SISTEM PEMERINTAHAN
INDONESIA:
PERGESERAN DAN PERKEMBANGANNYA
Oleh: Rosjidi Ranggawidjaja
A. Beberapa Peristilahan Dalam Konteks Sistem Presidential
1.
Executive Power
Sering dialihbahasakan sebagai kekuasaan eksekutif.
Kekuasaan eksekutif merupakan bagian pemerintahan terpenting dalam negara
modern. Menurut CF Strong, dengan mengacu kepada ajaran trias politika,
kekuasaan eksekutif merupakan bagian dari ”the
three department of government”. Kekuasaan eksekutif tersebut dapat dirinci
sebagai berikut:
(i)
Diplomatic power –
relating to the conduct of foreign affairs.
(ii)
Administrative power
– relating to the execution of the laws and the administration of the
government;
(iii) Military power – relating to the organization of the
armed forces and the conduct of war.
(iv) Judicial power – relating to the granting of pardons,
reprieves, etc, to those convicted of crime.
(v)
Legislative power –
relating to the drafting of Bills and directing their passage into law.
Istilah
“eksekutif” mengandung dua arti, yaitu eksekutif dalam arti luas yang
berarti seluruh Dewan Menteri (Kabinet), pelayanan sipil, polisi, dan bahkan
kekuatan-kekuatan militer (“.. the term
executive is used in two senses. In the first, the broader sense, it means the whole body of Ministers, of the civil
service, of the police, and even of the armed forces). Eksekutif
dalam arti sempit (narrower sense),
yaitu pimpinan/kepala tertinggi pemerintahan (….it signifies the supreme head of the executive department).
Kepala eksekutif dalam sistem
pemerintahan Parlementer adalah Perdana Menteri (Prime Minister) sedangkan dalam sistem Presidential adalah
Presiden.
Di Indonesia, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
menurut Undang-undang dasar (Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, sebagai kewenangan
konstitusional atau presidential powers,
yang dapat diklasifikasi dalam:
a. Kewenangan di bidang eksekutif;
b. Kewenangan di bidang non eksekutif, yang meliputi kewenangan yang bersifat
legislatif dan yang bersifat yudikatif.
2.
Eksekutif Nominal dan
Eksekutif Riil
Eksekutif riil adalah eksekutif yang secara riil
menjalankan dan bertanggung jawab atas jalannya pemerintahan. Sedangkan
eksekutif nominal adalah eksekutif yang menjalankan pemerintahan tetapi tidak
memikul pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan. Negara dengan sistem
parlementer akan memiliki sekaligus eksekutif nominal dan eksekutif riil.
Eksekutif nominal berada pada Kepala Negara, baik seorang
presiden/raja/ratu/atau sebutan lain. Sedangkan eksekutif riil dijalankan oleh
Kabinet yang dipimpin oleh Perdana Menteri. Kabinet inilah yang bertanggung
jawab dan dapat dijatuhkan oleh badan legislatif, sedangkan Kepala Negara tidak
dapat diganggu gugat.
Semua tindakan pemerintahan yang dilakukan oleh Kepala Negara dipertanggungjawabkan
oleh Kabinet atau Menteri yang bersangkutan. Sebaliknya negara dengan sistem presidential
hanya mengenal satu jenis eksekutif yaitu eksekutif riil. Kekuasaan eksekutif
riil dalam sistem presidential ada pada Kepala Negara. Jadi Kepala Negara
adalah juga kepala pemerintahan.
3. Constitutional Government
Diartikan
bahwa pemerintah (eksekutif) melaksanakan hak dan kewenangannya berdasarkan
yang diatur dalam konstitusi. Merupakan prinsip pokok sebagai unsur dari Negara
hukum modern (modern constitutional state).
Sebagai bagian dari “modern constitutional state”, maka Presiden
sebagai penyelenggara Negara hak dan kewenangannya harus berdasarkan
konstitusi. Pengertian “constitutional
government” hanya merujuk kepada kedudukan eksekutif (dalam hal ini Presiden).
Seperti diuraikan dalam Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, bahwa
Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan
pemerintahan Presiden menurut UUD 1945 tersebut menimbulkan beberapa hak atau
kewenangan konstitusional, yaitu:
1.
Mengajukan rancangan
undang-undang kepada DPR (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 )
2.
Menetapkan Peraturan
Pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat
(2) UUD 1945);
3.
Memegang jabatan selama
lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya
untuk satu kali masa jabatan. (Pasal 7 UUD 1945 Baru);
4.
Presiden memegang
kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara
(Pasal 10).
5.
Dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain. (Pasal 11 ayat (1) Perubahan Keempat)
6.
Membuat perjanjian
internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi
kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.(Pasal 11 ayat (2) Perubahan Ketiga)
7.
Menyatakan keadaan
bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan
undang-undang.(Pasal 12)
8.
Mengangkat duta dan
konsul, Presiden memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.(Pasal 13
ayat (1) dan (2))
9.
Menerima penempatan
duta negara lain dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan
Rakyat.(Pasal 13 ayat (3))
10. Memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah
Agung.( Pasal 14 ayat (1))
11. Memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan
Perwakilan Rakyat.(Pasal 14 ayat (2))
12. Memberi gelar, tanda jasa, dan
lain-lain tanda kehormatan yang diatur dengan undang-undang.(Pasal 15)
13. Membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan
pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam
undang-undang.(Pasal 16)
14. Mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri Negara.(Pasal 17 ayat (2).
15. Membahan RUU bersama DPR (Pasal 20 ayat (2);
16. Mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk
menjadi undang-undang.(Pasal 20 ayat (4);
17. Menetapkan Perpu (Pasal 22);
18. Mengajukan RUU APBN untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan
pertimbangan DPD (Pasal 23);
19. Meresminkan anggota BPK setelah
dipilih oleh DPR dengan memperhaytikan pertimbangan DPD (Pasal 24B );
20. Menetapkan Hakim Agung yang
diusulkan oleh KY dan mendapat persetujuan DPR (Pasal 24A ayat (3);
21. Mengangkat dan memberhentikan
anggota KY (Pasal 24B ayat (3);
22. Menetapkan Hakim Konstitusi yang diajukan oleh MA, DPR dan Presiden sendiri
masing-masing tiga orang (Pasal 24C ayat (3).
4. Concentration Of Power And Responsibility Upon The
President
Rumusan kalimat tersebut ada dalam Penjelasan UUD 1945.
Pembentuk UUD 1945 ingin mempertegas bahwa kekuasaan pemerintahan (executive
power) ada pada Presiden,
dialah yang memegang kekuasaan tertinggi pemerintahan negara. Mungkin rumusan
ini ingin mempertegas sistem pemerintahan yang dianut, yaitu sistem
presidential. Oleh karena kekuasaan pemerintahan berada pada Presiden maka
Presidenlah yang bertanggungjawab atas segala tindakan pemerintahan. Menteri
adalah bawahan Presiden, karena Menteri diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden. Namun hal itu menjadi rancu apabila
dikaitkan dengan pertanggungjawaban Presiden kepada MPR, sebagaimana
dirumuskan dalam Penjelasan. Adanya pertanggungjawaban Presiden kepada MPR
mencerminkan sistem pemerintahan parlementer. Dalam Batang Tubuh UUD 1945 tercermin
sistem Pemerintahan Presidential. Padahal dalam sistem
presidential tidak dikenal adanya pertanggungjawaban ”chief executive”
kepada parlemen. Oleh karena itu sangat
beralasan apabila Penjelasan UUD 1945 tidak dimasukkan dalam pengertian UUD
1945. Dalam UUD 1945 Perubahan Aturan Tambahan, Pasal II
disebutkan bahwa UUD 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal.
