda/barang layak atau tidak,  baik atau tidak,  benar atau tidak, dsb. Sesudah diperiksa maka langkah berikutnya adalah memberikan penilaian terhadap sesuatu yang diperiksa tersebut. Menguji peraturan perundang-undangan adalah memeriksa dan kemudian menilai produk hukum tersebut.
Peraturan perundang undangan adalah salah satu produk hukum negara. Produk-produk hukum negara dapat berupa peraturan perundang-undangan (regeling) yang bersifat mengkat secara umum, ketetapan atau penetapan (beschikking), peraturan semu atau peraturan kebijakan (pseudo wetgeving atau beleidsregel), dan putusan hakim/pengadilan (vonnis). Sistem hukum Indonesia menetapkan bahwa vonnis pengadilan yang lebih rendah dinilai oleh pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya. Ketetapan atau biasa dikenal dengan keputusan administrasi negara dinilai oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Demikian pula peraturan kebijakan (dalam praktik) dinilai oleh Pengadilan Tata Usaha Negara. Yang semuanya bermuara pada Mahkamah Agung. Khusus untuk peraturan perundang-undangan  dibedakan antara penilaian/pengujian untuk undang-undang dan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Pengujian undang-undang diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, sementara pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
B.   Beberapa Istilah Dan Pengertian
     1. Formele dan Materiele Toetsingsrecht.
Dalam literatur hukum Belanda dikenal istilah toetsingsrecht. Istilah “toetsing” berasal dari kata “toetsen” yang berarti menguji. Kata “toetsing” ditambah dengan kata “recht” (yang berarti hak, bukan hukum), maka lahir istilah toetsingsrecht  yang berarti hak menguji. Dalam konteks ini adalah hak menguji produk hukum negara. Ada dua macam toetsingsrecht yaitu “formele toetsingsrecht” (hak menguji secara formal) dan “materiele toetsingsrecht” (hak menguji secara material).

Yang dimaksud dengan hak menguji formal (“formele toetsingsrecht”) ini adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah tidak. Sedangkan, yang dimaksud dengan hak menguji material (“materiele toetsingsrecht”)  adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji material  berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.[1]
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[2], mendefinisikan sebagai berikut: Pengujian formil, adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang (peraturan perundang-undangan) dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materil. Sedangkan yang disebut pengujian materil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan  (2) yang menyatakan: Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan dengan UUD 1945.
Selain pengujian berdasarkan isi dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan, pengujian peraturan dibedakan berdasarkan badan yang melakukan pengujian tersebut. Berdasarkan badan yang mengujinya dibedakan antara pengujian yang dilakukan oleh badan peradilan  biasa disebut judicial review, yaitu pengujian yang diserahkan kepada badan peradilan. Apabila pengujian peraturan tersebut diserahkan kepada badan legislatif (biasanya yang kedudukannya lebih tinggi) dikenal dengan sebutan political review.  Pengujian yang dilakukan oleh badan administrasi negara dikenal dengan sebutan administrative review. Tindak lanjut dari hasil pengujian biasanya berupa pembatalan atau pernyataan tidak berlakunya suatu produk hukum dimaksud. Selain itu produk hukum tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
    2. Judicial Review
Robert K Carr, et.al. dalam bukunya American Democracy in Theory and Practice, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, merumuskan pengertian judicial review sebagai berikut: ”.. the process by which courts test the acts of other governmental agencies – legislature particularly – for compliance with fundamental constitutional principles, and declare null and void those acts that fail to meet this test.  Lebih lanjut dikemukannya: There has been much controversy concerning the origin of judicial review in the United States. It is very clear that the constitution itself does not in so many words authorize the courts to declare acts of Congress unconstitutional.”[3]
Jadi judicial review adalah proses pengujian yang dilakukan oleh badan peradilan terhadap putusan-putusan dari badan-badan pemerintahan, khususnya produk badan legislatif (undang-undang), apakah sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dalam undang-undang dasar dan menyatakan bahwa undang-undang tersebut batal (null) dan tidak berlaku lagi (void). Jadi pengujian tersebut dilakukan oleh badan peradilan (test by the courts) terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintahan terutama produk hukum berupa undang-undang (the acts of other governmental agencies,  legislature particularly) bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional).
Judicial review di Amerika Serikat adalah kekuasaan pengadilan untuk menyatakan batal (null and void) suatu hukum perundang-undangan atau tindakan pemerintahan karena (berdasarkan alasan) bertentangan dengan konstitusi. Ketentuan mengenai judicial review ini tidak tercantum dalam UUD Amerika Serikat 1787. John Marshall Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Marbury vs Madison (1803) menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan hukum perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi.
Kewenangan tersebut didasarkan kepada interpretasi atas ketentuan dalam UUD yaitu:
1)   Bahwa setiap Hakim sebelum memangku jabatannya harus mengucapkan sumpah akan menjunjung tinggi UUD. Artinya Hakim harus melindungi UUD dari usaha mengenyampingkan atau tindakan yang bertentangan dengan UUD.
2)   UUD dinyatakan sebagai the supreme law of land. Karena itu tidak boleh ada suatu peraturan atau tindakan yang bertentangana dengan UUD. Setiap peraturan atau tindakan pemerintahan yang bertentangan dengan UUD adalah batal.
3)   Hakim mempunyai kewajiban memutus/menyelesaikan setiap kasus dan perseliisihan. Apabila ada dua ketentuan yang bertentangan, Hakim harus memilih salah satu untuk memutus perkara atau sengketa tersebut. Dan apabila pertentangan itu dengan UUD, maka UUD harus dimenangkan mengingat UUD adalah the supreme law of land. [4]

