Senin, 30 April 2018

PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH BADAN PEMILIH (ELECTORAL COLLEGE): SEBUAH ALTERNATIF


PEMILIHAN KEPALA DAERAH OLEH BADAN PEMILIH (ELECTORAL COLLEGE):
SEBUAH ALTERNATIF
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

Pengantar
Sudah pada maklum pada tanggal 27 Juni 2018, akan diselenggarakan pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah secara serentak di 171 daerah seluruh Indonesia, dengan rincian  17 provinsi, 115 kabupaten dan 39 kota. Pemiihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dilakukan setelah adanya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jadi pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah telah dilakukan hampir selama 14 tahun.Sebelumnya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dari masing-masing daerah (UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 5 Tahun 1974).
Sejarah mencatat bahwa pemiihan  melalui DPRD maupun pemilihan secara langsung oleh rakyat, menimbulkan berbagai permasalahan. Disinyalir bahwa pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah oleh DPRD ataupun secara langsung, melahirkan barbagai kemudharatan. Masing2 cara pemilihan tersebut memiliki berbagai kelemahan. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas mengenai kebaikan dan kelemahan kedua cara pemiihan tersebut. Saya hanya ingin mengemukakan bahwa masih ada cara lain yang patut untuk dipertimbangkan, dikaji secara lebih mendalam dalam memilih kepala dan wakil kepala daerah. Saya berharap ide sederhana ini dapat menjadi solusi dalam menetapkan cara pemilihan kepala/wakil kepala daerah untuk masa mendatang.
Perdebatan dewasa ini berkisar pada munculnya wacana dari praktisi (antara lain Ketua MPR dan Ketua DPR) serta beberapa pakar yang menginginkan dikembalikannya pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah kepada DPRD (antara lain pendapat  Ketua PP Muhammadiyah, Prof Yunahar Ilyas). Alasan yang utama untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah ke DPRD adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan,  baik oleh bakal calon(kandidat) maupun negara. Selain tingginya biaya finansial, juga munculnya resiko (ekses-ekses) secara sosial, seperti konflik horizontal, tindakan anarkis, money politic, disintegrasi, dsbnya.
Pemilihan oleh badan pemilih.
Pemilihan kepala/wakil kepala daerah oleh DPRD merupakan implementasi dari demokrasi perwakilan (indirect democracy, representative government) yang dianut oleh Indonesia, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam Pembukaan UUD 1945. UUD 1945 sendiri tidak mengharuskan bahwa Kepala/Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 Perubahan Kedua menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara demokratis. Jadi tidak ada kaharusan Gubernur/Bupati/Walikota dipilih secara langsung oleh rakyat.
Pihak yang tidak setuju Kepala/Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, antara lain beranggapan: karena telah lunturnya kepercayaan masyarakat kepada partai politik, wakil-wakil rakyat di parlemen (khusunya di DPRD)  tidak menjadi corong kehendak rakyat, partai gagal merekrut calon-calon pemimpin yang berkualitas, amanah, jujur dan tidak korup. Permainan “kotor” bisa dimainkan oleh kandidat kepala/wakil kepala Daerah dengan anggota DPRD, baik dengan cara menyuap, janji-janji politik balas jasa, atau cara-cara lain yang bersifat negatif. Bahkan tidak mustahil pemilihan oleh DPRD akan melahirkan politik karter, karena adanya kekuatan partai politik yang menentukan pemilihan kepala daerah.[1]
Atas hal-hal tersebut di atas maka salah satu solusi, sebagai jalan tengah agar Kepala/Wakil Kepala Daerah tidak dipilih langsung maupun tidak dipilih oleh DPRD karena alasan-alasan seperti diuraikan di atas, adalah dialukan pemilihan oleh sebuah badan pemilih (electoral college). Badan ini diharapkan lebih netral dibandingkan dengan DPRD. Tidak membebani anggaran negara yang besar dan para kandidat/bakal calon tidak mengeluarkan dana sangat besar. Dapat menghilangkan mahar politik. Menghapus rantai birokrasi yang jelimet, seperti penetapan daftar pemilih, sensus penduduk, bahkan mengurangi keterlibatan personil.
Susunan Badan Pemilih
Agar badan pemilih ini relatif netral, susunan keanggotaannya terdiri dari unsur-unsur partai politik, wakil-wakil masyarakat dan wakil-wakil pemerintah yang ada di daerah.
Susunan keanggotaan badan pemilih tingkat propinsi terdiri dari (misalnya):
  1. Ketua-ketua Fraksi DPRD Propinsi;
  2. Mantan-mantan Gubernur dan Wakil Gubernur;
  3. Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi;
  4. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (4 orang) yang mewakili dan telah dipilih oleh masyarakat di wilayah propinsi ybs.
Susunan keanggotaan badan pemilih tingkat Kabupaten/Kota terdiri dari (misalnya):
  1. Ketua-ketua Fraksi DPRD Kabupaten/Kota;
  2. Mantan-mantan Bupati dan Wakil Bupati untuk tingkat kabupaten dan mantan-mantan Walikota/Wakil Walikota untuk tingkat kota.
  3. Komandan Kodim, Kapolres, Kajari, dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama.
Perlu dicatat bahwa badan tersebut bersifat sementara (ad hoc). Masa tugasnya, mungkin tidak akan lebih dari enam bulan. Dalam hal tugas-tugasnya telah berakhir, badan tersebut dinyatakan bubar (dibubarkan). Saya sadar bahwa tulisan ini sangat sumir, hanya sebagai sebuah stimulus bagi para legislator untuk menyusun suatu sistem pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah dengan resiko yang minimalis, baik resiko finansial maupun resiko social-politik. Mudah-mudahan.


Bandung, 15 Maret 2018


[1] Menurut Ketua Pusat Pemuda Muhammadiyah, Virgo Sulianto, sebagaimana dimuat dalam Tribunnews.com, tanggal 9 Maret 2018.

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA: PERGESERAN DAN PERKEMBANGANNYA


SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA:

PERGESERAN DAN PERKEMBANGANNYA
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja

A.   Beberapa Peristilahan Dalam Konteks Sistem Presidential

1.   Executive Power
Sering dialihbahasakan sebagai kekuasaan eksekutif. Kekuasaan eksekutif merupakan bagian pemerintahan terpenting dalam negara modern. Menurut CF Strong, dengan mengacu kepada ajaran trias politika, kekuasaan eksekutif merupakan bagian dari ”the three department of government”. Kekuasaan eksekutif tersebut dapat dirinci sebagai berikut:
(i)       Diplomatic power – relating to the conduct of foreign affairs.
(ii)      Administrative power – relating to the execution of the laws and the administration of the government;
(iii)    Military power – relating to the organization of the armed forces and the conduct of war.
(iv)    Judicial power – relating to the granting of pardons, reprieves, etc, to those convicted of crime.
(v)      Legislative power – relating to the drafting of Bills and directing their passage into law.[1]
Istilah “eksekutif” mengandung dua arti, yaitu eksekutif dalam arti luas yang berarti seluruh Dewan Menteri (Kabinet), pelayanan sipil, polisi, dan bahkan kekuatan-kekuatan militer (“.. the term executive is used in two senses. In the first, the broader sense, it means the whole body of Ministers, of the civil service, of the police, and even of the armed forces). Eksekutif dalam arti sempit (narrower sense), yaitu pimpinan/kepala tertinggi pemerintahan (….it signifies the supreme head of the executive department).[2] Kepala eksekutif dalam sistem pemerintahan Parlementer adalah Perdana Menteri (Prime Minister) sedangkan dalam sistem Presidential adalah Presiden.
Di Indonesia, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-undang dasar (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, sebagai kewenangan konstitusional atau presidential powers, yang dapat diklasifikasi dalam:

a.    Kewenangan di bidang eksekutif;
b.    Kewenangan di bidang non eksekutif, yang meliputi kewenangan yang bersifat legislatif dan yang bersifat yudikatif.[3]
2.    Eksekutif Nominal dan Eksekutif Riil
Eksekutif riil adalah eksekutif yang secara riil menjalankan dan bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan. Sedangkan eksekutif nominal adalah eksekutif yang menjalankan pemerintahan tetapi tidak memikul pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan. Negara dengan sistem parlementer akan memiliki sekaligus eksekutif nominal dan eksekutif riil. Eksekutif nominal berada pada Kepala Negara, baik seorang presiden/raja/ratu/atau sebutan lain. Sedangkan eksekutif riil dijalankan oleh Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Kabinet inilah yang bertanggung jawab dan dapat dijatuhkan oleh badan legislatif, sedangkan Kepala Negara tidak dapat diganggu gugat.[4] Semua tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Kepala Negara dipertanggungjawabkan oleh Kabinet atau Menteri yang bersangkutan. Sebaliknya negara dengan sistem presidential hanya mengenal satu jenis eksekutif yaitu eksekutif riil. Kekuasaan eksekutif riil dalam sistem presidential ada pada Kepala Negara. Jadi Kepala Negara adalah juga kepala pemerintahan.[5]  
3.   Constitutional Government
Diartikan bahwa pemerintah (eksekutif) melaksanakan hak dan kewenangannya berdasarkan yang diatur dalam konstitusi. Merupakan prinsip pokok sebagai unsur dari Negara hukum modern (modern constitutional state). Sebagai bagian dari “modern constitutional state”, maka Presiden sebagai penyelenggara Negara hak dan kewenangannya harus berdasarkan konstitusi. Pengertian “constitutional government” hanya merujuk kepada kedudukan eksekutif (dalam hal ini Presiden). Seperti diuraikan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan pemerintahan Presiden menurut UUD 1945 tersebut menimbulkan beberapa hak atau kewenangan konstitusional, yaitu:
1.        Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 )
2.        Menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945);
3.        Memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. (Pasal 7 UUD 1945 Baru);
4.        Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10).
5.        Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. (Pasal 11 ayat (1) Perubahan Keempat)
6.        Membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.(Pasal 11 ayat (2) Perubahan Ketiga)
7.        Menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.(Pasal 12)
8.        Mengangkat duta dan konsul, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.(Pasal 13 ayat (1) dan (2))
9.        Menerima penempatan duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.(Pasal 13 ayat (3))
10.     Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.( Pasal 14 ayat (1))
11.     Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.(Pasal 14 ayat (2))
12.      Memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.(Pasal 15)
13.     Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang.(Pasal 16)
14.     Mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri Negara.(Pasal 17 ayat (2).
15.     Membahan RUU bersama DPR (Pasal 20 ayat (2);
16.     Mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang.(Pasal 20 ayat (4);
17.     Menetapkan Perpu (Pasal 22);
18.     Mengajukan RUU APBN untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23);
19.      Meresminkan anggota BPK setelah dipilih oleh DPR dengan memperhaytikan pertimbangan DPD (Pasal 24B );
20.      Menetapkan Hakim Agung yang diusulkan oleh KY dan mendapat persetujuan DPR (Pasal 24A ayat (3);
21.      Mengangkat dan memberhentikan anggota KY (Pasal 24B ayat (3);
22.     Menetapkan Hakim Konstitusi yang diajukan oleh MA, DPR dan Presiden sendiri masing-masing tiga orang (Pasal 24C ayat (3).[6]
4.   Concentration Of Power And Responsibility Upon The President
Rumusan kalimat tersebut ada dalam Penjelasan UUD 1945. Pembentuk UUD 1945 ingin mempertegas bahwa kekuasaan pemerintahan (executive power) ada pada Presiden, dialah yang memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara. Mungkin rumusan ini ingin mempertegas sistem pemerintahan yang dianut, yaitu sistem presidential. Oleh karena kekuasaan pemerintahan berada pada Presiden maka Presidenlah yang bertanggungjawab atas segala tindakan pemerintahan. Menteri adalah bawahan Presiden, karena Menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Namun hal itu menjadi rancu apabila  dikaitkan dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, sebagaimana dirumuskan dalam Penjelasan. Adanya pertanggungjawaban Presiden kepada MPR mencerminkan sistem pemerintahan parlementer. Dalam Batang Tubuh UUD 1945 tercermin sistem Pemerintahan Presidential. Padahal dalam sistem presidential tidak dikenal adanya pertanggungjawaban ”chief executive” kepada parlemen. Oleh karena itu sangat beralasan apabila Penjelasan UUD 1945 tidak dimasukkan dalam pengertian UUD 1945. Dalam  UUD 1945 Perubahan Aturan Tambahan, Pasal II disebutkan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal.
5.   Checks and Balances System dan a Separate system of Government
Sistem saling mengawasi dan mengimbangi di antara berbagai lembaga dan jabatan yang mempunyai kedudukan dan tugas yang berbeda.[7] Sistem saling mengawasi dan mengimbangi ini sebagai sebuah perlawanan dari sistem pemisahan kekuasaan, yang ”mengharamkan” adanya intervensi atau hubungan antara satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan yang lain. Umumnya terjadi antara cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan legislatif. Hal itu terjadi, misalnya, dalam sistem pemerintahan di Amerika Serikat, antara kekuasaan legislatif (Kongres) dan kekuasaan eksekutif (Presiden), khususnya dalam pembentukan undang-undang. Demikian pula dalam kekuasaan legislatif (parlemen) itu sendiri, antara DPR dan Senat dapat terjadi checks and balances juga. Sistem checks and  balances merupakan salah satu ”modifikasi” dari konsep ”separation of powers”.
Amerika Serikat merupakan salah satu contoh negara yang menggunakan prinsip-prinsip sistem presidential seperti tersebut di atas. Akan tetapi oleh Charles O Jones hal itu dikritik, menurutnya sistem pemerintahan yang dianut di Amerika Serikat adalah “a separated system of government”, bukan “ a presidential system of government”. Amerika Serikat menganut sistem pemisahan kekuasaan dengan prinsip “checks and balances”, setiap  kekuasan saling kontrol dan mengimbangi satu sama lain.[8] Akan tetapi hal itu agak aneh, karena dalam sistem pemisahan kekuasaan itu pada hakekatnya satu cabang kekuasaan harus terlepas dari intervensi cabang kekuasaan lain. Sementara prinsip “checks and balances”, justru menghalalkan adanya intervensi satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan lain.
6.   Hak Prerogatif
Hak prerogatif sangat dikenal dalam sistem ketatanegaraan Inggris. Dicey merumuskan hak prerogatif sebagai: ”the residu of discretionary or arbitrary authority which at any given time is legally left in the hands of the Crown”.
Sebagaimana dimaklumi, pada awalnya Inggris menganut “monarki absolute”, kekuasaan mutlak ada pada raja. Dalam perkembangannya, berubah menjadi monarki konstitusional, dan kekuasaan raja bergeser sedikit demi sedikit kepada parlemen. Ada hak-hak “istimewa” yang dibiarkan pada raja (mahkota). Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hak prerogatif adalah hak yang dibiarkan tetap di tangan mahkota. Sedangkan bagian-bagian lain dari kekuasaan mutlak telah beralih ke cabang kekuasaan lain, yaitu parlemen. Prerogatif sebagai hak atau kekuasaan residu itu terutama dalam bidang kekuasaan eksekutif antara lain menyatakan hubungan-hubungan internasional, melakukan peperangan dan membuat perdamaian.[9]
Bila demikian halnya maka Indonesia tidak mengenal hak prerogative, karena sejarah pendirian negara NKRI tidak sama dengan kerajaan Inggris. Hak-hak Presiden di Indonesia lebih tepat disebut hak-hak konstitusional, yaitu hak-hak yang diatur dan ditetapkan oleh konstitusi.
7.   Impeachment
Berasal dari kata “to impeach” yang berarti “mendakwa” karena dianggap melanggar hukum (pidana).
Black”s Law Dictionary mendefinisikan impeachment sebagai ”A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ”articles of impeachment”. Impeachment diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat public yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Suatu proses impeachment dimulai dengan adanya “articles of impeachment”, yang berfungsi sama dengan surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Jadi “article impeachment” adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan dimulainya suatu proses impeachment. Di Amerika Serikat, pengaturan impeachment terdapat dalam Article 2 Section 4 yang menyatakan, “The President, Vice President, and all civil officers of the United States, shall be removed from office on  impeachment for and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”.[10]

