MEMAHAMI BERBAGAI
ISTILAH
DALAM PENGUJIAN PRODUK
HUKUM NEGARA
Oleh: Rosjidi
Ranggawidjaja
A. Pengantar
Istilah “menguji” (yang
berasal dari kata “uji”) secara harfiah berarti memeriksa sesuatu. Tujuannya
adalah untuk mengetahui apakah sesuatu obyek/benda/barang layak atau
tidak, baik atau tidak, benar atau tidak, dsb. Sesudah diperiksa maka
langkah berikutnya adalah memberikan penilaian terhadap sesuatu yang diperiksa
tersebut. Menguji peraturan perundang-undangan adalah memeriksa dan kemudian
menilai produk hukum tersebut.
Peraturan perundang
undangan adalah salah satu produk hukum negara. Produk-produk hukum negara
dapat berupa peraturan perundang-undangan (regeling)
yang bersifat mengkat secara umum, ketetapan atau penetapan (beschikking), peraturan semu atau
peraturan kebijakan (pseudo wetgeving
atau beleidsregel), dan putusan
hakim/pengadilan (vonnis). Sistem
hukum Indonesia menetapkan bahwa vonnis pengadilan yang lebih rendah dinilai
oleh pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya. Ketetapan atau biasa dikenal
dengan keputusan administrasi negara dinilai oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
Demikian pula peraturan kebijakan (dalam praktik) dinilai oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara. Yang semuanya bermuara pada Mahkamah Agung. Khusus untuk
peraturan perundang-undangan dibedakan
antara penilaian/pengujian untuk undang-undang dan peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang. Pengujian undang-undang diajukan kepada Mahkamah
Konstitusi, sementara pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.
B. Beberapa Istilah Dan Pengertian
1. Formele
dan Materiele Toetsingsrecht.
Dalam literatur hukum
Belanda dikenal istilah toetsingsrecht.
Istilah “toetsing” berasal dari kata
“toetsen” yang berarti menguji. Kata
“toetsing” ditambah dengan kata “recht” (yang berarti hak, bukan hukum),
maka lahir istilah toetsingsrecht
yang berarti hak menguji. Dalam konteks
ini adalah hak menguji produk hukum negara. Ada dua macam toetsingsrecht yaitu “formele toetsingsrecht” (hak
menguji secara formal) dan “materiele
toetsingsrecht” (hak menguji secara material).
Yang dimaksud dengan hak
menguji formal (“formele
toetsingsrecht”) ini adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu
produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure) sebagaimana telah
ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku ataukah
tidak. Sedangkan, yang dimaksud dengan hak menguji material (“materiele toetsingsrecht”) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan
kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
kekuasaan tertentu (verordenende macht)
berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji material berkenaan dengan isi dari suatu peraturan
dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.[1]
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi[2],
mendefinisikan sebagai berikut: Pengujian formil, adalah pengujian
undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang (peraturan
perundang-undangan) dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materil.
Sedangkan yang disebut pengujian materil adalah pengujian undang-undang yang
berkenaan dengan materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang
yang dianggap bertentangan (2) yang
menyatakan: Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan dengan UUD 1945.