Hal tersebut sejalan dengan pendapat PH. Kleintjes  dalam Het Staatsrecht van Nederlands Indie yang menyatakan bahwa, pengujian merupakan sesuatu wewenang yang melekat pada fungsi peradilan atau hakim tanpa memerlukan ketentuan khusus yang mengatur mengenai hal itu. Putusan dalam pengujian dapat berupa (a) membatalkan; (b) menyatakan tidak sah; dan (c). tmenerapkan suatu peraturan perundang-undangan tertentu.
  1. Constitutional Review
Dalam konteks ini Jimly Asshiddiqie lebih cenderung menggunakan istilah pengujian konstitusionalitas (Constitutional Review) bagi pengujian materi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan undang-undanga dasar. Oleh karenanya pengujian konstitusional harus dibedakan dengan istilah ”judicial review”. Pembedaan itu dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan.
Pertama, ”constitutional review” selain dilakukan oleh hakim dapat pula dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya.
Kedua, dalam konsep ”judicial review” terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan di bawah UU terhadap UU, sedangkan ”constitutional review hanya menyangkut pengujian konstitutsionalitasnya, yaitu terhadap UUD. [5]
Usep Ranawidjaja menggunakan istilah ”pengujian konstitusional”, dalam hal ini pengujian konstitusional secara material. Pengujian konstitusional secara material adalah pekerjaan mengambil keputusan tentang sesuai tidaknya kaidah hukum dengan undang-undang dasar atau dengan kaidah konstitusi yang setaraf dengan itu. Bahwa Mahkamah Agung (Supreme Court) berwenang untuk menyatakan undang-undang negara bagian atau undang-undang federal dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku (mengikat) jika dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar.[6]
4. Constitutional Preview
Di Perancis, lain lagi, ada badan yang disebut ”Counseil Constituttionnel” atau ”Constituional Council” (Dewan Konstitusi) yang berwenang melakukan pengujian terhadap rancangan undang-undang. Badan tersebut berwenang untuk melakukan ”preview” terhadap rancangan undang-undang yang sudah disetujui parlemen, tetapi belum diundangkan. Preview tersebut  dilakukan terhadap undang-undang organik (organic laws) dan regulasi berkaitan dengan parlemen (identik dengan peraturan tata tertib DPR di Indonesia) sebelum diberlakukan. Hal itu ditentukan dalam Pasal 61 UUD Republik Perancis tahun 1958, yang menyatakan: ”Organic laws before their promulgation, and regulations of Parliamentary assemblies, before they come into application, must be submitted to the Constitutional Council, which shall rule on their constitutionality”.[7] Selain itu juga berwenang melakukan preview mengenai konstitusionlitas undang-undang non organik serta perjanjian internasional treaties).
Perlu dicatat bahwa Constitutional Council bukan badan peradilan, seperti countitutional court di Jerman. Badan tersebut tidak diberi wewenang untuk membatalkan suatu RUU, tetapi hanya menilai apakah selaras dengan UUD atau tidak. Badan itu dibentuk dalam rangka membentuk undang-undang yang lebih baik, tidak menyimpang dari konstitusi atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
  1. Constitutional Complaint
Dapat dialihbahasakan sebagai “keluhan konstitusional”, yaitu apabila seorang warganegara merasa adanya pelanggaran atas hak konstitusionalnya, tetapi untuk memperkarakannya tidak ada instrumen hukum atasnya atau tidak tersedia atasnya jalur penyelesaian hukum (pengadilan).Misalnya ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan atau melanggar isi UUD tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi di bawah UUD.Demikian pula, misalnya ada SKB yang isinya bersifat mengatur.SKB bukanlah peraturan perundang-undangan jadi tidak dapat dimohonkan ke MA untuk diuji. Di pihak lain SKB tersebut tidak dapat diajukan ke PTUN karena isinya dinilai bukan sebagai penetapan, karena muatannya bersifat umum.[8] Constitutional complaint atau pengaduan konstitusional adalah bentuk pengaduan warga negara melalui proses ajudikasi di pengadilan atas tindakan (kebijakan) atau pengabaian oleh Negara, dalam hal ini lembaga-lembaga Negara, yang melanggar hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi.
Menurut Sigfried, Constitutional complaint lazim dikenal sebagai pengaduan, keluhan atau gugatan konstitusional. Di Negara hukum modern demokratis Constitutional complaint merupakan upaya hukum untuk menjaga secara hukum martabat yang dimiliki manusia yang tidak boleh diganggu gugat agar aman dari segala kekuasaan Negara.Constitutional complaint memberikan semacam jaminan agar dalam proses-proses menentukan dalam penyelenggaraan Negara baik dalam pembuatan perundang-undangan, keputusan administrasi Negara, dan atau melawan putusan-putusan pengadilan yang menegaskan keputusan-keputusan adminitrasi Negara tersebut.[9]
Maruarar Siahaan menyebut Constitutional Complaint merupakan mekanisme gugatan konstitusional sebagai salah satu alat perlindungan hak asasi manusia (HAM).Constitutional Complaint menjadi upaya hukum yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional bagi setiap individu warga Negara. Proses gugatan konstitusional ini merupakan wujud pengaduan masyarakat atas keberatan terhadap perlakuan kinerja pemerintah terhadap masyarakat, peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan, yang dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.[10]
  1. Implikasi dari Hak Menguji