5.
Checks and Balances System dan a Separate system of Government
Sistem saling mengawasi dan mengimbangi di antara
berbagai lembaga dan jabatan yang mempunyai kedudukan dan tugas yang berbeda.
Sistem saling mengawasi dan mengimbangi ini sebagai sebuah “perlawanan” dari sistem
pemisahan kekuasaan, yang ”mengharamkan” adanya intervensi atau hubungan antara
satu cabang kekuasaan dengan cabang kekuasaan yang lain. Umumnya terjadi antara
cabang kekuasaan eksekutif dan cabang kekuasaan legislatif. Hal itu terjadi,
misalnya, dalam sistem pemerintahan di Amerika Serikat, antara kekuasaan
legislatif (Kongres) dan kekuasaan eksekutif (Presiden), khususnya dalam
pembentukan undang-undang. Demikian pula dalam kekuasaan legislatif (parlemen)
itu sendiri, antara DPR dan Senat dapat terjadi checks and balances juga. Sistem checks and balances merupakan salah satu ”modifikasi”
dari konsep ”separation of powers”.
Amerika Serikat merupakan salah satu contoh negara yang
menggunakan prinsip-prinsip sistem presidential seperti tersebut di atas. Akan
tetapi oleh Charles O Jones hal itu dikritik, menurutnya sistem pemerintahan
yang dianut di Amerika Serikat adalah “a
separated system of government”, bukan “ a presidential system of government”. Amerika Serikat menganut
sistem pemisahan kekuasaan dengan prinsip “checks
and balances”, setiap kekuasan
saling kontrol dan mengimbangi satu sama lain.
Akan tetapi hal itu agak aneh, karena dalam sistem pemisahan kekuasaan itu pada
hakekatnya satu cabang kekuasaan harus terlepas dari intervensi cabang
kekuasaan lain. Sementara prinsip “checks
and balances”, justru menghalalkan adanya intervensi satu cabang kekuasaan
terhadap cabang kekuasaan lain.
6.
Hak Prerogatif
Hak prerogatif sangat dikenal dalam sistem ketatanegaraan
Inggris. Dicey merumuskan hak prerogatif sebagai: ”the residu
of discretionary or arbitrary authority which at any given time is legally left
in the hands of the Crown”.
Sebagaimana
dimaklumi, pada awalnya Inggris menganut “monarki
absolute”, kekuasaan mutlak ada pada raja. Dalam perkembangannya, berubah
menjadi monarki konstitusional, dan kekuasaan raja bergeser sedikit demi
sedikit kepada parlemen. Ada hak-hak “istimewa” yang dibiarkan pada raja
(mahkota). Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa hak
prerogatif adalah hak yang dibiarkan tetap di tangan mahkota. Sedangkan
bagian-bagian lain dari kekuasaan mutlak telah beralih ke cabang kekuasaan
lain, yaitu parlemen. Prerogatif sebagai hak atau kekuasaan residu itu terutama
dalam bidang kekuasaan eksekutif antara lain menyatakan hubungan-hubungan
internasional, melakukan peperangan dan membuat perdamaian.
Bila
demikian halnya maka Indonesia tidak mengenal hak prerogative, karena sejarah
pendirian negara NKRI tidak sama dengan kerajaan Inggris. Hak-hak Presiden di
Indonesia lebih tepat disebut hak-hak konstitusional, yaitu hak-hak yang diatur
dan ditetapkan oleh konstitusi.
7.
Impeachment
Berasal dari kata “to impeach” yang berarti
“mendakwa” karena dianggap melanggar hukum (pidana).
Black”s
Law Dictionary mendefinisikan impeachment
sebagai ”A criminal proceeding against a public officer, before a quasi
political court, instituted by a written accusation called ”articles of
impeachment”. Impeachment
diartikan sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat public
yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court.
Suatu proses impeachment dimulai
dengan adanya “articles of impeachment”, yang berfungsi sama dengan
surat dakwaan dari suatu peradilan pidana. Jadi “article impeachment”
adalah satu surat resmi yang berisi tuduhan yang menyebabkan dimulainya suatu
proses impeachment. Di Amerika
Serikat, pengaturan impeachment terdapat dalam Article 2 Section 4 yang
menyatakan, “The President, Vice President, and all civil officers of the
United States, shall be removed from office on
impeachment for and conviction of treason, bribery, or other high crimes
and misdemeanors”.
Rumusan tersebut
”diadopsi” dalam UUD 1945 Perubahan Ketiga Pasal 7A yang menyatakan:
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat
diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran
hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana
berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi
memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Ada
perbedaan proses pemakzulan di Amerika Serikat dengan di Indonesia. Di Amerika
Serikat pemakzulan tidak melibatkan badan peradilan (Supreme Court), sementara di Indonesia pemakzulan Presiden dana tau
Wakil Presiden melibatkan Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 7B UUD 1945 Perubahan Ketiga adalah sebagai berikut:
(1) Usul pemberhentian Presiden dan atau
Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuaapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan atau pendapat bahwa
Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memnuhi syarat sebagai Presiden dan
atau Wakil Presiden.
(2)
Pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Pengajuan
permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4)
Mahkamah
Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya
terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh
hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah
Konstitusi.
(5)
Apabila
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan atau
terbukti bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat
menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden
dan atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6)
Majelis
Permusyawartatan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7)
Keputusan
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden Presiden dan
atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan
disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah
Presiden dan atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan
dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
8. Quasi Presidential atau Hybrid System
Sistem quasi
presidential disebut pula sistem
Presidential semu. Sistem pemerintahan seperti di Republik Kelima
Perancis. Presiden Perancis, meskipun memiliki kekuasaan eksekutif, tetapi
tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, karena yang bertanggung jawab atas
jalannya pemerintahan adalah Perdana Menteri. Presiden Perancis dipilih oleh
sebuah ”electoral college”, tetapi setelah amandemen Konstitusi tahun
1962, Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Contoh lain mengenai ”quasi
presidential”, dikemukakan oleh Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busro, yang
mencontohkan sistem pemerintahan negara RI berdasarkan UUD 1945 sebelum diubah.
”Dilihat dari sudut pertanggungan jawab presiden kepada MPR walaupun tidak ada
satu pasal pun dalam UUD 1945 yang mengharuskannya, agaknya yang dianut adalah
sistem parlementer. Dengan adanya
pertanggungan jawab menteri kepada presiden, maka sistem yang dianut adalah
presidential. Jadi, sistem presidentialnya tidak nyata
atau yang disebut quasi presidential.
Hal itu berbeda dengan
pendapat Usep Ranawidjaja dan Sri Soemantri, yang menurut mereka sistem
pemerintahan yang dianut oleh UUD 1945 sebelum diubah adalah sistem campuran,
karena memiliki ciri-ciri sistem presidential disatu pihak dan di pihak lain
ada ciri-ciri sistem parlementernya.