Rumusan tersebut ”diadopsi” dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga Pasal 7A yang menyatakan:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ada perbedaan proses pemakzulan di Amerika Serikat dengan di Indonesia. Di Amerika Serikat pemakzulan tidak melibatkan badan peradilan (Supreme Court), sementara di Indonesia pemakzulan Presiden dana tau Wakil Presiden melibatkan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7B UUD 1945 Perubahan Ketiga adalah sebagai berikut:
(1) Usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuaapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan atau pendapat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3  dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan atau terbukti bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis Permusyawartatan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden Presiden dan atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
8.   Quasi Presidential  atau Hybrid System
Sistem quasi presidential disebut pula sistem Presidential semu. Sistem pemerintahan seperti di Republik Kelima Perancis. Presiden Perancis, meskipun memiliki kekuasaan eksekutif, tetapi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, karena yang bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan adalah Perdana Menteri. Presiden Perancis dipilih oleh sebuah ”electoral college”, tetapi setelah amandemen Konstitusi tahun 1962, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. [11]
Contoh lain mengenai ”quasi presidential”, dikemukakan oleh Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, yang mencontohkan sistem pemerintahan negara RI berdasarkan UUD 1945 sebelum diubah. ”Dilihat dari sudut pertanggungan jawab presiden kepada MPR walaupun tidak ada satu pasal pun dalam UUD 1945 yang mengharuskannya, agaknya yang dianut adalah sistem parlementer.  Dengan adanya pertanggungan jawab menteri kepada presiden, maka sistem yang dianut adalah presidential. Jadi, sistem presidentialnya tidak nyata atau yang disebut quasi presidential. Hal itu berbeda dengan pendapat Usep Ranawidjaja dan Sri Soemantri, yang menurut mereka sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 sebelum diubah adalah sistem campuran, karena memiliki ciri-ciri sistem presidential disatu pihak dan di pihak lain ada ciri-ciri sistem parlementernya.
Dalam sistem pemerintahan campuran, seperti di Perancis, Jerman, India dan Singapura, terdapat karakter:
a)    Presiden dipilih atau diangkat oleh rakyat secara langsung atau secara tidak langsung oleh lembaga perwakilan rakyat, atau setidak-tidaknya melibatkan peran wakil rakyat;
b)   Presiden berstatus sebagai kepala negara (head of state) sedangkan yang bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan adalah perdana menteri sebagai kepala pemerintahan (head of government).[12]
B.   Karakteristik Sistem Presidential
Adapun ciri-ciri atau karakteristik sistem pemerintahan presidential, seperti dikemukakan oleh Alan R Ball  adalah:[13]
  1. The President is both nominal and political head of state (Presiden sebagai kepala negara adalah lambang (menjalankan kekuasaan secara nominal) dan sekaligus menjalankan kekuasaan pemerintahan secara riil/nyata).
  2. The president is elected not by the legislature, but directly by the total electorate (the Electoral College in the United States is formality, and is likely to disappear in the near future. The president is not part of legislature, and he cannot be removed from office by the legislature except through rare legal impeachments (Presiden tidak dipilih oleh badan legislative, tetapi secara langsung dipilih oleh sejumlah pemilih, yang di Amerika Serkat secara formal disebut “badan pemilih”. Presiden bukan bagian dari badan legislative, dan dia tidak dapat diberhentikan dari jabatannya oleh badan legislative kecuali dituntut secara hukum).
  3. The president cannot dissolve the legislature and call a general election. Usually the president and the legislature are elected for fixed terms (Presiden tidak dapat membubarkan badan legislative dan menyelenggarakan pemilihan umum. Biasanya Presiden dan badan legislative dipilih untuk suatu waktu tertentu).[14]
Dalam sistem pemerintahan presidential terdapat beberapa prinsip pokok yang bersifat universal, yaitu:[15]
1)   Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif;
2)   Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3)   Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan;
4)   Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya;
5)   Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya;
6)   Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen;
7)   Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam sistem presidential berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada Konstitusi;
8)   Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat;
9)   Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlemen.
Sementara itu, dalam sistem pemerintahan presidential yang bersifat murni dicirikan oleh:
1)   Presiden memegang kekuasaan pemerintahan  eksekutif tunggal;
2)   Dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara itu terkandung pula status kepala negara (head of state), sehingga kedudukan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan eksekutif (head of government) menyatu secara tidak terpisahkan dalam jabatan presiden;
3)   Presiden tidak diangkat atau dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat;
4)   Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat, sehingga tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen karena alasan politik;
5)   Presiden memangku jabatannya selama kurun waktu yang tetap (fixed term), misalnya di Amerika Serikat ditentukan untuk waktu empat tahun, di Indonesia lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih lagi untuk satu periode berikutnya;
6)   Presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya melalui prosedur yang dikenal dengan ”impeachment” karena alasan pelanggaran hukum sebagaimana ditentukan dalam undang-undang dasar.[16]

C.   Penerapan Sistem Presidential Di Indoesia
1.    Sistem Pemerintahan Berdasarkan Rumusan Pasal-Pasal UUD 1945 Asli
Pasal-pasal dalam UUD 1945 Asli yang mencirikan sistem pemerintahan adalah Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 7, Pasal 10 sampai dengan Pasal 15, Pasal 17. Termasuk pula penjelasan pasal-pasal tersebut Ditambah lagi beberapa ketentuan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 angka III butir 3,  tentang Sistem Pemerintahan Negara. Secara lengkap rumusan pasal-pasal tersebut adalah:
Pasal/ayat
Rumusan
4 ayat (1)

Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
5  ayat  (1) 
Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
5 ayat (2)

Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
Penjelasan Pasal 4 dan pasal 5 ayat 2 dan Pasal 5 ayat (1)

Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk menjalankan undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementair).

Kecuali executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat menjalankan legislative power dalam negara.