Implikasi dari kewenangan badan peradilan untuk menguji peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi negara adalah:
a.    mencampuri fungsi cabang kekuasaan lain.
b.    menempatkan kekuasaan peradilan setingkat lebih tinggi dari cabang kekuasaan lain;
c.    cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak dapat mencampuri kekuasaan peradilan, karena hal tersebut akan merupakan pelanggaran terhadap salah satu asas negara berdasarkan atas hukum (peradilan yang bebas);
d.    peradilan tidak hanya sebagai badan yang menerapkan atau menemukan hukum (dalam suatu kasus/kongkrit) tetapi sebagai badan yang secara tidak langsung membentuk hukum sebagai kaidah yang umum dan abstrak. Dalam hal ini peradilan melakukan fungsi legislatif yaitu yang oleh Hans Kelsen disebut negative legislator.[11]

Pembatalan (annulment) suatu undang-undang atau penolakan (refuse) untuk menerapkan undang-undang dalam kasus kongkrit merupakan tindakan hukum yang dapat berupa pembentukan hukum. Dalam hal ini terjadi apabila putusan (decision) hakim tersebut menjadi preseden. Biasanya putusan tersebut dilakukan pada saat atau bersamaan dengan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang dinyatakan batal. Jadi pengadilan (hakim) telah melaksanakan fungsi legislasi.
Pengadilan  melaksanakan fungsi perundang-undangan (legislation function) tatkala keputusan-pengadilan dalam kasus-kasus lain yang sejenis (Courts further exercise a legislative function when their decision in a concrete case becomes a precedent for the decision of other similar cases). Pengadilan dalam membentuk hukum yang derajatnya sama dengan undang-undang tersebut melalui kasus-kasus yang sejenis tersebut, disebut sebagai negative legislator.[12]