Dalam sistem
pemerintahan campuran, seperti di Perancis, Jerman, India dan Singapura,
terdapat karakter:
a) Presiden dipilih atau diangkat oleh rakyat secara langsung atau secara
tidak langsung oleh lembaga perwakilan rakyat, atau setidak-tidaknya melibatkan
peran wakil rakyat;
b) Presiden berstatus sebagai kepala negara (head of state) sedangkan yang bertanggung jawab atas jalannya
pemerintahan adalah perdana menteri sebagai kepala pemerintahan (head of government).
B.
Karakteristik Sistem Presidential
Adapun ciri-ciri
atau karakteristik sistem pemerintahan presidential, seperti dikemukakan
oleh Alan R Ball adalah:
- The President is
both nominal and political head of state (Presiden sebagai kepala negara adalah lambang (menjalankan kekuasaan
secara nominal) dan sekaligus menjalankan kekuasaan pemerintahan secara
riil/nyata).
- The president is elected not by the
legislature, but directly by the total electorate (the Electoral College
in the United States is formality, and is likely to disappear in the near
future. The president is not part of legislature, and he cannot be removed
from office by the legislature except through rare legal impeachments (Presiden
tidak dipilih oleh badan legislative, tetapi secara langsung dipilih oleh
sejumlah pemilih, yang di Amerika Serkat secara formal disebut “badan
pemilih”. Presiden bukan bagian dari badan legislative, dan
dia tidak dapat diberhentikan dari jabatannya oleh badan legislative
kecuali dituntut secara hukum).
- The president cannot dissolve the
legislature and call a general election. Usually the president and the
legislature are elected for fixed terms (Presiden tidak dapat
membubarkan badan legislative dan menyelenggarakan pemilihan umum. Biasanya Presiden dan badan legislative dipilih
untuk suatu waktu tertentu).
Dalam sistem pemerintahan presidential terdapat beberapa
prinsip pokok yang bersifat universal, yaitu:
1) Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif
dan legislatif;
2) Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak
terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden saja;
3) Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya, kepala
negara adalah sekaligus merupakan kepala pemerintahan;
4) Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atau sebagai bawahan yang
bertanggung jawab kepadanya;
5) Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan demikian pula
sebaliknya;
6) Presiden tidak dapat membubarkan ataupun memaksa parlemen;
7) Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen, maka
dalam sistem presidential berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu,
pemerintahan eksekutif bertanggung jawab kepada Konstitusi;
8) Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat;
9) Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer
yang terpusat pada parlemen.
Sementara itu, dalam sistem pemerintahan presidential
yang bersifat murni dicirikan oleh:
1) Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
eksekutif tunggal;
2) Dalam kedudukan sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara itu
terkandung pula status kepala negara (head
of state), sehingga kedudukan kepala negara (head of state) dan kepala pemerintahan eksekutif (head of government) menyatu secara tidak
terpisahkan dalam jabatan presiden;
3) Presiden tidak diangkat atau dipilih oleh lembaga perwakilan rakyat;
4) Presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga perwakilan rakyat, sehingga
tidak dapat dijatuhkan oleh parlemen karena alasan politik;
5) Presiden memangku jabatannya selama kurun waktu yang tetap (fixed term), misalnya di Amerika Serikat
ditentukan untuk waktu empat tahun, di Indonesia lima tahun dan sesudahnya
hanya dapat dipilih lagi untuk satu periode berikutnya;
6) Presiden hanya dapat diberhentikan dari jabatannya melalui prosedur yang
dikenal dengan ”impeachment” karena
alasan pelanggaran hukum sebagaimana ditentukan dalam undang-undang dasar.
C.
Penerapan Sistem Presidential Di Indoesia
1. Sistem Pemerintahan Berdasarkan Rumusan Pasal-Pasal UUD 1945 Asli
Pasal-pasal dalam UUD
1945 Asli yang mencirikan sistem pemerintahan adalah Pasal 4 ayat (1), Pasal 5
ayat (1), Pasal 5 ayat (2), Pasal 7, Pasal 10 sampai dengan Pasal 15, Pasal 17.
Termasuk pula penjelasan pasal-pasal tersebut Ditambah lagi beberapa ketentuan
dalam Penjelasan Umum UUD 1945 angka III butir 3, tentang Sistem
Pemerintahan Negara. Secara lengkap rumusan pasal-pasal tersebut adalah:
Pasal/ayat
|
Rumusan
|
4 ayat (1)
|
Presiden
Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang
Dasar.
|
5 ayat (1)
|
Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.
|
5
ayat (2)
|
Presiden menetapkan
peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.
|
Penjelasan Pasal 4 dan pasal
5 ayat 2 dan Pasal 5 ayat (1)
|
Presiden
ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Untuk menjalankan
undang-undang, ia mempunyai kekuasaan untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir
reglementair).
Kecuali
executive power, Presiden bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat
menjalankan legislative power dalam negara.
|
7
|
Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya
dapat dipilih kembali.
|
10
|
Presiden
memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan
Udara.
|
11
|
Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat
perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.
|
12
|
Presiden
menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya
ditetapkan dengan undang-undang.
|
13
|
(1)
Presiden mengangkat duta dan konsul.
(2) Presiden
menerima duta negara lain.
|
14
|
Presiden memberi grasi,
amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
|
15
|
Presiden
memberi gelaran, tanda jasa dan lain-lain tanda kehormatan.
|
Penjelasan
Pasal-pasal: 10,11,12,13,14,15
|
Kekuasaan-kekuasaan
Presiden dalam pasal-pasal ini ialah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai
Kepala Negara.
|
17
|
(1) Presiden
dibantu oleh menteri-menteri negara.
(2)
Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.
(3)Menteri-menteri
itu memimpin departemen pemerintahan.
|
Apabila memperhatikan
rumusan pasal-pasal tersebut beserta penjelasannya, maka sistem pemerintahan
yang dianut adalah sistem pemerintahan Presidential, karena Presiden
berkedudukan sebagai kepala pemerintahan (chief
executive) sekaligus sebagai kepala Negara (head of state). Masa jabatan Presiden ditentukan selama lima tahun
(fixed executive) dan menteri-menteri
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Dikatakan fixed executive karena masa
jabatannya ditetapkan untuk suatu waktu tertentu, misalnya empat tahun, lima
tahun atau enam tahun. Kemudian, Presiden memiliki dua kedudukan atau fungsi,
yaitu sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan.
Namun, ada ketentuan yang
mengaburkan sistem pemerintahan presidential tersebut, yaitu dengan adanya
ketentuan Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan: Presiden dan Wakil Presiden dipilih
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak.” Karakter kepala pemerintahan dipilih oleh parlemen
(MPR) mengidentifikasikan ciri sistem pemerintahan parlementer. Karakter
tersebut diperkuat dengan keterangan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 angka III
butir 3, yang menyatakan:
“Kedaulatan Rakyat dipegang
oleh suatu badan, bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan
seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatsvolkes). Majelis
ini menetapkan Undang-Undang Dasar dan menetapkan garis-garis besar haluan
negara.
Majelis ini mengangkat
Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis
inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus
menjalankan haluan negara menurut garisgaris besar yang telah ditetapkan oleh
Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggung
jawab kepada Majelis. Ia ialah “mandataris” dari Majelis. Ia berwajib
menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben”, akan tetapi “untergeordnet”
kepada Majelis.”
