WEWENANG
MAHKAMAH AGUNG
MENGUJI
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh: Rosjidi Rangawidjaj
Pendahuluan
Perdebatan
mengenai hak menguji peraturan perundang-undangan (khususnya hak menguji
undang-undang) pernah terjadi pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Perdebatan antara Muhammad Yamin
dengan Soepomo mengenai keberadaan atau perlu tidaknya hak menguji (material)
diatur dalam undang-undang dasar 1945, terjadi ”cukup serius”. Muhammad Yamin
pernah mengusulkan agar dalam UUD 1945
ditetapkan kewenangan untuk menguji peraturan undang-undangan kepada Mahkamah Agung (Muhammad Yamin
menyebutnya dengan istilah Balai Agung), namun usul tersebut ditolak oleh
Soepomo. Namun perdebatan tersebut tidak
berlanjut, dan akhirnya ”dipending”.
Pemberian
wewenang kepada Mahkamah Agung untuk menguji peraturan perundang-undangan
pertama kali ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal itu diatur dalam Pasal
26 yang menyatakan:
(1)
Mahkamah Agung berwenang untuk menyatakan tidak sah semua
peraturan-peraturan dari tingkat yang lebih rendah dari Undang-undang atas
alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(2) Putusan tentang pernyataan tidak
sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan
pemeriksaan dalam tingkat kasasi.
Pencabutan dari peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah
tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 26 tersebut
menyatakan:
Mahkamah Agung berhak untuk menguji peraturan yang lebih
rendah dari Undang-undang mengenai sah tidaknya suatu peraturan atau
bertentangan tidaknya dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak mengujinya
berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung mengambil putusan suatu peraturan
perundang-undangan dari tingkatan yang lebih rendah dari Undang-undang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan
Mahkamah Agung secara tegas menyatakan bahwa peraturan tersebut adalah tidak sah
dan tidak berlaku untuk umum. Pencabutan
peraturan ini segera harus dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia hak menguji
Undang-undang dan peraturan pelaksanaan Undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar sebagai fungsi pokok tidak terdapat pada Mahkamah Agung. Oleh karena
Undang-undang Dasar 1945 tidak mengaturnya, maka tidak dengan sendirinya hak
menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Agung dapat
diletakkan dalam Undang-undang ini. Hak menguji tersebut apabila hendak
diberikan kepada Mahkamah Agung seharusnya merupakan ketentuan Konstitutionil.
Demikian pula, MPR(S) hingga sekarang tidak menetapkan hak menguji oleh
Mahkamah Agung. Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang-undang Dasar 1945
dan dalam Ketetapan MPR(S) yang dapat mengaturnya sebagai suatu perwujudan dari
hubungan hukum antara alat perlengkapan Negara yang ada dalam Negara, berarti
bahwa Undang-undang ini tidak dapat memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan
hak menguji, apalagi secara materiil Undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar. Hanya Undang-undang Dasar ataupun Ketetapan MPR(S) dapat memberikan
ketentuan.
Dari rumusan Pasal 26 dan penjelasan
UU No. 14 Tahun 1970 tersebut dapat disimpulkan bahwa:
a.
Hak
menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Agung
seharusnya merupakan ketentuan Konstitutionil, atau setidak tidaknya diatur
dalam ketetapan MPR(S).
b.
Mahkamah
Agung hanya berhak untuk menguji peraturan yang lebih rendah dari Undang-undang.
Kongkritnya: Mahkamah Agung hanya berwenang menguji Peraturan Pemerintah ke
bawah menurut tata urutan peraturan perundang-undangan.
c.
Putusan
diambil pada tingkat kasasi.
d.
Putusan
mengenai tidak sahnya suatu peraturan dan tidak
berlaku untuk umum karena bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
e.
Pencabutan
peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut segera harus dilakukan oleh
instansi yang bersangkutan.
Pada tahun 1978 MPR mengeluarkan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor
III/MPR/1978 Tentang Kedudukan Dan
Hubungan Tata-Kerja Lembaga Tertinggi Negara Dengan/Atau Antar Lembaga-Lembaga
Tinggi Negara. Dalam Pasal 11 Ketetapan MPR tersebut ditetapkan:
(1) Mahkamah Agung adalah Badan yang
melaksanakan Kekuasaan Kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya, terlepas dari
pengaruh kekuasaan Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya.