88888888888












-



[1] Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Alumni, Bandung. 1982, hlm 6-8.
[2] Telah diubah beberapa kali, terakhir diubah dengan UU No. 4 Tahun 2014.
[3] Ibid, hlm 26-27.
[4] Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi suatu Negara, penyunting H.Mashudi,SH.MH dan  Kuntana Magnar,SH.MH, Mandar Maju, Bandung,1995, hlm 9-10.
[5] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 3. 
[6] undang-undang Usep Ranawidjaja,  Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1983, hlm 188-193.

[7] Dalam perkembangannya dewasa ini  Dewan Konstitusi juga melakukan pengujian material terhadap undang-undang yang sudah berlaku, meskipun hanya sebatas organik.
[8] disarikan dari Mahfud MD, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, dalam Gagasan Amandemen UUD 1945, Suatu Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional RI,2008, hlm 27-28
[9] Dikutip dari Fadjar Laksono, Meretas “Constitutional Complaint” ke dalam UUD 1945 Menuju Konstitusi yang lebih Demokratis, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor4, Desember 2007, hlm 131.
[10] Ibid, hlm 131-132
[11] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg, Copyright Renewed,  Russell & Russell, New York, 1973. p.268-26.
[12] Ibid, hlm 272

Selasa, 22 Mei 2018

FORMAT UNDANG-UNDANG SETELAH UUD 1945 DIUBAH

FORMAT UNDANG-UNDANG SETELAH UUD 1945 DIUBAH
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pengantar
Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 Asli menyatakan: Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Rumusan pasal tersebut membawa konsekuensi terhadap format rumusan pembukaan dan penutup suatu undang-undang.
Kewenangan tersebut oleh MPR “digeser” kepada DPR pada saat UUD 1945 diubah. Hal tersebut tertera dalam Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 Perubahan Pertama yang menetapkan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Rumusan tersebut seharusnya membawa konsekuensi terhadap format dan rumusan pembukaan dan penutup undang-undang. Faktanya, walaupun wewenang membentuk undang-undang telah bergeser dari Presiden kepada DPR, format dan rumusan tersebut tidak berubah. Yang berubah hanya frasa Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menjadi Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.
Konsekuensi Perubahan Kewenangan
  1. Pejabat Pembentuk Undang-undang
Sebagaimana diketahui kerangka suatu peraturan perundang-undangan, khususnya kerangka undang-undang, terdiri dari:
A. Judul; B. Pembukaan; C. Batang tubuh; D. Penutup; E. Penjelasan (jika diperlukan) dan; F. Lampiran (jika diperlukan).
PEMBUKAAN sendiri terdiri atas: 1. Frasa Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa 2. Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan 3. Konsiderans 4. Dasar Hukum, dan 5. Diktum. Sementara BATANG TUBUH  meliputi: 1. Ketentuan Umum 2. Materi Pokok yang Diatur 3. Ketentuan Pidana (jika diperlukan) 4. Ketentuan Peralihan (jika diperlukan), dan 5. Ketentuan Penutup.
Baik dalam rumusan undang-undang yang diterbitkan sebelum UUD 1945 diubah maupun dalam rumusan undang-undang setelah UUD 1945 diubah, rumusan jabatan pembentuk undang-undang adalah PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (ditulis dengan huruf kapital semua). Bila mengacu kepada ketentuan Pasal 5 UUD 1945 Asli, rumusan tersebut sangat tepat, karena yang berwenang membentuk undang-undang adalah Presiden. Namun, apabila mengacu kepada ketentuan UUD 1945 Perubahan Pertama, Pasal 20 ayat (1), bahwa DPR yang berwenang membentuk undang-undang, maka rumusan tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal tersebut. Seharusnya rumusan yang ditulis pada pembukaan undang-undang tersebut adalah DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. bukan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Perubahan kewenangan tersebut seharusnya membawa konsekuensi terhadap format dan rumusan pembukaan undang-undang.
  1. Frasa sebelum diktum Memutuskan
Sebelum UUD 1945 diubah rumusan frasa sebelum diktum “memutuskan” dituliskan kalimat “Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”. Ditulis di tengah margin dengan penulisan sebagai berikut:
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Setelah UUD 1945 diubah, berdasarkan contoh yang dimuat dalam lampiran UU No. 12 Tahun 2011 jo. UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dituliskan kalimat:
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Rumusan tersebut terasa “rancu” karena ada dua frasa/kalimat PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, yaitu yang tercantum pada pembukaan dan sebelum kata “memutuskan”. Bukankah itu merupakan satu rangkaian pernyataan?
  1. Pejabat Yang Menandatangani
Konsekuensi lebih lanjut atas pernyataan bahwa yang berwenang membentuk undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, maka pejabat yang menandatangani undang-undang adalah Ketua DPR, bukan Presiden. Pengesahan Presiden dalam naskah undang-undang sebagai tanda tanganserta (counter sign). Jadi harus ada dua tanda tangan pejabat. Sadar atau tidak hal itu adalah “model” atau “pola” dalam sistem pemerintahan parlementer. Pembubuhan tanda tangan Presiden (sebagai Kepala Negara) adalah sebuah bukti pengesahan, sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (4) UUD 1945 Perubahan Pertama.  Tanpa pengesahan Presiden berarti prosedur pembentukan undang-undang tidak sesuai dengan ketentuan UUD, Jadi dapat diuji formal.