Dari uraian di atas
ternyata bahwa Presiden memiliki tiga kedudukan atau predikat, yaitu sebagai
Kepala Pemerintahan, Kepala Negara dan Mandataris MPR”. Selain itu, atas dasar
ciri-ciri yang dirumuskan dalam pasal-pasal dan penjelasan umum maupun
penjelasan pasal-pasal tersebut, ternyata bahwa UUD 1945 Asli memiliki
ciri-ciri sistem pemerintahan presidential di satu pihak dan ciri-ciri sistem
pemerintahan parlementer di pihak lain. Oleh karena itu adalah wajar kalau Usep
Ranawidjaja dan Sri Soemantri menyebutnya sistem pemerintahan campuran, karena
ada unsur-unsur sistem pemerintahan presidential dan unsur-unsur sistem
pemerintahan parlementer. Ada juga yang menyebutnya “hybrid system” atau “mixed
system”.
2. Pergeseran dari Presidential ke Parlementer dan
sebaliknya.
Dalam perjalanan waktu,
sejarah sistem pemerintahan Indonesia telah terjadi pergeseran. Kedudukan dan
kekuasaan Presiden mengalami pasang dan surut, berubah-ubah, walaupun UUD 1945
tetap berlaku dan tidak diubah. Setelah UUD 1945 disahkan oleh PPKI pada
tanggal 18 Agustus 1945 lembaga-lembaga negara yang ada adalah Presiden, Wakil
Presiden, KNIP beserta Badan Pekerjanya, badan-badan kehakiman peninggalan
zaman Hindia Belanda. Fungsi-fungsi lembaga-lembaga negara yang ditetapkan
dalam UUD 1945 dijalankan oleh lembaga-lembaga yang sudah ada tersebut. Pada
periode pertama berlakunya UUD 1945 yaitu tanggal 18 Agustus 1945, sistem
pemerintahan yang dianut berdasarkan kepada ketentuan Pasal IV Aturan
Peralihan, yang menyatakan:
“
Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala
kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.”
Berdasarkan kepada
ketentuan tersebut maka kekuasaan MPR, DPR dan DPA dijalankan oleh Presiden.
Dengan kata lain Presiden menjalankan kekuasaan legislatif (MPR dan DPR),
kekuasaan eksekutif yang dimiliki oleh Presiden sendiri dan kekuasaan sebagai
penasehat. Oleh karena itu, Achmad Sanusi, misalnya menyatakan bahwa kekuasaan
Presiden meliputi:
a.
Presiden adalah
pelaksana kedaulatan rakyat,
b.
Presiden berwenang
menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar,
c.
Presiden berwenang menetapkan
garis-garis besar haluan negara,
d.
Presiden melaksanakan
kekuasaan pemerintahan,
e.
Presiden membuat segala peraturan
undang-undang.
Mengenai sistem
pemerintahan yang pernah berlaku di Indonesia, khususnya pada saat berlakunya
UUD 1945 periode 18 Agustus 1945 hingga 27 Desember 1949, terdapat berbagai
versi. Dari rumusan ketentuan hukum yang termuat dalam Aturan Peralihan Pasal
IV tersebut dan kenyataan yang berlaku saat itu maka Achmad Sanusi tidak
ragu-ragu untuk menyatakan bahwa Presiden merupakan satu-satunya penguasa tertinggi tunggal.
Kekuasaan negara terpusat pada Presiden secara mutlak (absolut) dan oleh karena
negara sedang dalam keadaan revolusi, maka sifat pemerintahan saat itu
dikatakan bersifat revolusioner. Dengan demikian Achmad Sanusi menyebut sistem
pemerintahan pertama, sejak berlakunya UUD 1945 hingga keluarnya Maklumat
Presiden tanggal 16 Oktober 1945 adalah sistem pemerintahan yang dipusatkan
secara mutlak dan bersifat revolusioner (revolutionary
and absolutely centralized governmental system).
Pendapat tersebut didasarkan kepada ajaran ”situasionsgebundenkeit”,
yaitu keadaan darurat serta suasana yang abnormal (revolusi).
Ketentuan Pasal IV
Aturan Peralihan tersebut telah memberikan kekuasaan (delegatie van macht) atau hak-hak tertinggi kepada Presiden, karena
lembaga-lembaga negara yang seharusnya ada belum terbentuk sehingga
fungsi-fungsinya dijalankan oleh Presiden sendiri dengan dibantu oleh KNIP.
Dengan demikian kekuasaan pemerintahan secara mutlak terpusat pada Presiden. Presiden
menjalankan kekuasaan MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat, berwenang
menetapan dan mengubah UUD, dan menetapkan garis-garis besar daripada haluan
negara). Selain itu Presiden juga menjalankan kekuasaan legislasi DPR,
membentuk undang-undang dan menetapan APBN, menetapkan Perpu, menetapkan
Peraturan Pemerintah, dan lain sebagainya yang ditetapkan dalam UUD 1945.
AK Pringgodigdo
menyatakan bahwa sistem pemerintahan saat itu adalah sistem presidential yang
otokratis (autocratische presidentiele
stelsel). Secara tepat AK
Pringgodigdo mengemukakan:”.. maka boleh dikatakan bahwa Presiden dengan sah
dapat bertindak sebagai diktator, karena ”bantuan” bantuan Komite Nasional sama
sekali tidak dapat diartikan suatu pengekangan atas kekuasaannya..”
FR Bohtlink (sarjana Belanda) menyebutkan bahwa sistem pemerintahan
berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 adalah sistem pemerintahan
Presidential atau lebih dikenal dengan sebutan ‘het Presidential stelsel van Overgangsbepaling IV van de Grondwet’,
yaitu sistem pemerintahan Presidential berdasarkan ketentuan Pasal IV Aturan
Peralihan.
Sementara itu Usep Ranawidjaja menggolongkan sistem yang dianut UUD 1945
adalah sistem pemerintahan campuran, yaitu mengandung segi parlementer di satu
pihak dan mengandung sistem presidential di pihak lain. Adanya
pertanggungjawaban eksekutif (Presiden) kepada badan legislatif (MPR sebagai
badan legislatif tertinggi di atas DPR), adalah hakikat dari sistem
pemerintahan parlementer. Segi presidentialnya terletak dalam ketentuan yang
menetapkan bahwa badan eksekutif merupakan jabatan yang terdiri atas satu unsur
saja (Presiden) dan dipangku oleh seseorang (jabatan perseorangan), sedangkan
Menteri-Menteri hanya merupakan pembantu-pembantu yang bertanggung jawab kepada
Presiden.
Dalam menetapkan
kedudukan dan fungsi yang dijalankan oleh Presiden menurut ketentuan Pasal IV
Aturan Peralihan tersebut terdapat dua pandangan yang berbeda, karena
penafsiran atas kata-kata ”dengan bantuan Komite Nasional”. Usep Ranawidjaja mengartikan
kata ”bantuan” sebagai ”bersama-sama”. Dalam artian ini maka sifat bantuan
Komite Nasional kepada Presiden adalah
mengikat. Pendapat lain, seperti dikemukakan oleh AK Pringgodigdo, mengartikan
kata ”bantuan” dalam ketentuan di atas sebagai sesuatu yang tidak mengikat.