(2) Mahkamah Agung dapat memberikan
pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak, kepada
Lembaga-lembaga Tinggi Negara.
(3) Mahkamah Agung memberikan nasehat hukum kepada
Presiden/Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi.
(4) Mahkamah Agung mempunyai wewenang
menguji secara materiil hanya terhadap peraturan-peraturan perundangan di bawah
Undang-undang.
Ketentuan
dalam ketetapan MPR tersebut pada dasarnya hanya mempertegas pemberian wewenang
untuk menguji secara materiil peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang, sebagaima telah ditetapkan dalam UU No. 14 Tahun 1970.
UU NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1965 TENTANG PENGADILAN DALAM LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN
MAHKAMAH AGUNG. Sebagai kelanjutan dari “perintah” UU Mo. 14 Tahun 1970, DPR
bersama Pemerintah (Presiden) membentuk UU No. 14 Tahun 1986 tentang Mahkamah
Agung. UU No. 14 Tahun 1986 menetapkan:
Pasal
31
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji
secara materiil hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah ini
Undang-undang
(2)
Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan
dari tingkat yang lebih rendah daripada Undang-undang atas alasan bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3)
Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut
dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Pencabutan
peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut, dilakukan
segera oleh instansi yang bersangkutan.
Penjelasan
Pasal 31
Ayat
(1) Pasal ini mengatur hak menguji materiil Mahkamah Agung. Mahkamah Agung
berhak menguji peraturan yang lebih rendah daripada undang-undang mengenai sah
atau tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya suatu peraturan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Ayat
(2) Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak menguji berdasarkan pasal ini, maka
Mahkamah Agung mengambil putusan bahwa suatu peraturan perundang-undangan dari
tingkatan yang lebih rendah daripada Undang- undang bertentangan dengan
peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi dan Mahkamah Agung secara tegas
menyatakan bahwa peraturan tersebut tidak sah dan tidak berlaku untuk umum.
Bila
dihayati secara seksama, apa yang dirumuskan dalam Pasal 31 UU No.14 Tahun 1985
isinya tidak berbeda dengan yang dirumuskan dalam UU No. 14 Tahun 1970.
UU NOMOR 5 TAHUN 2004
TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG
Pasal 31
(1) Mahkamah
Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang terhadap undangundang.
(2) Mahkamah
Agung menyatakan tidak sah peraturan perundangundangan di bawah undang-undang
atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) Putusan
mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi
maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
(4) Peraturan
perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(5) Putusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak
putusan diucapkan.
Pasal 31A
(1) Permohonan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan
langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung, dan dibuat secara
tertulis dalam bahasa Indonesia. Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a. nama dan alamat pemohon; b.
uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, dan wajib menguraikan
dengan jelas bahwa: 1) materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundangundangan dianggap bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(3) c. hal-hal yang diminta untuk
diputus. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya
tidak memenuhi syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima. Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan
menyatakan permohonan dikabulkan. Dalam hal permohonan dikabulkan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam hal
peraturan perundang-undangan tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam
pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak. Ketentuan lebih
lanjut mengenai pengujian peraturan perundang- undangan di bawah undang-undang
diatur oleh Mahkamah Agung.
UU NOMOR 3 TAHUN 2009
TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH
AGUNG
Pasal 31A
(1) Permohonan pengujian
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah Agung dan dibuat
secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya
dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang,
yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau c.
badan hukum publik atau badan hukum privat.
(3) Permohonan sekurang-kurangnya
harus memuat: a. nama dan alamat pemohon; b. uraian mengenai perihal yang
menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa: 1. materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang
lebih tinggi; dan/atau 2. pembentukan peraturan perundang-undangan tidak
memenuhi ketentuan yang berlaku; dan c. hal-hal yang diminta untuk diputus.
(4) Permohonan pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
(5) Dalam hal Mahkamah Agung
berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi syarat, amar
putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
(6) Dalam hal Mahkamah Agung
berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan permohonan
dikabulkan.