7
Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
10
Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
11
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
12
Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang.
13
(1) Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Presiden menerima duta negara lain.
14
Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
15
Presiden memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
Penjelasan Pasal-pasal: 10,11,12,13,14,15

Kekuasaan-kekuasaan Presiden dalam pasal-pasal ini ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara.
17
(1) Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2) Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
(3)Menteri-menteri itu memimpin departemen pemerintahan.

Apabila memperhatikan rumusan pasal-pasal tersebut beserta penjelasannya, maka sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem pemerintahan Presidential, karena Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan (chief executive) sekaligus sebagai kepala Negara (head of state). Masa jabatan Presiden ditentukan selama lima tahun (fixed executive) dan menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dikatakan fixed executive  karena masa jabatannya ditetapkan untuk suatu waktu tertentu, misalnya empat tahun, lima tahun atau enam tahun. Kemudian, Presiden memiliki dua kedudukan atau fungsi, yaitu sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan.
Namun, ada ketentuan yang mengaburkan sistem pemerintahan presidential tersebut, yaitu dengan adanya ketentuan Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan: Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.” Karakter  kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen (MPR) mengidentifikasikan ciri sistem pemerintahan parlementer. Karakter tersebut diperkuat dengan keterangan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 angka III butir 3, yang menyatakan:
“Kedaulatan Rakyat dipegang oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan negara.
Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garisgaris besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari Majelis. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben”, akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis.”
Dari uraian di atas ternyata bahwa Presiden memiliki tiga kedudukan atau predikat, yaitu sebagai Kepala Pemerintahan, Kepala Negara dan Mandataris MPR”. Selain itu, atas dasar ciri-ciri yang dirumuskan dalam pasal-pasal dan penjelasan umum maupun penjelasan pasal-pasal tersebut, ternyata bahwa UUD 1945 Asli memiliki ciri-ciri sistem pemerintahan presidential di satu pihak dan ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer di pihak lain. Oleh karena itu adalah wajar kalau Usep Ranawidjaja dan Sri Soemantri menyebutnya sistem pemerintahan campuran, karena ada unsur-unsur sistem pemerintahan presidential dan unsur-unsur sistem pemerintahan parlementer. Ada juga yang menyebutnya “hybrid system” atau “mixed system”.
2.   Pergeseran dari Presidential ke Parlementer dan sebaliknya.
Dalam perjalanan waktu, sejarah sistem pemerintahan Indonesia telah terjadi pergeseran. Kedudukan dan kekuasaan Presiden mengalami pasang dan surut, berubah-ubah, walaupun UUD 1945 tetap berlaku dan tidak diubah. Setelah UUD 1945 disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 lembaga-lembaga negara yang ada adalah Presiden, Wakil Presiden, KNIP beserta Badan Pekerjanya, badan-badan kehakiman peninggalan zaman Hindia Belanda. Fungsi-fungsi lembaga-lembaga negara yang ditetapkan dalam UUD 1945 dijalankan oleh lembaga-lembaga yang sudah ada tersebut. Pada periode pertama berlakunya UUD 1945 yaitu tanggal 18 Agustus 1945, sistem pemerintahan yang dianut berdasarkan kepada ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan, yang menyatakan:
    “ Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.”
Berdasarkan kepada ketentuan tersebut maka kekuasaan MPR, DPR dan DPA dijalankan oleh Presiden. Dengan kata lain Presiden menjalankan kekuasaan legislatif (MPR dan DPR), kekuasaan eksekutif yang dimiliki oleh Presiden sendiri dan kekuasaan sebagai penasehat. Oleh karena itu, Achmad Sanusi, misalnya menyatakan bahwa kekuasaan Presiden meliputi:
a.    Presiden adalah pelaksana kedaulatan rakyat,
b.    Presiden berwenang menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar,
c.    Presiden berwenang menetapkan garis-garis besar haluan negara,
d.    Presiden melaksanakan kekuasaan pemerintahan,
e.     Presiden membuat segala peraturan undang-undang.[17]
Mengenai sistem pemerintahan yang pernah berlaku di Indonesia, khususnya pada saat berlakunya UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, terdapat berbagai versi. Dari rumusan ketentuan hukum yang termuat dalam Aturan Peralihan Pasal IV tersebut dan kenyataan yang berlaku saat itu maka Achmad Sanusi tidak ragu-ragu untuk menyatakan bahwa Presiden merupakan satu-satunya penguasa  tertinggi tunggal.[18] Kekuasaan negara terpusat pada Presiden secara mutlak (absolut) dan oleh karena negara sedang dalam keadaan revolusi, maka sifat pemerintahan saat itu dikatakan bersifat revolusioner. Dengan demikian Achmad Sanusi menyebut sistem pemerintahan pertama, sejak berlakunya UUD 1945 hingga keluarnya Maklumat Presiden tanggal 16 Oktober 1945 adalah sistem pemerintahan yang dipusatkan secara mutlak dan bersifat revolusioner (revolutionary and absolutely centralized governmental system).[19] Pendapat tersebut didasarkan kepada ajaran ”situasionsgebundenkeit”, yaitu keadaan darurat serta suasana yang abnormal (revolusi).
Ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan tersebut telah memberikan kekuasaan (delegatie van macht) atau hak-hak tertinggi kepada Presiden, karena lembaga-lembaga negara yang seharusnya ada belum terbentuk sehingga fungsi-fungsinya dijalankan oleh Presiden sendiri dengan dibantu oleh KNIP. Dengan demikian kekuasaan pemerintahan secara mutlak terpusat pada Presiden. Presiden menjalankan kekuasaan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, berwenang menetapan dan mengubah UUD, dan menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara). Selain itu Presiden juga menjalankan kekuasaan legislasi DPR, membentuk undang-undang dan menetapan APBN, menetapkan Perpu, menetapkan Peraturan Pemerintah, dan lain sebagainya yang ditetapkan dalam UUD 1945.
AK Pringgodigdo menyatakan bahwa sistem pemerintahan saat itu adalah sistem presidential yang otokratis (autocratische presidentiele stelsel). Secara tepat AK Pringgodigdo mengemukakan:”.. maka boleh dikatakan bahwa Presiden dengan sah dapat bertindak sebagai diktator, karena ”bantuan” bantuan Komite Nasional sama sekali tidak dapat diartikan suatu pengekangan atas kekuasaannya..”[20]
FR Bohtlink (sarjana Belanda) menyebutkan bahwa sistem pemerintahan berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 adalah sistem pemerintahan Presidential atau lebih dikenal dengan sebutan  ‘het Presidential stelsel van Overgangsbepaling IV van de Grondwet’, yaitu sistem pemerintahan Presidential berdasarkan ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan[21].
Sementara itu Usep Ranawidjaja  menggolongkan sistem yang dianut UUD 1945 adalah sistem pemerintahan campuran, yaitu mengandung segi parlementer di satu pihak dan mengandung sistem presidential di pihak lain. Adanya pertanggungjawaban eksekutif (Presiden) kepada badan legislatif (MPR sebagai badan legislatif tertinggi di atas DPR), adalah hakikat dari sistem pemerintahan parlementer. Segi presidentialnya terletak dalam ketentuan yang menetapkan bahwa badan eksekutif merupakan jabatan yang terdiri atas satu unsur saja (Presiden) dan dipangku oleh seseorang (jabatan perseorangan), sedangkan Menteri-Menteri hanya merupakan pembantu-pembantu yang bertanggung jawab kepada Presiden.[22]