  1. Undang-undang Tanpa Pengesahan Presiden

Sejarah mencatat bahwa pada saat UUD 1945 belum diubah, tidak pernah ada undang-undang tanpa pengesahan Presiden. Setelah UUD 1945 diubah, dimulai sejak Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden, terdapat undang-undang tanpa tanda tangan Presiden. Terakhir, kasus UU MD3 yang luput dari tanda tangan Presiden Joko Widodo. Secara konstiturional memang sah, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 ayat (5). Namun, bagaimana dengan format dan rumusan frasa sebagaimana disebutkan di muka. Tepatkah pencantuman frasa Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA tersebut? Bukankah Presiden tidak menyetujui undang-undang tersebut?

Itulah beberapa konsekuensi dalam perancangan undang-undang, menyangkut format dan rumusan naskah dalam pembukaan dan penutup suatu undang-undang. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 20 UUD 1945 Perubahan Pertama. Terlepas dari masalah itu, seharusnya suatu undang-undang dibentuk atas persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah (Presiden), harus ada kesepahaman antara legislatif dan eksekutif, karena Indonesia tidak menganut paham pemisahan kekuasaan antara DPR dan Presiden dalam membentuk undang-undang.


Bandung, 20 Mei 2018.


Senin, 21 Mei 2018

UNDANG-UNDANG ORGANIK DAN NON ORGANIK


UNDANG-UNDANG ORGANIK DAN NON ORGANIK
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Undang-undang Organik
Istilah organik berasal dari bahasa Yunani “organikos”, yaitu berkaitan dengan organ atau tubuh. Dalam konteks ini berkaitan dengan undang-undang dasar sebagai organ utamanya. Undang-undang organik merupakan bagian dari undang-undang dasar,
Undang-undang yang dibuat berdasarkan perintah undang-undang dasar lazim disebut undang-undang organik (organiek wet, organic law). Disebut undang-undang organik karena sebenarnya hal-hal yang diatur adalah yang berhubungan dengan organ atau alat kelengkapan negara. Tetapi dalam kenyataan, undang-undang organik tidak terbatas pada pengaturan mengenai organ negara. Karena itu lebih tepat kalau undang-undang organik diartikan sebagai bagian organik dari undang-undang dasar. Sebagai bagian organik undang-undang dasar, materi muatan undang-undang organik sangat penting. Semestinya materi muatan undang-undang organik dimuat dalam undang-undang dasar. Tetapi, karena pemuatan dalam undang-undang dasar akan menyebabkan undang-undang dasar akan menjadi begitu luas, maka secara konstitusional ditentukan harus diatur dengan undang-undang. Keharusan mengatur materi undang-undang organik dalam undang-undang (formal) untuk menjamin keikkutsertaan rakyat menetapkan aturan-aturan yang sangat penting itu. Walaupun undang-undang organik dibentuk atas perintah langsung undang-undang dasar, tidak berarti mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari undang-undang non-organik. Kedudukan undang-undang organik sama dengan undang-undang non-organik, demikian pula tata cara pembentukannya.[1]
Jadi, undang-undang organik adalah undang-undang yang dibentuk berdasarkan perintah dari undang-undang dasar. Dalam hal ini materi yang harus diatur dalam undang-undang organik telah ditetapkan dalam undang-undang dasar. Ketentuan materi tersebut dijabarkan atau diuraikan dalam undang-undang organik. Mengapa materi tersebut tidak diuraikan dalam undang-undang dasar? Sebagaimana telah diuraikan di atas, apabila materi tersebut harus diuraikan dalam undang-undang dasar, maka akan sangat panjang. Betapa panjang dan banyaknya uraian pasal-pasal maupun ayat dalam undang-undang dasar. Undang-undang dasar seharusnya mengatur hal-hal yang bersifat pokok saja, mengatur “legal principles” dan “norm principles”. Itulah sebabnya maka diperlukan adanya undang-undang organik. Seperti dikatakan oleh KC Wheare, konstitusi yang terbaik dan ideal adalah konstitusi yang sesingkat mungkin (one essential characteristic of the ideally best form of Constitution is that it should be as short as possible).[2] Rincian dari prinsip-prinsip tersebut diatur  lebih lanjut oleh badan legislative (the detailed working out of these principles and the adaptation of the Constitution to changing needs and times can be left to the legislature to regulate itself”.[3]