(7) Dalam hal permohonan
dikabulkan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), amar putusan menyatakan dengan
tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(8) Putusan Mahkamah Agung yang
mengabulkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) harus dimuat dalam
Berita Negara atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal putusan diucapkan.
(9) Dalam hal peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam
pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
(10) Ketentuan mengenai tata cara
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dengan
Peraturan Mahkamah Agung."
Pasal
24A (1) UUD 1945 Perubahan Ketiga mengatribusikan wewenang kepada, yaitu: Mahkamah
Agung berwenang mengadili pada tingkatan kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
oleh undang-undang.
Dengan adanya perubahan Undang-Undang
Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, diubah kembali dengan UUi
Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Tentang Mahkamah Agung. Dalam perubahan undang-undang tersebut
ditetapkan:
1.
Permohonan
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap
undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada Mahkamah
Agung dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Pasal 31A (1)
2.
Permohonan dimaksud hanya dapat dilakukan oleh pihak
yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan
di bawah undang-undang, yaitu:
a.
perorangan
warga negara Indonesia;
b.
kesatuan
masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang; atau
c.
badan
hukum publik atau badan hukum privat.
3.
Permohonan
sekurang-kurangnya harus memuat:
a.
nama
dan alamat pemohon;
b.
uraian
mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas
bahwa: 1. materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan
peraturan perundangundangan yang lebih tinggi; dan/atau 2. pembentukan
peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
c.
hal-hal
yang diminta untuk diputus.
4.
Permohonan
pengujian sebagaimana dimaksud dilakukan oleh Mahkamah Agung paling lama 14
(empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
5.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemohon atau permohonannya tidak memenuhi
syarat, amar putusan menyatakan permohonan tidak diterima.
6.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan beralasan, amar putusan menyatakan
permohonan dikabulkan.
7.
Dalam
hal permohonan dikabulkan amar putusan menyatakan dengan tegas materi muatan
ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi.
8.
Putusan
Mahkamah Agung yang mengabulkan permohonan harus dimuat dalam Berita Negara
atau Berita Daerah paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
putusan diucapkan.
9.
Dalam
hal peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan
dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
10. Ketentuan mengenai tata cara
pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang diatur dengan
Peraturan Mahkamah Agung.
Dari uraian di atas dapat ditarik
beberapa kesimpulan bahwa Mahkamah Agung selain dapat menguji secara material
juga dapat menguji secara formal, ditetapkannya adal legal standing, permohonan
harus memuat hal-hal yang sangat jelas, ada batas waktu penyeledsaian
permohonan oleh Mahkamah Agung, bahwa putusan MA harus dimuat dalam Berita
Negara atau Berita Daerah paling lama 30 hari kerja sejak yanggal putusan
diucapkan, mengenai tata cara pengujian peraturan perundang-undangan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Mahkamah Agung.Dalam hubungan ini Mahkamah Agung telah
menetapan empat hukum acara, yaitu yang diatur dalam Perma No.1 Tahun 1993, No.
1 Tahun 1999,No. 1 Tahun 2004,dan No. 1
Tahun 2011.
Di bawah ini
diuraikan secara matriks perbedaan dari keempat hukum acara yang diatur dalam
peraturan-peraturan Mahkamah Agung tersebut.
Topik
|
Perma No. 1 - 1993
|
Perma No. 1 - 1999
|
Perma No. 1 - 2004
|
Perma No. 1 -2011
|
Penggugat/Pemohon
|
Tidak
disebut
|
Penggugat adalah seseorang, badan
hukum, kelompok masyarakat yang mengajukan gugatan Hak Uji Materiil kepada
Mahkamah Agung.
(Pasal
1)
|
Pemohon Keberatan adalah kelompok
masyarakat atau perseorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada
Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat
lebih rendah dari undang-undang (Pasal 1)
|
Pemohon Keberatan adalah kelompok
masyarakat atau perseorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada
Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat
lebih rendah dari undang-undang.