Dalam menetapkan kedudukan dan fungsi yang dijalankan oleh Presiden menurut ketentuan Pasal IV Aturan Peralihan tersebut terdapat dua pandangan yang berbeda, karena penafsiran atas kata-kata ”dengan bantuan Komite Nasional”. Usep Ranawidjaja mengartikan kata ”bantuan” sebagai ”bersama-sama”. Dalam artian ini maka sifat bantuan Komite Nasional kepada Presiden  adalah mengikat. Pendapat lain, seperti dikemukakan oleh AK Pringgodigdo, mengartikan kata ”bantuan” dalam ketentuan di atas sebagai sesuatu yang tidak mengikat. Pengertian ini menimbulkan makna bahwa kekuasaan-kekuasaan MPR, DPR, dan DPA terpusat pada Presiden, Komite Nasional hanya sebagai ”pembantu” yang kurang berperan. Jadi kekuasaan Presiden sangat mutlak.
Para perumus UUD 1945 (the founding fathers and mothers) demikian pula para anggota KNIP menyadari bahwa berhubung dengan keadaan negara saat itu perlu adanya pemberian kekuasaan yang besar diberikan kepada Presiden. Di lain pihak ada kelompok yang merasa khawatir akan timbulnya pemerintahan diktator, yang dianggap sebagai suatu bentuk yang dibenci oleh kebanyakan negara di dunia setelah Perang Dunia ke-2. Kekhawatiran semacam itu merasuk pula pada beberapa orang anggota KNIP yang kemudian mereka mengusulkan agar dikeluarkan suatu pernyataan dari Pemerintah untuk mencegah kekuasaan Presiden yang sangat mutlak. Atas dasar itu maka lahirlah Maklumat Wakil Presiden No. X(eks) tertanggal 16 Oktober 1945, yang isinya menetapkan bahwa:
a.    KNIP, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar haluan negara.
b.    Pekerjaan KNIP sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan, dijalankan oleh suatu Badan Pekerja yang bertanggung jawab kepada KNIP.
Secara substansial Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut telah mengubah isi Pasal IV Aturan Peralihan, karena kedudukan Presiden ”tergeser” oleh KNIP. Kekuasaan legislatif yang dimiliki MPR dan DPR beralih kepada KNIP. Dalam hubungan ini Ismail Sunny memberikan komentar bahwa dengan adanya maklumat Wakil Presiden tersebut segala penetapan undang-undang harus disetujui baik oleh KNIP maupun oleh Presiden.[23] Jadi, setelah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X tersebut kekuasaan membentuk undang-undang  berada pada KNIP dan Presiden. Menurut AK Pringgodigdo adanya Maklumat Wakil Presiden No. X berarti kemunduran besar dalam kekuasaan Presiden yang sampai kini dapat dikatakan diktatorial. Ia (Presiden) harus membagi kekuasaan yang dimilikinya berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu dari MPR (mengenai penetapan garis-garis besar haluan negara) dan dari DPR (mengenai penetapan undang-undang) dengan Komite Nasional atau Badan Pekerjanya.[24]
Perubahan wewenang tersebut membawa konsekuensi terhadap kekuasaan dalam negara, seperti diuraikan oleh Achmad Sanusi yang merinsinya sbb:[25]
a)    Kekuasaan mutlak Presiden berakhir;
b)   Kekuasaan MPR dan DPR (untuk sementara) diserahkan kepada KNIP dan sehari-hari kepada Badan Pekerjanya;
c)    Lahirlah tanggung jawab bagi Presiden kepada MPR atau Badan substitusinya c.q. KNIP.
Dengan meminjam istilah ”pergeseran kekuasaan” dari Ismail Sunny, maka dengan adanya Maklumat Wakil Presiden No. X telah terjadi ”pergeseran kekuasaan legislatif” yang dimiliki oleh Presiden kepada Badan Pekerja KNIP.
Kurang lebih satu bulan kemudian, tepatnya tanggal 14 Nopember 1945, dikeluarkan sebuah Maklumat Pemerintah, yang berisi tentang:
1)   Pertanggungjawaban Menteri (menteri) dilakukan kepada Badan Pekerja KNIP bukan kepada Presiden;
2)   Pembentukan Kabinet Sutan Syahrir pertama.
Terbitnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945 merupakan puncak dari upaya mengurangi kekuasaan Presiden yang mutlak. Dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember merupakan realisasi dari usul sebagian besar anggota KNIP yang disampaikan pada tanggal 11 Nopember 1945. Jadi adanya perubahan sistem pertanggungjawaban Menteri kepada Badan Pekerja KNIP diinginkan secara sadar oleh para anggota KNIP dan tokoh-tokoh politik saat itu. Meskipun demikian tindakan semacam itu tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 17 UUD 1945, yang menyatakan bahwa Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tentunya hal itu membawa konsekuensi bahwa Menteri-menteri harus bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada parlemen (BP KNIP).
Kenyataan seperti itu, perubahan undang-undang dasar melalui praktik yang didasarkan pada desakan-sedakan kelompok tertentu, sesuai dengan apa yang diintrodusir oleh KC Wheare bahwa konstitusi atau undang-undang dasar dapat berubah karena ”some primary forces”. Undang-undang dasar dapat berubah atas desakan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, dan dilakukan tanpa mengubah teks. Berubahnya konstitusi dengan cara demikian karena ”the constitution is indeed the resultant of a parallelogram of forces – political, economics, and social – which operate at the time of its adoption.”[26] Jadi, berubahnya suatu aturan hukum dalam konstitusi (undang-undang dasar) tergantung dari adanya kekuatan politik (political forces), khususnya yang ada dalam badan perwakilan. Cara mengubahnya mungkin dilakukan seperti ditetapkan dalam undang-undang dasar itu sendiri (formal amendment), ditafsirkan oleh badan yudisial (judicial interpretation) atau melalui kebiasaan ketatanegaraan (usage and convention).
Kabinet pertama yang dipimpin Sutan Syahrir bekerja dari 14 Nopember 1945 hingga 12 Maret 1946. Kemudian dibentuk Kabinet Sutan Syahrir kedua dari tanggal 12 Maret 1946 hingga  2 Oktober 1946, dan dilanjutkan dengan Kabinet Sutan Syahrir ketiga sampai 3 Juli 1947. Kabinet Syahrir ketiga jatuh akibat dari tidak adanya persesuaian pendapat di antara partai-parati pemerintah dalam menghadapi konsesi Syahrir dalam perundingan dengan Belanda. Kabinet Syahrir diganti dengan Kabinet Sjarifuddin pertama tanggal 3 Juli 1947 hingga 11 Nopember 1947, kemudian dilanjutkan dengan Kabinet Syarifuddin kedua hingga 29 Januari 1948 karena dipaksa berhent oleh penarikan menteri-menteri dari Masyumi dari kabinet.[27] Pada 29 Januari 1948 hingga 20 Desember 1949 berganti lagi menjadi sistem pemerintahan Presidential, tatkala Perdana Menteri Syarifuddin berhenti, kekuasaan dijalankan lagi oleh Presiden Sukarno. Jadi, bergeser dari sistem parlementer ke sistem presidential.
2.    Sistem pemerintah Parlementer dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950.
Dengan diberlakukannya Konstitusi RIS 1949 maka dengan tegas sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan parlementer. Dalam Pasal 68 Konstitusi RIS 1949 diatur tentang kedudukan Presiden dan Menteri-menteri. Presiden dan Menteri-menteri bersama-sama merupakan Pemerintah. Kemudian dalam Pasal 69 disebutkan Presiden ialah Kepala Negara. Kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban pemerintahan secara riil ada pada Menteri (menteri). Hal itu tersurat dalam Pasal 118 yang menyatakan:
(1) Presiden tidak dapat diganggu gugat.
(2) Menteri-menteri bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu.
Jadi sudah jelas bahwa Konstitusi RIS 1949 menganut sistem pemerintahan parlementer.