Pengertian ini menimbulkan makna bahwa kekuasaan-kekuasaan MPR, DPR, dan DPA
terpusat pada Presiden, Komite Nasional hanya sebagai ”pembantu” yang kurang
berperan. Jadi kekuasaan Presiden sangat mutlak.
Para perumus UUD 1945 (the founding fathers and mothers)
demikian pula para anggota KNIP menyadari bahwa berhubung dengan keadaan negara
saat itu perlu adanya pemberian kekuasaan yang besar diberikan kepada Presiden.
Di lain pihak ada
kelompok yang merasa khawatir akan timbulnya pemerintahan diktator, yang
dianggap sebagai suatu bentuk yang dibenci oleh kebanyakan negara di dunia
setelah Perang Dunia ke-2. Kekhawatiran semacam itu merasuk pula pada beberapa
orang anggota KNIP yang kemudian mereka mengusulkan agar dikeluarkan suatu pernyataan
dari Pemerintah untuk mencegah kekuasaan Presiden yang sangat mutlak. Atas
dasar itu maka lahirlah Maklumat Wakil Presiden No. X(eks) tertanggal 16
Oktober 1945, yang isinya menetapkan bahwa:
a. KNIP, sebelum terbentuk MPR dan DPR diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan garis-garis besar haluan negara.
b. Pekerjaan KNIP sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan, dijalankan
oleh suatu Badan Pekerja yang bertanggung jawab kepada KNIP.
Secara substansial
Maklumat Wakil Presiden No. X tersebut telah mengubah isi Pasal IV Aturan
Peralihan, karena kedudukan Presiden ”tergeser” oleh KNIP. Kekuasaan legislatif
yang dimiliki MPR dan DPR beralih kepada KNIP. Dalam hubungan ini Ismail Sunny
memberikan komentar bahwa dengan adanya maklumat Wakil Presiden tersebut segala
penetapan undang-undang harus disetujui baik oleh KNIP maupun oleh Presiden.
Jadi, setelah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No.X tersebut kekuasaan
membentuk undang-undang berada pada KNIP
dan Presiden. Menurut AK Pringgodigdo adanya Maklumat Wakil Presiden No. X
berarti kemunduran besar dalam kekuasaan Presiden yang sampai kini dapat
dikatakan diktatorial. Ia (Presiden) harus membagi kekuasaan yang dimilikinya
berdasarkan Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, yaitu dari MPR (mengenai
penetapan garis-garis besar haluan negara) dan dari DPR (mengenai penetapan
undang-undang) dengan Komite Nasional atau Badan Pekerjanya.
Perubahan wewenang
tersebut membawa konsekuensi terhadap kekuasaan dalam negara, seperti diuraikan
oleh Achmad Sanusi yang merinsinya sbb:
a) Kekuasaan mutlak Presiden berakhir;
b) Kekuasaan MPR dan DPR (untuk sementara) diserahkan kepada KNIP dan
sehari-hari kepada Badan Pekerjanya;
c) Lahirlah tanggung jawab bagi Presiden kepada MPR atau Badan substitusinya
c.q. KNIP.
Dengan meminjam istilah
”pergeseran kekuasaan” dari Ismail Sunny, maka dengan adanya Maklumat Wakil
Presiden No. X telah terjadi ”pergeseran kekuasaan legislatif” yang dimiliki
oleh Presiden kepada Badan Pekerja KNIP.
Kurang lebih satu bulan
kemudian, tepatnya tanggal 14 Nopember 1945, dikeluarkan sebuah Maklumat
Pemerintah, yang berisi tentang:
1) Pertanggungjawaban Menteri (menteri) dilakukan kepada Badan Pekerja KNIP
bukan kepada Presiden;
2) Pembentukan Kabinet Sutan Syahrir pertama.
Terbitnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945
merupakan puncak dari upaya mengurangi kekuasaan Presiden yang mutlak.
Dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember merupakan realisasi dari
usul sebagian besar anggota KNIP yang disampaikan pada tanggal 11 Nopember 1945.
Jadi adanya perubahan sistem pertanggungjawaban Menteri kepada Badan Pekerja
KNIP diinginkan secara sadar oleh para anggota KNIP dan tokoh-tokoh politik
saat itu. Meskipun demikian tindakan semacam itu tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Pasal 17
UUD 1945, yang menyatakan bahwa Menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tentunya hal itu membawa konsekuensi bahwa
Menteri-menteri harus bertanggung jawab kepada Presiden, bukan kepada parlemen
(BP KNIP).
Kenyataan seperti itu,
perubahan undang-undang dasar
melalui praktik yang didasarkan pada desakan-sedakan kelompok tertentu, sesuai dengan apa yang diintrodusir oleh KC Wheare
bahwa konstitusi atau undang-undang dasar dapat berubah karena ”some primary forces”. Undang-undang
dasar dapat berubah atas desakan
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, dan dilakukan tanpa mengubah teks. Berubahnya konstitusi dengan cara
demikian karena ”the constitution is
indeed the resultant of a parallelogram of forces – political, economics, and
social – which operate at the time of its adoption.”
Jadi, berubahnya suatu aturan hukum dalam konstitusi (undang-undang dasar)
tergantung dari adanya kekuatan politik (political
forces), khususnya yang ada dalam badan perwakilan. Cara mengubahnya
mungkin dilakukan seperti ditetapkan dalam undang-undang dasar itu sendiri (formal amendment), ditafsirkan oleh
badan yudisial (judicial interpretation)
atau melalui kebiasaan ketatanegaraan (usage
and convention).
Kabinet pertama yang
dipimpin Sutan Syahrir bekerja dari 14 Nopember 1945 hingga 12 Maret 1946.
Kemudian dibentuk Kabinet Sutan Syahrir kedua dari tanggal 12 Maret 1946
hingga 2 Oktober 1946, dan dilanjutkan
dengan Kabinet Sutan Syahrir ketiga sampai 3 Juli 1947. Kabinet Syahrir ketiga
jatuh akibat dari tidak adanya persesuaian pendapat di antara partai-parati
pemerintah dalam menghadapi konsesi Syahrir dalam perundingan dengan Belanda.
Kabinet Syahrir diganti dengan Kabinet Sjarifuddin pertama tanggal 3 Juli 1947
hingga 11 Nopember 1947, kemudian dilanjutkan dengan Kabinet Syarifuddin kedua
hingga 29 Januari 1948 karena dipaksa berhent oleh penarikan menteri-menteri
dari Masyumi dari kabinet.
Pada 29 Januari 1948 hingga 20 Desember 1949 berganti lagi menjadi sistem
pemerintahan Presidential, tatkala Perdana Menteri Syarifuddin berhenti, kekuasaan
dijalankan lagi oleh Presiden Sukarno. Jadi, bergeser dari sistem parlementer
ke sistem presidential.
2. Sistem pemerintah Parlementer dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950.
Dengan diberlakukannya Konstitusi
RIS 1949 maka dengan tegas sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem
pemerintahan parlementer. Dalam Pasal 68 Konstitusi RIS 1949 diatur tentang
kedudukan Presiden dan Menteri-menteri. Presiden dan Menteri-menteri bersama-sama
merupakan Pemerintah. Kemudian dalam Pasal 69 disebutkan Presiden ialah Kepala
Negara. Kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban. Pertanggungjawaban pemerintahan secara riil ada pada
Menteri (menteri). Hal itu tersurat dalam Pasal 118 yang menyatakan:
(1)
Presiden tidak dapat
diganggu gugat.