(Pasal 1)
|
Tergugat/Termohon
|
Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang telah mengeluarkan menerbitkan atau mengumumkan peraturan
perundang-undangan (Pasal 1)
|
Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang digugat.(Pasal 1)
|
Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1)
|
Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. (Pasal 1)
|
Tenggang
waktu pengajuan gugatan/permohonan
|
|
Gugatan diajukan
dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak berlakunya
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. (Pasal 2 ayat 4)
|
Permohonan Keberatan diajukan
dalam tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.(Pasal 2)
|
Dicabut/ditiadakan
(konsiderans menimbang)
|
Tata
cara pengajuan gugatan/permohonan keberatan
|
a.
diajukan
langsung ke Mahkamah Agung
b.
melalui Pengadilan tingkat pertama yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat
(Pasal
1)
|
a.langsung ke
Mahkamah Agung;
b.melalui
Pengadilan Negeri di wilayah hukum tempat kedudukan tergugat.
(Pasal 5 ayat 4)
|
a.
Langsung
ke Mahkamah Agung; atau
b.
Melalui
Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon.
(Pasal 2)
|
a.
Langsung
ke Mahkamah Agung; atau
b.
Melalui
Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon.
(Pasal 2)
|
Putusan
Gugatan Hak Uji
|
a.
Majelis Hakim peradilan tingkat pertama dan tingkat banding yang memeriksa
dan memutuskan tentang gugatan Hak Uji Materiil itu, dapat menyatakan
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan perundang-undangan yang
lebih tinggi tidak mempunyai akibat hukum dan tidak mengikat pihak-pihak yang
berperkara.
b.
Bila Majelis Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu beralasan, maka
Majelis Mahkamah Agung mengabulkan gugatan tersebut dan menyatakan bahwa
peraturan perundang-undangan yang digugat tersebut sebagai tidak sah karena
bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi.
(Pasal
3)
|
a.Dalam hal Mahkamah
Agung berpendapat bahwa gugatan itu beralasan, karena peraturan
perundang-undangan dimaksud bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan
tersebut.
b.Mahkamah Agung
dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang digugat
tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan
dengan segera pencabutannya kepada instansi yang bersangkutan.
c.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan itu tidak beralasan, Majelis
Hakim Agung menolak gugatan tersebut.
(Pasal 9)
|
a.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan,
karena peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan
Undang-undang atau peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi,
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut.
b.
Mahkamah
Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,
serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.
c.
Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak
beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.
(Pasal 6)
|
|
Putusan Permohonan Keberatan Hak
Uji
|
Tidak diatur
|
a.Dalam hal Mahkamah
Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan
perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan
keberatan tersebut.
b.Mahkamah Agung
dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,
serta memerintahkan dengan segera pencabutannya kepada instansi yang
bersangkutan.
(Pasal 10)
|
Tidak diatur
|
Dalam hal Mahkamah Agung
berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena peraturan
perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan keberatan tersebut.
Mahkamah Agung dalam putusannya
menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan
tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan
kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.
Dalam hal Mahkamah Agung
berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung
menolak permohonan keberatan tersebut.
(Pasal 6)
|
Pelaksanaan
Putusan
Gugatan
Hak Uji Materiil
|
Tidak
diatur
|
Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari
setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Tergugat, ternyata
Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
(Pasal 12)
|
Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari
setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
peraturan perundang-undangan tersebut,
ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya,
demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai
kekuatan hukum. (Pasal 8)
|
Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari
setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
peraturan perundang-undangan tersebut,
ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya,
demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai
kekuatan hukum.(Pasal 8)
|
Pemberitahuan
Isi Putusan
|
Pemberitahuan isi putusan Mahkamah
Agung pada dua belah pihak atau salah satu dari padanya yang tidak hadir pada
saat putusan diucapkan, dilakukan dengan perantaraan Pengadilan tingkat
pertama setempat; (Pasal 4)
|
Pemberitahuan
salinan putusan Mahkamah Agung terhadap gugatan dan permohonan keberatan
disampaikan dengan surat Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan
melalui Pengadilan Negeri setempat, pemberitahuan salinan putusan Mahkamah
Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.
(Pasal 11)
|
Pemberitahuan
isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan
menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat
Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri
setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung
disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim. (Pasal 7)
|
Pemberitahuan
isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan
menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat
Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri
setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung
disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.