Sebagaimana dimaklumi bahwa Konstitusi RIS 1949 hanya berjalan sekitar delapan bulan. Dengan Undang-Undang No, 7 Tahun 1950 diberlakukan UUDS 1950. Seperti halnya Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 juga menganut sistem pemerintahan parlementer. Hal itu dapat dibuktikan dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam UUDS 1950 Pasal 45 sampai dengan Pasal 52. Dari rumusan yang menyatakan Presiden adalah Kepala Negara (Pasal 45), Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk Kabinet. Sesuai dengan anjuran pembentuk Kabinet itu, Presiden mengangkat seorang dari padanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-menteri yang lain (Pasal 51), Presiden tidak dapat diganggu gugat (Pasal 83 ayat (1)), Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijakan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri (Pasal 83 ayat (2), dan Presiden berhak membubarkan DPR (Pasal 84).

Keberadaan pasal-pasal tersebut dan ditunjang dalam praktik ketatanegaraan sehari-hari, penyelenggaraan sistem pemerintahan saat itu menunjukkan dianutnya sistem pemerintahan parlementer. Keadaan seperti itu berakhir sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dapat dipastikan bahwa sejak berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan presidential.

3.    Sistem Pemerintahan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga perubahan UUD 1945 oleh MPR.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 berisi:
1)   Menetapkan pembubaran Konstituante;
2)   Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan
3)   tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara;
4)   Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

Perkataan “dekrit” berasal dari perkataan Latin “decretum” yang kemudian di dalam bahasa Prancis  dikenal dengan perkataan “decret” di dalam bahasa Inggris “decree” di dalam bahasa Jerman “Dekret” dan di dalam bahasa Belanda “decreet”. Di zaman Romawi perkataan “decretum” pada umumnya diartikan sebagai suatu perintah dari pejabat-pejabat tinggi. Secara khusus perkataan itu dipergunakan juga bagi keputusan seorang praetor di dalam perkara perdata yang diperiksanya sendiri di luar kebiasaan: biasanya perkara-perkara perdata diperiksa oleh hakim yang diangkat untuk pemeriksaan perkara tertentu. Perkataan decretum ini kemudian  dipakai juga bagi keputusan-keputusan kaisar Romawi di dalam perkara yang diperiksananya sendiri atas permohonan yang berkepentingan di dalam instansi pertama atau dalam tingkat appel. Keputusan-keputusan kaisar dalam hal demikian itu dinamakan “decreta principis” dan mempunyai kekuatan undang-undang untuk soal-soal yang sama. Melihat kepada penggunaan perkataan decretum di zaman Romawi untuk keputusan-keputusan kaisar dan praetor seperti tersebut di atas ternyata bahwa perkataan decretum itu mempunyai arti sebagai keputusan yang diambil di luar kebiasaan, sebagai keputusan luar biasa. Demikian juga sekarang menurut Modern American Encyclopedia perkataan itu harus diartikan sebagai suatu ketetapan dari penguasa mengenai suatu hal yang sedang jadi persoalan dan harus mendapat penyelesaian secara luar biasa karena keadaan tertentu. Begitu pula dijumpai di dalam bukunya David Thomson, ”Democracy in France” istilah ”to rule by decree” sebagai lawannya dari ”to rule by formal legislation” yaitu sebagai cara presiden Perancis menjalankan pemerintahan di masa darurat pada waktu Perang Dunia.[28]
Dekrit Presiden di Indonesia terjadi pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 150 Tahun 1959 dan dimuat dalam LN No. 75 Tahun 1959. Kemudian, sebagai tindak lanjut dari keberadaan Dekrit tersebut, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 1 Tahun 1959 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan Penpres No. 2 Tahun 1959 (LN Tahun 1959 No. 77; TLN No. 1816) tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Setelah itu Presiden menetapkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 (LN Tahun 1959 No. 78: TLN No. 1917) tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS). Dengan demikian sistem pemerintahan Indonesia setelah Dekrit Presiden tidak mengacu lagi ke Pasal IV Aturan Peralihan, tetapi berdasarkan pasal-pasal lain dalam batang tubuh UUD 1945.

Dalam praktik penyelenggaraan negara, pertanggungjawaban Presiden diberikan kepada MPR(S) sesuai dengan ketentuan Penjelasan Umum UUD 1945. Meskipun UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidential, tetapi Penjelasan Umum UUD 1945 tetap diberlakukan, khususnya dalam hal pertanggungjawaban Presiden kepada MPR. Presiden (dan Wakil Presiden) yang dipilih dan diangkat oleh MPR harus bertanggung jawab kepada MPR. Hal itu diberlakukan pada waktu Presiden Soekarno. Soekarno yang diangkat oleh MPRS sebagai Presiden RI seumur hidup (TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Bung Karno, sebagai Presiden Republik Indonesia seumur hidup), diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967. Dengan Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari Presiden Soekarno, maka berakhirlah kekuasaan Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia. Dalam ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional sebagai Mandataris MPR(S) dan melarang melakukan kegiatan politik serta menarik mandat yang telah diberikan oleh MPRS kepadanya. Kemudian MPRS mengangkat Soeharto, pengemban Ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, sebagai pejabat Presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum.  Bahwa  pidato Presiden Soekarno tanggal 27 Maret 1966 yang berjudul “Nawaksara”, dan surat Presiden No.01/Pres/1967 tentang Pelengkap Nawaksara, tidak memenuhi harapan rakyat (MPRS) dan oleh karenanya ditolak oleh MPRS sehingga mengakibatkan pemberhentian Soekarno sebagai Presiden/Mandataris MPR.
Jadi, tepat yang dikatakan oleh Usep Ranawidjaja dan Sri Soemantri, bahwa UUD 1945 Asli menganut sistem pemerintahan campuran, karena di satu sisi ada ciri-ciri presidential dan di sisi lain ada ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer.
Hal itu berlanjut pada masa Soeharto meminpin RI di zaman Orde Baru (1967-1998), kemudian dilanjutkan oleh BJ Habibie (1998-1999), Gus Dur atau Abdurahman Wahid (2000-2001), hingga Megawati Soekarnoputri.
Soeharto yang “lengser” pada tanggal 21 Mei 1998, lolos dari pertanggungjawaban konstitusionalnya, karena MPR tidak mengadakan Sidang Istimewa. MPR hanya mengadakan sidang untuk mengukuhkan BJ Habibie sebagai Presiden menggantikan Soeharto (vide Pasal 8 UUD 1945). Namun, BJ Habibie yang seharusnya secara konstitusional meneruskan masa jabatan presiden yang digantikannya, yaitu berakhir hingga tahun 2003, harus berhenti sebelum waktunya.  Kebijakan BJ Habibie yang berkaitan dengan “referéndum Timor Timur”[29] sehingga akhirnya lepas dari NKRI, yang dengan Ketetapan MPR No.VI/MPR/1978 telah dikukuhkan menjadi bagian dari NKRI, dan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1979 menjadi provinsi ke-27. Presiden BJ Habibie menyampaikan pertanggungjawaban  di hadapan Rapat Paripuna ke-8 tanggal 14 Oktober 1999 dan jawaban Presiden atas pemandangan umum Fraksi-fraksi pada Rapat Paripurna ke 11 tanggal 17 Oktober 1999, dalam Sidang Umum MPR tanggal 19 Oktober 1999, ditolak oleh MPR.[30] Namun, penolakan itu tidak disertai penetapan pemberhentian BJ Habibie sebagai Presiden.  Padahal BJ Habibie yang mengucpkan sumpah jabatan sebagai Presiden pada tanggal 21 Mei 1998 telah menggantikan Soeharto, sesuai dengan ketentuan Pasal 8 UUD 1945.[31] Akibat kemerosotan pamor BJ Habibie di mata MPR, maka BJ Habibie tidak dicalonkan lagi sebagai Presiden.
KH Abdurrahman Wahid (lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur), yang dipilih dan diangkat oleh MPR menjadi Presiden berdasarkan Ketetapan MPR No. VII/MPR/1999 tertanggal 20 Oktober 1999, mengalami nasib yang sama dengan Soekarno. 
Pada saat Gus Dur dilengserkan dari jabatan Presiden maka diberlakukan ketentuan dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Seperti disebutkan dalam Pasal 5 yang menyatakan:
(1)  Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis dan pada akhir masa jabatannya memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Haluan negara yang ditetapkan oleh Undang-undang Dasar atau Majelis di hadapan Sidang Majelis.
(2)  Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan Sidang Istimewa Majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dalam pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau Majelis.
Kemudian Pasal 7-nya menyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat yang seluruh anggotanya adalah anggota Majelis berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam rangka pelaksanaan Haluan Negara.
(2) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap Presiden sungguh melanggar Haluan Negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyapaikan memorándum untuk mengingatkan Presiden.
(3) Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorándum Dewan Perwakilan Rakyat tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan memorándum yang kedua.
(4) Apabila dalam waktu satu bulan memorándum yang kedua tersebut pada ayat (3) pasal ini, tidak diindahkan oleh Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden.