Selain pengujian
berdasarkan isi dan prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan,
pengujian peraturan dibedakan berdasarkan badan yang melakukan pengujian
tersebut. Berdasarkan badan yang mengujinya dibedakan antara pengujian yang
dilakukan oleh badan peradilan biasa disebut judicial review, yaitu pengujian yang diserahkan kepada badan
peradilan. Apabila pengujian peraturan tersebut diserahkan kepada badan
legislatif (biasanya yang kedudukannya lebih tinggi) dikenal dengan sebutan political review. Pengujian yang dilakukan oleh badan
administrasi negara dikenal dengan sebutan administrative
review. Tindak lanjut dari hasil pengujian biasanya berupa pembatalan atau
pernyataan tidak berlakunya suatu produk hukum dimaksud. Selain itu produk
hukum tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
2. Judicial
Review
Robert K Carr, et.al. dalam
bukunya American Democracy in Theory and
Practice, sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, merumuskan pengertian judicial
review sebagai berikut: ”.. the process
by which courts test the acts of other governmental agencies – legislature
particularly – for compliance with fundamental constitutional principles, and
declare null and void those acts that fail to meet this test. Lebih lanjut dikemukannya: There has been much controversy concerning
the origin of judicial review in the United States . It is very clear
that the constitution itself does not in so many words authorize the courts to
declare acts of Congress unconstitutional.”[3]
Jadi judicial review adalah proses pengujian yang dilakukan oleh badan
peradilan terhadap putusan-putusan dari badan-badan pemerintahan, khususnya
produk badan legislatif (undang-undang), apakah sesuai dengan prinsip-prinsip
dasar dalam undang-undang dasar dan menyatakan bahwa undang-undang tersebut
batal (null) dan tidak berlaku lagi (void). Jadi pengujian tersebut dilakukan
oleh badan peradilan (test by the courts)
terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh badan-badan pemerintahan
terutama produk hukum berupa undang-undang (the
acts of other governmental agencies,
legislature particularly) bertentangan dengan konstitusi (unconstitutional).
Judicial
review di Amerika Serikat adalah kekuasaan pengadilan untuk
menyatakan batal (null and void)
suatu hukum perundang-undangan atau tindakan pemerintahan karena (berdasarkan
alasan) bertentangan dengan konstitusi. Ketentuan mengenai judicial review ini tidak tercantum dalam UUD Amerika Serikat 1787.
John Marshall Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Marbury vs
Madison (1803) menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan hukum
perundang-undangan yang bertentangan dengan konstitusi.
Kewenangan tersebut
didasarkan kepada interpretasi atas ketentuan dalam UUD yaitu:
1)
Bahwa
setiap Hakim sebelum memangku jabatannya harus mengucapkan sumpah akan
menjunjung tinggi UUD. Artinya Hakim harus melindungi UUD dari usaha
mengenyampingkan atau tindakan yang bertentangan dengan UUD.
2)
UUD
dinyatakan sebagai the supreme law of
land. Karena itu tidak boleh ada suatu peraturan atau tindakan yang
bertentangana dengan UUD. Setiap peraturan atau tindakan pemerintahan yang
bertentangan dengan UUD adalah batal.
3)
Hakim
mempunyai kewajiban memutus/menyelesaikan setiap kasus dan perseliisihan.
Apabila ada dua ketentuan yang bertentangan, Hakim harus memilih salah satu
untuk memutus perkara atau sengketa tersebut. Dan apabila pertentangan itu
dengan UUD, maka UUD harus dimenangkan mengingat UUD adalah the supreme law of land. [4]
Hal tersebut sejalan dengan
pendapat PH. Kleintjes dalam Het
Staatsrecht van Nederlands Indie yang menyatakan bahwa, pengujian merupakan
sesuatu wewenang yang melekat pada fungsi peradilan atau hakim tanpa memerlukan
ketentuan khusus yang mengatur mengenai hal itu. Putusan dalam pengujian dapat
berupa (a) membatalkan; (b) menyatakan tidak sah; dan (c). tmenerapkan suatu
peraturan perundang-undangan tertentu.
- Constitutional
Review
Dalam konteks ini Jimly Asshiddiqie lebih cenderung menggunakan istilah
pengujian konstitusionalitas (Constitutional Review) bagi pengujian materi undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan undang-undanga dasar. Oleh karenanya pengujian konstitusional harus dibedakan dengan
istilah ”judicial review”. Pembedaan
itu dilakukan sekurang-kurangnya karena dua alasan.
Pertama, ”constitutional review” selain dilakukan oleh hakim dapat pula
dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga
mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya.