(Pasal 7)
|
Peninjau
kembali
|
Terhadap putusan mengenai gugatan
Hak Uji Materiil tidak dapat diajukan peninjauan kembali.(Pasal 5)
|
Terhadap putusan mengenai gugatan
dan permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
(Pasal 14)
|
Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan
tidak dapat diajukan peninjauan kembali. (Pasal 9)
|
Terhadap putusan mengenai permohonan
keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali. (Pasal 9)
|
Catatan
(1)
Gugatan adalah tuntutan kepada Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara terhadap peraturan perundang-undangan di bawah
Undang-undang dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan.
(2)
Permohonan Keberatan adalah suatu
permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi dan diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapat putusan.
(Perma
No. 1 Tahun 1999)
Lampiran
KETUA
MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK
INDONESIA
PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK
INDONESIA
------------------------------------
Nomor:
01 Tahun 2011
TENTANG
HAK
UJI MATERIIL
KETUA
MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. Bahwa Pasal 2 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil
menentukan bahwa: Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180
(seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan Peraturan Perundang-undangan yang
bersangkutan;
b. Bahwa pada dasarnya penentuan tenggat
waktu pengajuan permohonan keberatan Hak Uji Materiil adalah tidak tepat
diterapkan bagi suatu aturan yang bersifat umum (Regelend) karena sejalan
dengan perkembangan hukum yang sedemikian rupa, dirasakan telah bertentangan
dengan perauran yang lebih tinggi dan tidak lagi sesuai dengan “hukum yang
hidup (the living law) yang berlaku”;
c.
Bahwa
oleh karena penentuan batas waktu 180 (Seratus delapan puluh) hari seperti
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (4) tersebut diatas, sudah seharusnya dihapuskan
dan/atau dicabut dari materi Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
tersebut. Namun demikian secara kasuistis harus dipertimbangkan kasus demi
kasus tentang hak yang telah diperoleh para pihak-pihak yang terkait sebagai
bentuk perlindungan hukum bagi mereka.
d. Bahwa pencabutan dan/atau penghapusan
tenggat waktu dimaksud sejalan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang
tercantum dalam berbagai putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia antara lain:
1.
Putusan
Hak Uji Materiil Nomor 25 P/HUM/2006 tanggal 30 Agustus 2006;
2.
Putusan
Hak Uji Materiil Nomor 41 P/HUM/2006 tanggal 21 Nopember 2006;
3.
Putusan
Hak Uji Materiil Nomor 37 P/HUM/2008 tanggal 18 Maret 2009;
4.
Putusan
Hak Uji Materiil Nomor 03 P/HUM/2011 tanggal 25 April 2011;
e. Bahwa berhubung dengan hal tersebut
dalam huruf c dan d, perlu pengaturan kembali Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil.:
Mengingat:
1.
Pasal
24A Undang-Undang Dasar 1945 dan perubahan-perubahannya;
2.
Pasal
20 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
3.
Pasal
79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
4.
Pasal
31 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
5.
Hasil
Keputusan Rapat Pimpinan Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 19 Mei 2011
atas Memorandum Nomor 41/Td/TUN/V/2011 tanggal 9 Mei 2011.
Memperhatikan:
Pasal-pasal
dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung Republik
Indonesia sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
2004 serta Peraturan Perundang-undangan lainnya yang bersangkutan.
MEMUTUSKAN:
MENETAPKAN:
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HAK UJI MATERIIL.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Peraturan Mahkamah Agung ini, yang dimaksud dengan:
(1)
Hak Uji Materiil adalah hak Mahkamah
Agung untuk menilai
materi muatan peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang terhadap
peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
(2)
Peraturan
perundang-undangan adalah kaidah hukum tertulis yang mengikat umum di bawah
Undang-undang.
(3)
Permohonan Keberatan adalah suatu
permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan
perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk
mendapatkan putusan.
(4)
Pemohon Keberatan adalah kelompok
masyarakat atau perseorangan yang mengajukan permohonan keberatan kepada
Mahkamah Agung atas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih
rendah dari undang-undang;
(5)
Termohon adalah Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan.
BAB
II
TATA
CARA PENGAJUAN
PERMOHONAN
KEBERATAN
Pasal
2
(1) Permohonan
Keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara:
c.
Langsung ke Mahkamah Agung; atau
d. Melalui
Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon.
(2) Permohonan
keberatan diajukan terhadap suatu peraturan perundang-undangan-yang diduga
bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.