Oleh karena materi undang-undang organik telah ditentukan dalam undang-undang dasar, maka undang-undang organik terbatas, dalam arti materinya sesuai dengan materi yang telah disebut dalam pasal-pasal undang-undang dasar. Dalam undang-undang dasar biasanya ditetapkan bahwa materi-materi tertentu (certain matters) akan “diatur atau ditetapkan dalam undang-undang”,“lebih lanjut diatur dengan undang-undang”, atau “diatur dengan undang-undang”.  Dalam  bahasa Inggris digunakan istilah seperti “shall be regulated by law”, shall be laid down by law”, “prescribe by law” atau “pursuant to Act of Parliament”. UUD 1945 Perubahan menggunakan berbagai istilah yang tidak seragam (lihat matriks di bawah).
Inilah istilah-istilah serta materi muatan yang ditetapkan dalam UUD 1945 Perubahan dan harus diatur lebih lanjut dalam undang-undang organik:
No.Urut
Pasal dan ayat
Materi yang harus diatur
Istilah
1
2(1)
Susunan anggota MPR
diatur lebih lanjut dengan undang-undang
2
6(2)
Syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden
diatur lebih lanjut dengan undang-undang
3
6A(5)
Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
lebih lanjut diatur dalam undang-undang
4
11
Perjanjian internasional
diatur dengan undang-undang.
5
12
Syarat-syarat dan akibat keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang
6
15
Pemberian gelar, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan
diatur dengan undang-undang.
7
16
Pembentukan Dewan Pertimbangan Presiden
diatur dalam undang-undang.
8
17(4)
Pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara
diatur dalam undang-undang.
9
18 (1)
Pemerintahan Daerah
diatur dalam undang-undang
10
18 (7)
Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang
11
18A(2)
Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah
berdasarkan undang undang
12
18B(1)
Pengangakuan dan penghormatan atas satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
diatur dengan undang-undang
13
18B(2)
Pengangakuan dan penghormatan atas kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
diatur dalam undang-undang
14
19(2)
Susunan DPR
ditetapkan dengan undang-undang
15
20A(4)
Hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat
diatur dalam undang-undang
16
22A
Tata cara pembentukan undang-undang
diatur dengan undang-undang
17
22B
Tata cara pemberhentian anggota DPR
diatur dalam undang-undang
18
22C(4)
Susunan dan kedudukan DPD
diatur dengan undang-undang
19
22D(4)
Syarat dan Tata Cara pemberhentian anggota DPD
diatur dalam undang-undang
20
22E(6)
Ketentuan tentang pemilihan umum
diatur dengan undang-undang
21
23(1)
Penetapan APBN
ditetapkan dengan undang-undang
22
23A
Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara
diatur dengan undang-undang
23
23B
Macam dan harga mata uang
ditetapkan dengan undang-undang
24
23C
Hal-hal lain mengenai keuangan negara
diatur dengan undang-undang
25
23D
Susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensi bank sentral
diatur dengan undang-undang
26
23G
Badan Pemeriksa Keuangan
diatur dengan undang-undang
27
24(3)
Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman
diatur dalam undang-undang
28
24A(5)
Susunan, kedudukan, keanggotaan dan hukum acara MA serta bdan peradilan di bawahnya
diatur dengan undang-undang
29
24B(4)
Susunan, kedudukan dan keanggotaan Komisi Yudisial
diatur dengan undang-undang
30
24C(6)
Pengangkatan dan pemberhentian hakim Konstitusi dan hukum acara MK
diatur dengan undang-undang
31
25
Syarat-syarat menjadi dan diberhentikan sebagai hakim
ditetapkan dengan undang-undang
32
25A
Batas-batas dan hak-hak NKRI
ditetapkan dengan undang-undang
33
26(3)
Warga Negara dan penduduk
diatur dengan undang-undang
34
28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
ditetapkan dengan undang-undang
35
28I(5)
Pelaksanaan Hak Asasi Manusia
Dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
36
30(5)
Susunan, kedudukan dan hubungan TNI dan Polisi
diatur dengan undang-undang
37
31(3)
Sistem pendidikan nasional
diatur dengan undang-undang
38
33
Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial
diatur dalam undang-undang
39
34
Fakir miskin, anak terlantar dan jaminan sosial
diatur dalam undang-undang
40
36C
Bendera, bahasa, lambang Negara dan lagu kebangsaan
diatur dengan undang-undang