Kedua, dalam konsep ”judicial review” terkait pula
pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup soal legalitas peraturan
di bawah UU terhadap UU, sedangkan ”constitutional review” hanya
menyangkut pengujian konstitutsionalitasnya, yaitu terhadap UUD. [5]
Usep Ranawidjaja menggunakan istilah ”pengujian konstitusional”, dalam
hal ini pengujian konstitusional secara material. Pengujian konstitusional
secara material adalah pekerjaan mengambil keputusan tentang sesuai tidaknya
kaidah hukum dengan undang-undang dasar atau dengan kaidah konstitusi yang
setaraf dengan itu. Bahwa Mahkamah Agung (Supreme
Court) berwenang untuk menyatakan undang-undang negara bagian atau
undang-undang federal dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum berlaku
(mengikat) jika dianggap bertentangan dengan undang-undang dasar.[6]
4. Constitutional Preview
Di Perancis, lain lagi, ada badan yang disebut ”Counseil Constituttionnel” atau ”Constituional Council” (Dewan Konstitusi) yang berwenang
melakukan pengujian terhadap rancangan undang-undang. Badan tersebut berwenang
untuk melakukan ”preview”
terhadap rancangan undang-undang yang sudah disetujui parlemen, tetapi belum
diundangkan. Preview tersebut dilakukan
terhadap undang-undang organik (organic
laws) dan regulasi berkaitan dengan parlemen (identik dengan peraturan tata tertib DPR di Indonesia) sebelum
diberlakukan. Hal itu ditentukan dalam Pasal 61 UUD Republik Perancis
tahun 1958, yang menyatakan: ”Organic
laws before their promulgation, and regulations of Parliamentary assemblies,
before they come into application, must be submitted to the Constitutional
Council, which shall rule on their constitutionality”.[7]
Selain itu juga berwenang melakukan preview mengenai konstitusionlitas
undang-undang non organik serta perjanjian internasional treaties).
Perlu dicatat bahwa Constitutional Council bukan badan
peradilan, seperti countitutional court
di Jerman. Badan tersebut tidak diberi wewenang untuk membatalkan suatu RUU,
tetapi hanya menilai apakah selaras dengan UUD atau tidak. Badan itu dibentuk
dalam rangka membentuk undang-undang yang lebih baik, tidak menyimpang dari
konstitusi atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku.
- Constitutional
Complaint
Dapat dialihbahasakan
sebagai “keluhan konstitusional”,
yaitu apabila seorang warganegara merasa adanya pelanggaran atas hak
konstitusionalnya, tetapi untuk memperkarakannya tidak ada instrumen hukum
atasnya atau tidak tersedia atasnya jalur penyelesaian hukum
(pengadilan).Misalnya ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
atau melanggar isi UUD tetapi tidak secara jelas melanggar peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi di bawah UUD.Demikian pula, misalnya ada
SKB yang isinya bersifat mengatur.SKB bukanlah peraturan perundang-undangan
jadi tidak dapat dimohonkan ke MA untuk diuji. Di pihak lain SKB tersebut tidak
dapat diajukan ke PTUN karena isinya dinilai bukan sebagai penetapan, karena
muatannya bersifat umum.[8] Constitutional complaint atau pengaduan konstitusional adalah bentuk
pengaduan warga negara melalui proses ajudikasi di pengadilan atas tindakan
(kebijakan) atau pengabaian oleh Negara, dalam hal ini lembaga-lembaga Negara,
yang melanggar hak-hak warga negara yang dijamin konstitusi.