(3) Permohonan
Keberatan dibuat rangkat sesuai keperluan dengan menyebutkan secara jelas
alasan-alasan sebagai dasar keberatan dan wajib ditandatangani oleh Pemohon
atau kuasanya yang sah.
(4) Pemohon
membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang
besarnya akan diatur tersendiri.
Pasal
3
(1)
Dalam hal permohonan keberatan
diajukan langsung ke Mahkamah Agung, didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung
dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan menggunakan
kode:..P/HUM/Th...
(2)
Panitera Mahkamah Agung memeriksa
kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung
kepada Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah.
(3)
Panitera Mahkamah Agung wajib
mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak Termohon setelah terpenuhi
kelengkapan berkasnya.
(4)
Termohon wajib mengirimkan atau
menyerahkan jawabannya kepada Panitera Mahkamah Agung dalam waktu 14 (empat
belas) hari sejak diterima salinan permohonan tersebut.
(5)
Panitera Mahkamah Agung menyampaikan
kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menetapkan Majelis Hakim Agung, setelah
lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
(6)
Penetapan majelis sebagaimana
dimaksud dalam ayat (5) dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang Tata Usaha Negara
atas nama Ketua Mahkamah Agung.
Pasal
4
(1) Dalam
hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri, didaftarkan pada
kepaniteraan Pengadilan Negeri dan dibukukan dalam bku register permohonan
tersendiri dengan menggunakan kode ...P/HUM/Th../PN... setelah Permohonan atau
kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
(2) Panitera
Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah
didaftarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat
kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah;
(3) Panitera
Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan keberatan kepada Mahkamah Agung pada
hari berikutnya setelah pendaftaran.
(4) Panitera
Mahkamah Agung menyampaikan kepada Ketua Mahkamah Agung untuk menentapkan
Majelis Hakim Agung, setelah lengkap berkas permohonan keberatan tersebut.
(5) Penetapan
majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dilaksanakan oleh Ketua Muda Bidang
Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung.
BAB
III
PEMERIKSAAN
DALAM PERSIDANGAN
Pasal
5
(1) Ketua
Muda Bidang Tata Usaha Negara atas nama Ketua Mahkamah Agung menetapkan Majelis
Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak
Uji Materiil tersebut
(2) Majelis
Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan keberatan tentang Hak Uji Materiil
tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan
dalam waktu yang sesingkat-singkatnya sesuai dengan asas peradilan yang
sederhana, cepat dan biaya ringan.
BAB
IV
PUTUSAN
Pasal
6
(1) Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, karena
peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau
peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi, Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan keberatan tersebut.
(2) Mahkamah
Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,
serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.
(3) Dalam
hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan,
Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.
BAB
V
PEMBERITAHUAN
ISI PUTUSAN
Pasal
7
Pemberitahuan
isi putusan Mahkamah Agung terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan
menyerahkan atau mengirimkan salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat
Tercatat kepada para pihak dan dalam hal diajukan melalui Pengadilan Negeri
setempat, penyerahan atau pengiriman salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan
juga kepada Pengadilan Negeri yang mengirim.
BAB
VI
PELAKSANAAN
PUTUSAN
Pasal
8
(1) Panitera
Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara dan
dipublikasikan atas biaya Negara.
(2) Dalam
hal 90 (sembilan puluh) hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak
melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.
BAB
VII
KETENTUAN
LAIN-LAIN
Pasal
9
Terhadap
putusan mengenai permohonan keberatan tidak dapat diajukan peninjauan kembali.
BAB
VIII
KETENTUAN
PERALIHAN
Pasal
10
Pada
saat mulai berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Peraturan yang telah ada
mengenai Hak Uji Materiil tetap berlaku bagi gugatan, permohonan keberatan yang
telah diterima oleh Mahkamah Agung.
BAB
IX
KETENTUAN
PENUTUP
Pasal
11
Pada
saat mulai berlakunya Peraturan Mahkamah Agung ini, Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 1993, Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1999 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal
12
Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di : JAKARTA
Pada tanggal: 30 Mei 2011
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA,
CAP/TERTANDA
DR.H. HARIFIN A. TUMPA,SH.MH