(2)
Menteri-menteri
bertanggungjawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik bersama-sama untuk
seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu.
Jadi sudah jelas bahwa
Konstitusi RIS 1949 menganut sistem pemerintahan parlementer.
Sebagaimana
dimaklumi bahwa Konstitusi RIS 1949 hanya berjalan sekitar delapan bulan.
Dengan Undang-Undang No, 7 Tahun 1950 diberlakukan UUDS 1950. Seperti halnya Konstitusi
RIS 1949, UUDS 1950 juga menganut sistem pemerintahan parlementer. Hal itu
dapat dibuktikan dengan ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam UUDS 1950 Pasal
45 sampai dengan Pasal 52. Dari rumusan yang menyatakan Presiden adalah Kepala
Negara (Pasal 45), Presiden menunjuk seorang atau beberapa orang pembentuk
Kabinet. Sesuai dengan anjuran pembentuk Kabinet itu, Presiden mengangkat
seorang dari padanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-menteri
yang lain (Pasal 51), Presiden tidak dapat diganggu gugat (Pasal 83 ayat (1)), Menteri-menteri bertanggung jawab
atas seluruh kebijakan Pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya maupun
masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri (Pasal 83 ayat (2), dan Presiden
berhak membubarkan DPR (Pasal 84).
Keberadaan
pasal-pasal tersebut dan ditunjang dalam praktik
ketatanegaraan sehari-hari, penyelenggaraan sistem pemerintahan saat itu
menunjukkan dianutnya sistem pemerintahan parlementer. Keadaan seperti itu
berakhir sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dapat dipastikan
bahwa sejak berlakunya kembali UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
sistem pemerintahan yang diterapkan adalah sistem pemerintahan presidential.
3.
Sistem Pemerintahan sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959
hingga perubahan UUD 1945 oleh MPR.
Dekrit Presiden 5 Juli
1959 berisi:
1) Menetapkan pembubaran Konstituante;
2) Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal
penetapan Dekrit ini, dan
3) tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara;
4) Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas
Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan Utusan-utusan dari
daerah-daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung
Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Perkataan “dekrit” berasal dari perkataan Latin “decretum”
yang kemudian di dalam bahasa Prancis dikenal
dengan perkataan “decret” di dalam bahasa Inggris “decree” di
dalam bahasa Jerman “Dekret” dan di dalam bahasa Belanda “decreet”.
Di zaman Romawi perkataan “decretum” pada umumnya diartikan sebagai
suatu perintah dari pejabat-pejabat tinggi. Secara khusus perkataan itu
dipergunakan juga bagi keputusan seorang praetor
di dalam perkara perdata yang diperiksanya sendiri di luar kebiasaan: biasanya
perkara-perkara perdata diperiksa oleh hakim yang diangkat untuk pemeriksaan
perkara tertentu. Perkataan decretum
ini kemudian dipakai juga bagi
keputusan-keputusan kaisar Romawi di dalam perkara yang diperiksananya sendiri
atas permohonan yang berkepentingan di dalam instansi pertama atau dalam
tingkat appel. Keputusan-keputusan kaisar dalam hal demikian itu dinamakan “decreta
principis” dan mempunyai kekuatan undang-undang untuk soal-soal yang sama.
Melihat kepada penggunaan perkataan decretum
di zaman Romawi untuk keputusan-keputusan kaisar dan praetor seperti tersebut di atas ternyata bahwa perkataan decretum itu mempunyai arti sebagai
keputusan yang diambil di luar kebiasaan, sebagai keputusan luar biasa.
Demikian juga sekarang menurut Modern American Encyclopedia perkataan
itu harus diartikan sebagai suatu ketetapan dari penguasa mengenai suatu hal
yang sedang jadi persoalan dan harus mendapat penyelesaian secara luar biasa
karena keadaan tertentu. Begitu pula dijumpai di dalam bukunya David
Thomson, ”Democracy in France”
istilah ”to rule by decree” sebagai lawannya dari ”to rule by formal
legislation” yaitu sebagai cara presiden Perancis menjalankan
pemerintahan di masa darurat pada waktu Perang Dunia.
Dekrit Presiden
di Indonesia terjadi pada tanggal 5 Juli 1959. Dekrit tersebut dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 150
Tahun 1959 dan dimuat dalam LN No. 75 Tahun 1959. Kemudian, sebagai tindak
lanjut dari keberadaan Dekrit tersebut, Presiden mengeluarkan Penetapan
Presiden (Penpres) No. 1 Tahun 1959 tentang Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan
Penpres No. 2 Tahun 1959 (LN Tahun 1959 No. 77; TLN No. 1816) tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Setelah itu Presiden menetapkan Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1959 (LN
Tahun 1959 No. 78: TLN No. 1917) tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara
(DPAS). Dengan demikian sistem pemerintahan Indonesia setelah Dekrit Presiden
tidak mengacu lagi ke Pasal IV Aturan Peralihan, tetapi berdasarkan pasal-pasal
lain dalam batang tubuh UUD 1945.
Dalam praktik penyelenggaraan negara, pertanggungjawaban
Presiden diberikan kepada MPR(S) sesuai dengan ketentuan Penjelasan Umum UUD
1945. Meskipun UUD 1945 menganut sistem pemerintahan
presidential, tetapi Penjelasan Umum UUD 1945 tetap diberlakukan, khususnya
dalam hal pertanggungjawaban Presiden kepada MPR. Presiden (dan Wakil Presiden)
yang dipilih dan diangkat oleh MPR harus bertanggung jawab kepada MPR. Hal itu
diberlakukan pada waktu Presiden Soekarno. Soekarno yang diangkat oleh MPRS
sebagai Presiden RI seumur hidup (TAP MPRS No. III/MPRS/1963 tentang
Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Bung Karno, sebagai Presiden
Republik Indonesia seumur hidup), diberhentikan oleh MPRS pada tahun 1967. Dengan
Ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan
Negara dari Presiden Soekarno, maka berakhirlah kekuasaan Soekarno sebagai
Presiden Republik Indonesia. Dalam ketetapan tersebut dinyatakan bahwa Soekarno telah tidak
dapat memenuhi pertanggungjawaban konstitusional sebagai Mandataris MPR(S) dan
melarang melakukan kegiatan politik serta menarik mandat yang telah diberikan
oleh MPRS kepadanya. Kemudian MPRS mengangkat Soeharto, pengemban Ketetapan MPRS
No.XV/MPRS/1966, sebagai pejabat Presiden hingga dipilihnya presiden oleh MPR
hasil pemilihan umum. Bahwa pidato Presiden Soekarno tanggal 27 Maret
1966 yang berjudul “Nawaksara”, dan surat Presiden No.01/Pres/1967 tentang
Pelengkap Nawaksara, tidak memenuhi harapan rakyat (MPRS) dan oleh karenanya
ditolak oleh MPRS sehingga mengakibatkan pemberhentian Soekarno sebagai
Presiden/Mandataris MPR.