Menurut Sigfried, Constitutional complaint lazim dikenal
sebagai pengaduan, keluhan atau gugatan konstitusional. Di Negara hukum modern
demokratis Constitutional complaint merupakan
upaya hukum untuk menjaga secara hukum martabat yang dimiliki manusia yang
tidak boleh diganggu gugat agar aman dari segala kekuasaan
Negara.Constitutional complaint memberikan semacam jaminan agar dalam
proses-proses menentukan dalam penyelenggaraan Negara baik dalam pembuatan
perundang-undangan, keputusan administrasi Negara, dan atau melawan
putusan-putusan pengadilan yang menegaskan keputusan-keputusan adminitrasi
Negara tersebut.[9]
Maruarar Siahaan menyebut
Constitutional Complaint merupakan mekanisme gugatan konstitusional sebagai
salah satu alat perlindungan hak asasi manusia (HAM).Constitutional Complaint
menjadi upaya hukum yang luar biasa dalam mempertahankan hak-hak konstitusional
bagi setiap individu warga Negara. Proses gugatan konstitusional ini merupakan
wujud pengaduan masyarakat atas keberatan terhadap perlakuan kinerja pemerintah
terhadap masyarakat, peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan, yang
dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia yang diatur dalam konstitusi.[10]
- Implikasi
dari Hak Menguji
Implikasi dari kewenangan
badan peradilan untuk menguji peraturan perundang-undangan atau perbuatan
administrasi negara adalah:
a.
mencampuri
fungsi cabang kekuasaan lain.
b. menempatkan kekuasaan peradilan setingkat lebih tinggi dari cabang
kekuasaan lain;
c. cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak dapat mencampuri kekuasaan
peradilan, karena hal tersebut akan merupakan pelanggaran terhadap salah satu
asas negara berdasarkan atas hukum (peradilan yang bebas);
d. peradilan tidak hanya sebagai badan yang menerapkan atau menemukan hukum
(dalam suatu kasus/kongkrit) tetapi sebagai badan yang secara tidak langsung
membentuk hukum sebagai kaidah yang umum dan abstrak. Dalam hal ini peradilan
melakukan fungsi legislatif yaitu yang oleh Hans Kelsen disebut negative legislator.[11]
Pembatalan (annulment) suatu undang-undang
atau penolakan (refuse) untuk
menerapkan undang-undang dalam kasus kongkrit merupakan tindakan hukum yang
dapat berupa pembentukan hukum. Dalam hal ini terjadi apabila putusan (decision) hakim tersebut menjadi
preseden. Biasanya putusan tersebut dilakukan pada saat atau bersamaan dengan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang dinyatakan batal. Jadi
pengadilan (hakim) telah melaksanakan fungsi legislasi.
Pengadilan melaksanakan fungsi perundang-undangan (legislation function) tatkala keputusan-pengadilan
dalam kasus-kasus lain yang sejenis (Courts further exercise a legislative
function when their decision in a concrete case becomes a precedent for the
decision of other similar cases). Pengadilan dalam membentuk hukum yang
derajatnya sama dengan undang-undang tersebut melalui kasus-kasus yang sejenis
tersebut, disebut sebagai negative legislator.[12]
88888888888
-
[1] Sri
Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, Alumni, Bandung . 1982, hlm 6-8.
[2] Telah
diubah beberapa kali, terakhir diubah dengan UU No. 4 Tahun 2014.
[4] Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi
suatu Negara, penyunting H.Mashudi,SH.MH dan Kuntana Magnar,SH.MH, Mandar Maju, Bandung,1995,
hlm 9-10.
[5] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di
Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm 3.
[6] undang-undang Usep Ranawidjaja, Hukum
Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta. 1983,
hlm 188-193.
[7] Dalam perkembangannya dewasa ini Dewan
Konstitusi juga melakukan pengujian material terhadap undang-undang yang sudah
berlaku, meskipun hanya sebatas organik.
[8] disarikan
dari Mahfud MD, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen UUD 1945, dalam Gagasan
Amandemen UUD 1945, Suatu Rekomendasi, Komisi Hukum Nasional RI,2008, hlm 27-28
[9] Dikutip
dari Fadjar Laksono, Meretas “Constitutional Complaint” ke dalam UUD 1945
Menuju Konstitusi yang lebih Demokratis, Jurnal Konstitusi, Volume 4 Nomor4,
Desember 2007, hlm 131.
[11] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Anders Wedberg,
Copyright Renewed, Russell &
Russell, New York, 1973. p.268-26.
[12] Ibid, hlm 272