Sebelum MPR melakukan Sidang Istimewa, DPR menyampaikan memorándum kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah memorándum kedua tidak dipenuhi, maka MPR mengadakan Sidang Istimewa meminta pertanggungjawaban dari Presiden, namun saat itu Presiden Abdurrahman Wahid tidak mau hadir, sehingga MPR menetapkan  Ketetapan MPR tentang pemberhentian Abdurrrahman Wahid sebagai Presiden (TAP MPR No.II/MPR/2001 tertanggal 23 Juli 2001). Sebelumnya MPR mengeluarkan Ketetapan No.I/MPR/2001 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat RI terhadap Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001. Dalam Maklumat Presiden tersebut berisi:
1.    Membekukan MPR RI dan DPR RI;
2.    Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum dalam waktu satu tahun;
3.    Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golongan Karya sambil menunggu Keputusan Mahkamah Agung.[32]
Kemudian dengan Ketetapan MPR No.II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden RI KH Abdurrahman Wahid, ditetapkan:
Pasal 1: Ketidakhadiran dan penolakan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001 serta penerbitan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001, sungguh-sungguh melanggar haluan negara;
Pasal 2: Memberhentikan KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI dan mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden RI.
Namun, menurut Saldi Isra, sebagaimana dikutip oleh Reza Syawawi[33] terdapat lima peristiwa yang dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk mengadakan Sidang Istimewa dalam rangka meminta pertanggungjawaban terhadap Abdurrahman Wahid, yaitu:
  1. Abdurrahman Wahid pernah meminta agar Tap MPR No. XXVMPRS/1966 tentang Pelarangan-pelarangan Penyebaran Ajaran Marxime, Komunisme, dan Leninisme dicabut;
  2. Pernyataan Presiden bahwa hak interpelasi DPR merupakan tindakan inkonstitusional. Hak interpelasi tersebut berkaitan dengan tindakan Presiden yang memberhentikan beberapa orang menteri di kabinetnya;
  3. Penggantian Kapolri Jenderal S Bimantoro kepada Komjen (Pol) Chaeruddin Ismail yang dilakukan secara sepihak oleh Presiden dinilai telah melanggar ketetapan MPR, karena penggantian tersebut mengharuskan adanya persetujuan DPR;
  4. Adanya pernyataan Presiden bahwa semua pansus yang ada di DPR adalah ilegal, sehingga apapun yang dihasilkan oleh pansus tidak sah secara hukum. Hal itu terkait dengan beberapa kasus seperti adanya indikasi keterlibatan Presiden dalam skandal bullogate dan bruneigate;
  5. Penolakan Presiden terhadap dua orang calon ketua Mahkamah Agung yang diusulkan DPR. Hal itu melanggar UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan ada indikasi bahwa Presiden mencoba mengintervensi Mahkamah Agung sebagai kehakiman tertinggi yang harus bebas dari campur tangan kekuasaan lain.
4.    Sistem Pemerintahan Pasca Perubahan UUD 1945.
Setiap undang-undang dasar atau konstitusi dari berbagai negara tidak pernah dirumuskan secara eksplisit mengenai sistem pemerintahan yang dianut. Suatu negara menganut sistem pemerintahan parlementer atau presidential atau sistem pemerintahan campuran, akan terlihat dari ciri-ciri atau karakteristik yang dirumuskan dalam pasal-pasal undang-undang dasarnya. Hal itu akan terlihat dari kedudukan, hak dan wewenang Presiden dan atau Perdana Menteri atau menteri-menterinya, sebagaimana ciri-ciri yang melekat pada jabatan-jabatan tersebut.
Dalam UUD 1945 Perubahan, terdapat beberapa karakter sistem pemerintahan yang dianut Indonesia. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (Pasal 4). Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat (1)). Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 7). Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 7C). Presiden sebagai kepala Negara yang menjalankan kekuasaan-kekuasaan seperti diatur dalam Pasal 10 s/d 15. Apabila memperhatikan ciri-ciri atau karakter tersebut maka tersimpul adanya sistem pemerintahan Presidential.
Akan tetapi ada karakter lain dalam ketentuan Pasal-pasal lain yang mencirikan sistem pemerintahan parlemenenter. Sebagai misal dalam hal penerimaan dan pengangkatan duta, Presiden harus mendapat pertimbangan dari DPR (Pasal 13). Dalam memberikan amnesti dan abolisi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14). DPR memiliki fungsi lgislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasa. Dalam menjalankan fungsinya DPR dilengkapi dengan berbagai hak seperti hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat (Pasal20A). Dengan fungsi dan hak-haknya tersebut, kedudukan DPR menjadi sangat kuat, meskipun pelaksanaan hak-hak tersebut belum memungkinkan Presiden dan atau Wakil Presiden dapat diberhentikan. Namun setidak-tidaknya dengan ketentuan-ketentuan yang ada telah menggeser fenomena “executive heavy” menjadi “legislative heavy”.
Khusus dalam pembentukan undang-undang, peran DPR sangat kuat. DPR lah yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1)). RUU yang telah disetujui bersama harus disahkan oleh Presiden. Jika Presiden tidak mengesahkan RUU tersebut dalam tigapuluh hari maka RUU menjadi undang-undang dan wajib diundangkan (Pasal 20 ayat (3). Meskipun ada ketentuan bahwa RUU yang tidak mendapat persetujuan bersama tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR saat itu (Pasal 20 ayat 2). Muncul pertanyaan: apakah dengan tidak ditandatanganinya RUU tsb oleh Presiden berarti bahwa RUU tidak mendapat persetujuan bersama, dan wajib “dipending”? Rumusan tersebut menggambarkan bahwa kedudukan DPR lebih dominan dari pada Presiden. Dominasi tersebut mencerminkan karakter system pemerintahan parlementer.
Rumusan-rumusan pasal di atas lebih mencirikan sistem pemerintahan parlementer. Selain itu rumusan Pasal 20 lebih mencirikan “separation powers” ketimbang “division of powers”, sementara para pendiri negara mengharapkan UUD 1945 tidak berakar pada sistem pemisahan kekuasaan sebagaimana dilansir oleh Trias Politika. MPR pada saat melakukan perubahan berkeinginan agar hubungan antar lembaga negara, khususnya hubungan antara Presiden dan DPR, terdapat hubungan saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Namun, rumusan Pasal 20 (5) sama sekali tidak menggambarkan konsep checks and balances, karena Presiden tidak memiliki hak tolak. Rumusan Pasal 20 ayat (5),   ”memaksa” Presiden untuk mau tidak mau menandatangani RUU yang telah dibahas oleh DPR bersama Menteri (Pemerintah) tidak mencerminkan prinsip ”checks and balances”. Seharusnya, jika konsepsi”checks and balances” diterapkan, maka  Presiden diberi wewenang untuk menolak RUU (memveto) dengan  alasan yang dapat diterima secara logis. Bila hal itu terjadi maka DPR dapat melakukan pembahasan ulang (reconsideration) dan melakukan voting untuk tetap bertahan pada pendiriannya atau menerima pertimbangan-pertimbangan dari Presiden.
Hal itu berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, dalam Article One Section Seven Konstitusi Amerika Serikat  dinyatakan:
Every bill which shall have passed the House of Representatives and the Senate shall, before it becomes a law, be presented to the President of the United States; if he approve, he shall sign it, but if not, he shall return it, with his objections, to that House in which it shall have originated, who shall enter the objections at large on their journal, and proceed to reconsider it. If after reconsideration two-thirds of that House shall agree to pass the bill, it shall be sent, together with the objections, to the other House, by which it shall likewise be reconsidered, and if approved by two-thirds of that house, it shall become a law. But in all such cases the votes of both Houses shall be determined by yeas and nays, and the names of the persons voting for and against the bill shall be entered on the journal of each House respectively. If any bill shall not be returned by the President within ten days (Sundays excepted) after it shall have been presented to him, the same shall be a law in like manner as if he had signed it, unless the Congress by their adjournment prevent its return, in which case it shall not be a law.”
Uraian di atas menggambarkan penerapan konsepsi  checks and balances” secara konsekuen, tidak setengah-setengah. UUD 1945 Perubahan masih memperlihatkan ciri-ciri sistem pemerintahan parlementer, meskipun tidak murni, dan konsepsi ”checks and balances” yang setengah-setengah. Ada bau-bau ”separation of powers” yang tidak jelas alias abu-abu.