Jadi, tepat yang dikatakan oleh Usep Ranawidjaja dan Sri
Soemantri, bahwa UUD 1945 Asli menganut sistem pemerintahan campuran, karena di
satu sisi ada ciri-ciri presidential dan di sisi lain ada ciri-ciri sistem
pemerintahan parlementer.
Hal itu berlanjut pada masa Soeharto meminpin RI di zaman
Orde Baru (1967-1998), kemudian dilanjutkan oleh BJ Habibie (1998-1999), Gus
Dur atau Abdurahman Wahid (2000-2001), hingga Megawati Soekarnoputri.
Soeharto yang “lengser” pada tanggal 21 Mei 1998, lolos
dari pertanggungjawaban konstitusionalnya, karena MPR tidak mengadakan Sidang
Istimewa. MPR hanya mengadakan sidang untuk mengukuhkan BJ Habibie sebagai
Presiden menggantikan Soeharto (vide Pasal 8 UUD 1945). Namun, BJ Habibie yang
seharusnya secara konstitusional meneruskan masa jabatan presiden yang
digantikannya, yaitu berakhir hingga tahun 2003, harus berhenti sebelum
waktunya. Kebijakan BJ Habibie yang
berkaitan dengan “referéndum Timor Timur”
sehingga akhirnya lepas dari NKRI, yang dengan Ketetapan MPR No.VI/MPR/1978
telah dikukuhkan menjadi bagian dari NKRI, dan berdasarkan UU No. 7 Tahun 1979
menjadi provinsi ke-27. Presiden BJ Habibie menyampaikan
pertanggungjawaban di hadapan Rapat
Paripuna ke-8 tanggal 14 Oktober 1999 dan jawaban Presiden atas pemandangan
umum Fraksi-fraksi pada Rapat Paripurna ke 11 tanggal 17 Oktober 1999, dalam
Sidang Umum MPR tanggal 19 Oktober 1999, ditolak oleh MPR.
Namun, penolakan itu tidak disertai penetapan pemberhentian BJ Habibie sebagai
Presiden. Padahal BJ Habibie yang mengucpkan sumpah jabatan sebagai Presiden pada
tanggal 21 Mei 1998 telah menggantikan Soeharto, sesuai dengan ketentuan Pasal
8 UUD 1945.
Akibat kemerosotan pamor BJ Habibie di mata MPR, maka BJ
Habibie tidak dicalonkan lagi sebagai Presiden.
KH Abdurrahman Wahid (lebih dikenal dengan sebutan Gus
Dur), yang dipilih dan diangkat oleh MPR menjadi Presiden berdasarkan Ketetapan
MPR No. VII/MPR/1999 tertanggal 20 Oktober 1999, mengalami nasib yang sama
dengan Soekarno.
Pada saat Gus Dur dilengserkan dari jabatan Presiden maka
diberlakukan ketentuan dalam Ketetapan MPR No. III/MPR/1978 tentang Kedudukan
dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar
Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Seperti disebutkan dalam Pasal 5 yang
menyatakan:
(1) Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis dan pada akhir masa
jabatannya memberikan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Haluan negara yang ditetapkan
oleh Undang-undang Dasar atau Majelis di hadapan Sidang Majelis.
(2) Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban di hadapan Sidang Istimewa
Majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dalam
pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau
Majelis.
Kemudian Pasal 7-nya menyatakan:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat yang seluruh anggotanya adalah anggota Majelis
berkewajiban senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dalam rangka
pelaksanaan Haluan Negara.
(2) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat menganggap Presiden sungguh melanggar
Haluan Negara, maka Dewan Perwakilan Rakyat menyapaikan memorándum untuk
mengingatkan Presiden.
(3) Apabila dalam waktu tiga bulan Presiden tidak memperhatikan memorándum
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut pada ayat (2) pasal ini, maka Dewan Perwakilan
Rakyat menyampaikan memorándum yang kedua.
(4) Apabila dalam waktu satu bulan memorándum yang kedua tersebut pada ayat (3)
pasal ini, tidak diindahkan oleh Presiden, maka Dewan Perwakilan Rakyat dapat
meminta Majelis mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban
Presiden.
Sebelum MPR melakukan Sidang Istimewa, DPR menyampaikan
memorándum kepada Presiden Abdurrahman Wahid. Setelah memorándum kedua tidak
dipenuhi, maka MPR mengadakan Sidang Istimewa meminta pertanggungjawaban dari
Presiden, namun saat itu Presiden Abdurrahman Wahid tidak mau hadir, sehingga
MPR menetapkan Ketetapan MPR tentang
pemberhentian Abdurrrahman Wahid sebagai Presiden (TAP MPR No.II/MPR/2001
tertanggal 23 Juli 2001). Sebelumnya MPR mengeluarkan Ketetapan No.I/MPR/2001
tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat RI terhadap Maklumat Presiden RI
tanggal 23 Juli 2001. Dalam Maklumat Presiden tersebut berisi:
1. Membekukan MPR RI dan DPR RI;
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta
menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum dalam
waktu satu tahun;
3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru
dengan membekukan Partai Golongan Karya sambil menunggu Keputusan Mahkamah
Agung.
Kemudian dengan Ketetapan MPR No.II/MPR/2001 tentang
Pertanggungjawaban Presiden RI KH Abdurrahman Wahid, ditetapkan:
Pasal 1: Ketidakhadiran dan penolakan Presiden RI KH
Abdurrahman Wahid untuk memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR
RI tahun 2001 serta penerbitan Maklumat Presiden RI tanggal 23 Juli 2001,
sungguh-sungguh melanggar haluan negara;
Pasal 2: Memberhentikan KH Abdurrahman Wahid sebagai
Presiden RI dan mencabut serta menyatakan tidak berlaku lagi Ketetapan MPR RI
Nomor VII/MPR/1999 tentang Pengangkatan Presiden RI.
Namun, menurut Saldi Isra, sebagaimana dikutip oleh Reza
Syawawi
terdapat lima peristiwa yang dapat dijadikan alasan bagi MPR untuk mengadakan
Sidang Istimewa dalam rangka meminta pertanggungjawaban terhadap Abdurrahman
Wahid, yaitu:
- Abdurrahman Wahid pernah meminta agar Tap MPR No.
XXVMPRS/1966 tentang Pelarangan-pelarangan Penyebaran Ajaran Marxime,
Komunisme, dan Leninisme dicabut;
- Pernyataan Presiden bahwa hak interpelasi DPR merupakan
tindakan inkonstitusional. Hak interpelasi tersebut berkaitan dengan
tindakan Presiden yang memberhentikan beberapa orang menteri di
kabinetnya;
- Penggantian Kapolri Jenderal S Bimantoro kepada
Komjen (Pol) Chaeruddin Ismail yang dilakukan secara sepihak oleh Presiden
dinilai telah melanggar ketetapan MPR, karena penggantian tersebut
mengharuskan adanya persetujuan DPR;
- Adanya pernyataan Presiden bahwa semua pansus yang
ada di DPR adalah ilegal, sehingga apapun yang dihasilkan oleh pansus
tidak sah secara hukum. Hal itu terkait dengan beberapa kasus seperti
adanya indikasi keterlibatan Presiden dalam skandal bullogate dan
bruneigate;
- Penolakan Presiden terhadap dua orang calon ketua
Mahkamah Agung yang diusulkan DPR. Hal itu melanggar UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung dan ada indikasi bahwa Presiden mencoba
mengintervensi Mahkamah Agung sebagai kehakiman tertinggi yang harus bebas
dari campur tangan kekuasaan lain.