Apabila diperhatikan dengan seksama, maka materi yang diatur dalam undang-undang organik lebih banyak berkaitan dengan kelembagaan Negara (suprastruktur politik). Kurang lebih tigaperempat atau 75% dari seluruh pasal UUD 1945 Perubahan mengatur mengenai masalah lembaga negara. Seperti dinyatakan oleh KC Wheare:...the Constitution needs to provide no more than the structure, in general terms, of the legislature, the executive, and the judiciary; the nature in broad outline of their mutual relations; and the nature of their relations to the community itself”.[4]
Undang-undang Non Organik
Selain undang-undang organik dikenal pula undang-undang non-organik atau undang-undang yang bukan undang-undang organik. Undang-undang ini materinya tidak diatur/ditetapkan dalam undang-undang dasar. Undang-undang non-organik dibentuk berdasarkan kebutuhan dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu kebutuhan masyarakat sangat tidak terbatas. Jadi undang-undang non-organik jumlahnya akan jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah undang-undang organik. Cara atau prosedur pembentukan undang-undang organik dan undang-undang non-organik adalah sama, tidak berbeda satu sama lain. Kedudukan undang-undang non-organik dengan undang-undang organik juga sama. Yang membedakannya hanya dari substansi dan keterkaitannya saja.
Perbedaan lain antara undang-undang organik dengan undang-undang non-organik adalah dari segi format, yaitu pencatuman dasar hukum mengingat. Pencantuman dasar hukum untuk undang-undang organik wajib menuliskan pasal/ayat yang menyangkut materi dalam undang-undang dasar. Misalnya mengenai perjanjian internasional (Pasal 11), tentang Pemerintahan Daerah mencantmkan Pasal 18 mengenai pajak, harus mencantumkan Pasal 23A; tentang Pendidikan Nasional Pasal 31); dsb; selain pasal-pasal yang berkaitan dengan wewenang Presiden dan DPR, seperti Pasal 20, Pasal 5 ayat (1) jika RUU berasal dari Presiden; Pasal 21 jika RUU berasal dari DPR
Contoh-contoh undang-undang organik misalnya: UU tentang Perkawinan, UU Kepegawaian, UU Perseroan, UU Keimigrasian, dsbnya.
Demikianlah uraian singkat mengenai undang-undang organik dan undang-undang non-organik.


[1] Bagir Manan, Dasar-dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind.Hill.Co., Jakarta, 1992, hlm 38-39.
[2] KC Wheare, Modern Constututions, Oxford University Press,Third  Impression, 1075, p. 34.
[3] Loc. Cit.
[4] Ibid

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...