Sekedar Komentar
MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945 perlu mempertegas dan memperjelas, arah dari sistem pemerintahan yang dianut oleh Indonesia, apakah ”sistem sendiri” seperti dikehendaki oleh para pendiri negara atau mau ”menjiplak” konsepsi yang diterapkan negara lain. Tetapkanlah sistem pemerintahan Indonesia sesuai dengan karakter yang dimiliki bangsa Indonesia, bukan berkaca pada karakter bangsa lain yang belum tentu cocok.

­­­­­­­­­­­­­­­_______________


[1]Strong CF, Modern Political Constitutions, An introduction to the comparative study of their history and existing form, The English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, 1966 p. 233-234.
[2] Ibid, hlm 234.
[3] Jimmly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm 336-352.
[4] Di Kerajaan Inggris dikenal dengan istilah “the King can do no wrong”. Dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 dikenal dengan ungkapan “Presiden tidak dapat diganggu gugat”.
[5] Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi suatu Negara, penyunting H.Mashudi,SH.MH dan Kuntana Magnar,SH.MH, Mandar Maju, Bandung, 1995. hlm 76-77
[6] Bandingan dengan Jilmy Asshiddiqie, op. cit., hlm 336-338
[7] Usep Ranawidjaja,  Hukum Tata Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm 223
[8] Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm 316-317.
[9] Bagir Manan, op. cit., hlm 86.
[10] Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Laporan Penelitian, 2005, hlm 22.
[11] Pamudji,  Perbandingan Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm 70
[12] Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm 336.
[13] Sri Soemantri, Sistem-sistem Pemerintahan Negara-negara ASEAN, Penerbit Tarsito, Bandung, 1976, hlm 35-36.
[14] Terjemahan bebas dari penulis.
[15] Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm 316.
[16] Ibid, hlm 335.
[17] Achmad Sanusi, Perkembangan Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia 1945-1958, Penerbit Universitas, 1958, hlm 13.
[18] Ibid, hlm 14.
[19] Loc.cit.
[20] AK Pringgodigdo, Perubahan Kabinet Presidentiel menjadi Parlementer, hlm 13,    dikutip dari Moh. Tolchah Mansoer, Pembahasan Beberapa Aspek Kekuasaan Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta, 1977,  hlm 115.
[21] Achmad Sanusi, op.cit. hlm 14.
[22] Usep Ranawidjaja, op. cit., hlm 84-85.
[23] Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Penerbit Asara Baru, Jakarta, 1977, hlm 28.
[24] AK Pringgodigdo, Kedudukan Presiden menurut tiga Undang-Undang Dasar dalam teori dan praktik, PT Pembangunan, Jakarta, 1956, hlm 13.
[25] Achmad Sanusi, op.cit., hlm 20.
[26] KC Wheare, Modern Constitutions, London, Oxford University Press, Third Impression, 1975, hlm 67.
[27] Ismail Sunny, op. cit., hlm 64.
[28] Usep Ranawidjaja, op. cit. hlm  36-37.
[29] Kebijakan Presiden BJ Habibie mengenai dua opsi yang ditawarkan dalam referendum Timor Timur, yaitu otonomi khusus atau merdeka.
[30] Lihat Ketetapan MPR No.III/MPR/1999 tertanggal 19 Oktober 1999 tentang pertanggungjawaban Presiden RI Prof.Dr.Ing.Bacharuddin Jusuf Habibie.
[31] Penulis tidak menemukan ketetapan MPR tentang pengangkatan dan pemberhentian BJ Habibie sebagai Presiden RI, seperti pengangkatan dan pemberhentian presiden yang lainnya.
[32] Pasal 1 Ketetapan MPR No.I/MPR/2001
[33] Reza Syawawi, Pengaturan Pemberhentian Presiden dalam Masa Jabatan menurut UUD 1945 (Studi Komparatif Sebelum dan Sesudah Perubahan) dalam Jurnal Konstitusi, Volume 7 Nomor 6, Desember 2010, hlm 55-56.

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

WEWENANG MAHKAMAH AGUNG MENGUJI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Oleh: Rosjidi Rangawidjaj Pendahuluan Perdebatan mengenai hak men...