4. Sistem Pemerintahan Pasca Perubahan UUD 1945.
Setiap undang-undang
dasar atau konstitusi dari berbagai negara tidak pernah dirumuskan secara
eksplisit mengenai sistem pemerintahan yang dianut. Suatu negara menganut
sistem pemerintahan parlementer atau presidential atau sistem pemerintahan
campuran, akan terlihat dari ciri-ciri atau karakteristik yang dirumuskan dalam
pasal-pasal undang-undang dasarnya. Hal itu akan terlihat dari kedudukan, hak
dan wewenang Presiden dan atau Perdana Menteri atau menteri-menterinya,
sebagaimana ciri-ciri yang melekat pada jabatan-jabatan tersebut.
Dalam UUD 1945
Perubahan, terdapat beberapa karakter sistem pemerintahan yang dianut
Indonesia. Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD (Pasal 4). Presiden dan Wakil Presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat (1)). Presiden
dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat
dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan
(Pasal 7). Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat (Pasal 7C). Presiden sebagai kepala Negara yang menjalankan
kekuasaan-kekuasaan seperti diatur dalam Pasal 10 s/d 15. Apabila memperhatikan
ciri-ciri atau karakter tersebut maka tersimpul adanya sistem pemerintahan
Presidential.
Akan
tetapi ada karakter lain dalam ketentuan Pasal-pasal lain yang mencirikan
sistem pemerintahan parlemenenter. Sebagai misal dalam hal penerimaan dan
pengangkatan duta, Presiden harus mendapat pertimbangan dari DPR (Pasal 13).
Dalam memberikan amnesti dan abolisi, Presiden harus memperhatikan pertimbangan
DPR (Pasal 14). DPR memiliki fungsi lgislasi, fungsi anggaran dan fungsi
pengawasa. Dalam menjalankan fungsinya DPR dilengkapi dengan berbagai hak
seperti hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat (Pasal20A).
Dengan fungsi dan hak-haknya tersebut, kedudukan DPR menjadi sangat kuat, meskipun
pelaksanaan hak-hak tersebut belum memungkinkan Presiden dan atau Wakil
Presiden dapat diberhentikan. Namun setidak-tidaknya dengan ketentuan-ketentuan
yang ada telah menggeser fenomena “executive
heavy” menjadi “legislative heavy”.
Khusus
dalam pembentukan undang-undang, peran DPR sangat kuat. DPR lah yang memegang
kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20 ayat (1)). RUU yang telah disetujui
bersama harus disahkan oleh Presiden. Jika Presiden tidak mengesahkan RUU
tersebut dalam tigapuluh hari maka RUU menjadi undang-undang dan wajib
diundangkan (Pasal 20 ayat (3). Meskipun ada ketentuan bahwa RUU yang tidak
mendapat persetujuan bersama tidak boleh dimajukan lagi dalam persidangan DPR
saat itu (Pasal 20 ayat 2). Muncul pertanyaan: apakah dengan tidak
ditandatanganinya RUU tsb oleh Presiden berarti bahwa RUU tidak mendapat
persetujuan bersama, dan wajib “dipending”? Rumusan tersebut menggambarkan bahwa
kedudukan DPR lebih dominan dari pada Presiden. Dominasi tersebut mencerminkan
karakter system pemerintahan parlementer.
Rumusan-rumusan
pasal di atas lebih mencirikan sistem pemerintahan parlementer. Selain itu
rumusan Pasal 20 lebih mencirikan “separation
powers” ketimbang “division of powers”,
sementara para pendiri negara mengharapkan UUD 1945 tidak berakar pada sistem
pemisahan kekuasaan sebagaimana dilansir oleh Trias Politika. MPR pada saat
melakukan perubahan berkeinginan agar hubungan antar lembaga negara, khususnya
hubungan antara Presiden dan DPR, terdapat hubungan saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances). Namun,
rumusan Pasal 20 (5) sama sekali tidak menggambarkan konsep checks and balances, karena Presiden tidak memiliki hak tolak. Rumusan
Pasal 20 ayat (5), ”memaksa” Presiden untuk mau tidak mau
menandatangani RUU yang telah dibahas oleh DPR bersama Menteri (Pemerintah)
tidak mencerminkan prinsip ”checks and
balances”. Seharusnya, jika konsepsi”checks
and balances” diterapkan, maka Presiden diberi wewenang untuk menolak RUU
(memveto) dengan alasan yang dapat
diterima secara logis. Bila hal itu terjadi maka DPR dapat melakukan pembahasan
ulang (reconsideration) dan melakukan
voting untuk tetap bertahan pada pendiriannya atau menerima
pertimbangan-pertimbangan dari Presiden.
Hal
itu berbeda dengan apa yang terjadi di Amerika Serikat, dalam Article One Section Seven Konstitusi
Amerika Serikat dinyatakan:
Every bill which shall have passed the
House of Representatives and the Senate shall, before it becomes a law, be
presented to the President of the United States; if he approve, he shall sign
it, but if not, he shall return it, with his objections, to that House in which
it shall have originated, who shall enter the objections at large on their
journal, and proceed to reconsider it. If after reconsideration two-thirds of
that House shall agree to pass the bill, it shall be sent, together with the
objections, to the other House, by which it shall likewise be reconsidered, and
if approved by two-thirds of that house, it shall become a law. But in all such
cases the votes of both Houses shall be determined by yeas and nays, and the
names of the persons voting for and against the bill shall be entered on the
journal of each House respectively. If any bill shall not be returned by the
President within ten days (Sundays excepted) after it shall have been presented
to him, the same shall be a law in like manner as if he had signed it, unless
the Congress by their adjournment prevent its return, in which case it shall
not be a law.”
Uraian di atas
menggambarkan penerapan konsepsi ”checks and balances” secara konsekuen,
tidak setengah-setengah. UUD 1945 Perubahan masih memperlihatkan ciri-ciri
sistem pemerintahan parlementer, meskipun tidak murni, dan konsepsi ”checks and balances” yang
setengah-setengah. Ada bau-bau ”separation
of powers” yang tidak jelas alias abu-abu.
Sekedar Komentar
MPR
sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD 1945 perlu
mempertegas dan memperjelas, arah dari sistem pemerintahan yang dianut oleh
Indonesia, apakah ”sistem sendiri” seperti dikehendaki oleh para pendiri negara
atau mau ”menjiplak” konsepsi yang diterapkan negara lain. Tetapkanlah sistem
pemerintahan Indonesia sesuai dengan karakter yang dimiliki bangsa Indonesia,
bukan berkaca pada karakter bangsa lain yang belum tentu cocok.
_______________
Strong
CF, Modern Political Constitutions, An
introduction to the comparative study of their history and existing form,
The English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London,
1966 p. 233-234.
Jimmly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia, Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, hlm 336-352.
Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi
suatu Negara, penyunting H.Mashudi,SH.MH dan Kuntana Magnar,SH.MH,
Mandar Maju, Bandung, 1995. hlm 76-77
Usep Ranawidjaja, Hukum
Tata
Negara Indonesia, Dasar-dasarnya, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, hlm
223
Pamudji, Perbandingan
Pemerintahan, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hlm 70